NovelToon NovelToon

Rahasia Monalisa

Prolog

Mona Eliya

Larasati seorang gadis berusia 22 tahun yang, yaa, biasa saja, tapi dia sangat

manis dan selalu ceria. Rambut hitam sepinggang membuatnya terlihat seksi namun

terkesan imut karena poni tipis model korea yang selalu menjadi andalannya.

Mona nama

panggilannya, hanya hidup berdua dengan Siti, ibunya yang bekerja menjadi buruh

pabrik rumahan. Sedangkan ayahnya, menurut penuturan Siti dan tetangga sekitar,

sudah meninggal sejak Mona masih bayi.

Setelah lulus

SMA, Mona memilih untuk bekerja, jangankan kuliah, ada uang untuk makan

sehari-hari dan bisa bayar kontrakan saja dia sudah sangat bersyukur. Dia

pernah menjadi buruh pabrik, penjaga toko, sales, pengantar bunga, apapun jenis

pekerjaannya asal halal, pasti akan dia kerjakan dengan giat.

Hari ini Mona

tiba di sebuah kota yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Lima jam perjalanan

menggunakan bus dia tempuh dengan harapan bisa memiliki kehidupan yang lebih

baik dan layak bersama ibu yang kini dia tinggalkan.

Setelah

meyakinkan ibunya seminggu terakhir dan menyiapkan semua persyaratan serta

keperluan yang dibutuhkan, Mona pun berangkat bersama Reni, teman dekatnya

waktu masih bekerja di pabrik lampu. Berbekal uang hasil menguras semua

tabungan yang mereka miliki, Mona dan Reni harus pintar-pintar mengatur

keuangan sampai gajian bulan depan.

"Kenalin

ini Mona, sahabat gue yang kapan hari gue cerita itu loh Ras." Kata Reni

mengenalkan Mona pada Laras, kerabat jauhnya yang memberi jalan untuk mereka

berdua agar bisa bekerja di sini. Di sebuah klinik kesehatan milik seorang

konglomerat tersohor di kota tersebut.

Mona

mengulurkan tangan dan mengenalkan namanya pada dua senior yang tersenyum ramah menjabat uluran tanganMona.

"Gue

Laras, salam kenal ya."

"Kalau gue

Office Boy paling ganteng disini, Hendik, salam kenal."

"Udah tau

kan jadwal dan pembagian tugasnya?" Tanya Laras dengan ramah.

"Sudah

mbak," jawab Mona membuat Laras mengerucutkan bibirnya.

"Panggil

Laras aja donk, kan gue selisih 3 tahun aja sama lo, biar kayak seumuran, biar

makin akrab kita." Protes Laras membuat Mona tersenyum sungkan dan

kemudian ia mengangguk meyanggupi permintaan Laras.

"Muka lo boros sih, makanya kelihatan

tua!" Cibik

Hendik sambil melemparkan lap meja yang mendarat tepat di wajah Laras. Otomatis

Laras pun menghadiahi sebuah capitan besar di perut Hendik yang langsung

memekik seraya berusaha menjauhkan diri dari jangkauan Laras.

"Hen,

tolong buatin teh anget lima ya, antar ke ruang perawat," pinta seorang

suster dengan sebuah name tag Anita Pratiwi di dadanya.

"Siap mbak

Nita," sahut Hendik memberi hormat pada Suster Anita yang berlalu sambil

tertawa ringan.  "Buatin Ras, nanti biar Mona yang anter."

"Heh,

kurang ajar lo, mentang-mentang lo yang paling tua disini, beraninya nyuruh

yang muda-muda!" Protes Laras tapi tak elak dia pun langsung mengambil

gelas di rak dan

melaksanakan perintah Hendik.

"Haissh!

Nethink mulu lo, itu kan biar Mona juga kenal sama suster di sini. Kan sebentar lagi dia full

kebagian tugas pantry," ucap Hendik sambil mengerling pada Mona.

'Aihhh! Kenapa

dia ini?' batin Mona yang langsung beringsut menghampiri Laras yang sedang

menuang gula kedalam toples..

"Terus

kalian semalam tidur dimana? Di rumah Laras?" Tanya Hendik merasa tak

dihiraukan oleh Mona.

"Katanya

Reni ada saudara di Majapurna, jadi kemarin langsung ke rumah saudaranya itu

dan nginep disana," sahut Laras menjawab pertanyaan Hendik yang langsung

manggut-manggut.

"Iya,

sementara tinggal disana, sambil mau cari kost dekat sini, soalnya kalau dihitung

ongkos dari rumah bude ke sini PP ya lumayan juga," Reni menambahkan.

"Ohhh, oke

nanti gue bantu cari info kost di daerah sini deh, gacil itu mah!!" Kata

Hendik bersemangat.

"Halah,

Moduuuuusss!!" Pekik Laras membuat Hendik memonyongkan bibirnya dan

kemudian berlalu untuk memulai pekerjaannya.

***

Mona membawa

nampan berisi teh panas dengan hati-hati ke ruangan perawat yang ada di bagian

depan klinik, tepat disebelah IGD.

Pintu ruangannya terbuka jadi Mona langsung masuk setelah mengucap permisi.

Seketika dia disambut dengan tatapan penasaran dari suster yang ada di sana.

"Namanya

siapa Say?" Tanya seorang suster pada Mona yang sedang membagi teh untuk

para perawat.

"Mona,

Suster."

"Salam

kenal ya, aku Memey, ini Anita, Lusi, Dinda dan mbak Santi." Kata suster

Mey sambil menunjuk teman-temannya satu persatu.

"Iya

Suster, salam kenal juga dari perawat berseragam hitam, hihi," celetuk

Mona. "Perawat khusus untuk menjaga kesehatan lambung anda,"

lanjutnya membuat para perawat tertawa cekikikan.

"Haha,

receh banget sih humorku. Ehh iya, panggilnya mbak aja, Mon, atau mau panggil

nama juga boleh."

"Iya mbak

aja, maaf,"

"Astaga!!!

Kocak nih anak, panggilnya Mbak, jangan di tambahi aja! Aduh, Mona lucu

deh."

"Ohh iya

maaf mbaaak, mbak siapa ya? Ehhh, lupa namanya." Mona berhenti dan

mengintip name tag di dada suster Lusi yang menepuk dan membusungkan

dadanya. "Mbak Lusi, maaf ya mbak."

***

Tiga hari

berlalu...

"Itu siapa

ya, Hen, perasaan dari tadi

mondar-mandir di depan meja pendaftaran?" bisik Mona penasaran.

"Ohh, itu

bu Tika, yang punya klinik ini, anaknya yang punya klinik tepatnya."

"Ehmm,

pantesan cantik dan glamour banget yak penampilannya. Ehh, tapi itu kenapa gak duduk aja sih?

Mondar-mandir kayak setrika kepanasan gitu."

"Lagi

nungguin dokter Anggara mungkin, tuh mukanya sebel begitu."

"Dokter

Anggara siapa?"

"Lah, masa

lo gak tau? Dokter Anggara itu kepala klinik ini Mon, suaminya bu Tika."

"Ohhh,"

Mona membentuk huruf O sempurna di bibirnya. “Gak tau, taunya

dokter yang praktek-praktek itu. Emang yang mana sih dokter Anggara? Kok gue gak pernah tau.”

"Lo sih,

betah banget di pantry," ucap Hendik yang berhenti menggerakkan alat

pelnya. “Ehhhm.. Setau gue dokter Anggara emang lagi ada tugas keluar kota

gitu, kabarnya sih hari ini baru pulang.”

"Lah

orangnya aja gak ada, gimana gue bisa tau!" protes Mona sambil menoyor

lengan Hendik membuat Hendik cekikikan. "Malah tadi, gue pikir bu Tika itu

keluarganya pak Santo,pasien kamar nomer empat yang sakit tipes itu, Hen."

"Hadehh!!

Nanti minta struktur organisasi sama pak Eko biar tau orang-orang di sini, jangan hafalin pasien mulu."

"Iya, ya?

Hemm jadi makin penasaran sama

pimpinan klinik ini, seperti apakah orangnya?" tanyaMona sambil pura-pura berfikir.

"Mending

jangan penasaran deh, Mon, daripada jiwa ke-jomblo-akut-an lo meronta,"

sahut Reni yang tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa sikat toilet yang

baru.

"Kenapa

bisa gitu? Ganteng ya?" Mona berbinar.

"Ganteng

banget Mon, gue tau fotonya di HP Laras, uhhh kayak Park Hyung-sik. Tapi

kata Laras sama mbak-mbak perawat dia itu kayak freezer."

"Pak Yusi

siapa? Kenapa kayak freezer? Gede banget gitu ya orangnya?" Tanya Mona

dengan wajah polosnyamembuat Hendik dan Reni memutar bola mata jengah.

"Heh, itu

bertiga kenapa santai disitu?!" Pekik Tika galak sambil melotot ke arah

tiga karyawannya yang tanpa dia tau sedang membicarakan suaminya.

"M4mpus

dah tuh, mak lampir mulai teriak-teriak," gumam Hendik sambil menggerakkan alat pelnya dan

Mona bergegas membantu Hendik menyemprotkan cairan desinfektan di lantai.

"Lah lah,

gue kabuuur aja lahh!!" Tanpa aba-aba Reni langsung ngibrit ke belakang

lalu berbelok di pantry.

"Dia galak

ya Hen?"

"Banget

Mon, kayak mak lampir! Ehhm... Kadang persis emak

tiri di FTV, tapi lebih cocok lagi kalau dibilang persis hantu poci di fil hororyang tiba-tiba nongol gitu."

"Kerja

yang bener, malah ngobrol!" Pekik bu Tika yang sudah berdiri beberapa

meter di depan Mona dan Hendik. "Kamu anak baru ya?"

"I..iya

nyonya, ehh maaf, iya bu," jawab Mona kikuk.

“Kerja tuh yang

bener dan ingat ya, saya gak suka orang males." Ketus Tika membuat Mona

semakin ciut. Apalagi suara Tika seakan menggelegar di seluruh sudut ruangan.

Bahkan beberapa pengunjung klinik sampai bergidik melihatnya, seperti melihat

hantu saja, pikir Mona.

“Hey Cintya,

kamu tau kemana Anggara?" Tanya Tika kepada suster Cintya yang baru keluar

dari kamar pasien sambil membawa botol infus yang sudah kosong.

“Maaf saya

tidak tahu Bu, saya juga baru ganti shift langsung ke ruang pasien ini.” Jawab

suster Cintya dengan sungkan dan langsung pergi sambil sedikit membungkuk

setelah memohon diri.

“Haiih!! Kemana

lagi sih dia ini!!"

.

.

To be

Continue...

Anggara

Mona Eliya

Larasati seorang gadis berusia 22 tahun yang, yaa, biasa saja, tapi dia sangat

manis dan selalu ceria. Rambut hitam sepinggang membuatnya terlihat seksi namun

terkesan imut karena poni tipis model korea yang selalu menjadi andalannya.

Mona nama

panggilannya, hanya hidup berdua dengan Siti, ibunya yang bekerja menjadi buruh

pabrik rumahan. Sedangkan ayahnya, menurut penuturan Siti dan tetangga sekitar,

sudah meninggal sejak Mona masih bayi.

Setelah lulus

SMA, Mona memilih untuk bekerja, jangankan kuliah, ada uang untuk makan

sehari-hari dan bisa bayar kontrakan saja dia sudah sangat bersyukur. Dia

pernah menjadi buruh pabrik, penjaga toko, sales, pengantar bunga, apapun jenis

pekerjaannya asal halal, pasti akan dia kerjakan dengan giat.

Hari ini Mona

tiba di sebuah kota yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Lima jam perjalanan

menggunakan bus dia tempuh dengan harapan bisa memiliki kehidupan yang lebih

baik dan layak bersama ibu yang kini dia tinggalkan.

Setelah

meyakinkan ibunya seminggu terakhir dan menyiapkan semua persyaratan serta

keperluan yang dibutuhkan, Mona pun berangkat bersama Reni, teman dekatnya

waktu masih bekerja di pabrik lampu. Berbekal uang hasil menguras semua

tabungan yang mereka miliki, Mona dan Reni harus pintar-pintar mengatur

keuangan sampai gajian bulan depan.

"Kenalin

ini Mona, sahabat gue yang kapan hari gue cerita itu loh Ras." Kata Reni

mengenalkan Mona pada Laras, kerabat jauhnya yang memberi jalan untuk mereka

berdua agar bisa bekerja di sini. Di sebuah klinik kesehatan milik seorang

konglomerat tersohor di kota tersebut.

Mona

mengulurkan tangan dan mengenalkan namanya pada dua senior yang tersenyum ramah menjabat uluran tanganMona.

"Gue

Laras, salam kenal ya."

"Kalau gue

Office Boy paling ganteng disini, Hendik, salam kenal."

"Udah tau

kan jadwal dan pembagian tugasnya?" Tanya Laras dengan ramah.

"Sudah

mbak," jawab Mona membuat Laras mengerucutkan bibirnya.

"Panggil

Laras aja donk, kan gue selisih 3 tahun aja sama lo, biar kayak seumuran, biar

makin akrab kita." Protes Laras membuat Mona tersenyum sungkan dan

kemudian ia mengangguk meyanggupi permintaan Laras.

"Muka lo boros sih, makanya kelihatan

tua!" Cibik

Hendik sambil melemparkan lap meja yang mendarat tepat di wajah Laras. Otomatis

Laras pun menghadiahi sebuah capitan besar di perut Hendik yang langsung

memekik seraya berusaha menjauhkan diri dari jangkauan Laras.

"Hen,

tolong buatin teh anget lima ya, antar ke ruang perawat," pinta seorang

suster dengan sebuah name tag Anita Pratiwi di dadanya.

"Siap mbak

Nita," sahut Hendik memberi hormat pada Suster Anita yang berlalu sambil

tertawa ringan.  "Buatin Ras, nanti biar Mona yang anter."

"Heh,

kurang ajar lo, mentang-mentang lo yang paling tua disini, beraninya nyuruh

yang muda-muda!" Protes Laras tapi tak elak dia pun langsung mengambil

gelas di rak dan

melaksanakan perintah Hendik.

"Haissh!

Nethink mulu lo, itu kan biar Mona juga kenal sama suster di sini. Kan sebentar lagi dia full

kebagian tugas pantry," ucap Hendik sambil mengerling pada Mona.

'Aihhh! Kenapa

dia ini?' batin Mona yang langsung beringsut menghampiri Laras yang sedang

menuang gula kedalam toples..

"Terus

kalian semalam tidur dimana? Di rumah Laras?" Tanya Hendik merasa tak

dihiraukan oleh Mona.

"Katanya

Reni ada saudara di Majapurna, jadi kemarin langsung ke rumah saudaranya itu

dan nginep disana," sahut Laras menjawab pertanyaan Hendik yang langsung

manggut-manggut.

"Iya,

sementara tinggal disana, sambil mau cari kost dekat sini, soalnya kalau dihitung

ongkos dari rumah bude ke sini PP ya lumayan juga," Reni menambahkan.

"Ohhh, oke

nanti gue bantu cari info kost di daerah sini deh, gacil itu mah!!" Kata

Hendik bersemangat.

"Halah,

Moduuuuusss!!" Pekik Laras membuat Hendik memonyongkan bibirnya dan

kemudian berlalu untuk memulai pekerjaannya.

***

Mona membawa

nampan berisi teh panas dengan hati-hati ke ruangan perawat yang ada di bagian

depan klinik, tepat disebelah IGD.

Pintu ruangannya terbuka jadi Mona langsung masuk setelah mengucap permisi.

Seketika dia disambut dengan tatapan penasaran dari suster yang ada di sana.

"Namanya

siapa Say?" Tanya seorang suster pada Mona yang sedang membagi teh untuk

para perawat.

"Mona,

Suster."

"Salam

kenal ya, aku Memey, ini Anita, Lusi, Dinda dan mbak Santi." Kata suster

Mey sambil menunjuk teman-temannya satu persatu.

"Iya

Suster, salam kenal juga dari perawat berseragam hitam, hihi," celetuk

Mona. "Perawat khusus untuk menjaga kesehatan lambung anda,"

lanjutnya membuat para perawat tertawa cekikikan.

"Haha,

receh banget sih humorku. Ehh iya, panggilnya mbak aja, Mon, atau mau panggil

nama juga boleh."

"Iya mbak

aja, maaf,"

"Astaga!!!

Kocak nih anak, panggilnya Mbak, jangan di tambahi aja! Aduh, Mona lucu

deh."

"Ohh iya

maaf mbaaak, mbak siapa ya? Ehhh, lupa namanya." Mona berhenti dan

mengintip name tag di dada suster Lusi yang menepuk dan membusungkan

dadanya. "Mbak Lusi, maaf ya mbak."

***

Tiga hari

berlalu...

"Itu siapa

ya, Hen, perasaan dari tadi

mondar-mandir di depan meja pendaftaran?" bisik Mona penasaran.

"Ohh, itu

bu Tika, yang punya klinik ini, anaknya yang punya klinik tepatnya."

"Ehmm,

pantesan cantik dan glamour banget yak penampilannya. Ehh, tapi itu kenapa gak duduk aja sih?

Mondar-mandir kayak setrika kepanasan gitu."

"Lagi

nungguin dokter Anggara mungkin, tuh mukanya sebel begitu."

"Dokter

Anggara siapa?"

"Lah, masa

lo gak tau? Dokter Anggara itu kepala klinik ini Mon, suaminya bu Tika."

"Ohhh,"

Mona membentuk huruf O sempurna di bibirnya. “Gak tau, taunya

dokter yang praktek-praktek itu. Emang yang mana sih dokter Anggara? Kok gue gak pernah tau.”

"Lo sih,

betah banget di pantry," ucap Hendik yang berhenti menggerakkan alat

pelnya. “Ehhhm.. Setau gue dokter Anggara emang lagi ada tugas keluar kota

gitu, kabarnya sih hari ini baru pulang.”

"Lah

orangnya aja gak ada, gimana gue bisa tau!" protes Mona sambil menoyor

lengan Hendik membuat Hendik cekikikan. "Malah tadi, gue pikir bu Tika itu

keluarganya pak Santo,pasien kamar nomer empat yang sakit tipes itu, Hen."

"Hadehh!!

Nanti minta struktur organisasi sama pak Eko biar tau orang-orang di sini, jangan hafalin pasien mulu."

"Iya, ya?

Hemm jadi makin penasaran sama

pimpinan klinik ini, seperti apakah orangnya?" tanyaMona sambil pura-pura berfikir.

"Mending

jangan penasaran deh, Mon, daripada jiwa ke-jomblo-akut-an lo meronta,"

sahut Reni yang tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa sikat toilet yang

baru.

"Kenapa

bisa gitu? Ganteng ya?" Mona berbinar.

"Ganteng

banget Mon, gue tau fotonya di HP Laras, uhhh kayak Park Hyung-sik. Tapi

kata Laras sama mbak-mbak perawat dia itu kayak freezer."

"Pak Yusi

siapa? Kenapa kayak freezer? Gede banget gitu ya orangnya?" Tanya Mona

dengan wajah polosnyamembuat Hendik dan Reni memutar bola mata jengah.

"Heh, itu

bertiga kenapa santai disitu?!" Pekik Tika galak sambil melotot ke arah

tiga karyawannya yang tanpa dia tau sedang membicarakan suaminya.

"M4mpus

dah tuh, mak lampir mulai teriak-teriak," gumam Hendik sambil menggerakkan alat pelnya dan

Mona bergegas membantu Hendik menyemprotkan cairan desinfektan di lantai.

"Lah lah,

gue kabuuur aja lahh!!" Tanpa aba-aba Reni langsung ngibrit ke belakang

lalu berbelok di pantry.

"Dia galak

ya Hen?"

"Banget

Mon, kayak mak lampir! Ehhm... Kadang persis emak

tiri di FTV, tapi lebih cocok lagi kalau dibilang persis hantu poci di fil hororyang tiba-tiba nongol gitu."

"Kerja

yang bener, malah ngobrol!" Pekik bu Tika yang sudah berdiri beberapa

meter di depan Mona dan Hendik. "Kamu anak baru ya?"

"I..iya

nyonya, ehh maaf, iya bu," jawab Mona kikuk.

“Kerja tuh yang

bener dan ingat ya, saya gak suka orang males." Ketus Tika membuat Mona

semakin ciut. Apalagi suara Tika seakan menggelegar di seluruh sudut ruangan.

Bahkan beberapa pengunjung klinik sampai bergidik melihatnya, seperti melihat

hantu saja, pikir Mona.

“Hey Cintya,

kamu tau kemana Anggara?" Tanya Tika kepada suster Cintya yang baru keluar

dari kamar pasien sambil membawa botol infus yang sudah kosong.

“Maaf saya

tidak tahu Bu, saya juga baru ganti shift langsung ke ruang pasien ini.” Jawab

suster Cintya dengan sungkan dan langsung pergi sambil sedikit membungkuk

setelah memohon diri.

“Haiih!! Kemana

lagi sih dia ini!!"

.

.

To be

Continue...

Cinta Terpendam

Mona Eliya

Larasati seorang gadis berusia 22 tahun yang, yaa, biasa saja, tapi dia sangat

manis dan selalu ceria. Rambut hitam sepinggang membuatnya terlihat seksi namun

terkesan imut karena poni tipis model korea yang selalu menjadi andalannya.

Mona nama

panggilannya, hanya hidup berdua dengan Siti, ibunya yang bekerja menjadi buruh

pabrik rumahan. Sedangkan ayahnya, menurut penuturan Siti dan tetangga sekitar,

sudah meninggal sejak Mona masih bayi.

Setelah lulus

SMA, Mona memilih untuk bekerja, jangankan kuliah, ada uang untuk makan

sehari-hari dan bisa bayar kontrakan saja dia sudah sangat bersyukur. Dia

pernah menjadi buruh pabrik, penjaga toko, sales, pengantar bunga, apapun jenis

pekerjaannya asal halal, pasti akan dia kerjakan dengan giat.

Hari ini Mona

tiba di sebuah kota yang cukup jauh dari tempat tinggalnya. Lima jam perjalanan

menggunakan bus dia tempuh dengan harapan bisa memiliki kehidupan yang lebih

baik dan layak bersama ibu yang kini dia tinggalkan.

Setelah

meyakinkan ibunya seminggu terakhir dan menyiapkan semua persyaratan serta

keperluan yang dibutuhkan, Mona pun berangkat bersama Reni, teman dekatnya

waktu masih bekerja di pabrik lampu. Berbekal uang hasil menguras semua

tabungan yang mereka miliki, Mona dan Reni harus pintar-pintar mengatur

keuangan sampai gajian bulan depan.

"Kenalin

ini Mona, sahabat gue yang kapan hari gue cerita itu loh Ras." Kata Reni

mengenalkan Mona pada Laras, kerabat jauhnya yang memberi jalan untuk mereka

berdua agar bisa bekerja di sini. Di sebuah klinik kesehatan milik seorang

konglomerat tersohor di kota tersebut.

Mona

mengulurkan tangan dan mengenalkan namanya pada dua senior yang tersenyum ramah menjabat uluran tanganMona.

"Gue

Laras, salam kenal ya."

"Kalau gue

Office Boy paling ganteng disini, Hendik, salam kenal."

"Udah tau

kan jadwal dan pembagian tugasnya?" Tanya Laras dengan ramah.

"Sudah

mbak," jawab Mona membuat Laras mengerucutkan bibirnya.

"Panggil

Laras aja donk, kan gue selisih 3 tahun aja sama lo, biar kayak seumuran, biar

makin akrab kita." Protes Laras membuat Mona tersenyum sungkan dan

kemudian ia mengangguk meyanggupi permintaan Laras.

"Muka lo boros sih, makanya kelihatan

tua!" Cibik

Hendik sambil melemparkan lap meja yang mendarat tepat di wajah Laras. Otomatis

Laras pun menghadiahi sebuah capitan besar di perut Hendik yang langsung

memekik seraya berusaha menjauhkan diri dari jangkauan Laras.

"Hen,

tolong buatin teh anget lima ya, antar ke ruang perawat," pinta seorang

suster dengan sebuah name tag Anita Pratiwi di dadanya.

"Siap mbak

Nita," sahut Hendik memberi hormat pada Suster Anita yang berlalu sambil

tertawa ringan.  "Buatin Ras, nanti biar Mona yang anter."

"Heh,

kurang ajar lo, mentang-mentang lo yang paling tua disini, beraninya nyuruh

yang muda-muda!" Protes Laras tapi tak elak dia pun langsung mengambil

gelas di rak dan

melaksanakan perintah Hendik.

"Haissh!

Nethink mulu lo, itu kan biar Mona juga kenal sama suster di sini. Kan sebentar lagi dia full

kebagian tugas pantry," ucap Hendik sambil mengerling pada Mona.

'Aihhh! Kenapa

dia ini?' batin Mona yang langsung beringsut menghampiri Laras yang sedang

menuang gula kedalam toples..

"Terus

kalian semalam tidur dimana? Di rumah Laras?" Tanya Hendik merasa tak

dihiraukan oleh Mona.

"Katanya

Reni ada saudara di Majapurna, jadi kemarin langsung ke rumah saudaranya itu

dan nginep disana," sahut Laras menjawab pertanyaan Hendik yang langsung

manggut-manggut.

"Iya,

sementara tinggal disana, sambil mau cari kost dekat sini, soalnya kalau dihitung

ongkos dari rumah bude ke sini PP ya lumayan juga," Reni menambahkan.

"Ohhh, oke

nanti gue bantu cari info kost di daerah sini deh, gacil itu mah!!" Kata

Hendik bersemangat.

"Halah,

Moduuuuusss!!" Pekik Laras membuat Hendik memonyongkan bibirnya dan

kemudian berlalu untuk memulai pekerjaannya.

***

Mona membawa

nampan berisi teh panas dengan hati-hati ke ruangan perawat yang ada di bagian

depan klinik, tepat disebelah IGD.

Pintu ruangannya terbuka jadi Mona langsung masuk setelah mengucap permisi.

Seketika dia disambut dengan tatapan penasaran dari suster yang ada di sana.

"Namanya

siapa Say?" Tanya seorang suster pada Mona yang sedang membagi teh untuk

para perawat.

"Mona,

Suster."

"Salam

kenal ya, aku Memey, ini Anita, Lusi, Dinda dan mbak Santi." Kata suster

Mey sambil menunjuk teman-temannya satu persatu.

"Iya

Suster, salam kenal juga dari perawat berseragam hitam, hihi," celetuk

Mona. "Perawat khusus untuk menjaga kesehatan lambung anda,"

lanjutnya membuat para perawat tertawa cekikikan.

"Haha,

receh banget sih humorku. Ehh iya, panggilnya mbak aja, Mon, atau mau panggil

nama juga boleh."

"Iya mbak

aja, maaf,"

"Astaga!!!

Kocak nih anak, panggilnya Mbak, jangan di tambahi aja! Aduh, Mona lucu

deh."

"Ohh iya

maaf mbaaak, mbak siapa ya? Ehhh, lupa namanya." Mona berhenti dan

mengintip name tag di dada suster Lusi yang menepuk dan membusungkan

dadanya. "Mbak Lusi, maaf ya mbak."

***

Tiga hari

berlalu...

"Itu siapa

ya, Hen, perasaan dari tadi

mondar-mandir di depan meja pendaftaran?" bisik Mona penasaran.

"Ohh, itu

bu Tika, yang punya klinik ini, anaknya yang punya klinik tepatnya."

"Ehmm,

pantesan cantik dan glamour banget yak penampilannya. Ehh, tapi itu kenapa gak duduk aja sih?

Mondar-mandir kayak setrika kepanasan gitu."

"Lagi

nungguin dokter Anggara mungkin, tuh mukanya sebel begitu."

"Dokter

Anggara siapa?"

"Lah, masa

lo gak tau? Dokter Anggara itu kepala klinik ini Mon, suaminya bu Tika."

"Ohhh,"

Mona membentuk huruf O sempurna di bibirnya. “Gak tau, taunya

dokter yang praktek-praktek itu. Emang yang mana sih dokter Anggara? Kok gue gak pernah tau.”

"Lo sih,

betah banget di pantry," ucap Hendik yang berhenti menggerakkan alat

pelnya. “Ehhhm.. Setau gue dokter Anggara emang lagi ada tugas keluar kota

gitu, kabarnya sih hari ini baru pulang.”

"Lah

orangnya aja gak ada, gimana gue bisa tau!" protes Mona sambil menoyor

lengan Hendik membuat Hendik cekikikan. "Malah tadi, gue pikir bu Tika itu

keluarganya pak Santo,pasien kamar nomer empat yang sakit tipes itu, Hen."

"Hadehh!!

Nanti minta struktur organisasi sama pak Eko biar tau orang-orang di sini, jangan hafalin pasien mulu."

"Iya, ya?

Hemm jadi makin penasaran sama

pimpinan klinik ini, seperti apakah orangnya?" tanyaMona sambil pura-pura berfikir.

"Mending

jangan penasaran deh, Mon, daripada jiwa ke-jomblo-akut-an lo meronta,"

sahut Reni yang tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa sikat toilet yang

baru.

"Kenapa

bisa gitu? Ganteng ya?" Mona berbinar.

"Ganteng

banget Mon, gue tau fotonya di HP Laras, uhhh kayak Park Hyung-sik. Tapi

kata Laras sama mbak-mbak perawat dia itu kayak freezer."

"Pak Yusi

siapa? Kenapa kayak freezer? Gede banget gitu ya orangnya?" Tanya Mona

dengan wajah polosnyamembuat Hendik dan Reni memutar bola mata jengah.

"Heh, itu

bertiga kenapa santai disitu?!" Pekik Tika galak sambil melotot ke arah

tiga karyawannya yang tanpa dia tau sedang membicarakan suaminya.

"M4mpus

dah tuh, mak lampir mulai teriak-teriak," gumam Hendik sambil menggerakkan alat pelnya dan

Mona bergegas membantu Hendik menyemprotkan cairan desinfektan di lantai.

"Lah lah,

gue kabuuur aja lahh!!" Tanpa aba-aba Reni langsung ngibrit ke belakang

lalu berbelok di pantry.

"Dia galak

ya Hen?"

"Banget

Mon, kayak mak lampir! Ehhm... Kadang persis emak

tiri di FTV, tapi lebih cocok lagi kalau dibilang persis hantu poci di fil hororyang tiba-tiba nongol gitu."

"Kerja

yang bener, malah ngobrol!" Pekik bu Tika yang sudah berdiri beberapa

meter di depan Mona dan Hendik. "Kamu anak baru ya?"

"I..iya

nyonya, ehh maaf, iya bu," jawab Mona kikuk.

“Kerja tuh yang

bener dan ingat ya, saya gak suka orang males." Ketus Tika membuat Mona

semakin ciut. Apalagi suara Tika seakan menggelegar di seluruh sudut ruangan.

Bahkan beberapa pengunjung klinik sampai bergidik melihatnya, seperti melihat

hantu saja, pikir Mona.

“Hey Cintya,

kamu tau kemana Anggara?" Tanya Tika kepada suster Cintya yang baru keluar

dari kamar pasien sambil membawa botol infus yang sudah kosong.

“Maaf saya

tidak tahu Bu, saya juga baru ganti shift langsung ke ruang pasien ini.” Jawab

suster Cintya dengan sungkan dan langsung pergi sambil sedikit membungkuk

setelah memohon diri.

“Haiih!! Kemana

lagi sih dia ini!!"

.

.

To be

Continue...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!