🌿Prolog 🌿
Secara perlahan tabir terbuka…
Angin yang berhembus semilir menggerakkannya, memasuki ruang di balik tabir. Begitu lembut. Melintasi dinding-dinding ruangan yang tak berwujud. Menghanyutkan segalanya.
Membawa sertakan arus semilir lembutnya. Menyapu segalanya. Mengosongkan ruangan tak berwujud, dan melemparkannya dengan hentakan yang begitu keras, menghasilkan suara gaduh barang sejenak yang bisa di imajinasikan nalar, bersamaan dengan hancurnya segala yang ada dan dalam sedetik lenyap begitu saja berubah menjadi serpihan-serpihan dan terbawa angin.
Kedua mata terbuka lebar seketika, membelalak, memperlihatkan keindahan mata itu, dan semilir angin menerpa rambutnya yang bergelombang secara lembut. Membawa sertakan segala keterkejutan yang kini dirasakannya. Dan seketika menenangkan jiwanya. Dan kedua mata itu pun kembali menatap sayu, begitu tentram yang ada di pandangan mata indah itu.
Dan perlahan senyuman pun tercipta, begitu manis di pandang. Saat satu sentuhan dari
semilir itu menyentuh pipinya, melintas di telinganya pula, begitu lembut dan dekat,
terdengarlah suara berbisik padanya,
“Fii Lauhim Mahfuudz…”
Seketika berbalik lah tubuhnya, dia pandangi depan, belakang, kanan, dan kirinya. Satu
serpihan membawa bisikan itu. Dia masih mengerutkan kedua alisnya, menatap terheran pada apa yang di dengarnya dari bisikan itu. Namun perlahan dia tersenyum. Semakin lama,
senyumannya semakin melebar. Karena tiba-tiba dia menyadari, begitu tenangnya hatinya kini dia rasakan.
“Insya Allah… Laa haula wala quwwata illa billah…” ucapnya perlahan, seolah berbisik
pula. Membalas bisikan yang beberapa detik lalu di dengar olehnya.
Hingga tanpa terasa dari ujung pelupuk matanya, air mata mengalir lembut basahi
pipinya. Tak dapat dia lupa dengan Firman-Nya,
~𝓐𝓴𝓾 𝓽𝓮𝓵𝓪𝓱 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓶𝓹𝓪𝓱𝓴𝓪𝓷 𝓴𝓮𝓹𝓪𝓭𝓪𝓶𝓾 𝓴𝓪𝓼𝓲𝓱 𝓼𝓪𝔂𝓪𝓷𝓰 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓭𝓪𝓽𝓪𝓷𝓰 𝓭𝓪𝓻𝓲𝓚𝓾~
Semilir angin kembali menerbangkan serpihan-serpihan yang ada. Ikut menggerakkan kerudung panjang yang menutupi dadanya terlihat bergelombang bagai ombak di lautan.
Berdua dengan rengkuhan Ridlo-Nya, lalui jalanan yang panjang. Tanpa ada perasaan lelah menjalaninya, meski banyak sekali rintangan yang melintang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ribuan cinta turun saat itu, menghujani, menyelimuti kebersamaan saat itu juga. Dia
buktikan sebuah kasih mesra pada Sang kekasih. Tak ada kepuasan antara keduanya. Semua
pun di nikmati. Tatapan Sang kekasih terlalu banyak berpaling. Namun dia tiada henti
perhatikan gerak-gerik hal itu.
Sang kekasih menyadari betapa bodoh dia, masih saja hadirkan bayang-bayang sosok
lain di pelupuk matanya. Bila dia terdiam, hanya mampu menjawab tak semestinya pada dia.
Dia pun berusaha percayai, karena dialah kekasihnya.
“Kau baik-baik saja sayang?” tanya Syauqi. Yang di tanya langsung terperanjat dari
lamunannya, dan dia menjawab,
“Iya… begitulah sayang…” jawab Habibah.
Habibah, Sang kekasih Syauqi. Seorang yang sedang merasa bersalah karena telah sakiti
Syauqi tanpa sepengetahuannya. Dia menatap ke kejauhan, sambil menerka-nerka hal yang
terbaik untuk Syauqi.
Perlahan, Syauqi memeluknya dari belakang. Mulai dirasakan lah kehangatan Syauqi di
dekatnya. Dia pejamkan kedua matanya sembari menangis dalam hati. Kehangatan dekapan Syauqi, tak dia larang sedikitpun. Dia biarkan keduanya berada dalam diamnya kehangatan sunyi.
“Sayang, aku ingin kau tahu sesuatu…” tiba-tiba Habibah berkata.
“Apa itu?” jawab Syauqi.
Habibah pun berbalik badan, hingga terlepas lah dekapan Syauqi padanya. Sembari menundukkan pandangannya, dia pun berkata. “Aku kemarin bertemu dengan seseorang…”
Mendengarnya, langsung berubah lah raut wajah Syauqi.
“Siapa dia?”
“Rifqi… dia temanku,”
“Dan kamu menemuinya?”
“Aku tak enak bila tak temui nya, dia telah datang jauh-jauh…”
“Dia datang sendiri apa kamu yang meminta dia untuk datang?”
“Dia datang sendiri sayang… tak apa kan?”
Syauqi terdiam mendengar pertanyaan itu. Sebelum Habibah bercerita saja, dia sudah
menyangkakan bahwa dia akan di buat cemburu. Hatinya seketika terbakar api cemburu.
Sebagai seorang kekasih. Dia tak pernah tahu apa yang di lakukan kekasihnya di kala jauh.
Bisa saja dia di bohongi, meski dia tetap saja berusaha percaya.
“Aku hanya hargai kedatangannya. Itu saja. Tak lebih…” tambah Habibah.
Syauqi masih terdiam. Dia perlihatkan bahwa dia cemburu. Dia telah berpikir jauh.
Meski dia tetap berusaha tenangkan hati.
“Cemburu? Jangan cemburu ya?” pinta Habibah akhirnya.
Namun segala terkaan dari keegoisannya pun segera di buangnya setelah mendengar
permintaan Sang kekasih. Dia langsung raih jemari Habibah dan menciuminya.
“Aku tak cemburu sayang… aku tak apa. Selagi bukan kamu yang memintanya untuk
mendatangimu… aku mengerti… kamu memang benar, bila tak kau hargai kedatangannya,
tak akan baik untukmu…” jawab Syauqi akhirnya.
Habibah tersenyum, “Terima kasih… kau telah percaya padaku sayang…” ucapnya.
Syauqi pun langsung memeluk Habibah. Begitu erat. Seolah tak ingin kehilangan Habibah. Habibah tercengang. Dia begitu merasa semakin bersalah.
...****************...
Sesampainya di rumah seusai berkencan dengan Syauqi, langsung di hempaskannya lah
tubuh itu di atas peristirahatannya. Hatinya menangis. Meski tak ada setetes air mata pun yang keluar. Dia raih kertas bekas tadi malam dia menuliskan tentang Rifqi. Dia baca kembali,
𝙲𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚊𝚝𝚔𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚍𝚊 𝚍𝚒 𝚍𝚞𝚗𝚒𝚊 𝚒𝚗𝚒. 𝙲𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚊𝚝𝚔𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚐𝚞𝚖𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚜𝚎𝚖𝚋𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚍𝚞𝚗𝚒𝚊.
𝙲𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚊𝚝𝚔𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚎𝚝𝚊𝚑𝚞𝚒 𝚜𝚎𝚛𝚙𝚒𝚑𝚊𝚗-𝚜𝚎𝚛𝚙𝚒𝚑𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚋𝚒𝚜𝚒𝚔-𝚋𝚒𝚜𝚒𝚔 𝚑𝚊𝚝𝚒. 𝙳𝚊𝚗 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚊𝚝𝚔𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚕𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚑 𝚒𝚗𝚒
𝙰𝚔𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚎𝚗𝚊𝚕𝚖𝚞, 𝚔𝚊𝚞 𝚙𝚎𝚛𝚜𝚎𝚖𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚒𝚝𝚞 𝚙𝚊𝚍𝚊𝚔𝚞. 𝙰𝚔𝚞 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞
𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚔𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊. 𝙱𝚎𝚝𝚊𝚙𝚊 𝚋𝚎𝚜𝚊𝚛 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗𝚖𝚞 𝚙𝚊𝚍𝚊𝚔𝚞. 𝙺𝚊𝚛𝚎𝚗𝚊 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊, 𝚔𝚊𝚞 𝚖𝚊𝚞 𝚙𝚊𝚑𝚊𝚖𝚒 𝚊𝚔𝚞,
𝚔𝚊𝚞 𝚖𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚛 𝚜𝚎𝚔𝚒𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚕𝚞𝚑𝚊𝚗𝚔𝚞, 𝚔𝚊𝚞 𝚖𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚐𝚊𝚔𝚞. 𝙽𝚊𝚖𝚞𝚗, 𝚔𝚒𝚗𝚒 𝚋𝚊𝚛𝚞 𝚊𝚔𝚞 𝚜𝚊𝚍𝚊𝚛𝚒, 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚒𝚞𝚜 𝚔𝚞 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚑𝚊𝚖𝚒 𝚊𝚙𝚊 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚒𝚝𝚞 𝚜𝚎𝚗𝚍𝚒𝚛𝚒. 𝙰𝚔𝚞 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊𝚒𝚖𝚞, 𝚊𝚔𝚞
𝚑𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚞𝚔𝚊𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐𝚒𝚖𝚞.
𝙱𝚎𝚐𝚒𝚝𝚞 𝚙𝚞𝚕𝚊 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚊𝚝 𝚑𝚊𝚝𝚒 𝚒𝚗𝚒 𝚋𝚎𝚛𝚐𝚎𝚝𝚊𝚛, 𝚋𝚎𝚛𝚑𝚎𝚗𝚝𝚒 𝚜𝚎𝚓𝚎𝚗𝚊𝚔, 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚔𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚕𝚊𝚐𝚒 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚊𝚝𝚊-𝚔𝚊𝚝𝚊
𝙰𝚔𝚞 𝚑𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚞𝚔𝚊𝚒𝚗𝚢𝚊, 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚐𝚞𝚖𝚒 𝚔𝚎𝚝𝚊𝚖𝚙𝚊𝚗𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊, 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚞𝚔𝚊𝚒 𝚜𝚎𝚗𝚢𝚞𝚖𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚗𝚒𝚜𝚗𝚢𝚊.
𝙰𝚔𝚞 𝚜𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚜𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚗𝚊𝚏𝚊𝚜 𝚋𝚎𝚋𝚊𝚜, 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚍𝚒𝚊 𝚙𝚎𝚐𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗𝚔𝚞, 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚒𝚑𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚊𝚝𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚓𝚎𝚖𝚊𝚛𝚒𝚔𝚞 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚓𝚎𝚖𝚊𝚛𝚒𝚗𝚢𝚊. 𝙼𝚎𝚖𝚎𝚐𝚊𝚗𝚐 𝚎𝚛𝚊𝚝, 𝚝𝚊𝚗𝚙𝚊 𝚊𝚍𝚊 𝚔𝚎𝚖𝚊𝚞𝚊𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚙𝚊𝚜𝚗𝚢𝚊. 𝙺𝚊𝚞 𝚋𝚞𝚊𝚝𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚊𝚝𝚊-𝚔𝚊𝚝𝚊. 𝙰𝚔𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚒𝚞𝚜 𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚙𝚊𝚗𝚊𝚑-𝚙𝚊𝚗𝚊𝚑 𝚍𝚊𝚛𝚒𝚖𝚞.
𝙰𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚢𝚊𝚔𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚔𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚓𝚞𝚐𝚊, 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚝𝚊𝚝𝚊𝚙𝚊𝚗𝚖𝚞 𝚊𝚔𝚞 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊 𝚑𝚊𝚝𝚒𝚖𝚞, 𝚋𝚊𝚑𝚠𝚊 𝚔𝚊𝚞 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚒𝚞𝚜 𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚔𝚎𝚊𝚍𝚊𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞.
𝙺𝚎𝚊𝚍𝚊𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚊𝚞 𝚌𝚒𝚙𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚗𝚍𝚒𝚛𝚒𝚗𝚢𝚊. 𝙿𝚎𝚗𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚝𝚊𝚔 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚊 𝚑𝚊𝚋𝚒𝚜𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚕𝚒𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚑𝚊𝚕 𝚒𝚝𝚞.
𝙳𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗𝚖𝚞 𝚊𝚔𝚞 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚒 𝚖𝚒𝚖𝚙𝚒 𝚉𝚒𝚗𝚔𝚎 𝚍𝚊𝚗 𝚄𝚣𝚊𝚒𝚛 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚗𝚘𝚟𝚎𝚕 𝚋𝚞𝚊𝚝𝚊𝚗𝚔𝚞 𝚒𝚝𝚞. 𝙺𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚊𝚗𝚐𝚐𝚞𝚙𝚒 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊𝚗𝚢𝚊, 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚑𝚊𝚗𝚖𝚞. 𝙺𝚊𝚞 𝚛𝚊𝚜𝚞𝚔𝚒 𝚝𝚊𝚝𝚊𝚙𝚊𝚗𝚔𝚞 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚝𝚊𝚙𝚊𝚗 𝚕𝚎𝚖𝚋𝚞𝚝𝚖𝚞, 𝚊𝚔𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚌𝚘𝚋𝚊 𝚙𝚊𝚑𝚊𝚖𝚒𝚖𝚞. 𝙼𝚎𝚖𝚋𝚞𝚊𝚝𝚔𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚗𝚊𝚏𝚊𝚜 𝚜𝚎𝚜𝚎𝚗𝚐𝚊𝚕.
𝚃𝚊𝚔 𝚊𝚍𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚑𝚊𝚖𝚒𝚔𝚞 𝚕𝚎𝚋𝚒𝚑 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖, 𝚑𝚊𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚕𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐. 𝙺𝚊𝚞 𝚙𝚞𝚗 𝚝𝚊𝚑𝚞 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚒𝚝𝚞 𝙰𝚔𝚞 𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚜𝚎𝚔𝚊𝚕𝚒 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚒𝚔𝚒 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚛𝚝𝚒𝚖𝚞, 𝚗𝚊𝚖𝚞𝚗 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚝𝚞𝚛𝚞𝚝𝚒 𝚑𝚊𝚕 𝚒𝚝𝚞. 𝙳𝚒𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚊𝚕𝚞 𝚜𝚒𝚋𝚞𝚔 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚔𝚎𝚛𝚓𝚊𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊, 𝚍𝚒𝚊 𝚕𝚎𝚋𝚒𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚑𝚊𝚗𝚔𝚊𝚗 𝚑𝚊𝚕 𝚒𝚝𝚞 𝚕𝚊𝚢𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊, 𝚍𝚊𝚛𝚒𝚙𝚊𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚑𝚊𝚗𝚔𝚊𝚗 𝚑𝚊𝚝𝚒𝚔𝚞 𝚊𝚐𝚊𝚛 𝚝𝚊𝚔 𝚔𝚎 𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚑𝚊𝚝𝚒. 𝚆𝚊𝚑𝚊𝚒 𝚔𝚊𝚞, 𝚍𝚒𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚛𝚒𝚖𝚞… 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚎𝚛𝚝𝚒𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚒𝚜𝚒𝚔-𝚋𝚒𝚜𝚒𝚔 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚍𝚎𝚛𝚞 𝚗𝚊𝚏𝚊𝚜𝚔𝚞, 𝚋𝚊𝚑𝚠𝚊 𝚊𝚔𝚞 𝚜𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚖𝚙𝚎𝚛𝚜𝚎𝚖𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊𝚔𝚞 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝚑𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚗𝚝𝚞𝚗𝚐 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐-𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚔𝚕𝚞𝚔𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚎𝚌𝚞𝚊𝚕𝚒 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚗𝚒𝚊𝚝 𝚜𝚎𝚍𝚒𝚔𝚒𝚝𝚙𝚞𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊𝚒𝚔𝚞.
𝙸𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚔𝚞 𝚝𝚞𝚕𝚒𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚕𝚎𝚋𝚒𝚑 𝚋𝚊𝚗𝚢𝚊𝚔 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚑𝚊𝚕 𝚒𝚗𝚒, 𝚗𝚊𝚖𝚞𝚗 𝚜𝚎𝚓𝚊𝚝𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚊𝚔𝚞 𝚙𝚊𝚜𝚝𝚒 𝚝𝚊𝚔 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚖𝚎𝚜𝚔𝚒 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚔𝚞 𝚌𝚘𝚋𝚊. 𝙺𝚊𝚛𝚎𝚗𝚊 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚊𝚞 𝚋𝚞𝚊𝚝 𝚋𝚒𝚖𝚋𝚊𝚗𝚐, 𝚛𝚒𝚜𝚊𝚞 𝚕𝚊𝚑 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚊𝚍𝚊, 𝚜𝚎𝚗𝚢𝚞𝚖𝚊𝚗 𝚙𝚞𝚗 𝚜𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚙𝚞𝚍𝚊𝚛 𝚔𝚊𝚛𝚎𝚗𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚒𝚞𝚜 𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚑𝚊𝚛𝚊𝚙𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞. 𝙰𝚙𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜 𝚔𝚞𝚕𝚊𝚔𝚞𝚔𝚊𝚗? 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚊𝚔𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚒𝚔𝚊𝚙𝚒? 𝙰𝚔𝚞 𝚋𝚞𝚝𝚞𝚑 𝚋𝚊𝚗𝚝𝚞𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚜𝚎𝚝𝚒𝚊𝚙 𝚓𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚒𝚔𝚒 𝚑𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗… 𝙷𝚎𝚕𝚙 𝚖𝚎…
Habibah meremas kertas itu sehingga membentuk bulatan, bukan lagi kertas yang rapi.
Dia buang jauh-jauh tulisan itu ke kejauhan. Lalu dia kembali lagi ketempat semula dan
meraih kertas yang masih belum ternodai tinta sedikitpun. Perlahan dia ungkapkan isi
hatinya, di tengah-tengah rasa kantuknya yang mulai mendatangi.
𝙲𝚒𝚗𝚝𝚊, 𝚜𝚎𝚘𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚎𝚜𝚊𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚑𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗𝚔𝚞… 𝚔𝚊𝚞 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑𝚔𝚞, 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚙𝚎𝚛𝚗𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚗𝚒𝚊𝚝 𝚊𝚙𝚊𝚕𝚊𝚐𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗𝚔𝚊𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚔𝚑𝚒𝚊𝚗𝚊𝚝𝚒𝚖𝚞, 𝚊𝚔𝚞 𝚜𝚊𝚔𝚒𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚛 𝚔𝚊𝚝𝚊-𝚔𝚊𝚝𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚛𝚝𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚘𝚕𝚊𝚑-𝚘𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚊𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚊𝚔𝚊𝚛 𝚌𝚎𝚖𝚋𝚞𝚛𝚞… 𝙰𝚔𝚞 𝚋𝚎𝚗𝚊𝚛-𝚋𝚎𝚗𝚊𝚛 𝚝𝚊𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚖𝚊𝚔𝚜𝚞𝚍.
𝚆𝚊𝚑𝚊𝚒 𝚝𝚎𝚖𝚊𝚗, 𝚋𝚎𝚗𝚊𝚛 𝚔𝚊𝚞 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚒𝚞𝚜𝚔𝚞 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚐𝚊𝚕𝚊 𝚔𝚎𝚕𝚎𝚋𝚒𝚑𝚊𝚗𝚖𝚞 𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚙𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚊𝚞 𝚕𝚊𝚔𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚊𝚍𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊, 𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚞𝚕𝚒𝚝 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚔𝚞 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚔𝚊𝚗… 𝙽𝚊𝚖𝚞𝚗 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚔𝚊𝚗𝚔𝚞 𝚓𝚞𝚐𝚊… 𝙷𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚞 𝚖𝚊𝚖𝚙𝚞 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚔𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊…
𝙷𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚙𝚎𝚕𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚜𝚊𝚐𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚗𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗 𝚑𝚊𝚝𝚒𝚔𝚞, 𝚙𝚎𝚗𝚓𝚊𝚐𝚊𝚊𝚗𝚖𝚞 𝚒𝚝𝚞 𝚜𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚗𝚝𝚛𝚊𝚖𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗𝚔𝚞, 𝚊𝚔𝚞 𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐𝚒𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚎𝚕𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚑𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝𝚖𝚞, 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚔𝚞 𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚠𝚊𝚗𝚐𝚒 𝚝𝚞𝚋𝚞𝚑𝚖𝚞 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚞𝚜 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚔𝚊𝚝 𝚍𝚒 𝚙𝚎𝚗𝚌𝚒𝚞𝚖𝚊𝚗𝚔𝚞. 𝙺𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚕𝚊𝚙𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊 𝚝𝚊𝚝𝚊𝚙𝚊𝚗𝚔𝚞, 𝚜𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚗𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗… 𝚔𝚎𝚑𝚊𝚍𝚒𝚛𝚊𝚗𝚖𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚍𝚊𝚙𝚊𝚝 𝚔𝚞𝚕𝚞𝚙𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚌𝚎𝚙𝚊𝚝 𝚔𝚒𝚕𝚊𝚝 𝚍𝚒 𝚊𝚠𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚞𝚛𝚔𝚊, 𝚊𝚔𝚞 𝚜𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚛𝚐𝚊𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚐𝚊𝚕𝚊 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚗𝚐𝚐𝚞𝚙𝚊𝚗𝚖𝚞, 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚓𝚊𝚗𝚓𝚒 𝚙𝚎𝚗𝚓𝚊𝚐𝚊𝚊𝚗𝚖𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚔𝚞, 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝𝚔𝚊𝚗𝚔𝚞…
Habibah pun terlelap…
Pena masih di genggaman, hingga tulisan di akhir-akhir pun tak serapi awal dia
menuliskannya. Dia terlalu lelah dengan semuanya.
Keesokan harinya, di pagi buta dia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar komplek
rumahnya, seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah, dia selau menyibukkan diri. Entah itu
mandi atau berlama-lama di depan cermin. Namun pagi itu dia ingin berjalan-jalan saja.
Dia pandangi sekitar kanan-kirinya yang baginya telah cukup menghibur hatinya dari
sisa-sisa perasaan bersalahnya pada sang Syauqi. Dia sesekali tersenyum bila saat burungburung beterbangan sesukanya tepat di depan tatapan kedua matanya.
Namun, perlahan senyuman itu pun memudar, saat melintas di depannya segerombolan
lelaki yang dimana salah satu sedang menatap lekat padanya. Keduanya sama-sama tak
sengaja bertatapan. Dan setelah berlalu, salah satu dari segerombolan itu pun tak lagi
menatapnya.
Seketika itu sangat jelas tergambar di raut wajah Habibah dia sangat terpukul. Meski hal
itu hanya sebuah tatapan sejenak. Karena seketika itu melintaslah ingatan masa lalunya
bersama lelaki itu.
“Subhanallah Neng… calon istri sholeha… semoga Neng jadi istriku… hehe”
“Iya, aku jujur mulai memiliki perasaan pada Neng, meski aku sendiri tak tahu apa itu”
“Neng sayang…”
Tiba-tiba semua kata-kata itu terngiang begitu saja di pendengarannya. Dia pun segera
membuangnya jauh-jauh. Namun tetap tak mampu…
Semakin dia berusaha lupakan, yang ada bayang-bayang itu semakin hadir. Dia berusaha
tenangkan diri. Dia segera kembali ke rumah dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
...****************...
“Akang sebagai seorang pemimpin, sudah seharusnya memberikan contoh yang baik…
aku ingin akang adzan di masjid. Meski aku tak selalu dekat, aku mampu merasakannya…”
“Iya Neng…”
“Janji?”
“InsyaAllah… nanti aku akan adzan sesuai permintaan Neng…”
“Neng kenapa? Jangan menangis Neng… sudahlah Neng… ada aku disini Neng…”
“Setiap sesudah Shubuh, aku selalu berdo’a tentang Neng…”
Bayang-bayangmu tak kunjung pupus dari kedua pelupuk mata. Kau buatku gila bila
terus saja hantui ku dengan bayanganmu. Kau berjalan kesana-kemari, seolah sengaja ingin
ku lihat, kau lantang kan suaramu, seolah sengaja ingin ku dengar. Kau lewati jalan yang
ku lewati, seolah sengaja ingn berpapasan denganku. Senyummu yang dulu ku dengar, tak mampu ku dengar kembali, tersimpan jauh dari lubuk hatimu. Gerak-gerikmu yang
mengagumkan, berat bila di depanku. Tundukan dari pandanganku hanya mampu
membuatku menerka-nerka. Itulah yang kini kulakukan, menerka-nerka apakah kamu juga
merasakan perasaan yang tersembunyi ini?
Hanya bayang-bayang kekasihku saja yang mampu ku lupakan, bukan kau! Bodoh! Kau
selalu menyulitkan hati dan perasaanku!
Tiba-tiba satu sentuhan di pundaknya mengejutkannya. Dia pun segera menyudahi
tulisan dan langsung menyimpannya. Dia menoleh ke belakang,
“Syahdu?!” pekiknya “Ku kira siapa…”
Syahdu pun duduk tepat di sampingnya, “Kamu dari tadi diam saja… kamu kenapa? Apa
yang baru saja kamu tulis? Lagi kasmaran?” tanya Syahdu.
Habibah tersenyum, “Kasmaran kok baru kali ini… pacaran udah lama kok…”
“Lalu apa tadi itu?”
“Biasa…”
“Ahmad?” tebak Syahdu.
Habibah mengangguk. Dia sudah yakin Syahdu pasti tahu. Karena hanya Syahdu sahabat
dan sekaligus tempat curhatnya yang kedua setelah alat tulisnya.
“Aku tadi bertatapan tak sengaja dengan dia. Aku benci dengan semua ini Syahdu!
Kapan dia bisa mengerti perasaanku? Aku juga tak sanggup berdua dengan Syauqi padahal
ingatanku hanya pada Ahmad…” curhat Habibah.
Syahdu sentuh pundak Habibah dan menenangkan sahabatnya, “Tenanglah wahai
sahabat… Rahasia Allah tak ada yang tahu, kita hanya bisa berikhtiar…”
“Kau benar Syahdu… Do’aku memang selalu dikabulkan… namun takdir bukan dengan
Ahmad… dengan Syauqi yang ada…”
“Mungkin memang Syauqi yang baik untukmu…”
“Amiin… semoga saja dia baik untukku…”
Tak berapa lama kemudian pelajaran pun dimulai.
...****************...
Seusai jam pelajaran di sekolah, Habibah pulang dengan begitu telah ditemani dengan Syahdu. Dan di tengah perjalanan itu, dia pun langsung memalingkan muka dari arah jalan.
“Kenapa?” tanya Syahdu.
Dengan gagap dan menunjuk ke arah motor yang baru saja melintas di depan mereka,
Habibah berkata.
“Yang baru saja lewat, orang yang membonceng itu… dia Ahmad, Du…”
“Mana-mana?” antusias Syahdu melihatnya ke kejauhan.
“Hah! Sudah jauh Du, telat kamu!”
“Abisnya kamu juga gak bilang padaku…”
“Lah, siapa juga yang tahu bila dia akan lewat depan kita?!” sela Habibah.
“Iya juga sih,” Syahdu menyadari.
“Andai saja dia milikku Ya Allah…”
“Sudah-sudah!” Syahdu menyudahi.
Sesampainya Syahdu di rumahnya, Habibah pun berjalan sendirian. Dan setelah sampai,
Habibah langsung melihat ponselnya. Terdapat pesan belum terbaca di sana dari Sang kekasih.
“Udah pulang?”
Tanya Syauqi di telpon. Setelah Habibah membalas, dia langsung telpon kekasihnya.
“He’em sudah…”
“Yauda langsung istirahat ya sayang…”
“He’em…”
“Sudah makan belum tadi?”
“Belum…”
“Sayang…”
“Hem…”
“Boleh aku datang?”
“Iya deh, tapi jangan lupa bawa makanan.”
“Sekarang buka saja tabir jendela kamarmu.”
Dan saat Habibah melakukan apa yang Syauqi ucapkan di telpon, seketika itu dia terkejut. Syauqi telah berada tepat di depan rumahnya duduk di atas motornya sembari tersenyum padanya. Telpon pun Syauqi tutup. Sedangkan Habibah segera membukakan pintu untuk Syauqi.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…” jawab Habibah sembari tersenyum pula pada Syauqi.
“Kenapa gak bilang dulu…”
“Kan udah bilang,”
“Iya maksudku kalau sayang udah ada di depan rumah…”
“Ya kan surprise!”
“Ah ada-ada aja!”
Habibah pun mempersilahkan Syauqi masuk. Lalu mereka pun makan bersama dengan
makanan yang di bawa oleh Syauqi.
“Sayang,” panggil Syauqi.
“Hem?”
“Nyisakan siapa tuh?”
“Apa?” Habibah tak mengerti.
Lalu Syauqi mendekatkan wajahnya, seketika berdegup kencang lah Habibah. Namun,
Syauqi tahu. Dia tak ingin lama-lama membuat kedua hati berdegup kencang terlalu lama.
Jemari pun dengan lembut mengusap dekat bibir Habibah yang menyisakan sebutir nasi di
sana dan cepat-cepat dia kembali berposisi seperti semula.
Dan saat itu juga, seolah langsung berdesir lah segalanya, darah yang awalnya seolah
berhenti, kembali mengalir deras. Begitu pun yang di rasakan Syauqi. Namun, dia kini malah
tersenyum-senyum.
“Ada apa sayang?”
“Gak tahu!” ketus Habibah menjawab.
“Maaf ya sayang…”
Habibah tak menjawab.
“Miss you..” ucap Syauqi tiba-tiba. Dan seketika langsung memerah lah kedua pipi Habibah.
“Ah sudahlah! Habiskan makanannya…”
“Suapin donk… aa..” goda Syauqi.
Langsung melayang lah pukulan manja Habibah pada lengan Syauqi. Syauqi hanya menyisakan tawanya.
Seusai keduanya makan. Keduanya hanya duduk-duduk di ruang tamu rumah Habibah
itu. Sambil sedikit merenggangkan cara duduk keduanya. Sama-sama kenyang, ya seperti
itulah yang terjadi pada dua orang sepasang kekasih itu.
“Sayang, aku boleh tanya?” pinta Syauqi. Di tengah-tengah kediaman keduanya.
“He’em… silahkan,”
“Em… kamu kok bisa tinggal seorang diri sayang?”
“Aku di suruh ortu tinggal di sini, sewaktu-waktu beliau-beliau akan datang menjengukku. Aku sengaja di bangunkan rumah biar gak ngekos…” jawab Habibah.
“Memangnya sayang gak tahu?” kini Habibah yang tanya.
“Belum tahu,”
“Kenapa gak tanya dari kemarin-kemarin?”
“Aku juga gak memikirkan itu, aku terlalu terbius oleh senyummu di setiap aku berada di
dekatmu… aku terlalu terhangat kan oleh pelukanmu bila saat aku memelukmu… aku terlalu di pikun kan oleh ketentraman hati setiap melihat adem kedua tatapan matamu sayang…”
Syauqi mulai mengeluarkan jurus-jurus rayuannya.
Habibah tahu itu kebiasaan Syauqi, dia pun tersenyum dengan sesungging, lalu membalasnya,
“Aku tak pedulikan semua itu, aku hanya butuhkan kesadaran mu bahwa diriku ada…
bukan seolah tiada…bahwa diriku hidup…bukan seolah mati…yang butuhkan pertanyaan,
agar tak ada kesesatan karena tak ada satu pun jawaban dari pertanyaan tak terungkap dari
dirimu sayang…”
Tiba-tiba getar ponsel membuyarkan segala kata-kata bujuk rayu kedua insan yang pandai berpuitis itu. Syauqi langsung melihat layar ponselnya.
“Siapa?” tanya Habibah, dia merasa terganggu.
“Kawanku sayang…”
“Apa katanya…”
“Aku di ajak main,”
“Kemana?”
“Tak tahu… kan Cuma rencana sayang…”
“Yauda sayang pulang saja. Penuhi sama kawannya itu…”
“Gak mau ah!” lalu Syauqi memainkan ponsel dengan lincah, tanpa Habibah sadari apa
yang di lakukan Syauqi, Syauqi menelpon temannya yang di maksud itu.
“Hallo,” dan Habibah sedikit mendengar percakapan kekasihnya.
“Aku sedang dengan nyonya… maaf aku tak bisa gabung…”
Beberapa menit kemudian Syauqi menyudahi telponnya. Habibah menyorakkan kegembiraan dalam hatinya. Namun dia begitu pandai menyimpan perasaannya. Keduanya
pun dengan di isi percakapan yang masing-masing belum di ketahui.
...****************...
Barang-barang sibuk tuk di kemas ke dalam tas besarnya. Persiapan dengan rasa sedikit
tergesa, itu yang selalu di rasakan setiap waktu-waktu akan pulang ke kampung halaman, sedikit tak dia sukai pula hal itu.
Dia raih ponselnya yang ada di kantong roknya. Dia sesegera mungkin untuk hubungi
kekasihnya, tuk ketahui bagaimana kepastiannya, apakah dia akan di antar Syauqi sampai
stasiun atau dia biarkan saja berangkat sendiri.
“Hallo, assalamu’alaikum… sudah siap-siap?”
Habibah langsung bertanya, saat ada telpon dari Syauqi setelah dia kirim satu pesan padanya.
“Wa’alaikumsalam, sudah kok sayang…”
“Sudah mandi juga berarti?” sedikit ragu Habibah menanyakannya, dia tahu Syauqi seperti bagaimana kebiasaannya.
“He’em… dingin sayang…”
“Pakai jaket, ya sudah aku tunggu ya…”
“Iya… oh iya sayang, gak keberatan kan kita jalan-jalan dulu?”
“Iya sayang, terserah! Selagi aku masih ada di sini…”
“Makasih sayang…”
Setelah di tutup telpon keduanya, Habibah langsung berganti pakaian. Sekitar lima belas
menit dia menunggu kedatangan Syauqi, tak lama kemudian, datanglah dia.
“Bagaimana pakaianku?” tanya Habibah, menunjukkan pakaian yang di pakainya. Gamis
berwarna hijau dan bermotif putih itu baru di pakainya. Sengaja dia pakai bila hendak
berpulang ke kampung halamannya.
Syauqi yang melihatnya sembari tersenyum-senyum kagum dengan perbedaan
penampilan Habibah saat itu yang terkesan berbeda.
“Tampak anggun, sayang…” ucap Syauqi.
Habibah pun tersenyum, terlihat jelas kabut dingin di pagi buta itu langsung terhangatkan
oleh senyuman yang memerah di pipinya.
“Yang benar?”
“Iya… beneran!”
Lagi-lagi bila tersipu langsung melayang lah pukulan manja Habibah di lengan Syauqi.
Dan Syauqi pun hanya menyisakan senyuman.
“Ya sudah ayo berangkat!” seru Habibah, lalu dia membonceng pada Syauqi.
Motor pun melaju kencang meninggalkan rumah yang Habibah tempati. Tak lupa dia kunci rumah itu. Namun satu hal terlupa. Awalnya Syauqi sebenarnya ingin menanyakan hal itu, namun dia lebih terbius oleh kegembiraan yang terpancar dari wajah manis kekasihnya, sehingga dibatalkan lah niatan itu. Dan Habibah sejak saat itu seolah menjadi orang pikun.
Sesampainya di depan stasiun, motor pun menghentikan lajunya. Syauqi mulai bingung.
Hendak dia bawa jalan-jalan kemanakah Sang kekasih tercintanya? Dia masih berhenti.
Habibah yang tak terlalu betah berada di atas motor yang tak berlaju pun, akhirnya bertanya
juga.
“Kenapa sayang?”
“Gak papa… hanya bingung saja… mau kemana kita? Stasiun masih sepi… kalau ke rumah makan pun di pagi buta seperti ini belum ada yang buka… bagaimana?”
Terlihatlah Habibah juga berpikir akan hal itu setelah mendengar penjelasan kekasihnya.
Dia mengangguk-angguk paham. Namun tak berapa lama kemudian, dia pun mengusulkan,
“Kita di ruang tunggu stasiun sajalah…” ucapnya.
“Hem…” Syauqi pun tampak berpikir, dia menatap ke kejauhan, sedikit memicingkan kedua tatapannya. Kemudian dia mengangguk,
“Iyalah… ayo!” dia menyetujui akhirnya. Motor pun kemudian Syauqi parkir kan. Berdua
akhirnya memilih bukan jalan-jalan, namun duduk-duduk di kursi tunggu yang ada di dalam stasiun.
Lama berbincang-bincang berdua, namun tiba-tiba teringat lah Habibah pada hal yang
terlupakan.
“Astaghfirulloh!” pekik Habibah akhirnya saat mendengar ucapan Syauqi yang membuatnya teringat sesuatu.
“Kenapa sayang?” Syauqi terheran.
“Aku lupa! Aku belum pamitan dengan Syahdu, ya Allah… astaghfirulloh…” berkalikali dia sesali.
“Iya sayang, tadinya aku mau ingatkan hal itu, namun sepertinya tadi memang kamu terlalu senang, jadi aku mengurungkan niatku untuk bertanya,”
“Aduh… benarkah?” Habibah tetaplah merasa bersalah. Dengan segera, dia raih ponselnya dan mengirimkan pesan singkat pada Syahdu.
𝙰𝚍𝚞𝚑 𝚂𝚢𝚊𝚑𝚍𝚞 𝚚𝚞 𝚜𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐… 𝚖𝚊𝚊𝚏 𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚚… 𝚊𝚚 𝚕𝚞𝚙𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚙𝚊𝚖𝚒𝚝 𝚙𝚊𝚍𝚊𝚖𝚞 𝚝𝚍.
𝙰𝚚 𝚋𝚎𝚗𝚎𝚛2 𝚕𝚞𝚙𝚊… 𝚊𝚚 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚎𝚜𝚊𝚕 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚞𝚛𝚞2. 𝚃𝚙 𝚊𝚚 𝚞𝚍𝚑 𝚍 𝚜𝚝𝚊𝚜𝚒𝚞𝚗.. 𝚖𝚊𝚊𝚏
Dengan sangat menyesal, dia kirim satu pesan itu. Sedangkan Habibah masih tetap saja gelisah. Tak biasanya dia seperti itu. Syahdu selalu menjadi orang pertama yang dia pamiti di setiap dia hendak berjauhan dengan sahabatnya itu. Dia tetaplah bingung meski telah kirimkan sebuah pesan permintaan maaf. Tak berapa lama ada balasan dari Syahdu.
𝚃𝚊𝚞𝚔𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚊𝚑! 𝙿𝚘𝚔𝚘𝚔𝚗𝚢𝚊𝚊 𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜 𝚙𝚊𝚖𝚒𝚝 𝚍𝚞𝚕𝚞 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝚚!
Langsung cemas lah, sekujur tubuhnya pun langsung tak tenang. Habibah tunjukkan
pesannya pada Syauqi, berharap akan ada saran dari Syauqi bagaimana lebih baiknya balasan
Habibah pada pesan Syahdu yang seperti itu.
“Coba kamu suruh saja Syahdu untuk datang ke sini sayang… dari pada kamu bingung begitu. Bila dia tak mau apa boleh buat.”
“Kamu tak mau antarkan ku sayang?”
Syauqi menggeleng. Habibah tak enak rasa untuk mengulang pertanyaannya. Dia tahu
kekasihnya telah rela mengantarkan hanya demi dirinya, meskipun dalam keadaan masih
lelah datang dari bekerja langsung mengantarnya. Tak dia pikir panjang-panjang kembali, dia langsung ikuti saja saran dari Syauqi.
𝚂𝚢𝚊𝚑𝚍𝚞 𝚖𝚊𝚊𝚏𝚔𝚗 𝚊𝚚… 𝚋𝚎𝚐𝚒𝚗𝚒 𝚜𝚊𝚓𝚊, 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚎𝚗𝚊𝚔 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚊𝚚 𝚖𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚂𝚢𝚊𝚞𝚚𝚒 𝚞/ 𝚖𝚗𝚐𝚗𝚝𝚊𝚛 𝚚𝚞 𝚔𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒 𝚕𝚐 & 𝚖𝚘𝚗𝚍𝚊𝚛 𝚖𝚊𝚗𝚍𝚒𝚛… 𝚔𝚖 𝚍𝚊𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚢𝚊 𝚔𝚎𝚜𝚒𝚗𝚒 𝚂𝚢𝚊𝚑𝚍𝚞…
𝚊𝚚 𝚖𝚘𝚑𝚘𝚗… 𝚊𝚚 𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚝𝚎𝚖𝚞 𝚍𝚐𝚗 𝚖𝚞 𝚞/ 𝚢𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛 𝚔𝚊𝚕𝚒 𝚜𝚋𝚕𝚞𝚖 𝚞𝚜𝚊𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚕𝚒𝚋𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚒𝚗𝚒…
Meski cemas tetap mengerubung. Setidaknya hati telah sedikit tenang dengan saran dari
Syauqi. Namun, dia tetap berharap ada balasan meski kenyataan belum ada. Lama, dan
sedikit lama Habibah harapkan balasan dari Syahdu. Beberapa detik kemudian,
𝙷𝚊𝚋𝚒𝚋𝚊𝚑, 𝚓𝚎𝚖𝚙𝚞𝚝 𝚊𝚚 𝚍 𝚙𝚒𝚗𝚝𝚞 𝚐𝚎𝚛𝚋𝚊𝚗𝚐… 𝚊𝚚 𝚖𝚊𝚕𝚞 𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔 𝚜𝚗𝚍𝚒𝚛𝚒…
Terkejut lah bukan kepalang dia baca pesan dari Syahdu saat itu juga. Langsung terperanjatlah dia dari duduknya, hingga Syauqi pun langsung bertanya,
“Kenapa sayang?”
Dengan perasaan yang tak dapat lagi di ungkapkan seperti apa bahagianya dia dapati
pesan dari Syahdu, dia hanya mampu menjawab tergagap.
“Dia… dia di depan sayang…”
“Syahdu?”
Habibah hanya mengangguk. Kegembiraan yang tak dapat terlukiskan, di raut wajahnya
menyampaikan hal itu.
“Ya sudah sih,”
“Tapi dia minta jemput,”
“Ya sudah jemput…” dengan santai Syauqi menjawab, karena dia tahu kekasihnya sangat bahagia. Dan Habibah pun tanpa basa-basi lagi dia langsung berjalan ke depan. Saat itu jugalah, perasaan berkecamuk, antara bahagia, haru, sayang, senang melihat kedatangan Syahdu. Hal itu semua tergambar dari sikap keduanya yang tiba-tiba saja terkesan dingin menghangatkan, bukan hangat mendinginkan!
“Syahdu sayang….” Langsung di peluklah Syahdu olehnya, “Aku tak menyangka, sungguh-sungguh tak menyangka kamu benar-benar datang…”
Sedangkan kegembiraan yang tergambar dari Syahdu berbeda, dia menghentak, “Ssst!
Sudah diamlah! Cium aku!” ucapnya.
Habibah pun ciumi pipi kanan kiri Syahdu. Lalu Syahdu melanjutkan kata-katanya, “Aku
pergi ini demi kamu! Tanpa izin ibuku, aku berangkat nekat tauk! Aku sayang sama kamu!”
“Aku jauh lebih menyayangimu Syahdu…” dan kembali dia peluk Syahdu. Kemudian berdua masuki ruang tunggu. Sambil berkata-kata lah Habibah tentang kekasihnya. Karena dia menyadari, baru saat itu jugalah Syahdu tahu wujud seorang kekasih Habibah, Syauqi.
“Dialah kekasihku, Syauqi…” bisik Habibah.
“Mana?” bisik Syahdu pula. Berdua hanya berani berbisik-bisik.
“Yang berjamper merah.”
Dari kejauhan Syauqi sendiri telah ketahui pasti, bahwa akan dikucilkan lah dia. Namun dia memang yang menyarankan, dia pun dengan lapang dada membiarkan kekasihnya
berbincang dengan selainnya, toh dia hanyalah sahabat.
Setelah berada di tengah-tengah antara Syauqi dan Syahdu, dan setelah Syahdu membisikkan sesuatu pada Habibah, dia pun langsung berkata pada Syauqi.
“Sayang dia ingin berkenalan…”
“Iya boleh….”
“Syahdu…” ucap Syahdu, memperkenalkan diri. Dia tatap sejenak Syauqi sembari
menganggukkan kepala sedikit, tanda perkenalannya, lalu dia kembali pada posisi semula.
Syauqi membalas perkenalan itu sebagaimana yang Syahdu lakukan, sembari berucap,
“Syauqi…”
Percakapan antara Syahdu dan Habibah pun terjadi, Habibah menjadi tetaplah serba salah. Meski dia telah di persilahkan oleh Syauqi untuk berbincang saja dengan sahabatnya.
Karena Syauqi tahu, pasti mereka akan sangat rindu nantinya pada Habibah, seperti apa yang
akan dirasakannya pula nantinya.
...****************...
“Peluk aku,” ucap Syahdu.
“Kan tadi udah?” jawab Habibah.
“Lagi! Untuk terakhir kali sebelum liburan berakhir.”
Habibah pun langsung memeluk sahabatnya. Seketika rasa sayang pun langsung menyelimuti, sekelebat bayang-bayang berkata, andai dia bisa memeluk Syauqi juga di depan semua orang.
Namun hal itu segera di buangnya. Dia hanya bisa cium tangan Syauqi dengan rasa tunduk padanya. Sembari berkata dalam hati, “Aku sangat menyayangimu sayang….” Dia tatap Syauqi, Syauqi pun begitu, dia tahu maksud tatapan Habibah. Dalam hati, Syauqi juga berkata, “I love you sayang… I love you
Habibah…” dan di depan Syahdu, Syauqi memberanikan diri mencium tangan Habibah.
Seketika bercampur aduk lah perasaan yang di rasakan Habibah. Syahdu tersenyum cemburu melihatnya. Dia juga sangat menyayangi Habibah. Setelah Syauqi lakukan hal itu, tepat saat Habibah hendak melangkah, dia panggil Habibah. Dan langsung saja dia peluk kembali sahabatnya.
“Hati-hati wahai sahabat… kamu bukan hanya sahabat, tapi kamu saudaraku… bukan hanya itu, tapi kamu kakakku…”
𝘛𝘶𝘶𝘶𝘵𝘵!! 𝘛𝘶𝘶𝘶𝘵𝘵!!!
Suara terompet, layaknya hal itu kebanyakan orang menyebut, itulah suara teropong
kereta yang berbunyi membangunkan Habibah dari tidur sejenak nya, di mana hingga membuat ponselnya terjatuh di lantai kereta.
Bayang-bayang yang beberapa lama berlalu dan menjadi kenangan itulah, yang tak bisa di lupakan nya pulalah, yang telah membuat dirinya terlelap meski sejenak.
Malu yang ada saat terbangun dilihati oleh dua orang penumpang kereta yang duduk tepat berhadapan dengan bangku yang diduduki nya. Dia pun hanya bisa berkata-kata sendiri
beralasan untuk meyakinkan dua orang yang melihatnya bahwa dia sangat tak sadar.
“Hehe… ngantuk sekali… sampai jatuh,” dia sedikit sisakan tawa tersipu nya.
Namun hal itu tetaplah secuplik dari sekian kehidupan di dunia baginya. Dia tetap harus
selalu coba pahami, meski tak jarang dia alami keluputan. Tak lama kemudian, stasiun tujuannya pun telah sampai. Dia segera berkemas untuk turun dari kereta.
Seketika itu dimana sejuta kegugupan dan kekhawatiran yang awalnya dia rasakan pun
hilang begitu saja, menginjak tanah tempatnya di besarkan sangatlah menenangkan, meski dia tahu tempat itu tidaklah lebih baik dari tempat dia menuntut ilmu. Dia terus berjalan sempoyongan karena terlalu lama duduk, sembari melihat-lihat isi kabar di ponselnya.
Saat di lihatnya, ada satu pesan masuk sari Sang Ayah, dia pun memutuskan untuk langsung menelpon.
“Hallo, assalamu’alaikum, ayah dimana?” tanyanya, sambil tetap berjalan.
Dan setelah usai, sekaligus dia tahu dimana ayahnya menunggunya, dia pun langsung
menuju tempat itu. Dan setelah dia dapati Sang Ayah, perasaan pun langsung kembali
bercampur aduk. Dengan ribuan peraturan pribadi Sang Ayah, dia kembali mendengarnya,
bukan hanya setiap dia di datangi. Terkesan membosankan, namun baginya tetaplah
Ayahnya. Yang telah mampu membesarkannya dengan peraturan-peraturan yang jauh dari
kesejatian seorang Ayah di kota maupun desa.
“Assalamu’alaikum,” dia ucapkan salam. Tak lupa dia ciumi tangan Sang Ayah, tanda tunduk patuhnya pada Sang Ayah.
“Wa’alaikumsalam… tunggu di mobil, aku akan belikan mu minum…” ucap Sang Ayah.
Habibah tersenyum. Dalam hati dia memekik,
“Dialah Ayahku…”
Meski mengaturnya dengan ribuan larangan, seolah mengekang, dia tetap bangga pada
Sang Ayah. Terus dia tatap Ayahnya yang berjalan semakin menjauhi, tepatnya pergi ke
warung untuk membelikannya sebotol air mineral. Hanya itu. Bukanlah sesuatu yang
sekiranya akan membahayakan putrinya. Tak lama kemudian, mobil pun melaju dengan
kecepatan sedang. Sang Ayah sungguh mengerti.
Karena memang dialah Sang Ayah.
Habibah menelisik ke luar jendela, melihat sekeliling luar mobil, itulah desanya. Tempat
dia di besarkan. Sangat ramai namun tak berpolusi. Berbeda dengan kota tempatnya menuntut ilmu. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, Sang Ayah tiada henti bercakap dengan
Sang Ibu, melalui telpon. Itulah keluarga Habibah, satu sama lain, sangat memperhatikan. Dia menyadari semua itu, termasuk kesalahan-kesalahannya selama ini pada perhatian keduanya.
Dalam lamunannya, Sang Ibu membuat lamunannya buyar, saat ada pesan dari Sang Ibu buatnya, saat di telpon dalam percakapan Sang Ayah dan Ibu.
“Nak, Ibumu berkata bahwa dia telah masak kan telor ceplok dan mie untukmu… Ibumu ingin kau cepat sampai… kedatangan mu telah di tunggu..” ucap Sang Ayah.
“Benarkah?” sedikit terkejut senang Habibah mendengarnya, lalu dia melanjutkan,
“Sampaikan pada Ibu bahwa aku akan segera sampai Ayah…” jawabnya. Ayahnya mengangguk, dan langsung di sampaikanlah salam darinya pada Sang Ibu.
Dan sesampainya di rumah, semua terjadi seperti biasa, dia cium tangan Sang Ibu.
Dengan perasaan yang sulit tergambarkan pula, dia peluk Ibunya. Sedangkan Sang Ibu untuk
menutupi hal itu, beliau langsung menyuruh Habibah untuk segera ke ruang makan. Senyum bahagianya maupun riang di hati, tak dapat dia sembunyikan.
Dan dari hal itu dia akhiri seperti biasanya, mengambil secarik kertas dan menodainya
dengan bubuhan tinta hitam di atasnya
𝚃𝚎𝚛𝚔𝚊𝚍𝚊𝚗𝚐 𝚊𝚔𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚙𝚒𝚔𝚒𝚛, 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚍𝚊 𝚍𝚒 𝚍𝚞𝚗𝚒𝚊, 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚔𝚎𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚊𝚕𝚞 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚊𝚗𝚝𝚊𝚑𝚔𝚞 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚒𝚔𝚊𝚙 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗𝚒 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚊𝚙𝚊 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊…
𝙳𝚎𝚋𝚊𝚛𝚊𝚗 𝚊𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚙𝚞𝚗 𝚜𝚎𝚘𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚎𝚖𝚋𝚞𝚗𝚢𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚊𝚜𝚕𝚒𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊. 𝙷𝚊𝚕 𝚒𝚝𝚞 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚜𝚎𝚘𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚊𝚗𝚝𝚊𝚑 𝚍𝚒𝚛𝚒𝚔𝚞, 𝚊𝚐𝚊𝚛 𝚊𝚔𝚞 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗𝚒 𝚜𝚊𝚓𝚊… 𝚖𝚊𝚜𝚢𝚊 𝙰𝚕𝚕𝚊𝚑.. 𝚜𝚎𝚖𝚞𝚊 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚍𝚒 𝚝𝚞𝚕𝚒𝚜 𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚁𝚘𝚋𝚋…
𝙿𝚎𝚗𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚍𝚒 𝚐𝚎𝚗𝚐𝚐𝚊𝚖𝚊𝚗, 𝚕𝚎𝚖𝚊𝚜 𝚓𝚎𝚖𝚊𝚛𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚕𝚊𝚐𝚒 𝚊𝚍𝚊 𝚝𝚞𝚕𝚒𝚜𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚐𝚘𝚛𝚎𝚜 𝚍𝚒 𝚔𝚎𝚛𝚝𝚊𝚜,
𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊 𝚖𝚊𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚙𝚎𝚓𝚊𝚖 𝚜𝚎𝚖𝚙𝚞𝚛𝚗𝚊, 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚎𝚕𝚊𝚙 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚊𝚠𝚊 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚑. 𝙳𝚊𝚗 𝚝𝚒𝚍𝚞𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚒𝚝𝚞,
𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚞𝚊𝚒 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚖𝚒𝚖𝚙𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚓𝚊𝚗𝚐.
...****************...
Tak ada kabut yang menutupi sedikitpun. Namun perjalanan yang di tempuhnya selalu terasa lambat. Di setiap sisinya padahal telah banyak yang membantunya, tapi hanya dia yang
harus terjang seorang diri badai kehidupan yang bergelombang begitu pasang. Selalu dia coba
berdo’a, walau dia tahu betapa hina dirinya di hadapan Tuhan-Nya, dan walau dia juga tetap
berusaha percaya dan merayu pada Yang Kasih.
Menjalani kehidupan yang hanya membuatnya selalu iri terhadapnya tak lagi dapat di pungkiri, nasehat agar dia sabar tak hanya sekali dia dengar dari Sang pujaan hati. Berkali dia
coba adukan bahwa dia iri pada setiap insan yang di tangkap oleh penglihatannya selalu
menampakkan kelebihan dari pada dirinya, bahwa pula dia inginkan hal yang sama kembali
tak hanya sekali Sang pujaan hati menasehati untuk sabar, karena sesungguhnya hidup itu
Anugerah. Itu yang di dengarnya dari Sang pujaan hati.
Selama bersama Sang pujaan hati tak pernah dia ingat hal lain kecuali dia. Baginya dia separuh jiwanya. Setiap yang dilakukannya kini pun hanya demi Sang pujaan hati. Hingga
membuatnya sempat terheran pada suatu waktu, dimana untuk yang pertama kalinya
sesenggukan tangisan dia alami hanya karena mengingat dan membayangkan Sang kekasih.
Tak pernah di alami sebelumnya menangisi seorang wanita.
Apapun bila dia hendak melakukan sesuatu, tak pernah lepas untuk ketahui pula apa yang dilakukan Sang kekasih. Baginya hal kecil yang sering di tanyakan akan lebih mengena
di hati di banding hal besar hanya sekali untuk di ketahui. Dan dia tahu kata-katanya mampu
membius obat cinta pada Sang kekasih. Dan hal itu baginya bukan suatu rayuan, tak ingin dia
merayu seperti pertama dulu, karena kini yang ada hanya kesungguhan hati.
Dia tak pernah merasa menyesal dengan apapun yang dilakukannya bila telah karena
Sang pujaan hati. Rela segala kesusahan dia terjang. Senyuman tetap berusaha dia ciptakan,
meski yang dia inginkan senyuman itu ada hanya bila Sang kekasih berada di dekatnya.
Benar sudah apa yang mereka jalani penuh dengan liku-liku dan terhiasi suka. Tak ada
ketakutan lagi bagi keduanya untuk mengenal lebih dekat lagi dari sebelumnya. Kata-kata
mesra bukan lagi sekedar istilah, tapi suatu pelengkap hubungan yang mereka kini jalani.
Siang malam di hiasi kelelahan tak lagi dia peduli, bila setiap deru nafasnya hanya ada Sang kekasih.
𝓤𝓶𝓶𝓾 𝓗𝓪𝓫𝓲𝓫𝓪𝓱
𝓐𝓱𝓶𝓪𝓭 𝓗𝓪𝓫𝓲𝓫𝓲
Hingga tak jarang nama keduanya di tulis di setiap angan-angan sepinya, dalam lamunan
panjangnya.
Mungkin baginya terlalu indah Sang kekasih di bandingkan dengan seorang Ahamd, seperti dirinya. Dia selalu menyadari itu. Tak malu pula selalu dia sindir kan hal itu di setiap dia hubungi Sang kekasih lewat seluler miliknya. Terkadang dia bersyukur dengan kehidupannya kini, karena dengan adanya perubahan zaman itulah dia bisa mengenal Sang kekasih. Meski dia sadar, dia tak pernah bisa lepas dengan adanya perubahan itu. Yang menjadi temannya, kekasihnya, bila di lihat oleh pandangan mata sejatinya hanyalah sebuah ponsel genggam. Sedangkan dia tak inginkan hanya sekedar suara dan gambar yang dia lihat.
Dan bila dia selalu ingat, dia akan tersenyum dengannya, terlebih mengingat suara lembut Habibah dan kata-kata Habibah di setiap mendengarnya.
...****************...
𝙺𝚊𝚔, 𝚊𝚗𝚍𝚊𝚒 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔 𝚝𝚊𝚑𝚞… 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚙𝚎𝚛𝚗𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚗𝚒𝚊𝚝 𝚜𝚎𝚍𝚒𝚔𝚒𝚝𝚙𝚞𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚓𝚊𝚞𝚑𝚒 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔, 𝚊𝚔𝚞 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚛 𝚜𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚒𝚗𝚒 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚞𝚗𝚐𝚔𝚒𝚗 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚑𝚒𝚕𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚐𝚒𝚝𝚞 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚖𝚎𝚜𝚔𝚒 𝚗𝚊𝚗𝚝𝚒 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔 𝚝𝚎𝚛𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊 𝚋𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚒𝚕𝚒𝚔𝚔𝚞… 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚑𝚞 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔 𝚝𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚊𝚖𝚙𝚊𝚗 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚛𝚝𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚗𝚢𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚞
𝚔𝚎𝚗𝚊𝚕, 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔 𝚝𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚔𝚊𝚢𝚊 𝚙𝚎𝚓𝚊𝚋𝚊𝚝 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚊𝚍𝚊, 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔 𝚝𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚒 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝙶𝚞𝚛𝚞 𝚋𝚎𝚜𝚊𝚛, 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚛 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔, 𝚍𝚊𝚗 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚋𝚊𝚒𝚔𝚒 𝚜𝚎𝚐𝚊𝚕𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐…
Dia pun sadar bahwa hal itu tak mungkin keluar dari suatu kepura-puraan. Dia yakin. Dia percaya. Sejak saat dulu, saat itu, sampai sekarang. Bahwa mungkin Habibah di takdirkan untuk hadir dalam kehidupannya.
“Habibah… Habibah… tahajjud, nak…”
Langsung terperanjat lah Habibah dari tidurnya. Dia langsung terduduk, terkejut bukan karena suara Sang Ibu yang membangunkannya untuk solat tahajjud. Namun, karena mimpi
dialah yang membuatnya terkejut.
Sang Ibu membuka pintu kamarnya, sembari bertanya, “Sudah bangun?”
“Sudah bu…” jawabnya, masih dengan suara yang terdengar berat.
“Ya sudah, langsung wudhu dan jangan lupa solat…”
Habibah mengangguk, Sang Ibu meninggalkannya tanpa menutup kembali pintu kamar Habibah. Sedangkan Habibah masih terngiang akan mimpinya, dia sejenak merenungi apa gerangan hal itu. Namun, kemudian dia segera menuruti nasehat Sang Ibu.
“Mungkin akan lebih baik bila aku berdo’a padaNya…” ucapnya.
Dia pun beranjak ke kamar mandi dan solat tahajjud pun dia laksanakan setelahnya. Usai
segalanya dilakukan, termasuk solat shubuh. Dia bingung hendak berbuat apa bila tak ada yang menyarankan.
“Ibu mau kemana?” tanya dia.
“Seperti biasa, nak…”
“Aku ikut ya bu… plis…” pinta Habibah.
Sang Ibu mengiyakan. Habibah pun memutuskan untuk mengisi hari-harinya dengan
membantu Sang Ibu. Dia tahu apa yang kini di rasakan nya.
𝚃𝚊𝚔 𝚊𝚍𝚊 𝚜𝚎𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚞𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚑𝚞. 𝙷𝚊𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚕𝚕𝚊𝚑 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚑𝚞. 𝙰𝚔𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚜𝚊𝚝, 𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜 𝚔𝚞 𝚙𝚒𝚓𝚊𝚔? 𝙳𝚞𝚑𝚊𝚒 𝚒𝚕𝚊𝚑𝚒 𝚝𝚘𝚕𝚘𝚗𝚐𝚕𝚊𝚑 𝚊𝚔𝚞…
Setetes air mata jatuh membasahi kertas yang telah dia jadikan sebagai tempat satusatunya yang mau menampung tulisannya.
...****************...
Jalanan di lewati, masih sepi di pagi buta. Dia sudah terbiasa dengan hal itu. Karena setiap pagi tujuan satu-satunya berjalan mengelilingi kampung sebenarnya hanya satu, hanya untuk melewati depan rumah seorang wanita yang telah berani-berani mempermainkan hati dan perasaannya. Hanya untuk melihat bagaimana keadaan wanita itu. Hanya untuk ketahui apa yang terjadi di sekeliling wanita itu. Hanya untuk, ingin membuktikan kata-kata wanita itu.
Bahwa dia hidup tak akan lama lagi, meski dia ataupun wanita itu tahu, hidup dan mati hanya
ada di tangan Allah. Bahwa bila benar-benar terjadi apa yang di ucapkan wanita itu, dia akan benar-benar melakukan yang di sarankan wanita itu atau malah acuh tak acuh.
“Entahlah!” pekik Ahmad. Saat dalam berjalannya hanya di penuhi dengan terkaan yang tak pasti.
Dan di setiap melewati depan rumah wanita itu, dia pasti tak tenang hati. Kini langkahnya tinggal tiga rumah lagi untuk sampai tepat di depan rumah wanita itu. Dan setelah sampai tepat di depan rumah wanita itu,
𝘋𝘦𝘨𝘩!
Langsung mengerut lah kedua alisnya. Dan segera menggerutu dalam hati,
“Kemana dia? Mengapa rumahnya tergembok rapat seperti itu? Mungkinkah dia pulang?
Kini Ahmad hanya mampu menerka-nerka dalam hati. Dia benar-benar tak tahu dengan
apa yang terjadi. Padahal dia melewati depan rumah wanita itu untuk yang terakhir kali,
sekalian untuk berpamitan sebelum usai liburan.
Karena saat itu juga, dia takutkan satu hal.
Bahwa penghuni rumah itu tak kembali.
Namun segera di buanglah firasat itu. Karena dia ingin, bila ucapan wanita itu memang benar-benar terjadi, minimal dia bisa pandang wajah wanita itu untuk yang kesekian kalinya,
meski dalam keadaan telah tak bernyawa.
Itulah yang dia inginkan. Meski dia terkesan beku di setiap berpapasan. Meski dia terkesan pikun dengan apa yang telah terjadi antara keduanya.
Namun sejatinya, dia hanyalah manusia biasa. Yang juga tak sebegitu mudah melupakan hal yang telah tertulis.
Dia pun mempercepat langkahnya untuk kembali ke pondok tempatnya menimba ilmu,
setelah tahu ternyata tujuannya tak tersampaikannya dengan memuaskan. Dan dia sesegera mungkin mengurusi untuk kepulangannya mengisi hari liburnya.
...****************...
Keseharian yang di isi dengan hal yang seperti biasanya dilakukan. Hal yang di dapatkan
tak seperti di dapatkan biasanya. Perasaan yang bergejolak di rasa tak seperti biasanya.
Tetaplah semua itu berusaha dilakukan masing-masing jiwa yang hidup tak menetap di satu tempat saja.
Seperti yang kini terjadi dengan Habibah. Dia tak pernah sekalipun mengurusi kehidupan
jiwa lain, namun kini dia lakukan. Untuk sementara menggantikan pekerjaan Sang Ibu.
Habibah setiap pagi tak lagi ke pasar menjadi benalu Sang Ibu.
Namun dia pergi ke ladang untuk mengurusi tanam-tanaman yang di tanam di sana.
Kacang, cabe, dan kecambah. Dia menanam dan menyirami tanaman itu setiap hari. Dia lakukan dengan senang hati, meski akan banyak hal yang bisa membuatnya berubah.
Terutama dari kesehatan kulitnya. Meski begitu, dia tetap di bantu Sang Ibu untuk mencegah hal itu terjadi. Sehingga setiap hari dia mengkonsumsi vitamin dan perawatan untuk kulitnya di setiap bangun tidur.
Sepulang dari menggantikan pekerjaan Sang Ibu untuk sementara, dia langsung mandi dan
kemudian melaksanakan solat dhuhur. Dan selebihnya dia pun kembali berdua dengan alat
tulisnya. Tak lepas pula ponsel di dekatnya.
Saat di lihatnya ponsel di genggaman, terdapat banyak pesan masuk. Dia langsung telpon pesan dari satu orang itu.
“Hallo, assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam sayang… dari mana saja?”
“Capek, dari ladang sayang…”
“Ngapain?”
“Bantu pekerjaan Ibu saja…”
“Bagaimana kabar sayang di rumah?”
“Payah! Kangen berat!” ucap Habibah, sembari dalam hati melanjutkan, namun rinduku bukan padamu… pada Ahmad.
“Benarkah?”
“Iya sayang…”
“Aku juga…” ucap Syauqi.
Sedangkan Habibah mendengarnya, langsung menelan ludah lah dia. Dan terus berkatakata dalam hati, aku rindu Ahmad, sangat rindu dia…
“Hallo…”
“Ah, iya!” jawab Habibah.
“Kenapa diam?” Syauqi bertanya-tanya. Dia pun hanya bisa menerka-nerka.
“Sayang,”
“Iya,”
“Kalau kita nanti putus gimana ya?” tanya Habibah. Langsung terkejut lah Syauqi
mendengar ucapan kekasihnya,
“kenapa tanya seperti itu sih?!”
“Ya tak apa, hanya saja seperti apa?”
“Ah gak tahu! Dan gak mau tahu!” jawab Syauqi.
Habibah tahu, dia menyayangi Syauqi. Dan Syauqi jauh lebih menyayanginya. Namun,
dia selalu merasa seolah khianati hubungan keduanya yang sedang di jalani. Karena dia selalu mengingat Ahmad, bukan Syauqi. Selalu rindukan Ahmad, bukan Syauqi. Dan hanya mencintai Ahmad sebuah cinta pertamanya, bukan Syauqi yang hanya sekedar sayang
padanya.
“Hallo!”
“Ah, iya!” kembali Habibah di kejutkan.
“Mengapa diam terus?” Syauqi pun mulai terheran. Dia kembali hanya bisa menerka-nerka.
“Nggak kok… tak apa…”
“Apa sayang sakit? Pertanyaannya pun dari tadi aneh.”
“Nggak sayang… mungkin aku kecapean saja…”
“Ya sudah istirahat ya sayang…”
“He’em.”
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
𝘛𝘶𝘵 𝘵𝘶𝘵 𝘵𝘶𝘵....
Habibah hanya mempu menghela nafas. Setiap mendengar kekhawatiran dari Sang kekasih, saat itu pula air matanya ingin sekali menetes. Namun air mata itu tampaknya lebih suka memenuhi pelupuk matanya saja.
Tiba-tiba pintu terbuka,
Habibah pun menoleh, ternyata Sang Ibu.
“Tak tidur?”
“Iya, mau kok bu..”
“Ya sudah, kamu pasti capek…”
Habibah tersenyum, sembari perlahan Sang Ibu menutup pintu kamarnya kembali.
Habibah pun tak mampu lagi kini menampung air matanya, air mata itu kini membasahi kedua pipinya. Hatinya terasa seperti teriris gergaji. Begitu terasa terpotong-potong, sangat
menyakitkannya. Yang membuatnya sakit bukan karena Syauqi jauh darinya, bukan juga
karena Syauqi yang menjadi kekasihnya. Tapi, karena sampai saat ini dia tak kunjung busa
lupakan Ahmad Habibi. Seseorang yang telah terukir di atas batu kehidupannya.
...****************...
Jemari tak kunjung berhenti permainkan ponsel di genggamannya. Berkali menampilkan
pesan-pesannya waktu silam. Tak ada rasa bosan membaca tulisan di layar ponselnya dari
ketikan seseorang itu. Seseorang yang telah membuatnya sampai kini masih terheran-heran.
Setelah dia baca, sampai akhir pesan-pesanannya, dia ulang kembali membacanya dari pesan awal. Sampai telah dia hafal kalimat yang tertulis di sana. Tak kunjung lelah pula dia mengulanginya.
Bila ada satu pesan masuk, dia hanya membaca dan membalasnya bila perlu. Bila tidak, dia tak akan membalas. Lalu kembali dia baca pesan yang dari tadi telah di bacanya.
Bila ada sedikit rasa bosan, dia buka hal lain yang membuatnya bisa melihat seseorang itu. Setiap hal tentang dia tak bisa dilupakannya, karena satu hal. Dia telah membuatnya heran. Terheran untuk kedua kalinya.
“Apa yang kau lakukan?!” pertanyaan yang mengejutkannya, lengkap dengan satu pukulan yang menunjukkan sapaan, tepat di pundaknya. Diapun langsung menoleh,
“Ah! Ku kira siapa kau!” jawab Ahmad.
“Diam terus, melamuni apa?” tanya Syauqi.
“Ada deh… kepo lu!”
Syauqi pun duduk tepat di depan Ahmad. Dia pun sedikit mendekat dan sedikit berbisik pada Ahmad.
“Apa kamu mau pulang?”
Ahmad hanya mengangguk. Syauqi kembali bertanya, “Kenapa pulang? Tak ingin liburan di sini saja?!”
Ahmad menggeleng, “Gak ah! Pondok sepi…”
“Pondok sepi apa hatimu yang sepi?” goda Syauqi.
“Dari dulu selalu sepi kalau hati, apa kau pernah tahu aku punya pacar seperti dirimu?!
Gak kan?!” sahut Ahmad antusias.
Syauqi menggeleng. Perlahan dia tersenyum,
“Makanya cari donk…!”
“Pacarmu aja! Gimana?”
“Ngawur! Gak mau aku!”
“Ah bercanda-bercanda! Serius banget!”
“Yaiyalah! Lah kamu juga sepertinya serius!”
“Gak lah! Kenal aja sama pacarmu gak kok! Mana bisa aku dekat???”
“Syukur deh!”
Kini Ahmad yang sedikit mendekatkan wajahnya, “Kenapa kamu seolah tak ingin
kehilangan dia?”
Mendengar pertanyaan Ahmad, Syauqi pun tersenyum sembari menjawab, “Dia berbeda… dia menenangkan ku… dia mengerti aku…”
Mendengarnya pula, langsung mundur lah Ahmad, “Tak ada yang tahu… jangan terlalu
mencinta… dia belum menjadi istrimu, teman! Semuanya telah tertulis…” ucap Ahmad.
“Maksudmu?”
“Nanti kau akan paham…”
“Aku paham, Ahmad… aku bertanya apa maksudmu bilang begitu?”
“Aku hanya mengingatkan.”
“Tapi kau bukan karena suka dengan pacarku kan?”
“Udah di bilang kenal aja gak!”
Mendengarnya, Syauqi sedikit geram. Dia pun keluarkan ponselnya. Membuka kumpulan fotonya, lalu dia perlihatkan fotonya saat bersama Sang kekasih.
“Dia pacarku!” tunjuk Syauqi. Dan saat itu juga, langsung lemas lah sekujur tubuh Ahmad. Seolah-olah tersiram air panas yang baru di angkat dari atas kompor. Terasa luntur lah segala-galanya.
“Mengapa aku bisa merasa seperti ini? Lemas sekali tubuhku? Huft! Huft! Tenang Ahmad, tenanglah…” pekik Ahmad dalam hati.
Sedangkan Syauqi saat itu pula, semakin menggebu untuk menceritakan sedetaildetailnya kepribadian Habibah.
“Dia sederhana, itu hal pertama yang ku suka. Dia tak ber-make up. Polesannya tak pernah menampakkan bahwa dia cantik. Dia cantik dan manis bagiku. Karena dia pacarku.
Namun aku yakin, kau juga akan menilainya begitu. Dari jauh, di lihat manis. Lebih dekat, baru tampaklah kecantikannya. Dia harum…
wangi tubuhnya tak berparfum… dia wangi alami dari tubuhnya…
Dia menenangkan, dia lebih banyak diam… namun bila telah berbicara, ucapannya bak
sosok bidadari dari Surga…
Dia juga sepertimu, pernah berkata apa yang kau katakan, jangan berlebihan mencintai,
bila tak ingin hal itu menjadi benci…
Dia juga tak hanya sekali menanyakan tentang hal yang tak di inginkan…
Aku sangat menyayanginya dan semua yang
melekat dari dirinya…
Mungkin kamu akan merasakan apa yang aku rasakan bila mengenalnya, pasti hanya bisa
dari fisik saja. Hatinya tak tergantikan…
Ah! Begitu panjang bila tentang dia, dia bagiku
selalu baik, tak ada kekasih yang jahat
bila di dekatnya…”
Syauqi pun benar-benar membuat Ahmad terdiam. Lengkaplah sudah kegelisahan Ahmad hanya dengan mendengar deskripsi seseorang yang selama ini menjadi hantu bagi hati Ahmad.
“Hei, kau kenapa?” senggol Syauqi, saat dia lihat Ahmad terdiam kaku.
Sedangkan setelah Syauqi sadarkan Ahmad dari lamunan panjangnya, dia pun langsung
berusaha tersenyum,
“Aku baik-baik saja.”
Syauqi pun pamit, sedangkan Ahmad menatap terus hingga hilanglah Syauqi dari
tatapannya. Lalu dia berjalan melanjutkan perjalanannya yang terhenti sejenak mendengar cerita tentang Habibah. Seolah tak ada daya dia berjalan menuju terminal bus. Dia hanya
mampu mengingat, selalu terngiang deskripsi Habibah tadinya. Syauqi telah mampu
membuatnya gila, meskipun bila ternyata itu hanya sejenak…
...****************...
Telah lama aku berusaha melupakanmu... Melupakan kalian semua… telah lama aku
hidup penuh dengan coba dan uji tanpa ditemani kalian, tanpa ditemani kamu… telah lama
aku berjuang sendiri hanya untuk bisa sepertimu, duhai pujaan hati… telah lama aku berada dipenjara suci hingga kini ku mendapatkan kembali kebebasanku di hari ini… telah lama aku rindukan kalian, rindukan kamu… Meski bagiku selama ini tidaklah lama, namun aku tahu pasti kau mengklaimnya sebagai suatu waktu yang panjang dan lama…
Mungkin selama ini aku telah bersikap bodoh, karena tak dapat lupakan kamu, lupakan
kalian… selalu aku ingat! Mungkin juga, kalian telah lupakan aku, telah tak mengenalku…
terlebih dirimu, kau pasti anggap diriku kejam, jahat, tak punya hati dan perasaan… aku telah
meninggalkanmu… meninggalkan kalian, seandainya ada yang tahu, aku pergi tuk kembali lagi… bukan untuk selamanya…
Andai saja, andai saja, dan andai saja… waktu mampu terulang… aku berpamitan kepadamu tanpa perlu memutuskan mu… aku ucapkan perpisahan yang terindah dalam hidup,
bukan perpisahan yang sangat menyakitkan diriku maupun dirimu… Ingin sekali ku ulang, jujur ingin sekali aku ulang waktu itu... agar aku tak hanya berakhir kesepian seperti ini kini yang kurasakan,,. Meski aku tahu, sejatinya semua itu aku buang saja jauh-jauh pikiran seperti memburukkan ku,,. Bukankah aku telah memiliki teman sebaik-baik teman? Bukankah cita-cita tertinggi ku kini telah tercapai sebagian? Bukankah setidaknya aku mensyukurinya?
“Assalamu’alaikum?!”
“Wa’alaikumsalam…” jawab Habibah, sembari mengelus dada. Cukup terkejut dia mendengar ucapan salam dari Sang Ibu.
“Sudah lama, nak?”
Habibah tersenyum, “Bila tentang menunggu, tetap terasa lama…tapi Ibu gak lama kok…” ucapnya. Lalu dia cium tangan Sang Ibu.
Ibunya pun balas cium keningnya, Habibah tersenyum. Seiring keduanya berjalan
menjauhi penjara suci, setelah Sang Ibu berpamitan untuk pindah, Habibah pun melanjutkan berkata-kata dalam hatinya, Sejak aku menuruti keputusan hati, sejak aku putuskan mengambil langkah yang tak semua orang mampu menyanggupi dengan mudah. Sejak aku selesaikan tanggunganku dipenjara suci, dan sejak aku dapatkan suatu piala hati dari Robbi sebagai salah satu orang yang mendapat restu-Nya, terlebih sejak aku selesaikan hafalan Al-Qur’anku, sejak saat itu pula aku seolah menjadi kupu-kupu yang bersayap lebar sehingga bebas terbang, yang bersayap indah yang mengalahkan keindahan senyuman sehingga aku terkesan begitu harum dimata seseorang. Yang dalam angan pun seolah dipastikan akan menjadi nyata kedepannya.
“Mampir ke tempat Ayahmu, nak…” Sang Ibu menawarkan.
Habibah menoleh, tak luput senyuman menghias di bibirnya. Perlahan Habibah mengangguk, Sang Ibu pun membalas senyuman Habibah.
Sedangkan saat itu juga, serasa ingin dipeluk lah Sang putri. Sebagai seorang Ibu, beliau hanya selalu berusaha memahami.
Meski beliau sendiri butuh pemahaman, dimana kini tak akan ada lagi seorang setia yang
biasanya selalu memahami hati seorang Ibu.
Hanya Habibah tumpuan sang Ibu satu-satunya.
Yang diharapkan lebih dari suatu yang lebih. Yang diharapkan bisa memahami beliau
menggantikan seorang yang selama ini memahami beliau.
Sedangkan Habibah pun hanya mampu berkata-kata dalam hati setelah menjawab
tawaran Sang Ibu hendak kemana selanjutnya.
Beginilah yang telah tertulis…
Aku hanya mampu jalani saja apa adanya, meski aku tahu ini sangat pahit bagiku. Coba
yang berat untuk dapatkan hal yang Agung. Semoga Allah menolongku lewat hafalan
Qur’anku, amiin…
Dia pun bersama Sang Ibu, mendatangi tempat bersemayam Sang Ayah, yang telah meninggal lima bulan yang lalu. Tepatnya saat Habibah baru hafal 20 Juz. Yang saat itu pula Habibah hampir tak kembali lagi ke pondok, namun beruntunglah seorang Habibah. Dia didatangi Sang Kyai diminta untuk mengkhatamkan hafalannya, hingga kini dia pun bisa menghadiahkan sesuatu pada Sang Ayah. Meski sebelumnya tak pernah bertemu.
Berdua memasuki area pemakaman, langkah kaki langsung menuju tempat dimana Ayah
Habibah di makamkan. Dan tepat saat Habibah serta Ibunya duduk didekat makam Ayah
Habibah, Habibah pun kembali teringat.
Dimana dia masih tak mampu lupakan, saat terakhir kali dia pandangi wajah Sang Ayah
yang telah dalam keadaan tak bernyawa. Dia cium Sang Ayah dengan penuh rasa hormat dan sayang. Dimana bersamaan dengan di ciumnya kening Sang Ayah, terputar lah semua
memory masa lalu bersama Sang Ayah, tepatnya saat dia pertama kali memasuki penjara suci.
Dimana saat itu dia diam seribu bahasa tak mampu lagi berbicara dengan sang Ayah,
karena Sang Ayahlah yang telah menawarkan dia untuk menempati sebuah penjara suci. Dan
di saat itu pula kata-kata terakhir Sang Ayah yang didengar olehnya, sebagai suatu nasehat
yang tak mampu sedikitpun terlupakan.
“Habibah… anakku. Boleh kau menangis nantinya, boleh kau tak mau lagi menjawab ku
seperti yang kini kau lakukan padaku, boleh kau marah dalam hatimu akan keputusanku…
Tapi aku sebagai Ayahmu, nak… meminta satu hal padamu . Jangan pernah kau membenciku, nak… aku takut. Aku takut saat nanti kau menyesalinya dan mulai mencintai Ayahmu, saat itu juga kau tak lagi dapat membenciku untuk yang kedua kalinya…”
Dan di terakhir ucapan Sang Ayah yang saat itu benar-benar membuat Habibah benci,
saat Sang Ayah melanjutkan kata-kata beliau sembari mengelus kepala Habibah.
“Kau berdo’alah saja terus untukku, nak… karena hanya itu yang membantuku untuk
bisa dekat dengan Allah…”
Sang Ibu menyentuh tangan Habibah, menyadarkan Habibah dari terdiam nya.
Bersamaan dengan terselesaikannya bacaan surah Yasin yang dibaca keduanya dikirimkan
pada Ayah Habibah. Sedangkan saat itu pula Sang Ibu melihat, betapa deras air mata Habibah, sehingga membuat kerudungnya pun basah olehnya.
Dan saat itu juga, bukan do’a yang menjadi penutup seusai bacaan surah Yasin, namun tangis lah yang ada. Sang Ibu memeluk Habibah, sedangkan Habibah saat dia sandarkan wajahnya ke pundak Sang Ibu, semakin deras dan keraslah suara tangisnya hingga tersedu. Sang Ibu pun tak mampu lagi menahan air matanya, beliau pun larut dalam tangisan. Dan larut pula dalam lamunan.
...****************...
Seiring berjalannya waktu, semua kesedihan perlahan berlalu. Hati mencoba bersabar,
dan coba untuk kembali jalani saja apa adanya. Dan kebiasaan membawa suasana untuk
terbiasa menjadi biasa, tanpa ada kesedihan yang berlebihan.
Habibah pagi hari sudah berangkat ke tempat dia belajar bersama, dengan para Huffadz
lainnya. Hal itu yang setiap harinya dia lakukan. Hidup di kota cukup mempermudahnya
untuk membuat Al-Qur’an nya tak kabur kemana-mana. Meski tak jarang dia ingat rumah
yang dulunya dia tempati dengan seorang diri. Dan terkadang dia berpikir untuk bisa
kembali, meski hanya lewat saja didepan pondok tempat Ahmad berada.
Sang Ibu di pagi itu sedang berdagang di pasar, seperti biasa pula setiap harinya rumah
itu sepi tak berpenghuni. Sedangkan saat ramai-ramainya dagangan Ibu Habibah, tiba-tiba
ponselnya berbunyi. Ibu Habibah pun mengangkat telpon masuk dari nomor tak dikenalnya.
“Hallo, Assalamu’alaikum…” Tanya Ibu Habibah.
“Hallo, Wa’alaikumsalam… bisa bicara dengan Ibu Aisyah?” Tanya di seberang.
“Iya, dengan saya sendiri…”
“Alhamdulillah… ibu, saya dari kepolisian pusat melaporkan bahwa seorang lelaki bernama Aby Mahbub, mengaku sebagai putra anda… sekarang dirawat di Rumah Sakit setelah terjadi kecelakaan tabrak lari pick up, Bu…”
“Astaghfirullah!” pekik Ibu Habibah, Aisyah. Setelah mendengar penjelasan polisi itu.
Meski bagaimanapun salahnya seorang anak, dia tetaplah masih seorang ibunya. Dia begitu
terkejut, hingga barang dagangan yang ada digenggaman nya pun jatuh.
“Terimakasih, saya undur diri Bu. Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab Aisyah, Ibu Habibah.
Aisyah menjawab dengan sedikit bergetar.
Sedangkan setelah mendapat telpon dari kepolisian, langsung bersiaplah Aisyah untuk
temui Aby, putranya. Tanpa berpamitan pada Habibah, Aisyah telah tak ingat apapun saat itu
selain Aby.
Saat senja tiba, tepat saat Habibah pulang dari ladang, dia langsung ke kamar mandi seperti biasanya. Dan seusai dari kamar mandi, barulah dia mulai memanggil-manggil Sang Ibu.
“Ibu… Ibu…” namun tak ada jawaban. Habibah baru menyadari bahwa Sang Ibu sedang tak ada di rumah.
“Kemana perginya Ibu? Tak biasanya Ibu pergi tak memberitahuku dahulu? “ ucapnya
dalam hati. Habibah pun coba santai kan pikirannya. Dia hanya mengira-ngira bahwa
Sang Ibu sedang ada perlu dengan tetangga, meski dia sedikitpun tak menyakini nya. Namun segera Habibah buang prasangka yang buruk di otaknya. Dia pun mengisi waktu sepinya itu dengan menonton acara televisi. Channel tv itu selalu dia ganti-ganti, karena memang dia tak cukup sukai menonton tv. Dia lebih suka berbicara dengan Sang Ibu bila dibandingkan dengan menonton tv. Meski dia sendiri bicara dengan ibu seperlunya saja.
Sejak Habibah keluar dari penjara suci, dia hampir tak pernah lagi berdua dengan ponselnya. Baginya hal itu hanyalah kenangan belaka, tak dia perhatikan lebih sedikitpun. Meski terkadang dia merindukan saatsaat dahulu.
Lama sendiri di rumah, perlahan dia pun bosan. Baginya seorang diri selamanya tidaklah
menyenangkan. Habibah pun menguap, dia pun mulai mengantuk berat. Ponselnya diletakkan
begitu saja didekat duduknya, televisi dia biarkan menyala, dia terlelap.
Pintu terbuka…
Habibah tertidur 30 menit yang lalu. Sedangkan saat itu pula Sang Ibu datang tepat jam
10 malam, bersama seorang yang telah menghilang jauh, dan kini kembali lagi.
Saat Sang Ibu mengucap salam, Habibah pun terbangun. Sembari mengucek kedua
matanya yang terasa berat, dia pun menjawab salam Sang Ibu.
“Wa’alaikumusalam,” dengan mulai membalik badan menoleh ke arah Sang Ibu.
Sedangkan saat itu pulalah dia hanya mampu tercengang diantara sadar dan tak sadar
sekaligus terkejut dengan apa yang kini dilihatnya diantara rasa kantuknya.
Bibirnya bergerak perlahan, terbata mengucapkan, rasa tak percayanya jauh lebih besar dari keterkejutannya, hingga suara pun lirih hampir tak terdengar.
“Kak Aby???”
Dan saat tatapan Habibah beralih pada Sang Ibu, terlihatlah olehnya Sang Ibu yang sendu, terdapat bekas-bekas air mata di sana. Dikedua pelupuk mata indah Aisyah, Ibu Habibah.
Namun bukan menghampiri dan mencium tangan Sang Ibu yang kini dia lakukan. Malah
Habibah langsung melenggang pergi ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat sehingga terdengar oleh Aisyah betapa kerasa
Habibah menutup pintu kamar dan menguncinya.
Aisyah tak bergeming, setelah melihat hal itu dia langsung saja acuhkan, dia tak ingin membahas, dia tahu apa yang dirasakan putrinya, namun dia juga harus memahami bagaimana perasaan orang yang kini berdiri dengan satu kaki disampingnya.
Aisyah menuntun Aby menuju ke kamar lamanya beberapa tahun silam, Aisyah tak pernah mengubah kamar itu menjadi gudang ataupun sesuatu yang tak dianggap, karena dia yakin dimana akan datang hari untuk Aby kembali lagi.
Setelah diantarnya Aby dikamar, Aisyah pun membiarkannya untuk beristirahat.
Sebelumnya Aisyah duduk sejenak di samping Aby tuk tinggalkan suatu pesan padanya.
“Tidurlah lah, nak… Istirahatlah… lupakan segala hal yang bila itu membuatmu gundah, aku bangunkan kau besok pagi sebelum shubuh… InsyaAllah,” saat setelah Aisyah ucapkan itu, saat itu pula Aby menahan Aisyah dengan memegang lengannya.
“Ibu…..” ucap Aby.
Sedangkan Aisyah, mendengar Aby memanggilnya Ibu, setelah tak pernah lagi dia
dengar suara sedikitpun dari putranya kini didengarnya lagi, langsung berkaca-kaca lah kedua matanya.
Aisyah pun duduk kembali, Aby melanjutkan perkataannya, “Aku rindu Ibu,” ucapnya.
Hanya itu yang Aby ucapkan. Dia masih belum sanggup untuk berbicara lancar apalagi banyak bicara.
Saat itu juga, langsung dipeluk lah putranya itu dengan penuh kasih sayang. Air mata pun
tak mampu lagi keduanya bendung. Bersamaan dengan itupun Aisyah berkata,
“Maafkanlah Ibu, nak. Kau tak bisa dirawat dengan perawatan yang layak… Ibu hanya
seorang diri, nak…” jelas Aisyah.
Sedangkan Aby, setelah mendengarnya semakin dipeluk erat lah Sang Ibu. Meski dia masih belum paham benar dengan ucapan Ibunya. Dia tak ingin pula untuk bertanya, tak ingin apa yang telah dipikir olehnya benar terjadi. Dia hanya menjawab,
“Aku tak apa Ibu, aku bisa diobati di rumah saja meski lukaku belum kering dan parah…” sedangkan Aisyah semakin larut dalam kesedihan,
“Andai Ayahmu masih hidup,..”
Degh!
Terdengar kata-kata itu langsung terasa seperti besi memukul kepalanya, hingga membuatnya sangat kesakitan dan tak terobati. Aby langsung melepaskan pelukannya,
“Apa yang Ibu katakan?” Aby benar-benar tak tahu.
Aisyah bingung, ternyata anaknya tak paham dengan kata-katanya tadi, “Ya Allah…
Ayahmu telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu,” terasa tercekat di tenggorokan Aisyah
menjelaskannya, karena bersamaan dengan itu tangisnya semakin deras sesenggukan nya
semakin jelas.
Langsung terdiam lah Aby mendengarnya, kini lengkaplah sudah penderitaan jiwa dan
raga yang dialaminya. Kini air matanya mengalir begitu saja tiada henti, seiring dengan
ingatannya dimasa lalu, saat detik-detik sebelum kepergiannya.
“Aku benci Ayah! Jangan panggil aku anak lagi! Jangan kau anggap bila perlu! Ayah
selalu membeda-bedakan! Aku memang tak secerdas Habibah! Tapi setidaknya, hargailah
usahaku untuk bisa seperti dia!
Persetan semua!
Aku muak menjadi Habibah! Aku bukan dia! Inilah aku! Dengarkan aku! Aku bersumpah akan pergi dari rumah ini! Silahkan kalian banggakan perempuan kalian! Aku Aby Mahbub ! bukan Ummu Habibah! Selamanya aku takkan bisa sepertinya!
Persetan!”
Semua ingatan terputar begitu saja. Air mata terus saja mengalir, seiring dengan semakin
sakit lah kepalanya. Sakit seusai kecelakaan dan tekanan batin, seketika membuatnya tak
sadarkan diri.
Aisyah terkejut melihatnya. Dia langsung berikan apapun yang sekiranya dapat membantu putranya. Tak mungkin dia minta bantuan Habibah, dia tahu bagaimana hati Habibah kini.
Sedangkan saat itu juga tak ada yang tahu bahwa diam-diam Habibah melihat kakaknya
dengan ibunya dari luar. Dia ikut larut dalam kesedihan itu, namun kebenciannya pada Aby
masih belum mampu dihapusnya.
“Aku bersumpah! Tak akan lagi menganggap mu sebagai adikku! Kembar denganmu
menjadi malapetaka dalam hidupku! Mengapa dulu tak Allah takdir kan kau mati saja?!”
Kata-kata itu tak kunjung dapat dilupakannya. Terus saja melekat diruang hatinya.
Membuatnya sakit di setiap teringat akan hal itu. Dia juga masih mengingat bagaimana sikap
Aby pada Ayahnya pula, meski dia tahu bila pada Sang Ibu, Aby tak sedikitpun mengatakan
kekasaran.
Hanya saja sebagai seorang Ibu, Aisyah ikut merasakan. Malam pun terhiasi kesedihan
hingga keduanya tertidur. Namun dikala Aisyah terbangun, dia pun biarkan Aby tidur sendiri.
Dia akan bangunkan Aby menjelang shubuh nanti.
Sebelum Aisyah menuju ke kamarnya, dia jenguk kamar Habibah, dia buka perlahan pintu kamar Habibah. Dan setelah sedikit terbuka dia pun mengintip, langsung terkejut lah dia dengan apa yang kini dilihatnya.
Dia lihat Habibah sedang duduk di atas sajadahnya sembari menengadahkan kedua tangannya. Suara lirih Habibah sedikit terdengar olehnya.
“Ya Allah… tiada daya kekuatan selain dariMu… Hanya Engkau yang tahu bagaimana
perasaan hamba… Engkau pun pasti tahu apa maksud hamba bersikap seolah orang jahat,
hanya Engkau yang tahu… ku serahkan segalanya padaMu… hamba yakin semuanya telah kau tulis dalam Lauh Mahfudz… maka, takdirkanlah yang baik-baik pada hidup dan mati hamba…”
Perlahan Aisyah menutup pintunya kembali, sebelum Habibah menyudahi do’anya.
Aisyah masih tercengang dengan do’a Habibah, dia tak percaya.
“Betapa mulia kata-katamu, nak.. Ya Allah, kabulkan lah do’a-do’anya… kuatkan lah dia”
ucapnya dalam do’a dihatinya.
Lalu dia pun kembali ke kamarnya, melakukan apa yang Habibah lakukan, dia ingin
lengkapi do’a itu.
...****************...
Keesokan harinya, Aisyah tak lupa, bahwa Aby ingin dia bangunkan. Dia pun mendatangi kamar Aby. Tepat saat dia membangunkan Aby, terdengar adzan shubuh dikumandangkan.
“Nak, ayo bangun…”
Aby pun terbangun, “Iya, Ibu…”
Aisyah tersenyum, lalu dia menawarkan, “Ibu bantu?” namun Aby menolak dengan lembut,
“Aku coba sendiri dulu, Bu… bila nanti aku tak mampu baru aku minta pertolongan Ibu…”
Saat Aby mencoba berdiri, perlahan-lahan dia lakukan hal itu, namun yang ada dia malah
terjatuh kelantai. Dia pun merintih kesakitan, Aisyah langsung bertindak membantu Aby.
“Sudah Ibu bilang sebaiknya Ibu bantu…” ucapnya.
Sedangkan Aby diam tak bergeming. Melihatnya, Aisyah tak lagi berbicara, dia ikut terdiam. Aisyah masih ingat, disaat dulu Aby selalu menjawab setiap ada perkataan yang terkesan membuatnya salah, karena dia tak bisa sedikitpun menerimanya.
Pagi harinya, saat Aisyah sedang memasak, tiba-tiba Habibah datang seperti biasanya.
Namun dia tetap tak mengeluarkan suara, dia hanya membantu Sang Ibu sebagai wujud
menggugurkan kewajibannya. Aisyah sempat bingung, dia berusaha mencari cara untuk bisa
mengembalikan Habibah seperti saat sebelum kedatangan Aby. Ingin dia kembali melihat
senyum Habibah.
Dia pun dekati Habibah, lalu berkata.
“Nak, Ibu mau pergi dulu.”
Mendengarnya Habibah langsung menoleh, setelah melihat keranjang belanja di genggaman Sang Ibu, dia pun tak lagi khawatir, karena dia mengira Ibunya pasti akan belanja.
“Mau kemana, Bu?” Namun dia tetap bertanya.
“Ibu ke pasar dulu, nak… kau masak kan kakakmu juga.” Jawab Aisyah. Namun Habibah yang kemudian tetap diam tak bergeming. Aisyah biarkan begitu saja. Dan Aisyah pun pergi
ke pasar, sembari berkata dalam hati agar kedua anaknya kembali rukun.
Tak lama kemudian, suara Aby memanggil. “Ibu?...” namun setelah dia rasa tak ada
jawaban, tak dia ulangi lagi panggilannya.
“Mungkin Ibu sedang pergi.” Gerutunya.
Habibah mendengar panggilan itu, dia ingin menangis saat itu juga karena sikapnya.
Masakannya sudah matang, dia buat tiga porsi. Satu porsi untuknya, satu buat Sang Ibu, dan
satu lagi untuk Aby. Namun dia bingung, antara ikuti egonya atau ikuti kata hatinya.
“Astaghfirullah!” keluhnya, dia merasa tak mampu.
“Bismillah!” pekiknya.
Satu porsi masakannya dia bawa menuju ke kamar Aby. Dengan perasaan tertahan, dia
kini berdiri di depan kakaknya. Dia bingung, bila dia letakkan makanan di luar kamar, mustahil Aby mampu mengambilnya kecuali sembuh total. Namun bila dia masuk, dia tak akan tahu apa yang akan terjadi.
“Masuklah…” Lirih terdengar olehnya suara Aby dari dalam kamar mempersilahkan.
Habibah pun dengan langkah berat akhirnya memutuskan untuk masuk kamar Aby.
Sedangkan saat tahu siapa yang masuk, terkejut lah Aby. Dia tak mampu berkedip melihat sosok yang telah lama tak lagi dilihatnya itu. Seiring dengan langkah mendekatnya Habibah kemeja yang ada didalam kamarnya. Dia ikuti gerak gerik Habibah di setiap sudut tatapannya. Dan setelah Habibah meletakkan makanan untuknya, Aby pun baru memberanikan diri untuk melihat kedua tatapan mata Habibah. Saat itu juga tatapan mata kakak beradik saudara kembar itupun kembali bertemu.
Seketika itu berlari lah Habibah keluar kamar, dengan air mata yang tak mampu terbendung lagi. Aby ingin mengejar adiknya, namun apa dayanya. Dia pun hanya mampu larut dalam tetesan air mata.
Semakin tersedulah Habibah saat berada didepan makanannya. Sembari dia usapi air
matanya, sesuap demi suap pun dia kunyah makanannya. Berbeda dengan Aby, dia tetap
pandangi makanan dari Habibah. Segala masa lalu berputar begitu saja di otaknya.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!