NovelToon NovelToon

Cinta Beda Provinsi 2

Kota Karang

Desir pantai, ombak bergelombang merdu, syahdu dipandang mata, dan kelembutan pasir kecoklatan. Senja mulai menyelimuti langit, tatapannya lurus ke arah mulai terbenamnya gagah sinar yang seharian menemani langit biru, dan kini menjadi kemerah-merahan. Ujung jilbab itu terus saja bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti irama angin yang meniupinya.

Dari belakangnya, sejenak aku menatapinya, dan tak lama setelah itu dia geser kan tatapannya ke kanan dan tampaklah olehku pipi lembut sedikit tembem dan bersih tak ada satupun jerawat menempel di sana. Seketika itu pula ku dapati ketajaman bola matanya memandang ke arah desiran pantai yang sedikit mengeluarkan busa. Dia tersenyum.

“Ayo lanjut jalan sudah!” satu tepukan di punggung, suara sedikit lantang, menyadarkan ku dari pandangan monoton ku pada sosok seorang wanita berjilbab.

Motor Vega ZR 2011 lengkap dengan suara

khasnya, melaju meninggalkan tempat itu. Pantai Kelapa Lima, Kupang, Nusa Tenggara Timur.

“Lu lama juga, ada buat apa Morgan?”

Tak sabar aku dapatkan jawaban dari adik sepupuku itu, setelah dia membuatku lama menunggu di pinggir pantai. Dia tidak lama mendengar pertanyaan dariku langsung menjawab.

“Masih ada tunggu kawan dong¹ di sana. Dong lama na, dong ada pinjam be² pu³ hp.”

Mendengar jawabannya, seperti biasa tidak

perlu ada pertanyaan lagi yang aku berikan untuknya.

Disini adalah tempat tinggal ku sejak 3 tahun silam, sejak di depaknya diri ini dari kampung halaman, tempat dimana aku dibesarkan.

Kesibukanku hanya tiga disini tidak lebih tidak kurang, satu kuliah, dua kerja, tiga apelin cewek. Kerja ku disini berbagai macam, kadang ojek, kadang kuli, kadang main bersama team ku.

Kesibukanku yang ketiga itu sedikit dramatis, aku bukan play boy namun aku juga bukan orang yang sangat setia. Karena cewekku juga begitu, sama seperti aku. Aku tau itu, tapi aku biarkan saja. Dalam hidupku Cuma satu prinsip ku, mati satu tumbuh seribu. Dan hal itu benar dalam hidupku, jadi kesibukanku yang ketiga jarang aku menyebutnya apelin tempat pacar, lebih enak menyebutnya apelin cewek. Itulah kesibukanku disini, dan disinilah awal mula kisah ini terjadi. Di kota seribu karang.

Sore ini, aku memang berencana untuk mengajak adikku ini ke rumah Bapakku. Sengaja aku mengajaknya dengan niatan bergantian menyetir motor bila aku lelah. Aku 7 bersaudara terdiri dari 2 laki-laki dan 5 perempuan, tapi 1 kakak laki-laki ku telah meninggal dunia dan akulah yang menjadi satu￾satunya lelaki dalam keluargaku. tapi akan hal itu aku tidak sama sekali merasa terbebani, karena mereka tidak pernah menyulitkan diriku menjadi tulang punggung keluarga. aku memiliki banyak sekali adik sepupu laki-laki yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu. Dan aku juga memiliki sangat banyak sekali kawan di seluruh penjuru kota yang ada di dalam Provinsi maupun diluar. Aku menyebutnya sebagai “Team”. Aku adalah salah satu orang yang ditakuti disini, aku lah si seram, aku lah si pemberani, aku lah singa.

...****************...

Warna kecoklatan, lebih gelap dari pasir di pantai Kelapa Lima. Namun tetap sama bersih dan tidak menyakiti bagi siapapun yang berjalan di atasnya.

Kini angin tidak sekencang di pantai, lebih bersahabat dan menyejukkan, paling pas menyebutnya adalah menenangkan hati dan membuat susah move on siapapun yang merasakannya.

Rumah￾rumah tidak berjajaran. Hanya satu paling banyak 2 atau tiga per kepala keluarga dan dipisahkan beberapa pepohonan yang rindang, tetumbuhan yang lebat dan rapi. Berbahan pokok dari kayu dan berlantai tanah yang telah terlapisi semen. Inilah desaku, tempat Bapakku tinggal.

“Kamu simpan motor, aku masuk!” perintahku pada Morgan. Dia sama sekali tak membantah, karena memang sudah seperti itu. Dari dalam rumah Bapak menyambut ku dengan senyum tipisnya, lebih tepatnya seperti tidak ada senyuman. Dengan tetap duduk di atas salah satu kursi plastik yang ada di ruang tamu rumah itu.

Tak ada yang keluar menyambut kedatangan putra laki-laki satu-satunya ini di rumah itu selain dengan tatapan biasa saja. Tanpa cium tangan, atau selebihnya yang biasa dilakukan oleh keluarga so sweet di luar sana. Meskipun keluargaku bukan lah keluarga yang menyedihkan. Hanya saja lebih tepatnya kaku.

“Darimana?” sebenarnya ini pertanyaan menggunakan bahasa Dawan, hanya saja sedikit susah untuk dimengerti jadi lebih baik tidak usah terlalu nyata aku menuliskannya. Agar lebih mudah dipahami. Karena jelas disini orang Timor menggunakan bahasa Dawan, apalagi dengan keluarga, kecuali dengan adik-adik yang memang terkadang menggunakan bahasa campuran antara Dawan dan Kupang.

“Tidak ada, langsung kesini saja. Cuma ada tunggu Morgan tadi di Kelapa Lima, dia ada tunggu kawan.” Santai aku menjawabnya, sembari langsung duduk bersampingan dengan Bapak di atas kursi plastik.

Tanpa ada perintah, tanpa ada penawaran apapun. Seorang wanita paruh baya keluar dari ruangan tengah, rambutnya terikat di atas tak beraturan namun kuat, sedikit banyak keriput memenuhi wajahnya, senyuman tipis dia lemparkan, dia membawa nampan plastik berdiri di atasnya 2 gelas kaca berisi kopi panas. Dia adalah mama tiri ku.

“Tidak bilang kalau mau kesini, tau gitu kan aku masakkan jagung muda, itu ada banyak di dapur. Sekarang masih ada masak, jadi tunggu sedikit lai⁴.”

Kalimat sapaan dari seorang mama tiri. Aku hanya tersenyum dan menjawab tidak perlu repot-repot.

Sibuk tangannya mengambil camilan khas NTT, siri pinang. Yang tersimpan di atas meja dekat Bapak. Di sodorkan padaku, aku seketika mengambilnya dan memakannya. Nikmat yang aku rasakan.

Aku tidak ingin menjabarkan terlalu detail disini tentang siri pinang, agar kalian rasakan sendiri seperti apa rasanya. Tidak banyak obrolan di antara kami. Seperti biasa hanya sepatah dua patah, kembali mengunyah siri pinang, dan begitu seterusnya.

Tak lama setelah sedikit lama berbincang di ruang tamu, Bapak menyuruhku untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah dan menembus di belakang rumah. Kosong luas terbentang tanah, tidak jauh dari itu tetumbuhan lebat melingkar mengelilingi rumah. Sembari dia tunjukkan kabel-kabel listrik yang belum tersalurkan listrik lebih tepatnya,

“Kamu pasang ini dan sambungkan ke tiang aliran listrik di langit-langit sana,” ucapnya.

Desa Bileon, Fautmolo. Desaku, yang selama

ini belum banyak teraliri listrik. Bapak ingin aku memasangnya, dan membuat desa menjadi terang tidak lagi gelap saat malam tiba. Aku mengiyakan perintahnya. Dan melakukannya esok hari.

Gelap telah tiba, lengkap menyelimuti langit, menutupi awan senja. Pekat, berhiaskan kelap-kelip bintang yang banyak bertaburan, dan satu sabit terang di tengah-tengah taburan bintang itu, bulan yang terang. Membuat malam di Desa Bileon, Fautmolo tidak jadi gelap, hanya di dalam rumah saja yang sedikit gelap, karena hanya diterangi satu lilin putih.

Dengan ditemani rokok, api di atas beberapa kayu yang tadi telah ku kumpulkan, dan secangkir kopi panas. Duduk dengan Morgan di belakang rumah, Bapak sudah terlelap dalam kamarnya.

Tanpa ada obrolan yang menghangatkan malam itu. Hanya duduk bersila di atas hamparan anyaman daun kering lontar di tanah. Yang menemani hanyalah hp yang menyala terang menghilangkan kegelapan.

Tanpa membalas chat dari siapapun, karena tidak ada satupun chat yang masuk, signal tidak mendukung kesepian ku malam ini. waktu telah menunjukkan pukul 23.00 WITA.

“Mungkin dia sudah tidur.” Gumam ku dalam diam.

Bersamaan dengan itu angin lembut menemaniku, menjadi satu-satunya teman malam ini. Bertiup lembut, menerbangkan butiran-butiran pasir dibawah kakiku, yang seketika itu turut menerbangkan pula pikiran ku.

...****************...

Footnote :

1 Dong : mereka. Dalam bahasa Kupang.

2 Be : kepanjangan dari Beta. Memiliki arti aku/saya.

3 Pu : kepanjangan dari punya.

4 Lai : kepanjangan dari Lagi.

Dia

20.30 WITA. Langkah kaki segera, menuju ke dalam rumah dari dapur rumah satunya. Sebelum dingin menusuk ke kulit. Sembari menyalakan rokok yang tersimpan di saku celana, tanpa sadar seorang berkaos merah abu-abu berjilbab hitam mengikuti dari belakang.

Aku duduk di atas kursi plastik, dia duduk pula dan menduduki kursi yang berada tepat di samping kananku. Dia nyalakan hp, tanpa berkata-kata apapun.

“Sudah?” dan akhirnya aku yang membuka pembicaraan antara aku dan dia. Ku berikan dia pertanyaan, setelah melihatnya mengikuti ku menyelesaikan lebih dulu makanannya tadi di dapur rumah sebelah.

“Iya.” Hanya itu jawabannya.

“Kenapa tidak nambah?”

Kini dia sambil menatap ke arah ku dengan tatapan sayu, “Sudah Kenyang, tidak muat kalau terlalu banyak.” Jawabnya. Dengan logat Indonesianya yang kental.

Aku hanya mengangguk. Sedikit mencuri pandang padanya, yang tak henti hati berkata “Cantik.” Setiap kali memandang wajahnya. Bersih, kuning, kecoklatan, cerah, sulit menggambarkan warna kulitnya. Intinya sebagaimana kebanyakan warna kepunyaan kulit orang Jawa.

Hidung tidak mancung, namun tidak juga tenggelam kedalam, hanya saja aku menyebutnya pesek, karena aku sedikit lebih mancung darinya. Bibir sangat indah, tidak lebar dimana kebanyakan ciri-ciri orang Timor, meskipun aku bukan salah satu dari mereka, bagiku bibirku tidak lebar. Tapi bibir dia juga kecil, pas antara bibir atas dan bawah tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal, disini yang membedakannya dengan diriku, bibirku lebih tebal darinya, meskipun sedikit. Yang paling aku suka adalah matanya, kedua bola matanya lebar, tajam, dan bercelak, dia selalu memakainya, menambah keindahan dimatanya. Intinya dia cantik.

Langkah kaki sedikit bergesekan dengan lantai yang belum di keramik, masih semen kasar, terdengar olehku dan dia yang di sampingku.

Mendekati kami, dan tak lama kemudian duduk bersama kami tepat di depan kami, di kursi plastik yang memang berada di depan kami berjarak satu meter dari kami duduk. Dan dia membuka percakapan, bertanya pada dia yang di sampingku.

“Mbak nggak nambah sih tadi makannya?” ucapnya.

Dan langsung di jawabnya, “Nggak, kan aku makannya nggak banyak Nayla...” sambil ditatapnya sejenak Nayla.

Nayla, orang asli kota Alor, Nusa Tenggara Timur, bertubuh pendek, dan berkulit hitam. Sama seperti kulitku, kebanyakan orang NTT. Teman sekelas ku kuliah di Kupang, berjilbab, dia muslim sama seperti aku, dan wajahnya tidak jauh beda dengan kebanyakan postur wajah orang Alor, Nusa Tenggara Timur.

“Pinjam hp nya dulu dong Mbak’e...” pintaku pada dia yang di sampingku, dimana aku mencoba untuk mengganggunya.

Dia yang ku panggil Mbak’e, dimana semua yang ada dalam satu atap bersamanya kini turut memanggilnya dengan Mbak’e, sebelumnya dia pernah memperkenalkan namanya, dia memperkenalkan dirinya pada semua orang bahwa namanya Fatimah dan tidak memperkenalkan nama panjangnya. Baginya agar lebih mudah saja mengingat namanya, tapi dia tidak pernah sekalipun berkenalan denganku, karena aku sudah tau namanya, dan tetap saja aku tidak pernah memanggilnya dengan namanya, dia ku panggil Mbak’e.

Sejak saat itu pula semua orang memanggilnya Mbak’e dan tidak pernah ada orang NTT yang memanggilnya Fatimah. Masih sambil memainkan hp, membuka whatsapp dan membalas sebuah pesan dari kontak nama yang telah disematkan di wa nya, pesan dari kontak yang bernama Mas Zidni ditambah emoticon cium, itulah yang terpampang di chat paling atas.

Dia menjawab permintaanku, “Tunggu sebentar ya, aku masih ada balas wa mas,” dia menyebut “Mas Zidni” nya itu dengan sebutan mas, bukan karena lebih tua darinya, tapi karena dia memanggil sebutan sayang itu dengan kata mas, lebih tepatnya yang dia sebut mas itu adalah tunangannya.

Begitulah yang pernah aku dengar darinya, saat dia memperkenalkan kontak nama satu-satunya yang disematkan di wa nya. “Oh, yasudah kamu balas dulu sudah¹.” Jawabku, dimana bersamaan dengan itu perasaan bete memenuhi pikiranku.

Aku pun seketika mengajak ngobrol Nayla, yang masih saja duduk di depan kita.

Tidak lama kemudian dia turut tenggelam dalam obrolan, kita bertiga mengobrol asik dan saat itu juga tanpa dia sadari aku ambil hp nya dari

pangkuannya itu.

Dia entah sadar atau tidak aku tidak peduli, tapi dia tidak merampasnya kembali. Beberapa detik kemudian baru dia sadar dan berkata, “Tunggu dulu,” dia menengadahkan telapak tangannya,

“Ayo kita main dulu,” ucapnya.

Aku pun memberikan hp nya, “Coba, tapi aku tidak suka main sih.” Ucapku.

Nayla yang ada di depan kita hanya sibuk dengan bermain hp nya juga. Dia mulai membuka sebuah permainan, dan dia asik bermain, aku hanya melihatinya, sesekali aku dekatkan wajahku ke jilbabnya. Sedikit bosan aku melihat permainan yang dia mainkan, aku hanya diam saja.

Saat itu juga Nayla masuk ke dalam kamar dimana teman-teman wanita yang lain juga ada di dalam kamar. Kini hanya ada aku dan Fatimah di ruang tengah rumah itu. Teman-teman lelaki yang lain ada yang di dalam kamar dan ada juga yang di teras rumah.

Bosan semakin mengerubungi pikiranku, dia makin asik dengan permainannya. Meskipun sebenarnya dia berusaha mendekatkan hp nya berniat mengajakku turut larut dalam permainan, tapi sejak awal aku sama sekali tidak menikmatinya.

Aku pun mulai berniat mengganggunya. Tanganku berpindah tempat, yang mulanya di atas pangkuanku kini berpindah perlahan ke sandaran kursi plastik yang dia duduki. Membuat tanganku tampak seperti sedang memeluknya. Yang ku lakukan tetap tidak direspon olehnya, kini aku sedikit nakal, jemari ku bergerak perlahan mendekati jilbab hitamnya dan menggelitik lehernya dari sisi luar jilbabnya. Dia pun akhirnya terganggu, dan mengeluh. Hp nya pun aku ambil. Aku berhasil.

Dia langsung seketika memasang wajah manyun, namun tidak lama kemudian dia bersandar kelelahan. Ku lihati dia, tampak seperti sedikit rasa kantuk mulai memenuhi dirinya.

Tanpa dia sadari, aku pun kembali mengganggunya, dengan cara yang sama. Aku menggelitikinya. Dia pun langsung kegelian sampai suara kursi plastik beradu dengan lantai semen menimbulkan suara kegaduhan, dari dalam kamar pun berteriak suara teman wanita yang lain,

“Jangan beribut Ali!” menggertak ku agar aku diam dan tidak ribut.

Fatimah tertawa kecil, dan dia pun langsung berkata padaku, “Sssttt! Jangan berisik.” Kini dia dengan suara berbisik, “Nenek sihir marah” ucapnya.

Dia menyebut suara yang tadi menggertak kasar padaku dengan sebutan nenek sihir. Namun tawa kecilnya bukan malah membuatku terdiam, aku seperti terhipnotis oleh kecantikannya, malam yang gelap itu dia tidak ber-make up hanya ada celak saja yang menghiasi kedua mata indahnya. Aku tanpa sadar malah kembali menggelitiknya, dan dia kembali tertawa kecil sambil mencoba menghentikan ku.

Saat itu juga gerak jemariku semakin menjadi dan tanpa sadar mengenai perutnya, namun sedikit ke atas.

Dia terkejut akan hal itu.

Dia langsung membelalakkan kedua bola matanya menjadi terlihat sangat lebar. Dan tiba-tiba dia langsung melengos meninggalkan diriku di kursi plastik itu duduk sendirian, tanpa sedikitpun menoleh padaku.

Saat itu juga aku terdiam, dan tidak memahami apa yang telah membuatnya langsung diam membisu meninggalkanku duduk sendirian tanpa ucapan selamat malam.

...****************...

Malam yang panjang, angin di saat itu seolah turut menghiasi keadaan hatiku, kalut, tak beraturan. Aku hanya memainkan hp, menaik turunkan jemariku di atas layar hp.

Mengingatkan akan malam itu yang tiba-tiba membuatku menjadi merasa kesepian, benar-benar kesepian. Padahal bukan kali pertama aku diacuhkan seorang wanita, tapi seolah baru kemarin aku merasa menjadi lelaki yang kesepian. Dia tinggalkan aku bersama dengan tawa kecilnya yang sangat manis.

Kesana kemari, menyalakan rokok, habis dan

menyalakan lagi. Begitu seterusnya sampai waktu menunjukkan pukul 00:00 WITA. Bosan mulai menyelimuti diriku, langsung aku beranjak menyalakan mesin motor dan melaju menuju kampung halamanku.

Desa Oeekam, tempat aku dibesarkan, letaknya di desa yang bersebelahan dengan kini aku berada, desa Mnela’anen.

Ku dapati siri pinang sesampainya di Oeekam,

tepatnya di rumah bibi, yang letaknya bersebelahan dengan Pesantren tempat teman-teman yang lain menginap.

“Malam-malam ko² datang, tidur su³ ke dalam.” Bibi keluar dari dalam rumah hendak menuju kamar mandi. Beliau terbangun dan mendapati ku datang malam-malam ke rumah. Tidak seperti biasanya memang apa yang ku lakukan ini, dan setelah itu bibi kembali tidur.

Aku tidak masuk ke dalam rumah, dingin malam itu mulai menusuk menembus jaket tebal ke kulit hitam ku, tapi ku biarkan saja. Aku sudah terbiasa dengan hal itu.

Bagiku malam itu tidak ada yang lebih dingin daripada dinginnya sikapnya padaku sejak kemarin malam. Hingga benar-benar tak menyisakan apapun padaku, hanya bayangan. Di desa Mnela’anen pun kini bagiku bagaikan kuburan, tak ku dengar lagi suara indahnya sejak tenggelamnya matahari sore tadi. Membuatku semakin tidak ingin berlama-lama berada di sana.

Kedua mataku yang mulai dihinggapi sedikit rasa kantuk pun tidak aku layani sedikitpun. Tetap duduk di depan rumah, di atas hamparan anyaman daun kering lontar.

Sembari menikmati siri pinang dan nyala rokok yang tinggal setengah batang di antara jari telunjuk dan jari tengahku.

Semua sudah terlelap. Aku masih saja terdiam menatap dedaunan yang tertutupi gelapnya malam.

Masih tak bosan menghisap rokok dan mengunyah siri pinang, kini sembari memutar lagu nostalgia Ambon kesukaanku. Melengkapi kekalutan yang ada. Saat itu juga hati tiba-tiba berkata.

Kenapa dia pergi tiba-tiba? Dan memutuskan menghabiskan waktu hari libur di Kupang? Seharusnya kan dia bisa tinggal lebih lama dan menghabiskan waktu bersamaku di pesantren mengisi hari raya tahun ini disini saja, kenapa juga harus jauh-jauh dia ke Kupang? Pake acara ikut Nayla ke Kupang. Seperti belum pernah tau Kupang saja. Kenapa dia membuat keputusan itu?

Lolongan suara anjing bersahutan, lengkap dengan sunyi nya malam, semakin malam dan semakin gelap, kedua mata terasa sedikit berat. Tapi keegoisan pada hati yang tak ingin begitu saja terlelap mengalahkan segala rasa kantuk yang ada.

Hingga tanpa sadar waktu bergerak mengusir kegelapan merubahnya menjadi sedikit keabu-abuan, tak lama setelah itu terdengar lantang suara khas seorang lelaki usia 50 an berkumandang. “Subuh sudah.” Gumamku dalam hati.

Namun tetap saja seperti biasa, tak ada gerakan sedikitpun beranjak dari tempat yang kini ku duduki. Tak tergerak sama sekali hati ini untuk melangkah ke Masjid yang bersebelahan dengan rumah, tepatnya di pesantren.

Kini kaki malah melangkah masuk ke dalam rumah, dingin fajar semakin mencekam di kulit. Kedua mata mulai berat, dan ku rebahkan tubuhku yang cukup lama berselimut dingin di luar rumah, dan aku hanya merasa kini diri ini melayang entah di bumi bagian mana.

...****************...

Foot note :

1 Maksudnya disini adalah menyuruh Fatimah membalas terlebih dahulu baru hp di pinjamkan. Dengan bahasa Kupang, dan bahasa Kupang salah satu bahasa di NTT yang di bolak balik dari bahasa aslinya, yaitu bahasa Indonesia. Jadi tidak sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).

2 Ko : seperti kata tanya Apakah, terkadang juga digunakan hanya untuk tambahan kata tanya, seperti kata ‘Kah’partikel Kah.

3 Su : kepanjangan dari sudah. Bahasa Kupang.

Desa Mnela'anen

Drrrt!!!! Drrrtt!!!! Drrtt!!!

Mode getar. Membuat kedua mataku

terbuka sayup-sayup, nyawa masih

separuh sadar.

Perlahan tangan meraih hp yang berada tak jauh dari tempat aku terlelap, ku lihat sejenak nama kontak yang kini sedang ada panggilan masuk itu. Fatimah Surabaya.

Seketika jantung berdegup, kedua mata seolah tak lagi serasa ada perekat sedikitpun, los banget terbuka, dan kantuk menghilang. Aku terperanjat duduk, sembari sedikit mengucek mata, dan mengangkat video call tersebut. Yang tak mungkin aku reject sedikitpun.

“Halo!!! Ali... rindu deh, apa kabarmu di sana?!”

terdengar sedikit berteriak riang di jauh sana, dia seperti bahagia mendapati wajahku.

Seketika aku menanggapi kata-katanya,

“Halah....”

“Maafin akuu dong Alii... kamu jangan marah,

aku tidak balas wa kamu tadi malam aku sudah tidur kecapean..” ucapnya, sembari dengan nada memohon yang ku dengar.

Dan aku masih memasang wajah acuh, “Apa

sih, aku kan tidak marah.” Jawabku.

Dan seketika entah apa yang merasuki diriku, perasaan yang aku sendiri tak bisa jabarkan aku rasakan, dan mungkinkah ini perasaan bahagia karena mendengar kata-kata manjanya? Aku juga tidak tau.

Dan dalam hati aku bergumam, aku lebih rindu andai kamu tau itu.

Aku pun berusaha menyembunyikan perasaanku ini, dan aku lah yang paling hebat dalam hal itu,

“Jam berapa memang kemarin kamu sampai?” tanyaku padanya, mencairkan kekakuan sikapku padanya.

Dia terlihat senang mendengar pertanyaan

bodoh dariku di layar hp dalam video call.

“Nyampek sore, dan malam nya aku tidak kuat lagi menahan kantukku.” Dia menjawab dengan penuh semangat dari setiap pertanyaan ku untuknya.

Sedikit heran dengan sikap cerianya,

semangatnya, antusiasnya, setiap dengan diriku. Hal yang sangat jelas membuat siapapun yang berada di posisiku menjadi berkepala besar.

Kami pun sedikit lama mengobrol dalam vc itu, dan tak ku duga, hal sekecil itu sedikit banyak membuatku cerah dan melakukan berbagai hal positif seharian itu.

Meskipun aku benar-benar tidak ada di desa Mnela’anen selama dia tidak ada di sana. Aku full time ada di desa Oeekam.

Hawa seketika terasa sangat bersahabat, mulai dari bisikan anginnya yang seolah membisikkan bahwa dia juga sangat merindukan aku. Lambaian dedaunan di pohon-pohon yang tumbuh berjajaran di depan dan belakang rumah, sampai pasir di halaman pun terasa sangat bersahabat di setiap ku rebahkan tubuh hitamku di atasnya.

...****************...

Berkumpul dengan keluarga, ada bibi, paman,

Morgan, dan adik-adik perempuan dan laki-laki, semua ada di ruang tamu rumah kecil yang dikelilingi bahan kayu itu. Pintu kayu juga masih terbuka lebar, meski gelap sudah mulai menyelimuti langit Oeekam.

Semerbak bau khas dedaunan, tersapu nya pasir oleh tiupan angin, dan berkebulnya asap rokok yang ada di antara jemariku, melengkapi kesyahduan di malam itu.

Meski tak lama aku duduk diantara mereka, karena segelintir pikiran tiba-tiba membuatku ingin beranjak dari tempat itu.

“Be pi¹ dulu ke Mnela.” Pamitku pada keluargaku itu.

“Su datang ko² Mbak?” bibi menggodaku.

Beliau sedikit mengerti dari sekian obrolanku selama ini yang tidak jarang menyebut nama

“Mbak” pada mereka, terlebih hampir setiap hari aku dan dia melakukan vc dikala ada di rumah.

“Son³ tau na⁴. Be cuma mau datang pi sana,

takutnya dong kawan ada cari be.” Jawabku.

Karena memang aku benar-benar belum tau apakah Mbak’e itu sudah datang atau belum. Seharian ini aku belum mendengar kabarnya.

Namun entah angin mana yang bertiup memanggil namaku untuk beranjak menuju Mnela’anen.

Ku susuri jalanan sepi nan sunyi, bertemankan

lolongan anjing, dan dingin malam yang menusuk ke pori-pori kulit. Dengan menggunakan motor setiaku, vega ZR tahun 2011.

Dengan sesekali menghisap rokok yang masih setia pula berada di antara jemariku, santai, damai, tak tergesa-gesa sedikitpun laju motorku menuju desa sebelah, Mnela’anen.

Sesampainya diperbatasan, semakin sunyi dan

terlewati pula sebuah pasar dimana hanya terdapat dua kios yang masih melayani pembeli hingga 24 jam, meski tidak ku lihat ada pembeli di sana, hanya segelintir orang yang berbincang-bincang di dekat kios¹¹ tersebut.

“Leko-pa¹²...” sapaku pada segelintir orang

itu.

Meski sebenarnya tidak jarang ku kunjungi

desa ini maupun desa lain, tapi gara-gara

perkuliahan, aku harus selalu datang disini. Setiap hari seharusnya, hanya saja sudah sekitar 3 hari aku tidak datang, dan hal itu sangat berguna bagiku.

Hari libur, tanggal merah Hari Raya Idul Adha. Aku sangat memanfaatkan hari-hari liburku, meski aku merasa tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kesepian dan tepatnya karena bersamaan dengan hari ulang tahunku.

Yang membuat berbeda adalah aku harus

menyibukkan diri dengan tugasku. Sebagai seorang mahasiswa tingkat menuju akhir, belum bisa ku katakan sebagai mahasiswa akhir, karena ini masih awal, awal kehidupan baruku, dengan adanya tugas yang biasa orang menyebutnya “Kkn” Kuliah Kerja Nyata. Bertepatan dengan itu aku di tempatkan di tempat aku dibesarkan.

Meski tidak secara langsung, hanya bertetangga, sengaja dibuat seperti itu agar tidak ada kecemburuan sosial dengan mahasiswa lain.

Disinilah aku memulai segalanya, desa Mnela’anen. Memulai kisah ku, memulai jerih payahku, memulai kisah kasih nyata itu yang ramai disebut-sebut di media sosial kalimat itu.

“Bro, datang juga lu!” Sapa seorang kawanku, sama-sama asli daerah Timor, Samir.

Menyapaku dengan sapaan yang ku anggap itu adalah sapaan hangat darinya.

Sembari menyimpan motor di samping rumah yang ku tempati selama kkn, aku menjawab sapaan Samir, “Mau lu be son datang begitu?!” tak luput tawa ku lontarkan juga, dan membuat Samir tertawa juga.

“Dari mana aja lu Ali, su lama son keliatan lai

di Mnela ko.”

Dia berucap seolah-olah sangat merindukan

sosok kehadiran diriku di desa Mnela’anen.

Namun saat aku belum selesai tuntaskan senyumanku menanggapi ucapannya, dia melanjutkan kata￾katanya.

“Atau lu son datang tunggu mbak datang baru

mau datang?” Langsung seketika aku menyahut, “Aiiii, sonde lah. Ini buktinya be datang to dan mbak ju belum datang.” Kami pun tertawa terkekeh-kekeh.

Tanpa ada yang mengetahui, tanpa ada yang memahami satu hal pun saat itu, malam yang semakin larut dan entah apa yang membuat seisi rumah di Mnela’anen belum ada yang beranjak tidur hingga hampir jam 1 dini hari. Meski para kaum hawa sudah terlelap dikamar mereka.

Namun para lelaki belum ada yang mengantuk.

Dan tak lama setelah kedatanganku yang telah sekian hari tak datang ke Mnela’anen, mobil Avanza putih tiba-tiba berhenti di depan rumah Kepala Desa Mnela’anen, rumah yang sekarang ini kami tempati selama kkn, tepat di depan rumah mobil tersebut berhenti, dan seketika itu pula dag dig dug jantungku, entah apa yang aku pikirkan. Yang ternyata tak jauh dari apa yang terbesit dalam hati.

“Assalamu’alaikum...” sedikit berteriak namun

tidak begitu keras, mungkin karena dia tahu ini sudah larut malam. Suara itu mendekati ruang tengah rumah, dimana dia temukan aku, Samir dan Irul di sana. Yang secara bersamaan kita menoleh pada sesosok wanita dari Jawa itu, mbak’e.

Irul langsung berdiri dari kursi plastik yang didudukinya, keluar rumah mengikuti Fatimah yang sedari awal berseru agar kami membantunya. Aku hanya ikut keluar rumah dan berdiri melihati apa yang dilakukan Irul, Samir, dan Nayla yang juga datang bersamaan dengan Fatimah.

Sembari menghisap sisa-sisa rokok di jemariku yang sudah hampir habis, aku masuk kembali ke dalam rumah saat mereka selesai mengangkut semua barang bawaan mereka berdua.

Fatimah dan Nayla datang dari Kupang, jauh-jauh kesana hanya untuk merayakan hari raya idul adha tahun ini di sana.

Dan bersamaan dengan mengingat akan semua hal itu, aku tak bergairah untuk turut membantu menyambut kedatangan dan memindahkan barang bawaannya dari mobil Avanza putih itu ke dalam rumah.

Setelah beberapa menit yang ku kira sudah

turut tidur mengikuti teman-teman wanita yang lain, orang yang ku panggil Mbak’e itu keluar dari balik tabir biru yang menutupi kamarnya bersama teman￾teman lain, dia keluar dengan langkah kaki perlahan, dan tanpa ku sadari di tangannya membawa sebuah,

“Kue kah itu?” gumam ku dalam hati, sembari

menghabiskan rokok itu.

Bersamaan dengan itu dia tiba-tiba sembari

menyanyikan sebuah lagu, “Happy Birthday to you....” untukku? Kembali hati bergumam, dan bersamaan dengan itu pula rokok yang telah habis itu ku buang, tawa kecilku pun terdengar.

Tak mampu menahan tawa, aku dan Irul yang

juga sedang berulang tahun dimana tanggal, bulan dan tahun kelahirannya sama denganku pun ikut tersipu malu mendapatkan kejutan kecil dari seorang wanita dari Jawa.

Dia keluar dari kamar bersama dengan Nayla, dan keduanya membawa kue yang sama hanya

berbeda rasa saja tampak terlihat dari kedua kue yang berbeda warnanya.

Kue kecil, mungil, hanya sebesar genggaman

jari telunjuk dan ibu jari saja. Fatimah berdiri tepat di depanku. Sedangkan Nayla berdiri di belakang Fatimah, dan Irul duduk bersebelahan denganku tepatnya disebelah kanan ku. Sehingga membuat Fatimah yang berada tepat di depan sebelah kiri ku pun secara tidak langsung tidak bisa mendapati Irul sebelum melalui aku terlebih dahulu.

Spontan tak lama setelah dia berada di depanku, dia sodorkan kue itu memenuhi mulutku, tetap sambil berucap selamat ulang tahun, namun kini ditambahi kata-kata lain, “Maaf ya kuenya kecil, kamu sekarang harus mau menerima suapan ku,” cara dia berucap seolah dia mengutukku, geram telah lama tak jumpa denganku pastinya.

Aku hanya terdiam tersumpal kue dan ku

kunyah perlahan kue itu, “Ada-ada sa Mbak’e ini...” gerutu ku, sembari mengunyah kue yang disuap kan ke mulutku.

Tiba giliran Irul, dia kebingungan, dimana seharusnya dia yang ternyata memang sengaja mengajak Nayla keluar memberikan kue itu

bersamaan dengan dia memberikannya untukku,

Nayla seharusnya menyuapkan untuk Irul, namun kue itu dengan malu-malu disodorkan ke arah mulut Irul, Irul langsung menangkap kue itu dan memasukkan kue itu dengan tangannya sendiri.

Kami pun tertawa, terlebih diriku. Yang saat

itu juga dalam hati aku terus saja berkata-kata

sendiri, senang sekali yang aku rasakan malam itu, tak terduga, begitu mengejutkan, dan aku merasa menjadi orang paling disayangi saat itu. Terharu.

Tak lama setelah itu, keduanya berlalu dari

hadapan aku dan Irul. Di ruang tengah itu, dimana kejadian mengejutkan terjadi, selain ada aku dan Irul di sana juga ada teman ku yang satunya lagi, dia juga dari Jawa sama seperti Fatimah, hanya saja Fatimah lah satu-satunya wanita di desa Mnela’anen yang kkn dari Jawa.

Dia bernama Fahri, dia dari awal kejadian mengejutkan itu sudah ada bersama aku dan

Irul. Dimana selama itu juga dia hanya memalingkan wajah tidak menanggapi apapun atas apa yang dilakukan oleh Fatimah dan Nayla padaku dan Irul.

Ada satu lagi teman Fahri yang dari jawa satu

kelompok dengan kita di desa Mnela’anen, dia

bernama Giga. Giga saat ini sudah tidur lebih dulu dikamar belakang bersama yang lain. Aku disini kkn berjumlah 13 orang seluruhnya, dimana terbagi 3 orang dari kampusku, terdiri dari aku, Nayla dan kak Yani. 3 orang dari kampus Kristiani, yang ketiganya adalah wanita semua. 4 orang dari kampus lain di kota Kupang, terdiri dari Samir, Irul, Hasan, dan si gendut Yana. Dan 3 orang dari kampus Surabaya, terdiri dari Fatimah, Fahri dan Giga. Dimana kkn ini merupakan kkn pertama kalinya perpaduan antara kampus Islam dan Kristiani. Diketuai oleh pihak kampus dari Surabaya. Dengan menggunakan tema “Peace Building”.

Sampai jam 02:00 WITA dini hari, aku akhirnya memejamkan mata dari semua kejadian malam itu.

...****************...

foot note :

1 Pi kepanjangan dari pergi.

2 Ko : apakah.

3 Son kepanjangan dari Sonde. Sonde : tidak.

4 Na : hanya kata pelengkap. Seperti lah, juga, dan lain-lain.

11 Kios : toko.

12 Lekopa : permisi. Bahasa Dawan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!