NovelToon NovelToon

Menikahi Mantan Playboy

Bab 1 Aku Mencintaimu Dunia Akhirat

Sore selepas pulang dari tempat kerja, terlihat suamiku tengah asyik membaca koran di ruang tengah. Mendapatinya tengah duduk santai melepas lelah, terbersit niat untuk mengutarakan rencana yang telah kususun dengan matang. Namun sebelum itu, terlebih dahulu kuseduhkan kopi tak lupa sepiring gorengan sebagai penghangat suasana. Setelah semua siap sedia, perlahan aku pun duduk mendekati. Meletakkan hidangan kesukaan di hadapannya. Lama kupandangi wajah teduh yang telah menemaniku lima tahun terakhir ini. Aku merasa seperti perempuan yang paling beruntung di dunia. Bisa memiliki lelaki sholeh seperti dia. Menyadari sedari tadi aku terus menatapnya, Mas Han tersenyum nakal sambil menggoda.

"Ada apa dari tadi lihatin aku terus?" Dia bertanya seraya melirik sekilas. Seketika aku gelapan. Entah harus dari mana hendak memulainya. Aku takut nanti Mas Han tidak setuju dengan rencanaku. Akan tetapi di sisi lain, aku sudah terlanjur berjanji akan menghadiri acara reuni. Melihat Mas Han terus menatapku seakan minta penjelasan, akhirnya kuberanikan diri untuk bersuara.

“Mas, aku boleh ikut acara reuni SMA, nggak?" Aku bertanya pelan. Mas Han terdiam sesaat, menatapku lekat. Kemudian menurunkan kacamatanya sesenti. Terlihat air mukanya berubah serius, seolah hendak mengukur seberapa kuat keinginanku. Namun sedetik kemudian senyumnya kembali terkembang.

"Aku boleh ikut, nggak?" Mas Han bertanya tiba-tiba, setelah keheningan menyelimuti kami berdua.

"Sayangnya panitia melarang kami membawa pasangan atau keluarga, Mas. Alasannya supaya kami fokus saja ke agenda acara, tanpa perlu sibuk memperkenalkan dan mengurusi keluarga masing-masing. Dan ... kami semua sudah terlanjur menyepakatinya, Mas." Aku menekuri lantai sambil meremas jemariku, sedikit gugup. Entahlah aku tidak tahu, apakah suamiku merelakan kepergianku tanpa dirinya kali ini. Karena selama ini, Mas Han selalu menemaniku ke mana pun aku pergi. Selain karena merasa bertanggungjawab melindungi, dia juga sepertinya tak ingin melepasku seorang diri. Jadi aku sedikit memahami dan memaklumi jika nanti dia tak merestui rencana reuni.

Seketika Mas Han berdehem pelan, seperti tengah memikirkan sesuatu. Mungkinkah Mas Han sedikit merasa khawatir dengan kisah-kisah cinta lama bersemi kembali setelah reuni? Tak sedikit yang kudengar berujung perselingkuhan dan perceraian. Sejenak perasaan gamang menyergap menanti jawaban darinya.

Mas Han menurunkan koran yang sedari tadi dibacanya, meletakkannya di meja. Dia menggeser duduknya mendekatiku.

"Kamu yakin mau pergi sendiri, Dek?" tanyanya kemudian, melingkarkan lengannya di bahuku.

Aku mengangguk dan menatapnya penuh harap. Lagi-lagi Mas Han terdiam sebentar, namun sedetik kemudian senyumnya pun mulai mengembang. Membuat hatiku membuncah bahagia. Akhirnya hasrat untuk bercengkerama dengan teman lama akan segera terwujud.

"Baiklah, kamu boleh ikut reunian."

"Beneran, Mas?"

"Tapi kamu harus pandai-pandai membawa diri, ya, Dek. Ingat, kamu sekarang bukanlah Mawar yang pernah mereka kenal dulu. Kamu telah bersuami, dan sekarang ini sudah menjadi Nyonya Handoko, oke?"

Aku tersenyum mengiyakan, lalu memberikan kecupan sayang di pipinya. Sebagai tanda terimakasih, karena telah mengizinkanku untuk menghadiri seorang diri acara reuni nanti.

--------

Esoknya, sebelum berangkat untuk menghadiri acara reuni. Aku mematut diri di depan cermin, menyapukan bedak tipis-tipis, tanpa Make Up, tanpa lisptik. Selanjutnya merapikan jilbab, kemudian berputar ke kiri dan ke kanan. Memastikan penampilan. Sebagai seorang perempuan sudah sewajarnya untuk selalu tampil sempurna. Asalkan tidak berlebihan atau terlihat mencolok di pandang mata. Terakhir kuteliti lagi, apakah padu padan warna jilbab dan gamisku sudah serasi. Setelah yakin penampilanku dirasa pas, dan tidak terlalu mencolok, aku pun menyudahi kegiatan berhias.

"Bagaimana, Dek. Udah siap?" Mas Han mengedipkan matanya seraya bersuit-suit kecil menggodaku. Aku tersipu malu. Rupanya sedari tadi ada sepasang mata penuh cinta yang memperhatikan setiap gerak-gerikku. Suamiku itu, berdiri di bingkai pintu seraya melipat kedua tangannya di dada. Memindaiku dari ujung kepala hingga kaki. Terlihat senyum bangga terukir di bibir tipisnya.

"Udah, Mas. Yok kita berangkat, entar telat loh," rajukku manja, segera menggandeng lengannya menuju garasi mobil.

Dalam perjalanan Mas Han lebih banyak diam. Sementara aku sibuk mereka-reka bagaimana pertemuan kami nanti dengan sesama teman lama. Seperti apakah sosok mereka sekarang? Meski ada beberapa teman yang rajin selfie di facebook atau Instagram, tapi tetap saja tidak merasa puas jika tidak bertemu langsung dengan mereka. Kudengar kabar beberapa temanku sudah sukses di bisnisnya masing-masing. Ada beberapa juga yang sudah diangkat menjadi PNS. Dan Johan ketua panitia acara reuni kali ini, juga sudah melebarkan jaringan bisnis kulinernya di seluruh Indonesia. Hebat! Pikirku, tersenyum sendiri. Mengingat nama itu, entah kenapa hatiku kembali berdesir aneh.

Sosoknya yang rupawan kembali terbayang. Wajahnya yang bagai pinang dibelah dua dengan Amir Khan aktor Bollywood yang sedang tenar saat itu. Membuat para gadis tergila-gila dan berlomba ingin mendekatinya. Hampir semua gadis 'papan atas' di sekolah pernah menjadi pacarnya. Mungkin hanya beberapa gadis lugu sepertiku yang tidak berani dekat dengan sosoknya yang jumawa. Entah kenapa jantungku selalu berdebar tak menentu bila tak sengaja bertatapan dengan Mata Elangnya. 

Perasaan gugup dan salah tingkah jika berdekatan, membuatku seolah jadi menjaga jarak dengan Johan. Tersebab aku tak ingin terlihat bodoh di depannya. Sehingga terpaksa selalu menghindar, dan tak ingin bersenda gurau layaknya teman sekelas. Walau bagaimanapun aku selalu menduduki peringkat pertama di kelas. Sedangkan Johan, selalu diperingkat kedua setelahku. Mungkin sikap jaga image inilah yang membentengiku untuk tidak terlihat lemah di depannya. 'Perang Dingin' antara aku dan Johan terus berlanjut hingga tamat SMA. Selepas itu kami melanjutkan pendidikan di Universitas yang berbeda kota.

Dan nanti siapa sangka kami akan kembali berjumpa. Entah bagaimana reaksinya saat bertemu denganku. Apakah dia akan pura-pura tidak mengenali? Ataukah bersikap seolah aku tiada di antara semua teman-teman sebaya. Aku sendiri juga tidak terlalu mempersiapkan diri, bagaimana sikapku nanti saat bertemu lagi. Semoga saja rasa gugup dan salah tingkah itu telah sirna. Mengingat aku sekarang sudah menjadi istri lelaki lain. Tidak ada alasan bagiku untuk bersikap konyol seperti dulu. Lagi pula aku meyakini, lelaki tampan selevel Johan, sekarang ini pasti sudah memiliki seorang istri. Jadi, pasti dia akan bertindak biasa saja, sama seperti dengan teman-teman yang lainnya. Memikirkan hal itu, tanpa sadar aku menarik napas lega, dan berharap acara reuni nanti berjalan lancar dan menyenangkan semua orang.

Kulirik Mas Han yang masih fokus menatap jalanan. Sepertinya dia tidak bersemangat untuk memulai percakapan. Seperti ada sesuatu yang sedang dia pendam. Aku pun tak ingin mengusiknya, kemudian merusak perasaan bahagia yang kini tengah bersemayam di jiwaku. Tersebab sebentar lagi aku akan bertemu dengan teman-teman sekelasku sewaktu di SMA.

Bab 2 Mencari Cinta Pertama

Memasuki lapangan parkir sebuah hotel bintang lima, Mas Han memperlambat laju mobilnya.

"Bener di sini tempatnya, Dek?" tanya Mas Han ingin memastikan. 

Aku memandang berkeliling. Susana masih pagi. Belum banyak orang-orang yang berlalu lalang. Pandanganku berhenti pada sebuah lorong besar. Ada pintu yang terbuka lebar, dan beberapa orang kulihat mulai memasuki ruangan. Satu persatu kuamati sosok mereka. Yah, tak salah lagi. Beberapa dari sosok mereka pernah kukenali. Semakin menambah keyakinanku bahwa ruangan itulah yang akan menjadi tempat acara reuni nanti.

"Kayaknya memang ini tempatnya, Mas," jawabku, sambil terus melihat kearah lorong besar itu.

"Dek, apapun yang terjadi di sana nanti, selalu ingat aku, ya. Suamimu yang selalu setia dan menyayangimu." Mas Han membelai kepalaku. Sikapnya seolah hendak melepasku ke medan perang saja. Ah, Mas Han. Aku tidak bisa menebak apa arti tatapan matanya kali ini.

"InsyaAllah. Aku akan selalu mencintaimu dunia akhirat karena Allah, Mas," jawabku mantap. Meraih punggung tangannya dan menciumnya takzim. Mas Han membalasnya dengan mengecup keningku lembut.

"Oh, ya. Nanti mau dijemput jam berapa?" tanyanya lagi.

"Belum tau, Mas. Kalo acaranya sudah mau selesai, nanti aku telpon Mas, ya."

"Oke, Sayang." Mas Han mengangguk setuju. Aku tersenyum senang kemudian segera turun dari mobil. Setelah melepas suamiku kembali menjauh dengan mobilnya. Aku pun berjalan menuju aula hotel.

Aula ini berukuran cukup besar. Tepat di sampingnya ada kolam renang yang tepiannya langsung berada di bibir pantai. Angin pantai yang tenang, berkejaran masuk melalui dua pintu aula yang terbuka lebar. Aku tengah asyik menikmati pemandangan, ketika seseorang menepuk pundakku lumayan keras. Cepat aku menoleh. Nampak seringai lebar tanpa dosa dari wajah yang dulu sangat kukenal. Lela, sahabat karibku yang dulu duduk satu meja denganku sewaktu di kelas.

"Hai, melamun, ya. Dari tadi aku panggilin berkali-kali nggak dengar juga," sapa Lela, mengambil tempat duduk di sampingku.

"Ah, kamu ini. Dari dulu nggak berubah juga, selalu ngaggetin orang. Salam dulu kek ... atau apa gitu. Ini malah nabokin orang," sungutku, sambil mengelus pundak. Lela tertawa senang merasa berhasil membuatku terkejut tadi.

"Sorry, sobat. Assalamu'alikum, apakabar, Mawar?"

Kami berjabat tangan erat, lalu cipika-cipiki sebentar.

"Alhamdulillah, baik," jawabku kalem.

"Eh, udah danger kabar, belum?" Seketika Lela pasang wajah serius.

"Tentang apa?" tanyaku sedikit penasaran.

"Ituloh, si Amir Khan kita dulu. Denger kabar katanya mau nyari istri lagi, yang ke-empat!" seru Lela mengacungkan jarinya empat biji. Membuatku mendelik tak percaya.

"Johan maksud kamu?"

"Yah, siapa lagi." Liana menggendikkan bahunya.

"Hust ... jangan sembarangan menyebar berita hoax gitu." Aku mengibaskan tangan masih tak percaya.

"Eiiitts, siapa bilang berita hoax, ini valid kok. Apa kamu lupa, aku ini kan masih penggermar setianya sejak dulu. Jadi, apapun berita tentang dia, semuanya aku tau." Lela mencoba meyakinkanku.

"Ish, Lela. Inget, Mak. Kita ini sudah bersuami, tak elok membicarakan lelaki lain," kataku mencoba mengingatkan. Tak urung aku menjadi gerah juga dengan obrolan ini. Mendengar ucapanku, Lela malah terkekeh lucu.

"Tenang, Buk. Biar gini-gini juga, aku ini tipe istri yang setia, Say. Yah ... meskipun suamiku tidaklah seganteng dan sekaya Johan sekarang. Tapi aku tak kan pernah berpaling ke lain hati. So, jangan khawatir, ya." Lela menenangkan, demi melihatku yang terus menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehnya.

"Syukurlah, kalo kamu masih eling. Inget, La. Sebagai seorang istri, Syurga dan Neraka kita sekarang tergantung rhido suami. Jadi sebaiknya hindari hal-hal yang bisa menghilangkan rhido suami kepada kita." Aku jadi mendadak sok bijak.

"Iya, iya, Ustazah." Lela berlagak menuruti nasehatku. Wajahnya cemberut lucu. Tapi sedetik kemudian, air mukanya berubah lagi. Ngeyelan. 

"Eh, tapi aku jadi penasaran juga, siapa, ya, kira-kira yang akan menjadi istri Johan yang ke-empat nanti?" Lela bergumam pelan. Sedang aku tak ingin menanggapi lagi. Mendengar Johan punya istri tiga orang saja, sudah membuat kupingku panas, apalagi ini mau nambah lagi untuk yang ke-empat kalinya. Hadeuh ... Si Johan emang bener-bener belum berubah. Masih tetap Playboy Cap Buaya Darat. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan istri-istrinya sekarang. Jika mengetahui tingkahnya yang belum berhenti berpetualang untuk menahlukkan wanita incarannya. Dalam hati aku sempat berharap semoga apa yang dikatakan Lela tentang Johan tadi, semuanya tidak benar. 

"Hai, Jenny. Ke sini sebentar." Lela melambaikan tangannya ke arah Jenny, yang duduk tak jauh dari kami. Jenny yang tengah asyik cekikikan bersama gengnya dulu, segera menoleh lalu bergegas mendatangi kami. Setelah cipika-cipiki, dia pun duduk di antara aku dan Lela.

"Ada apa, La?"

"Coba lihat hape kamu," pinta Lela, tanpa basa-basi. Jenny mengeluarkan Androidnya yang canggih, sepertinya keluaran terbaru.

"Mau apa?" Jenny sedikit bingung.

"Sini, aku pinjam sebentar, ya."

Tampak lincah jari-jemari Lela membuka akun facebooknya. Sejenak kemudian memperlihatkan dan membacakan status terakhir Johan sebelum acara reuni ini. Isi postingan itu, mencurahkan perasaan kekaguman dan kerinduannya kepada seseorang yang pernah membuatnya jatuh cinta, dan seseorang itu adalah teman sekelasnya dulu. Dia menyebut namanya sebagai Edelweiss. Sempat terlihat olehku foto selfie Johan dengan hampir mencapai dua ribuan like. Semuanya rata-rata dari akun kaum Hawa. Aku menghela napas. Sesak. Wajah bening itu masih seperti yang dulu, bahkan semakin tampan kurasa.

"Tuh, kan, nggak percaya. Dia tengah mencari cinta pertamanya, kalee." Lela berkata penuh semangat.

"Iya, betul. Aku selalu mantengin statusnya. Kayaknya do'i lagi galau, tuh!" Jenny menimpali tak kalah seru.

 

"Eh, tapi ngomong-ngomong siapa perempuan yang disebut Edelweiss itu, ya? Secara di kelas kita nggak ada yang bernama Edelweiss, kecuali mendekati ...?" Jenny menggantungkan kalimatnya, seperti tengah berpikir keras. Bola matanya berputar liar, bagai detektif dadakan versi Emak-emak militan. Maklum, di kelas kami dulu, Jenny memang terkenal paling ember dan biang gosip. Dia selalu punya berita tentang apa saja yang lagi ngetren. Termasuk semua gosip-gosip panas tentang Johan. Seperti biasa aku hanya menyimak dalam diam. Menyembunyikan perasaanku yang tak menentu. Apakah ini cemburu? Entahlah. Aku tak ingin mengenali perasaanku lebih jauh. Apalagi sekarang aku sudah bersuami. Wajib bagiku untuk menutup semua celah sekecil apapun jendela di hatiku untuk lelaki lain. Itu tekadku.

"Kecuali mendekati ... apa Jenny?" tanya Lela semakin penasaran.

"Mendekati ke arah nama sebuah bunga ... ah ya bunga! Tak salah lagi. Jangan-jangan Edelweiss itu, kamu Mawar. Karena namamu menyebutkan sebuah nama bunga, ya, nggak?" Jenny menunjukku. Jantungku serasa melompat mendengar tebakannya barusan.

"Iya, bisa jadi. Rasanya di kelas kita dulu yang belum pernah dipacari Johan, di antaranya Mawar. Apalagi Mawar cantik, pendiam, pintar dan selalu juara lagi. Ya, kan?" tambah Lela. Sekonyong-konyong mereka berdua memandangku dengan tatapan menyelidik. Seakan hendak mencari kebenaran. Nyaliku langsung menciut. Wajahku memanas, entah karena malu atau marah. Kepalaku jadi berdenyut mendengar pembicaraan yang semakin ngawur dan nggak jelas begini.

"Nggak mungkinlah. Aku sama dia kan selalu musuhan. Bahkan kami tak pernah saling bertegur sapa, juga sering buang muka jika berjumpa," bantahku sedikit gugup. Apa yang aku katakan memang begitu kenyataannya. Aku dan Johan tak pernah berteman. Lagi pula jika Johan menyukaiku, pasti dia akan mendekatiku, bukan malah memusuhi dan menjauhiku. Beberapa saat kemudian, kami bertiga terdiam. Asyik dengan pikiran masing-masing.

Bab 3 Acara Bebas

Ruangan bergemuruh, ketika seseorang yang duduk di barisan paling depan maju melangkah dengan tenang naik ke atas panggung. Melambaikan kedua tangan, lalu berdiri di belakang podium. Sejenak pandangan matanya yang tajam menyapu ke seluruh sudut ruangan, seolah hendak memastikan, sesiapa saja yang datang menghadiri acara reuni yang dia gagas ini.

Deg. Tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Segera aku menunduk. Beristighfar. Tak ingin terseret arus tatapan yang menggetarkan itu.

"Assalamu'alaikum Warrohmatullahi Wabarrokatuh." Johan memulai dengan salam. Semua menjawab salamnya dengan kompak dan semangat. Sedang aku hanya menjawab dalam hati saja. Sungguh aku tak berani dan tak mau mendongak, melihatnya berbicara di depan sana.

Tetiba aku merasa tidak nyaman berada di ruangan ini. Untuk menetralisir perasaanku yang mulai gelisah, kucoba meraih ponsel. Membuka laman facebook. Nampak beberapa notifikasi yang belum sempat kubaca. Alhamdulillah ... tulisanku yang berjudul "Cara Mudah dan Sederhana Mengenali Emosi Anak" sudah dimuat di salah satu portal Islam favorit. Membuatku semakin tenggelam dengan gawaiku.

Aku tersadar, saat semua hadirin bertepuk tangan. Untuk pertama kalinya, aku mengangangkat wajah lalu memandang berkeliling. Ternyata acara kata sambutan dari ketua panitia telah usai. Kulihat Johan sudah turun dari panggung, entah apa yang dia sampaikan tadi. Aku tak menyimak.

"Sekarang acaranya bebas. Yuk, kita duduk di tepi kolam renang itu," tunjuk Lela, mengarah ke sederatan kursi malas yang tertata rapi mengelilingi kolam. Belum sempat beranjak dari duduk, beberapa orang teman menghampiri kami. Ada Amel yang selalu tampil modis dan anggun. Jika dulu kerap memakai rok sedikit di atas lutut. Kini sudah menutup seluruh tubuhnya dengan hijab, meski kerudung yang dipakainya tidak terlalu panjang atau lebar. Di kelas dulu dia gadis yang paling menarik, termasuk golongan "papan atas" karena pembawaannya yang supel dan lincah. Sering dia mengungkapkan kecemburuannya padaku, karena tak sanggup menyaingiku memperebutkan rengking satu. Dia terpaksa harus puas di posisi rangking tiga, setelah Johan.

Menyusul muncul Ara, Ely, Nita dan Asri. Kami saling mengucapkan salam, cipika-cipiki dan berpelukan hangat. Melepaskan rindu yang sudah sekian tahun tidak bertemu. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur dalam hati. Kini teman-teman perempuanku semuanya telah berjilbab. Sebagai tanda hidayah Islam sudah menyentuh qolbu mereka. Semoga saja pengetahuan dan wawasan keislamannya juga semakin bertambah, harapku dalam hati.

"Hai, Mawar. Apa kabar? Ckckck ... makin cantik dan tetep langsing aja, nih." Amel menatap dari ujung kepala hingga sepatu hitamku. 

"Bisa aja. Ah, kamu dari dulu emang selalu berlebihan." Aku meringis. Jujur, aku memang tidak terlalu suka dipuji. Khawatir apa yang mereka sangkakan, ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Karena aku merasa banyak sekali kekurangan. Yang apabila diketahui orang, akan membuat aku malu tujuh turunan. Halah, lebay lah.

"Sudah berapa orang momongan?"

Ara memulai percakapan ke arahku. Aku kembali meringis, tersenyum getir.

"Belum ada," sahutku pendek, hampir tak terdengar.

Semua terdiam. Saling berpandangan, seakan turut bersimpati dengan apa yang kualami.

"Apa ada masalah kesehatan di antara kalian berdua?" Amel bertanya penuh perhatian.

"Alhamdulillah, kata dokter ahli kandungan kami berdua sehat. Hanya mungkin butuh waktu dan usaha yang lebih maksimal lagi, untuk segera punya anak." Aku berusaha untuk selalu bersikap tenang dan biasa saja, jika pertanyaan ini muncul. Walau bagaimanapun naluri keibuanku, terus merindukan hadirnya sang buah hati. Sebagai penolongku di hari perhitungan nanti. Karena berkat do'a anak-anak yang sholeh dan sholeha yang lahir dari rahimku.

"Ooo ... lah, ya, pantes masih langsing sinset begini. Lha, belum pernah bongkar mesin, sih," celetuk Ely mencairkan suasana.

"Apa tuh, bongkar mesin?" tanya Nita dengan wajah polosnya. Mendengar pertanyaan itu, kami semua tergelak. 

"Ya ampun Nita. Kamu, tuh, ya. Selalu aja kudet dengan istilah bahasa gaul zaman now." Asri meledek.

"Bongkar mesin, tuh. Istilah untuk kata melahirkan, Mak Nita." Lela menimpali. Nita mengangguk-angguk, sambil menggaruk jilbabnya.

"Ah, nggak gitu juga kalee. Buktinya aku, nih. Meski sudah punya lima orang anak, tetap masih langsing terus nggak pernah melar." Ely menyela.

"Kalo kamu, emang dari dulu termasuk species kutilang alias kurus tinggi langsing, hihihi."

Kami terkikik geli mendengar jawaban Asri.

"Sudah, sudah. Kok kita jadi ngebahas masalah body, sih." Amel melerai.

"Trus ... kamu sekarang kerja di mana, Mawar?" sambung Amel lagi.

"Aku nggak kerja, cuma di rumah aja."

"Loh, sayang dong. Perempuan pinter seperti kamu nggak kerja, apa nggak bosen cuma di rumah aja?" selidik Ara.

"Alhamdulillah dengan di rumah aja, aku punya banyak waktu mengurus Mas Han suamiku. Untuk mengisi waktu luang, aku menulis free line di sebuah portal Islam."

"Oh, ya? Tulisan tentang apa?" Asri bertanya antusias.

"Parenting."

"Rasanya nggak pernah danger ada nama Mawar di tulisan parenting?" Amel terlihat.

"Iya, aku malah sering baca ilmu parenting dari tulisan Kamila." Ara menambahkan.

"Betul. Kamila itu nama penaku."

"Wah, hebat kamu, ya. Udah jadi penulis terkenal. Eh, tapi kok bisa kamu begitu lihai menulis tentang parenting? Padahal kan belum punya anak?" tanya Ara lagi.

"Terkadang, seorang penulis tidak selalu harus mengalami dulu apa yang hendak dia tulis. Cukup mencari referensi dengan membaca atau mendengar pengalaman orang-orang di sekitarnya," jawabku menjelaskan.

"Ooo ... jadi begitu, ya."

Semua mengangguk membenarkan.

Pembicaraan pun terus berlanjut semakin seru, khas emak-emak masa kini. Setelah puas berhaha-hihi, Amel dan yang lainnya melangkah keluar aula menuju tepi kolam renang. Di sana sudah berkumpul semua teman. Mereka sibuk menyiapkan acara makan siang, dengan membakar ikan di beberapa tungku yang telah disediakan. Aku dan Lela bermaksud hendak bergabung dengan mereka. Tapi entah kapan datangnya. Tiba-tiba sosok Johan sudah berdiri tegap di hadapan kami. Aku terkejut bukan main, tak mengira dia akan menghampiri kami. Dan tanpa bisa kukendali, debaran jantungku berdetak lebih kencang. Perasaan gugup dan salah tingkah kembali menyerang.

"Lela. Bisa tinggalkan kami sebentar?" pintanya to the point. 

Lela memandangku ragu, meminta persetujuan. Aku menggeleng cemas. Berharap semoga Lela tidak meninggalkanku. Walau bagaimanapun aku tak ingin berdua-duaan dengannya. Apapun alasannya. Lagi pula hal penting apa yang hendak dia sampaikan? Kenapa harus mengusir Lela agar menjauhi kami? Tidak hanya gugup, tapi rasa cemas lebih menghantui. Aku takut Johan akan menyampaikan sesuatu, yang aku sendiri tidak sanggup menerimanya.

"Please, Lela. Ada hal penting yang harus kami bicarakan." Kali ini nada suaranya lebih tegas. Aku semakin cemas, mendadak tubuhku terasa lemas karena nervous.

"Oke. Mawar. Aku ke sana dulu, ya. Kalo ada apa-apa nanti, panggil aku."

Lela melambaikan tangannya dan segera berlalu.

Tinggallah aku yang mematung bisu.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!