NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Kinara

Prolog

Hallo, perkenalkan saya author baru. Baru netes dan baru punya dua karya.

Sebelum membaca, tolong kalian pahami.

Novel ini asli karya sy, buah pikir sy sendiri.

Jika terjadi kesamaan nama, tokoh dan jalan cerita itu hanya kebetulan semata.

Harap kalian bijak dalam menyikapi, terimakasih 🙏

Happy Reading ❤️❤️ and enjoyed ❤️😍

Dika Mahendra (26 Tahun)

Dika Mahendra, yang akrab disapa Dika, adalah seorang laki-laki baru berusia 26 Tahun.

DIa memiliki karier yang cemerlang,

Diusianya yang terbilang masih muda Dika sudah menjadi salah satu pengusaha kaya raya di Asia. Pencapaian yang sering membuat orang lain iri dan berdecak kagum padanya.

Dika adalah anak tunggal dari keluarga Mahendra, itu artinya dia adalah satu-satunya pewaris dari semua harta dan aset keluarga Mahendra. Kehidupan Dika bisa dikatakan mulus-mulus saja.

Dia memiliki keluarga yang harmonis, wajah yang tampan dengan bola mata hitam bening, hidung mancung dan kulit putih, tinggi badannya tak tanggung-tanggung. Dia memiliki tinggi badan 185 cm, tubuh Dika yang atletis dengan perpaduan wajah yang tampan dan juga kekayaan yang melimpah tak jarang membuat Dika digilai banyak wanita.

Tetapi sampai saat ini hanya ada satu wanita yang bisa menggetarkan hatinya. Wanita yang telah pergi merenggut semua perasaan cintanya.

Hingga detik ini tidak ada ruang bagi wanita lain untuk mengisi hatinya.

Sampai suatu ketika ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil, sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Ayahnya meminta Dika berjanji untuk menikah dengan anak gadis dari sahabatnya.

Karena saat itu kondisi Ayahnya yang sangat buruk, tanpa berpikir panjang Dika pun langsung menyetujui permintaan terakhir Ayahnya.

Kinara Amalia (21 Tahun)

Kinara Amalia yang akrab disapa Kinar adalah seorang gadis yang masih menempuh pendidikan di Universitas di Kota A.

Kehidupannya biasa-biasa saja, Kinara memiliki banyak teman, dia merupakan wanita luar biasa yang memiliki pribadi periang dan lembut.

Memiliki keluarga yang saling mencintai satu sama lain. Teman-teman yang baik dan perhatian.

Yah,

kehidupan yang sempurna menurutnya.

Suatu hari Kinara dikejutkan dengan kabar berita yang dibawa Ayahnya. Datang sebuah lamaran dari anak sahabat Ayahnya. Tanpa bertanya lebih dulu pada Kinara, lamaran laki-laki itu langsung diterima oleh orang tua Kinara.

Ayah Kinara hanya seorang Pegawai Negeri Sipil di salah satu Sekolah Dasar yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Ayahnya sudah pensiun sejak satu tahun yang lalu.

Sementara ibunya, hanya seorang Ibu Rumah Tangga biasa. Yang kerap kali membantu perekonomian keluarga dengan berjualan gorengan.

Akhir-akhir ini kondisi kesehatan Ayahnya sering menurun, selain karena faktor usia, ayah Kinara juga mengidap penyakit jantung yang sewaktu-waktu bisa membuat keadaannya semakin memburuk.

Karena alasan itulah Kinara tak kuasa untuk menolak setiap perintah yang datang dari mulut laki-laki yang dipanggilnya Ayah. Dengan berat hati Kinara menerima lamaran dari anak sahabat ayahnya.

Amanda Aurelia (16)

Amanda Aurelia, yang akrab disapa Manda adalah adik satu-satunya dari Kinara Amalia, anak bontot yang masih menempuh pendidikkan di bangku SMA itu merupakan pribadi yang kritis,

tak jauh berbeda dengan kakaknya, Manda merupakan anak yang ceria.

Memiliki pribadi yang sangat ramah dan sopan.

Memang, didikkan orang tau mereka sungguh luar biasa.

Memiliki dua orang anak perempuan yang bisa dibanggaka dan mampu menjaga kehormatan keluarga adalah sebuah pencapaian yang luar biasa bagi orang tua mereka.

🍃🍃🍃

Dua Bulan Kemudian

"Ayah harus kuat, ayah harus bertahan.” seorang gadis berusia 21 tahun sedang menangis memegangi tangan Ayahnya.

Gadis itu adalah Kinara.

“Ayah, jangan menyerah," lirih gadis kecil yang baru berusia 16 Tahun. Dia tak kuasa bersembunyi dari kesedihannya.

Tangisnya pun pecah, jauh berbeda dengan kakaknya yang masih bisa bersandiwara di depan ayahnya.

Manda tidak sanggup lagi membendung air mata yang yang sedari tadi ditahannya, tumpah sudah, Manda menumpahkan air mata di hadapan Ayahnya yang sedang terbaring di ranjang pesakitan.

“Sabar Kinar, jangan berhenti berdoa Nak.”

Seorang wanita paruh baya berusia kurang lebih 45 tahun menepuk-nepuk lembut pundak Kinara seraya menenangkan

Wanita yang masih terlihat sangat muda diusianya yang sudah menginjak kepala empat lebih sedikit.

Dengan kulit putih bersih dan kencang, sepertinya terawat cukup baik. Wanita itu sedang mencoba menguatkan calon menantunya.

Iya,

wanita itu adalah Marta Mahendra. Ibu dari Dika Mahendra, calon mamah mertuanya.

Sementar di kursi seberang sana duduk seorang perempuan yang sudah termakan usia sedang merapal doa, jarinya terus memutar tasbih yang sejak tiga jam lalu di pengangnya.

Wanita itu adalah Mirna, ibu kandung Kinara dan Amanda.

Di belakang Kinara berdiri sosok laki-laki yang sangat tampan, mereka sering menyebutnya sebagai calon suami Kinara.

Namanya Dika.

Ya,

Dika Mahendra adalah laki-laki yang melamar Kinara tiga bulan lalu. Yang lamarannya langsung diterima oleh orang tua Kinara.

Kini sosok yang terbaring lemah di atas ranjang pesakitan itu mencoba menggerakkan kepalanya, dia menatap dalam ke arah Kinara dan Manda secara bergantian. Melihat dengan seksama dua gadis kecilnya yang telah tumbuh dewasa dan menjelma mejadi wanita cantik.

Dengan napas yang mulai tersengal, dan hidung yang sudah terpasang alat bantu pernapasan, dia mencoba menggerakkan bibirnya.

“Menikahlah hari ini juga, nak. Ayah takut waktu Ayah tidak banyak. Ayah ingin melihatmu menikah," katanya terbata, perjuangan yang luar biasa bagi Ayah Kinara meminta Kinara untuk segera menikah.

Sepertinya Marta mengerti dengan kondisi calon besannya.

Marta segera meminta orang-orangnya mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan untuk acara pernikahan anaknya.

Pernikahan sederhana, tanpa pesta, tanpa hidangan mewah, dan tentunya tanpa ucapan selamat.

Dengan polesan make up sederhana dan kantung mata yang mulai menghitam, Kinara sedang duduk di samping tubuh Ayahnya.

Sementara di samping Kinara duduk seorang laki-laki berpakaian rapi, mengenakan kemeja berwarna putih dan jas berwarna biru gelap dipadu dasi yang melilit lehernya berwarna senada, tatanan rambut yang sangat rapi dan sepatu yang mengkilat.

Pakaian seperti itu mungkin akan menjadi pemandangan sehari-hari setelah Kinara resmi menjadi istri dari pengusaha kaya raya.

Sementara itu hadir dua orang laki-laki lagi yang wajahnya sangat asing bagi Kinara, dua orang itu adalah bawahan Dika.

Mereka datang bukan tanpa alasan, satu-satunya alasan mereka ada di sini ialah untuk menjadi saksi pernikahan Kinara dan Dika.

Seorang penghulu dengan wajah serius mulai menuntun Ayah Kinara untuk memimpin akad nikah.

Dengan suara terbata Ayahya menjabat tangan Dika, tak membutuhkan waktu lama bagi Dika untuk mengucapkan Akad nikah dengan lancar, hanya sekali ucap semua orang di ruangan itu berkata “Sah.”.

Hari ini Kinara Amalia telah resmi menjadi istri dari Dika Mahendra.

Laki-laki yang tidak pernah dia temui sebelumnya, laki-laki asing yang dia anggap seperti malaikat, ternyata masih menyimpan nama wanita lain di hatinya.

Ayah Kinara mengembuskan napas terakhirnya satu jam setelah prosesi akad dilaksanakan.

Sebelum menutup mata untuk yang terakhir kalinya, Ayah Kinar memegang tangan Dika.

Dia hanya meminta satu hal pada Dika.

“Kinara adalah anak kesayangan kami, dia akan menjadi istri yang berbakti padamu.

Kinara itu anaknya penurut dan tidak akan banyak menuntut, Ayah hanya minta agar Nak Dika bisa melindungi, mengasihi, mencintai dan menyayanginya, tolong jangan pernah menyia-nyiakannya dan jangan menyakiti Kinara. Janji, ya?”

Itu adalah kalimat terakhir dari ayahnya yang bisa didengar oleh Kinara. Tanpa berpikir panjang Dika mengiyakan permintaan Ayah Kinara.

“Ya, Ayah. Dika janji.”

Di sudut ruangan ada seorang wanita yang baru memiliki orang lain sebagai sandaran hidup, namun juga kehilangan satu sandaran hidup lainnya.

Mampukah Kinara bertahan? Mampukah Kinara hidup bahagia dengan Dika. Dan mampukah Dika memegang Janjinya pada Ayah Kinara?

\=\=\=> Bersambung.....

Kematian Ayah

~Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan selain kematian.

Kematian jauh lebih sakit dari perpisahan itu sendiri.

Jika rindu ke pada yang masih ada, sekali pun rindu itu tidak pernah terbalas. tetapi rindu itu tetap sampai.

Namun, memberikan rindu pada orang yang sudah tiada.

Bukan hanya tidak akan pernah terbalas, tetapi juga rindu itu tidak akan pernah sampai~

***

"Jadi, ibu-ibu dan bapak-bapak yang saya hormati. Perkenalkan ini adalah suami Kinar, namanya Dika, dan ini Ibunya Dika, namanya Bu Marta." Mirna menunjuk besan dan mantunya secara bergantian.

"Beliau adalah besan saya itu artinya mertua Kinara," ucapnya datar tapi ada senyum tipis di wajahnya.

"Kinar dan Dika sudah menikah kurang lebih empat jam yang lalu, Bu, Pak. Di saksikan Pak Penghulu sebagai saksi pemerintahan, dua orang saksi lainnya dari pihak keluarga Dika, dan di walikan langsung oleh Almarhum Ayah Kinar sendiri, sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya," jelasnya.

Mirna memperkenalkan Dika ke pada para tetangga, Dika yang sejak tadi berdiri di samping ibu Kinar hanya bisa tersenyum dan mengangguk pelan.

Itu cukup bagi Dika untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang terus menjatuhkan tatapan mata padanya, sejak pertama kali Dika turun dari mobil, seolah bertanya 'siapa laki-laki ini?' pikirnya.

Tetangga yang hadir untuk membantu acara pemakaman ayah Kinara hanya manggut-manggut, mengerti.

Penghulu yang juga diminta secara khusus untuk hadir sebagai saksi ikut membenarkan kalimat yang diucapkan Mirna.

Bukan tanpa alasan Mirna repot-repot mengumpulkan tetangga, dan memberi pengumuman perihal pernikahan anaknya.

Mirna sadar, sebagai orang desa melihat kedekatan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah, merupakan suatu hal yang masih tabu dan akan menjadi bahan gunjingan orang-orang. Dan Mirna tidak ingin putri kesayangannya menjadi bahan gunjingan.

Seperti itulah kurang lebih Mirna memperkenalkan anggota baru di keluarganya, meskipun saat ini sejujurnya Mirna ingin tetap membisu, dan terus merapal do'a untuk laki-laki yang kini terbaring kaku, berkain kafan dan berwajah pucat.

Mirna sadar, dirinya harus tetap kuat. Setidaknya, harus berpura-pura untuk terlihat kuat.

Ya,h

terlihat kuat meski pada dasarnya dia tidak mampu melakukan itu.

Di sudut pintu, di kursi kayu yang sudah termakan usia duduk seorang gadis dengan wajah lusuh, lebih lusuh dari cucian kering yang belum disetrika.

Jika sebelum menampakkan kesedihan saja wajah dengan kulit putih itu sering terlihat pucat. Apa lagi dengan hari ini?

Semua garis di bagian wajah gadis itu terlihat kaku, wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup.

Bibirnya yang tipis itu terlihat kering, seperti memberi tahu semua orang jika dia belum meneguk air barang setetes pun.

Matanya yang tidak terlalu besar, terlihat sedikit bengkak, kantung mata itu sedikit menghitam, seperti memberi tahu semua orang, dirinya belum terlelap dalam tidur barang semenit pun.

Tak nampak sisi bahagia di sorot matanya, kebanyakkan wanita akan memiliki sorot mata berbinar ketika mendapati dirinya tidak lagi lajang.

Namun, apa yang perlu dia perlihatkan sudah dia perlihatkan. Perasaan hancur, kesedihan yang mendalam, seperti ingin berteriak sekuat tenaga. Meminta keringanan, jika saja bisa.

Kematian bukan perkara yang bisa di tawar, tidak seperti ketika dirinya mendapat nilai buruk dari salah satu dosen, dia masih bisa melakukan tawar menawar. Mengajukan beberapa solusi lalu bernegosiasi.

Tidak!!

Cara kerja Tuhan itu berbeda, apa yang Mutlak bagi-Nya, tak ada satu suara pun yang bisa mengajukan bandingan.

Rambut hitam apnjang yang hanya diikat karet gelang, dengan pakaian yang sederhana, tak lupa dia melepas sepatu high heels yg mengeluarkan bunyi ‘klatak-klatak’ ketika beradu dengan lantai. Dan Kinara tidak suka itu.

Dia menggantinya dengan sandal jepit yang selalu pas dan nyaman saat dikenakan.

Jaga Image!

begitulah teman-teman Kinara sering memperingatkan. Lagi pula untuk apa, bagi Kinara apa yang membuatnya nyaman, itulah yang harus ia kenakan.

Tidak boleh ada yang mengatur cara berpakaian, cara bejalan, pokoknya tidak. Tidak ada interupsi apa pun.

Di samping Kinara, ada suara tangis yang terdengar cukup keras. Suara tangis itu datang dari adiknya, Manda.

Amanda yang masih terlalu kecil untuk merasakan betapa pahitnya kehilangan, tentu saja tidak mampu menutupi kesedihan hatinya. Apa yang harus di tumpahkan, tetap harus di tumpahkan.

Amanda menangis sejadi-jadinya, tersedu memanggil nama Ayahnya, bahkan sempat mengguncang tubuh laki-laki yang telah menemaninya selama enam belas tahun.

Kinar terus memeluk erat tubuh Amanda, mencoba menguatkan hati, mencoba menjadi pilar yang kokoh untuk adik satu-satunya.

***

Di dalam ruangan kecil, di ruang tamu yang sempit itu tubuh ayah Kinara terbaring kaku, ruang tamu yang hanya bisa menampung kurang lebih dua puluh orang saja, itupun sudah dengan keadaan kosong, kursi dan meja sudah dikeluarkan, begitu pula dengan televisi yang hanya berukuran 21 inch.

Beberapa orang sudah mengelilingi tubuh ayah Kinara yang berada di tengah, memegangnya, memutarnya, mengikat, sampai menutup bagian wajahnya.

Kinara melihat ayahnya hanya bisa diam, laki-laki yang biasanya selalu mengomentari apa pun yang dilakukan Kinara, kini membisu.

Tidak ada protes, tidak ada komentar. Dia seperti pasrah dengan apa pun yang akan dilakukan orang lain pada tubuhnya.

Kinara tidak memiliki hati yang besar, tidak memiliki kelapangan yang lebar. Mana mungkin dia bisa duduk di depan tubuh Ayahnya. Melihat sendiri ayahnya dibungkus kain kafan.

“Sabar, Kinara, janji Tuhan itu tidak bisa dimundurkan atau dimajukan. Kita sebagai manusia hanya bisa menerima dan menjalaninya dengan tulus, ikhlas. Jangan memberatkan perjalanan Ayah kalian, jangan membuat kuburnya gelap, sudah." Mirna membelai lembut puncak kepala anak tertuanya.

"Saat ini peranmu bukan lagi untuk memberi Ayahmu makanan dan minuman kesukaannya, seperti yang sering kita lakukan dulu.

Sekarang peranmu hanya satu, menjadi anak yang berbakti, yang dari do'amu itu bisa meringankan beban akhirat ayahmu." sudah berpindah membelai puncak kepala Amanda.

"Jadilah istri yang nurut sama suami, nak, penuhi permintaan terakhir ayahmu dengan baik.” Mirna menepuk punggung anak-anaknya yang sedari tadi bergetar naik turun karena terus terisak.

Napas mereka tersengal, suhu tubuhnya naik, sangat panas. Tak ada kalimat yang keluar dari mulut Kinara, bahkan dia tak mampu untuk menggerakkan kepalanya.

Kinara hanya terdiam, dengan air mata yang masih mengalir membasahi pipinya. Pandangan matanya sayu, tak ada senyum apa lagi tawa di dalamnya.

***

Hari sudah cukup gelap, sebentar lagi senja akan datang. Seperti itulah dunia, tidak akan berhenti berputar meski kehilangan salah satu penghuninya.

Dunia tetap menjalankan porsinya untuk mengemban Titah Tuhan. Langit tidak pernah tahu betapa duka yang di alami Kinara sangat menyakitkan.

Beberapa orang sudah pergi meninggalkan tempat itu, begitupun dengan Dika.

Dika terpaksa harus meninggalkan Kinara, urusan bisnis keluarga katanya.

“Bu, saya tidak bisa lama-lama di sini. Ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan. Saya titip Kinara, ya, Bu. Satu minggu lagi, saya akan mengutus asisten pribadi untuk datang menjemput Kinara.”

Begitulah kurang lebih Dika menjelaskan. Sebelum pergi, Dika sempat menyerahkan satu kotak cantik berwarna merah hati pada Kinara.

Kinara tidak tahu apa isinya, dia hanya meletakkan kotak itu di sembarang tempat.

Entahlah, saat ini tidak ada yang bisa menarik perhatiannya, kecuali gundukkan tanah yang masih basah, dengan taburan bunga di atasnya dan sepotong kayu bertuliskan nama Ayahnya.

\=\=\=\=\=> Bersambung 💕💕

.

.

.

🌹Jangan lupa klik Like 🖒 Klik Favorit ❤ Tinggalkan Komentar 💬 Beri Rate Bintang5, Dan vote yang banyak 🤗😍

Kematian Ayah (part 2)

~Apa aku boleh berkata kasar? Jika langit itu sangat egois.

Tidak bisakah ia menunda waktu petang datang,

hanya biarkan aku terus menikmati kebersamaanku, sebentar saja.

Dengan orang yang kini terpisah ruang dan waktu dengan ku.

Tidak bisakah?~

Langit tidak pernah memiliki kompromi, jika waktunya tiba maka tak ada suatu hal apa pun yang bisa membuat langit mengurungkan niatnya untuk berganti warna.

Belum lama Kinara bisa melihat warna langit masih sangat terang, awan putih masih bergerembol. Namun kali ini warnanya terlihat sedikit gelap, ada cahaya menguning di ujungnya, matahari tak lagi nampak. Hilang sempurna tertelan senja.

Saat ini Kinara masih mengelus papan berwarna putih dengan tulisan berwarna hitam, bertuliskan nama Ayahnya.

Kinara mengerti, berapa lama pun dia menangis, berapa lama pun dia menunggu, Ayahnya tidak akan pernah datang. Tidak akan pernah!

Sementara Amanda, dia masih memegang pusara ayahnya yang basah, memanggil nama Ayahnya dengan napas ter putus-putus. Amanda hanya berharap Ayahnya bisa keluar dari dalam gundukkan tanah berhias bunga warna-warni di atasnya.

Dengan gontai, tubuh yang masih bergetar dan perasaan hancur. Kinara mencoba menguatkan tumpuan kakinya, memasang kembali sandal jepit berwarna biru di kakinya. Mencoba melangkah dengan sisa kekuatan yang masih ada di tubuhnya.

Di samping Kinara selalu berdir seorang wanita dengan tubuh yang tak lagi sekuat dulu. Dulu sekali, Kinara ingat wajah wanita itu sangat cantik, begitu menawan, senyum selalu mengembang di sudut bibirnya. Rambutnya masih berwarna hitam pekat, dengan kulit putih yang halus, dan kencang. Jalannya pun sangat cepat, apa lagi ketika tubuhnya bergerak berlarian mengejar tubuh kecil Kinara dan Manda.

Tetapi saat ini, wanita itu terlihat pucat, tak bertenaga, kulitnya mengendur, dan nampak jelas keriput di wajahnya.

Rambut hitam legam itu sudah berganti warna, warna putih tumbuh subur di kepalanya.

Bibirnya tak lagi melukis senyum dan jalannya tak sekuat dulu.

Wanita itu sering duduk di sembarang tempat ketika lelah menopang tubuhnya saat berjalan jauh.

Wanita itu adalah Mirna, Ibu dari Kinara dan Amanda.

Yah,

pemandangan yang sangat kontras bukan?

Tak membutuhkan waktu lama, kini senja sudah berganti malam.

***

🍃Satu Minggu Kemudian🍃

Tok ... tok ... tok ...

Mendengar suara ketukkan pintu membuat Kinara tersadar dari lamunannya. Kinara bergerak meraih gagang pintu dan membukanya, tak lupa ia menggerak bibirya beberapa kali untuk melatih senyum yang beberapa waktu lalu menghilang dari wajahnya.

"Ya, Bu," ucap Kinara begitu pintu kamarnya terbuka.

Terlihat senyum di sudut bibir Mirna lalu dia berucap, "Kau sedang apa?"

"Eh, tidak ada, Bu. Hanya sedang santai," jawab Kinara diikuti garukan di kepalanya.

"Ada yang ingin Ibu sampaikan," kata Mirna sembari menggandeng pergelangan tangan putrinya.

Kini Mirna sudah duduk dan bersandar di punggung kursi berbahan dasar plastik yang berada tepat di samping ranjang Kinara, di depan meja dengan tumpukkan buku-buku berukuran tebal.

“Segera bereskan pakaianmu, Kinara, persiapkan semuanya dari sekarang, jangan ada yang tertinggal," ucap Mirna dengan suara datar.

Suara lirih itu terdengar seperti sedang mengusir anaknya bukan? Namun tidak sama sekali, Mirna hanya menjalankan perannya sebagai seorang Ibu, melepas anak yang bukan lagi menjadi tanggung jawabnya.

“Bu, apa Kinar bisa hidup dengan laki-laki itu?”

Kinar membuka lemari baju, mengeluarkan satu per satu pakaiannya. “Kinar, tidak mencintainya, Bu. Bisakah Kinar hidup satu atap denganya tanpa ada rasa cinta di dalamnya?” Tngan Kinara masih sibuk mengeluarkan isi lemari.

“Kamu harus mengerti balas budi Kinar, jika bukan karena kebaikkan Ayah Dika, Ayahmu mungkin sudah lama tiada.

Selama ini Ayah Dika sering membantu untuk biaya pengobatan Ayahmu. Jika kamu melakukannya bukan karena cinta, setidaknya lakukan karena balas budi." Mirna menggenggam erat tangan Kinar. Kali ini dia merasa sangat egois harus mengucapkan kalimat yang begitu kejam kepada putrinya.

Balas budi? Bisakah sebuah pernikahan dilakukan karena balas budi? batin Kinara.

Kinara tersenyum tipis, dia merasa seperti sudah menjual dirinya sendiri kepada seorang Dika Mahendra.

Namun demi amanat terakhit Ayahnya, demi bakti Kinara kepada Ayahnya, dan demi perasaan ibunya. Apa pun itu, sesakit dan seberat apa pun. Kinara akan melakukannya tanpa perasaan ragu sedikitpun.

Kinara tidak menyalahkan orang tuanya, tidak menyalahkan siapa pun, bahkan tidak menyalahkan takdir yang mamperlakukan dirinya dengan sangat kejam.

“Pilihan Ayahmu, pasti yang terbaik untukmu.” Mirna kembali mengelus tangan Kinara, tangan wanita yang memiliki permukaan kasar itu membuat hati Kinara terenyuh, dia harus kuat, tidak boleh lemah.

Kinara tersenyum lebar, dia meletakkan pakaian yang sedari tadi masih di genggamnya lalu merengkuh tubuh ibunya dan meyakinkan ibunya jika dia baik-baik saja.

“Ibu juga harus jaga diri, Kinar usahakan supaya bisa menghubungi Ibu setiap hari," ucapnya sembari mengelus lengan ibunya.

"Semoga saja, Kinar juga bisa sering-sering mengunjungi Ibu. Ibu dan Manda harus kuat, Kinar akan membantu Ibu sekuat tenaga, semampu Kinar. Jangan pernah lelah mendoakan Kinar , yah, Bu. Doa ibu segalanya bagi Kinar.”

Kinara menyeka air matanya, dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan ibunya.

Dia tak mampu lagi membendung kesedihan yang memenuhi hatinya.

“Dari kabar yang Ibu dengar, Dika itu laki-laki yang baik, Nak." Mirna membelai lembut puncak kepala Kinara."

"Katanya dia laki-laki yang sangat bertanggung jawab dan pengertian."

Entah dari mana Mirna mendapat kabar tentang Dika.

Namun yang pasti kabar burung yang Kinar dengar justru berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Ibunya.

Apa pun itu, Kinara percaya jika ucapan seorang Ibu akan menjadi doa yang mampu menembus langit. Dia tentu berharap, kalimat yang di ucapkan Ibunya adalah kenyataan sesungguhnya.

“Iya Bu, Kinar percaya. Pilihan Ayah tidak akan pernah salah.”

Kinara menyudahi percakapan malam itu dengan tersenyum lebar.

Dia kembali disibukan dengan mengeluarkan dan memilih pakaian yang akan dibawa besok.

Kini tangannya bergerak mengambil koper berwarna merah muda dari atas lemari, tubuhnya sedikit berjinjit. Dengan usaha yang gigih, koper berwarna merah muda itu sudah terbuka di atas tempat tidurnya.

Kinara segera memasukkan dan menyusun satu per satu barang miliknya yang akan di bawa ke rumah suaminya, barang-barang yang mungkin akan dibutuhkan Kinar di rumah barunya nanti.

"Jam berapa sekarang?" gumamnya.

Kinar melirik ke arah tembok dan mendapati jarum jam sudah berada di angka 11.

"Haaah ... waktu begitu cepat berlalu, apa yang akan terjadi besok, entahlah," desisnya.

Dia menurunkan koper yang sudah berisi semua barang miliknya dari atas ranjang, meletakkan dalam posisi berdiri di samping lemari.

Tubuhnya ambruk di atas kasur berukuran kecil, sesaat kemudian Kinara sudah menutup rapat kedua matanya.

Bagaimana dengan besok pagi? Ah, biarlah Tuhan mengatur skenario-Nya, Kinara hanya perlu memainkan perannya dengan baik.

\=\=\=\=>Bersambung 💕💕

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!