Di sebuah lorong rumah sakit yang ramai. Seorang gadis melangkahkan kakinya dengan gontai dan malas. Air mata membasahi pipi putihnya terus menerus.
Sesekali, tangan gadis itu dengan cepat menghapus buliran bening yang jatuh dari matanya. Suara isak tangis yang berusaha ia tahan, membuat orang-orang tidak begitu memperdulikannya.
Kaki gadis itu berhenti saat ia melihat sebuah kursi yang berada di pojokan taman rumah sakit tersebut.
"Ya Tuhan ... ini sangat sulit untukku. Tolong aku Tuhan," ucap gadis itu merintih pelan.
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Berharap, kalau ini adalah sebuah mimpi yang tidak akan pernah jadi nyata.
Sebuah tangan kekar dengan lembut menyentuh pundaknya. Gadis itu sontak langsung membuka matanya untuk melihat, siapakah yang sedang berada di sampingnya saat ini.
"Kak Bram," kata gadis itu sambil menghapus air matanya dengan cepat.
"Kakak tahu apa yang kamu rasakan, Thalia. Kamu tidak perlu menyembunyikan perasaanmu dari kakak."
"Aku gak papa kak. Dan, tidak ada yang ku sembunyikan juga dari kakak."
"Jangan pura-pura kuat Thalia. Kakak tahu kalau saat ini kamu sedang rapuh dan bersedih."
Thalia melihat kedua mata kakaknya yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan iba. Selama ini, hanya kakaknya yang tidak pernah bisa ia bohongi. Apalagi soal perasaan yang sedang ia rasakan.
"Kakak tahu kamu tidak ingin menuruti apa yang ayah inginkan," ucap Bram sambil membelai rambut adiknya.
"Kakak juga tahu, kalau kamu saat ini sudah punya orang yang kamu cintai," ucap Bram lagi.
Bram tahu siapa Thalia. Adiknya ini, sangat pandai menyembunyikan apa yang sedang ia rasakan. Sejauh ini, Thalia adalah adik yang sangat penurut. Apalagi pada ayah dan bunda mereka.
"Kak Bram, permintaan ayah kali ini terlalu berat bagi Lia. Tapi bagaimanapun, Lia harus tetap melaksanakan apa yang ayah inginkan," ucap Thalia dengan mata berkaca-kaca.
"Apa kamu sudah memikirkan semuanya masak-masak Lia? Kakak tidak ingin kamu menyesal nantinya."
"Permintaan ayah tidak mungkin Lia tolak kak. Kakak tahu kan bagaimana dengan kondisi ayah saat ini."
"Tapi tidak dengan mengorbankan kebahagiaan kamu Lia, hanya untuk balas budi. Ayah selalu saja bersikap sesuka hati," kata Bram dengan sangat kesal.
"Kak Bram. Sejak kamu menikah dengan gadis pilihan kamu dan meninggalkan rumah. Ayah selalu memikirkan mu dan selalu bersedih. Aku percaya, ayah selalu menyayangi kita."
Bram terdiam tanpa bisa berkata apa-apa. Hatinya merasa malu saat ia melihat, betapa adiknya memikirkan bagaimana orang tua mereka. Sedangkan dia, ia hanya memikirkan kebahagiaan dan masa depan yang ia pikir harus ia perjuangkan.
"Maafkan kakak Lia. Kakak tidak bisa membuat kamu dan keluarga kita bahagia. Sekarang, apapun keputusan kamu, kakak akan mendukung dan selalu mendoakan yang terbaik buat kamu."
Thalia melihat wajah pasrah dan sedih di wajah kakaknya. Ia sebenarnya tidak berniat untuk menyingung apa yang telah terjadi dengan kehidupan dan jalan yang kakaknya pilih. Tapi tanpa sengaja, ia malah membuat kakaknya merasa bersalah.
"Kak Bram. Maafkan Lia."
"Kamu tidak salah adik kecil. Kamu adalah adik yang selalu membuat hatiku bangga," ucap Bram sambil mengusap lembut rambut Lia.
Bram lalu membawa tubuh Thalia kedalam pelukannya. Ia memeluk adiknya erat-erat. Rasa bersalah karena tidak bisa membuat adiknya bahagia, selalu ada dalam hati Bram.
.....
Satu minggu kemudian, Lia resmi menikah dengan Rama. Rama adalah anak dari teman ayah Thalia, sekaligus dokter yang selama ini merawat ayah Thalia.
Pernikahan tanpa cinta itu berlangsung dengan lancar. Setelah pernikahan selesai, Thalia langsung di bawa Rama pulang kerumahnya.
Rama adalah seorang dokter yang menyandang status duda selama tiga tahun ini. Istri Rama meninggal saat kecelakaan lalu lintas. Mobil yang mereka kendarai menabrak pembatas jalan. Saat itu, usia pernikahan Rama dan sang istri baru saja memasuki dua bulan.
Kecelakaan itu mampu mengubah Rama yang agresif menjadi dingin dan pendiam. Kecelakaan itu juga membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk Rama bangkit dari traumanya. Ia membutuhkan waktu yang lama agar bisa kembali menjalankan kehidupannya seperti semula.
Rama juga menutup hatinya selama tiga tahun ini. Tidak ada wanita yang ingin ia dekati. Ia tidak tertarik untuk membuka hatinya kembali. Dan pernikahan kali ini, bukanlah kehendak Rama. Ia juga terpaksa melakukan pernikahan ini. Itu karena permintaan papa dan mamanya, juga karena permintaan dari ayah Thalia.
Rama terpaksa menikahi Thalia karena bujukan dari orang tuanya. Juga karena kasihan dengan ayah Thalia yang sangat berharap Rama menikahi anaknya.
Ayah Thalia takut anaknya tidak mendapatkan suami yang tepat. Padahal, umur Thalia saat ini tergolong sangat muda. Thalia baru berumur dua puluh tahun. Sedangkan Rama, ia sudah menginjak usia dua puluh delapan tahun saat ini.
Tapi sebenarnya, alasan yang sesungguhnya bukanlah karena takut Thalia tidak menikah, melainkan karena hutang budi. Ayah Thalia merasa berhutang budi pada Rama dan orang tuanya. Karena sejak mereka berteman hingga saat ini, ayah Thalia selalu saja di bantu oleh orang tua Rama.
Rama terkesan sangat dingin pada Thalia. Setelah akad nikah, Rama tidak bicara sepatah katapun. Bahkan, saat mereka duduk bersama dalam mobil, tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulut laki-laki itu.
Sangat sulit untuk mendengar Rama bicara. Bahkan, saat mereka sampai di depan rumah, Rama juga tidak bicara apapun. Bukan hanya dengan Thalia yang baru ia kenal, bahkan dengan sopirnya juga begitu. Rama tergolong laki-laki yang sangat irit suara.
Rama turun dari mobil tanpa memperdulikan Thalia. Ia bahkan tidak mempersilahkan Thalia untuk ikut masuk kedalam rumahnya.
"Nona, kita sudah sampai di rumah mas Rama sekarang," kata sopir itu sambil membuka pintu mobil Thalia dan tersenyum tipis.
"Makasih pak," kata Thalia sambil turun dari mobil.
"Jangan sungkan Non," ucap sopir itu lagi.
Thalia berusaha berjalan cepat agar bisa mengimbangi langkah pelan Rama. Sesekali, ia melihat sekeliling rumah yang tertata dengan rapi.
Pintu rumah terbuka lebar, saat Rama membunyikan bel. Dari balik pintu itu, muncul seorang wanita paruh baya yang tersenyum manis menyambut kedatangan Rama.
"Selamat datang mas Rama. Selamat datang nona. Silahkan masuk," kata wanita itu dengan ramah.
"Apakah kamarnya sudah siap, bik?" tanya Rama pada wanita paruh baya tersebut.
Ini adalah kali pertama Rama bicara setelah akad nikah tadi.
"Sudah mas. Bibik sudah membereskan kamarnya untuk non ...."
Bibik itu terlihat bingung untuk melanjutkan kata-katanya. Mungkin ia sedang berpikir, apa nama dari istri Rama yang baru ini.
"Nama saya Thalia bik. Bibik bisa panggil saya Lia," kata Thalia seakan tahu apa yang bibik itu pikirkan.
"Baiklah Non Lia."
"Antar kan dia ke kamarnya bik," kata Rama sambil berlalu meninggalkan Thalia dan pelayannya.
"Baik mas. Mari silahkan non Lia, ikut bibik. Bibik akan tunjukkan di mana kamar non Lia."
Awalnya, Lia tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tapi, setelah bibik itu mengulangi perkataannya untuk yang kedua kali, barulah ia sadar, kalau apa yang saat ini terjadi memang kenyataan.
Ternyata, Rama juga tidak mengharapkan pernikahan ini. Thalia mengira, kalau hanya dia yang tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi setelah datang ke rumah Rama, ia baru tahu, kalau Rama juga tidak mengharapkan dirinya.
Thalia mengikuti langkah kaki bibik itu menuju kamar utama di lantai dasar. Sedangkan Rama, ia tinggal di kamar atas rumah ini.
"Non Lia, ini kamar non Lia sekarang. Semoga, non Lia suka dengan kamarnya yah," ucap bibik sambil membuka pintu kamar.
Saat pintu kamar terbuka, Lia masuk dan melihat seluruh isi kamar. Suasana kamar itu terlihat indah. Semuanya tertata dengan rapi. Kamar itu juga sangat luas.
"Bibik gak tahu apa kesukaan non Lia. Tapi, semoga saja non Lia nyaman di rumah ini ya non."
"Makasih bik. Saya suka dengan kamar ini."
"Bagus deh non, jika non suka dengan selera bibik. Oh ya, non Lia bisa panggil bibik dengan panggilan bik Asih."
"Baik bik," ucap Lia sambil tersenyum pada bibik.
"Oh ya non. Besar harapan bibik pada non Lia. Semoga non Lia bisa memberi kebahagiaan pada mas Rama. Walau hanya sedikit saja kebahagiaan," kata bik Asih sambil tertunduk sedih.
"Apa maksudnya bik?" tanya Lia dengan tatapan penuh penasaran.
"Bibik sangat berharap, non Lia bisa membuat mas Rama tersenyum, walau hanya senyum kecil. Bahkan, satu kali saja tersenyum."
Lia semakin merasa penasaran. Ia tidak mengerti dengan apa yang wanita paruh baya itu katakan. Matanya menatap penuh pertanyaan pada bibik yang berdiri tegak dihadapannya saat ini.
"Apa yang bibik katakan, aku sungguh tidak mengerti bik. Kenapa dengan Rama?"
"Sejak mas Rama kehilangan istrinya, ia tidak pernah tersenyum lagi non. Bahkan, satu kali pun tidak pernah tersenyum. Yang ada, ia hanya menangis dan bersedih saat berada di kamarnya. Ini sudah tiga tahun berlalu, tapi mas Rama masih sama. Masih tidak bisa menerima kenyataan dan selalu menyalahkan dirinya atas kecelakaan yang merenggut nyawa istrinya itu."
"Jadi ... istri dokter Rama meninggal akibat kecelakaan?" tanya Thalia dengan nada iba.
"Iya non. Mbak Melati meninggal karena kecelakaan mobil. Dan mas Rama, ia tidak bisa menerima hal itu."
"Non Lia, berjanjilah pada bibik, kalau non Lia akan membuat mas Rama tersenyum kembali. Besar harapan bibik pada non Lia, supaya non Lia bisa menghilangkan sedikit saja kesedihan mas Rama," kata bik Asih sambil memegang kedua tangan Lia.
"Kenapa saya bik?"
"Karena non Lia adalah wanita pertama yang masuk kedalam rumah ini, setelah mbak Melati."
Lia menatap wajah bik Asih yang penuh dengan harapan. Mata wanita itu berkaca-kaca menatap Lia.
"Jangan terlalu berharap pada ku bik. Karena aku tidak yakin dengan diriku sendiri. Dan juga, bibik bisa lihat kan bagaimana sikap dokter Rama terhadapku."
"Bibik yakin non Lia bisa non," ucap bik Asih penuh semangat.
"Asalkan non Lia mau mencoba, bibik yakin non Lia bisa mengubah kesedihan mas Rama menjadi kebahagiaan."
Lia hanya bisa memberikan sebuah senyuman pada bik Asih. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi pada wanita itu. Ia juga tidak mungkin membuat wanita paruh baya itu kecewa dengan penolakannya. Ia terpaksa mengangguk saja ketika wanita itu begitu berharap padanya.
Dalam hati Thalia berkata, "Bagaimana bisa aku membuat dokter Rama bahagia? Sedangkan aku saja tidak bahagia saat ini."
Thalia membantu bibik menyiapkan makan malam buat mereka. Selama Thalia berada di luar, tidak sekalipun ia melihat Rama keluar dari kamarnya. Sejak ia masuk ke kamar setelah meminta bibik mengantarkan Thalia ke kamarnya.
"Bik, apakah dokter Rama hanya berada di kamarnya ketika pulang ke rumah?"
"Iya non. Mas Rama tidak akan keluar dari kamar jika tidak ada perlu. Ia hanya keluar saat makan malam dan saat ia ingin mengambil sesuatu."
"Jadi, selamanya ia akan berada di kamar ya bik?" tanya Lia seakan tak percaya dengan apa yang bibik katakan.
"Iya non. Mas Rama akan berada di kamar seharian, jika ia tidak perlu, maka tidak akan keluar."
Thalia hanya mengangguk sambil menatap pintu kamar Rama yang tertutup rapat. Ia sangat penasaran dengan apa yang Rama lakukan di kamar sampai tidak ingin keluar.
Bibik berjalan meninggalkan Thalia yang masih menatap pintu kamar Rama.
"Bik Asih mau kemana?"
"Bibik mau memanggil mas Rama untuk turun makan non."
"Bagaimana kalau aku saja yang naik untuk memanggilnya bik?"
"Baiklah."
Thalia berjalan menaiki anak tangga menuju kamar Rama. Hatinya terasa sedikit berdebar-debar ketika sampai di depan pintu kamar Rama. Tangannya terasa berat untuk mengetuk pintu kamar itu, namun tetap ia paksakan.
"Dokter Rama, ayo turun makan!" ucap Lia dengan nada berat.
Tidak ada jawab dari dalam kamar. Pintu juga tidak terbuka. Lia mengulangi ketukan sekali lagi sambil berucap kata-kata yang sama. Tapi, belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, pintu itu akhirnya terbuka.
Rama muncul dari balik pintu kamar dengan mata yang merah. Pelupuk mata Rama masih menyisakan bekas air mata yang jatuh dari matanya. Rama terlihat baru saja selesai menangis.
Tanpa sepatah katapun, Rama berlalu meninggalkan Thalia yang merasa iba. Tentunya, setelah menutup kamar rapat-rapat barulah ia berlalu pergi.
Makan malam Thalia kali ini tidak sama dengan makan malam Thalia yang telah lalu. Biasanya, makan malam Thalia dengan orang tuanya, selalu di bubuhi dengan obrolan ringan. Tapi kali ini, di rumah barunya, makan malam Thalia hanya berteman keheningan saja. Tidak ada sepatah katapun yang terucap, hanya bunyi sendok dan garpu saja yang terdengar.
Sesekali, Thalia mencuri pandang untuk melihat wajah Rama. Wajah itu hanya memperlihatkan ekspresi sedih saja. Wajah tanpa sedikitpun kebahagiaan dan terlihat menyimpan seribu penyesalan dan luka.
Setelah selesai makan, Rama berlalu meninggalkan meja makan tanpa kata. Ia kembali naik keatas menuju kamarnya. Tidak ada yang bisa Lia lakukan, ia hanya bisa melihat punggung Rama yang semakin menjauh, lalu menghilang di balik pintu kamar yang kembali tertutup.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!