NovelToon NovelToon

Unknown Husband

part 1

Matahari sudah menggantikan tugas bulan, sinarnya masuk ke dalam celah jendela kamar, dimana ada seorang gadis sedang terlelap. Sesekali dia menggeliat, sepertinya enggan untuk membuka kedua matanya. Gadis itu pun menarik kembali selimutnya, sedetik kemudian dia menyadari sesuatu. Lalu kedua matanya membola.

Gadis berambut hitam pekat itu duduk dan menatap sekeliling. Cat kamar dengan perpaduan abu-abu dan putih. Interior di sana sangat simpel dan terkesan elegan. Ranjang yang luas, berbeda dengan ranjang miliknya.

"Dimana ini? Astaga! apa yang terjadi?" gumam gadis itu.

Saat hendak turun dari ranjang, ada seseorang mengetuk pintu.

"Masuk!" titah gadis itu.

Seorang wanita separuh baya itu datang membawa nampan perak. Wanita itu memakai seragam khas pelayan. Saat hendak masuk dia menganggukkan kepalanya tanda hormat.

"Nona, saya kemari untuk mengantar sarapan."

"Kamu siapa?" tanya gadis itu.

"Brenda, kepala pelayan di sini," jelasnya.

Brenda pun masuk dan meletakkan nampan perak itu di meja dekat ranjang.

"Silahkan, Nona. Aku akan membersihkan tempat tidurmu.

"Aku dimana? Tolong jelaskan, Bibi!" Gadis itu nampak kebingungan.

Seingatnya selama dia menghadiri acara pesta ulangtahun ayahnya, lalu mencicipi makanan dan minuman. Setelah itu dia tidak ingat lagi apa yang terjadi. Gadis itu segera menatap dirinya dipantulan cermin. Pakaian yang sama dengan yang ia kenakan semalam.

"Apa Nona lupa? Jika semalam Tuan membawa Nona kemari dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tuan bilang jika Nona sudah menikah dengan Tuan," jelas Brenda yang kini hendak merapikan tempat tidur.

"Apa? Menikah? Bibi tidak salah bicar?"

Brenda menggeleng. Bagaimana bisa jika gadis itu tidak ingat apa yang terjadi? Brenda sebenarnya bingung, tapi dia tidak mau mencampuri urusan majikannya.

"Sebaiknya Nona membersihkan diri terlebih dahulu. Saya siapkan air hangat ya." Brenda pun bergegas ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat.

Ranjangnya sudah rapih, gadis itu menatap ke arah nampan yang tergeletak di meja. Untuk menyantapnya saja dia malas, karena belum tahu apa yang terjadi semalam. Dia ingin segera bertemu lelaki yang membawanya semalam.

"Nona, air hangat sudah siap. Di lemari ada pakaian milik nona dan di walk in closet pun juga ada. Semua pakaian dalam juga tersedia."

Apa ini sudah direncanakan? Bagaimana bisa ada pakaian untuknya? Gadis itu memilih untuk membersihkan diri saja.

Setengah jam berlalu, akhirnya dia telah selesai membersihkan diri. Lalu memakan roti isi yang telah Brenda bawa dan menghabiskan segelas susu yang masih hangat. Dia menatap pantulan dirinya di kaca, mengeringkan rambutnya dan merias wajahnya dengan make-up tipis supaya terlihat natural.

"Nona, apa anda sudah selesai?" Brenda kembali mengetuk pintu.

Gadis itu segera bangkit dan membukanya. Kemudian dia mencari tas kecil yang berisi ponsel miliknya. Sejak tadi dia tidak melihat benda itu.

"Aku ingin bertemu pemilim rumah ini. apa bisa? Aku ingin pulang."

"Tuan sedang bekerja, jika nanti beliau sudah memberi perintah maka Nona pasti akan bertemu dengannya.

"Apa kau melihat ponselku? Ah, atau aku bisa kembali ke rumah. Katakan kepada Tuanmu, aku berterima kasih karena dia telah menolongku saat tidak sadarkan diri."

Brenda hanya diam saja karena ini bukan haknya untuk memberi keputusan. Dia hanya bertugas untuk menyiapkan keperluan Nona barunya saja.

"Tuan meminta anda untuk tetap di sini, Nona Mala."

Suara lelaki dari ambang pintu itu pun membuat dua insan yang berada di dalam menoleh. Brenda menghela napas lega karena Tom sudah menyelamatkannya.

"Kau ... siapa lagi?" tanya gadis itu.

"Saya Tom, supir di sini dan bertugas untuk menjaga anda, Nona."

"Menjaga? untuk apa? Jangan-jangan kalian menculikku? Aku akan melaporkan kalian ke polisi."

Tom menghentikan langkah Mala yang hendak keluar dari kamarnya. Atas perintah sang Tuan, jika Mala tidak boleh pergi kemana pun sampai dia kembali.

"Tidak, Nona. Kau salah, ini bukan penculikan. Tuan hanya meminta anda untuk tetap di sini. Beliau yang akan menjelaskan tentang pernikahan itu," ujar Tom.

Lelaki dewasa itu memberi isyarat pada Brenda untuk segera keluar. Mala yang mendengar tentang fakta pernikahannya pun diam mematung.

Menikah katanya, sementara Mala tidak tahu siapa lelaki yang menjadi pendampingnya. Dia tidak bisa mengingat apa yang terjadi. Bagaimana bisa Mala menikah dengan lelaki yang tidak dikenal dan di saat dia tidak sadarkan diri. Ini pasti hanya mimpi. Mala mencubit pipinya dan itu terasa sakit.

"Ini bukan mimpi?" tanyanya entah kepada siapa.

"Ya, Nona. Anda sudah menikah dengan Tuan. Jadi jangan pernah pergi dari sini. Tuan akan menemui anda nanti."

"Bagaimana dengan ponsel milikku?"

"Sedang di tangan Tuan. Beliau takut jika anda akan kabur."

Mala mengusap wajahnya Frustasi. Bagaimana ini? usianya bahkan belum genap tujuh belas tahun, tapi dia sudah menjadi istri seseorang yang dia kenal saja tidak.

Bagaimana jika orang yang dia nikahi adalah kakek yang sudah tidak memiliki gigi? atau lelaki bertubuh gempal dan gondrong. Membayangkan saja membuat mala bergidik ngeri. Anehnya di dalam kamar itu tidak ada satupun foto sebagai petunjuk siapa lelaki yang telah menikahinya.

"Tetap di dalam jangan kemana-mana." Tom menarik handle pintu. Lalu menguncinya.

"Hey, buka! Aku ingin menemui lelaki itu agar tahu siapa suamiku?" teriak Mala sambil menggedor pintunya.

Namun, tidak ada satupun yang mendengarnya. Mereka pura-pura tidak mendengar karena hanya Tuan yang bisa membebaskan gadis remaja itu. Banyak pelayan yang menyayangkan sikap tuannya yang malah menikahi gadis belia. Padahal banyak wanita diluar sana yang seusia dirinya mau menjadi pendamping hidup. Kenapa harus gadis remaja yang masih belia itu. Apalagi pernikahan itu diadakan secara mendadak.

"Jangan buka pintu kamar Nona Mala. Jika makan siang nanti kau boleh membukanya," ujar Tom yang memberi kunci kamar mala kepada Brenda.Wanita itu pun mengangguk patuh.

Di dalam kamar Mala menangis dan termenung, menerawang nasibnya yang kini entah siapa suaminya. Dia tidak mau jika yang ada di dalam pikirannya itu benar terjadi. Bagaimana nanti kalau ternyata dia bukan istri pertama? Mala pasti sangat kecewa.

"Sebenarnya siapa suamiku? Kenapa penuh teka-teki seperti ini?"

Mala mengginggit bibir bawahnya, air mata menetes di sela-sela sudut. Dia meratapi nasibnya yang tidak pernah bisa bahagia seperti anak remaja lainnya.

"Kenapa nasibku seperti ini, Tuhan?"

bersambung ....

part 2

Hari mulai sore, senja mulai menampakkan diri. Begitu indah meski hanya sesaat. Lampu temaram menyala di sudut kota. Seorang pemuda bergegas keluar dari gedung pencakar langit. Tundukan kepala para karyawan menjadi pemandangan saat ia melangkah keluar.

Senyum itu selalu membuat para wanita terpesona. Dia tampan dan menarik. Meski terkesan dingin dan bahkan tidak pernah dekat dengan seorang wanita manapun.

“Ada tujuan hari ini, Tuan?” tanya Sang supir saat lelaki itu masuk ke dalam mobil.

“Tidak, langsung saja pulang,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

Suasana dalam mobil hening, berkali-kali ponsel miliknya berdering. Entah siapa yang sedang menjadi teman cahttnya saat ini. Seulas senyum selalu menghiasi wajah lelaki itu.

Supir yang sesekali melirik ke arah kaca mobil, nampak heran melihat Tuannya sejak tadi tersenyum sendirian. Ada yang berbeda tapi bukan dari penampilan. Biasanya Tuannya selalu dingin dan bahkan jarang memperlihatkan senyuman. Selalu pulang larut malam, menghabiskan waktu di kantor dengan pekerjaannya. Hari ini ia sangat berbeda.

“Sepertinya Tuan sedang bahagia?” Supir itu akhirnya bertanya.

Lelaki yang di panggil Tuan mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

“Ah, ini hanya perasaanmu saja!”

Meski dia menutupi suasana hatinya, supir itu tahu jika Tuannya sedang bahagia. Antara jatuh cinta atau yang lainnya.

.

Mobil Lamborghini itu masuk ke dalam halaman rumah yang luas. Lampu temaram menyala di taman halaman depan rumahnya. Bergegas ia melangkah masuk ke dalam rumah. Di sambut Mbok Nah yang membantu membawakan tasnya.

“Dia sudah tidur, Tuan,” ucap Mbok Nah. Seakan tahu apa yang sedang Tuannya cari. Dari sorot mata itu seakan sedang mencari seseorang.

“Apa dia tahu?”

Mbok Nah menggeleng.

“Ada banyak hal__”

Ucapan Mbok Nah terhenti saat lelaki itu mengacungkan jarinya.

“Aku mandi dulu, buatkan aku kopi lalu ceritakan semuanya.”

Mbok Nah mengangguk dan pergi berlalu.

Lelaki itu menatap ke salah satu pintu kamar. Ia mengendurkan dasinya, lalu melangkah menaiki anak tangga. Berhenti sebentar dimana pintu itu terus di tatapnya.

“Cantik!”gumamnya. Saat membuka sedikit pintu kamar Mala yang tidak terkunci.

Mala sedang terlelap dalam tidurnya. Seharian ini dia sangat lelah. Banyak hal yang dilakukannya.

Merasa puas menatap wajah Mala, lelaki itu pergi ke kamarnya yang tak lain berada di samping kamar Mala. Membersihkan diri dan bersiap untuk makan malam.

Seharusnya malam ini ia tidak sendiri berada di meja makan. Sia-sia ia pulang lebih awal hanya untuk bertemu Mala.

“Apa dia bertanya sesuatu?”

Mbok Nah yang baru saja meletakkan secangkir kopi itu mengangguk.

“Dia ingin pulang, Tuan.”

Lelaki itu menghela napas. Tepat sekali dugaannya sejak tadi.

“Dia bertanya pemilik rumah ini, lalu makan banyak, membantu saya dan membaca banyak buku. Saya sudah melarang untuk membantu pekerjaan, tapi Nona Mala bersikeras untuk tetap membantu.”

Lelaki itu tersenyum.

“Dia masih saja sama,” gumamnya.

“Biarlah sesuka hatinya. Agar dia betah di sini. Kau tidak menceritakan apapun yang terjadi?”

Mbok Nah menggeleng pelan.

“Tuan, bagaimana kalau dia mengambil alih kerjaan Surti?”

“Biarlah dia membantu asal itu kemauannya. Soal apa yang terjadi nanti aku yang menceritakannya.”

“Baik, Tuan. Saya permisi dulu.”

Mbok Nah membalikkan badan. Baru satu langkah ia kembali menatap Tuannya lagi.

“Ada apa?”

“Maaf jika saya lancang. Nona Mala gadis yang baik, dia sangat berbeda dengan Nona Sintia.”

Mbok Nah menutup mulutnya. Dia takut jika Tuannya marah.

“Maaf, Tuan.”

“Tidak apa-apa. Aku mengakuinya memang. Gadis itu sangat spesial. Dia lebih baik dari pilihanku sendiri.”

***

Seperti biasa Mala bangun lebih awal. Jam masih menunjukkan pukul 05.30, tapi dia sudah mandi dan berdiri di balkon. Menikmati udara pagi yang sejuk.

Mala menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia menoleh ke arah balkon sampingnya. Merasa ada seseorang di sana. Rupanya benar, ada lelaki yang tengah duduk sembari menikmati secangkir kopi.

Pantas saja aroma kopi hitam menusuk ke indera penciumannya.

“Hey, kau! Apa kau pemilik rumah ini?” tanya Mala dengan suara sedikit keras.

Lelaki itu menoleh, lalu dia masuk ke dalam kamarnya. Cepat Mala masuk dan segera keluar kamar. Mencari lelaki itu.

Mala melihat pintu yang berada di samping kamarnya. Dia mengetuk pintu itu lalu keluarlah penghuni kamar.

“Ya, ada apa?”

Mala mendongak, karena lelaki itu lebih tinggi darinya.

“Oppa Korea?” gumamnya. Mala tidak berkedip saat melihat lelaki itu.

“Hey, ada apa?” Lelaki itu melambaikan tangannya.

“Ah, maaf. Apa kau pemilik rumah ini?”

“Ya?”

“Bisakah kau menjelaskan mengapa aku di sini? Lalu bisakah kau mengantarku pulang?”

Dia terdiam, kali ini lelaki itu yang terus menatap Mala. Memperhatikan wajahnya hingga tidak berkedip.

“Cantik,” gumamnya.

“Apa?”

Rupanya Mala mendengar apa yang dikatakan laki-laki itu.

Dia segera mengalihkan pandangan. Lalu menunjukkan benda yang melingkar di jari manisnya.

Sontak Mala pun ikut mengangkat tangannya. Dia memiliki cincin yang sama. Di lepas benda itu dan terlihat ukiran nama di sana.

“Romeo? Maksudnya apa?”

“Kita memiliki cincin yang sama dan ada buku ini. Jadi__”

“Menikah?”

“Ya, aku dan kamu sudah sah menjadi suami istri.”

“Tidak! Bagaimana mungkin? Aku tidak mengenalmu dan aku tidak tahu siapa kamu!”

“Tanyakan pada kedua orangtuamu.”

“Aku tidak memiliki ponsel.”

“Jangan bercanda!”

“Aku serius, aku tidak memiliki ponsel, karena ayah dan ibu tidak membelikannya untukku.”

Mala memang tidak mempunyai ponsel seperti teman-temannya. Dia lebih menyukai membaca daripada terus bermain gadget.

Romeo menghela napas, lalu mengeluarkannya perlahan. Baru sekarang dia menemukan wanita yang sangat sederhana.

“Baiklah, kita bersiap pergi ke rumahmu.”

“Kau serius?” Wajah Mala terlihat berseri saat Romeo mengatakan ingin ke rumahnya.

Mala sangat antusias lalu dia mengganti pakaiannya. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan ayah dan ibunya. Berkali-kali mengetuk pintu kamar Romeo tapi tidak juga terbuka.

“Hey, apa kau pingsan? Apa kau mau menipuku?” Pertanyaan itu terus terlontar dari mulut Mala.

Beberapa saat kemudian Romeo membuka pintunya. Dia terlihat lebih segar dari yang tadi Mala temui. Celana jeans pendek berwarna hitam dan kaos oblong berwarna putih.

Mala menelan salivanya saat melihat Romeo begitu tampan. Meski usianya terpaut jauh darinya.

“Kau lama sekali!”

“Mana mungkin aku mandi cepat-cepat?”

“Ya sudah ayo!”

Romeo tersenyum. Inilah alasan mengapa dia pulang lebih cepat kemarin. Hatinya sedang bahagia karena ada wanita yang membuat lelahnya hilang, meski semalam tidak sempat bertemu.

“Sarapan nanti saja,” ucap Mala.

“Baiklah!”

Romeo pun menuruti kemauan Mala. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu orangtuanya. Sangat rindu sepertinya.

***

Jarak antara rumah Mala dan Romeo memakan waktu satu jam. Beruntung pagi itu tidak macet meski pada hari Minggu.

Mobil itu berhenti di luar pagar rumah sederhana milik kedua orangtua Mala.

Ibu Mala yang mendengar suara mesin mobil, segera berlalri membuka pintu. Terlihat anak gadisnya berdiri di depan pagar sambil membuka kunci pagar.

“Mala, anakku?”

“Ibu ....” teriak Mala.

Pintu pagar berhasil terbuka dan segera Mala memeluk ibunya erat. Setetes bening itu mengalir di sepasang mata Mala dan ibunya.

“Ibu, aku rindu. Kenapa kalian tega padaku?”

Ibu terdiam, menatap wajah Romeo yang sedang duduk di kursi teras.

“Ayah dimana?”

“Ayah ada di dalam. Ayo masuk,”

Mereka pun masuk ke dalam. Mala dan Romeo duduk di sofa ruang tamu. Beberapa saat kemudian, ayah Mala keluar menemui mereka.

“Ayah?” pekik Mala. Gadis itu menghambur ke dalam pelukan ayahnya. Rasa rindu itu sangat dalam. Mala adalah anak semata wayangnya yang sangat ia sayangi.

“Mala, maafkan ayah, sayang.”

Suasana menjadi haru. Romeo terdiam, ia merasa tenggorokannya sakit. Ada rasa sesak di dalam hatinya. Sudah lama ia tidak merasakan kasih sayang dari kedua orangtuanya.

“Ayah, benarkah aku telah menikah?”

Ayah melepas pelukan Mala. Lalu menghela napas untuk mengurangi rasa sesaknya. Begitu berat ia mengatakan semuanya.

“Semua ini karena janji ayah pada almarhum kedua orangtua Romeo.

Next. ..

part 3

Mala membelai kasur dengan sprei bergambar sapi itu. Ia sangat rindu dengan kamar ini. Meski ukuran kamar milik Romeo lebih luas dibandingkan kamar Mala, ia sangat nyaman berada di kamar ini.

Beberapa foto oppa Korea tertempel di tembok. Kamar yang khas sekali dengan anak remaja. Serba warna pink dan banyak boneka yang tertata rapih di rak. Mala memeluk salah satu boneka miliknya.

“Milk Mou, apa kabar?” Mala mengajak boneka sapi itu berbicara.

Hal yang selalu Mala lakukan. Terlihat seperti orang tidak waras memang. Boneka itu kan tidak bisa berbicara. Dia benda mati, tapi Mala menganggap ia lebih dari sekadar sahabat.

“Aku sedih kita akan berpisah dan tidak bertemu lagi.”

Mala tidak sadar jika ada seseorang yang berdiri dan bersandar di tembok dekat pintu kamarnya. Mengamati Mala hingga mendengarkan pembicaraan Mala dengan boneka.

“Kira-kira dia baik nggak ya?”

Mala mendekatkan boneka itu di telinganya. Seolah boneka itu bisa berbicara.

Romeo menahan tawa melihat tingkah gadis itu.

“Milk Mou, jaga dirimu baik-baik ya. Aku pasti merindukanmu.”

Dari sekian banyak boneka yang Mala miliki, hanya boneka sapi itulah yang sangat ia sayangi. Ada cerita menarik di balik boneka itu.

Mala meletakkan kembali boneka sapi itu ke tempat semula. Lalu membalikkan badan. Dia melonjak kaget saat melihat Romeo telah berdiri di sana.

“Sejak kapan kamu di sini?”

“Sejak kamu mengajak boneka itu berbicara!”

Mala menutup mulut, wajahnya memerah. Dia malu karena Romeo mendengar apa yang dikatakan pada bonekanya baru saja.

“Kau mendengar semua?”

Romeo mengangguk. Semakin merah lah wajah gadis itu.

“Kau rindu dengannya? Lalu kenapa tidak membawanya?”

“Boleh?”

“Tentu saja.”

Mala tersenyum. Lalu ia mengambil boneka sapi itu.

“Kau rindu dengan kamar ini?” tanya Romeo lagi.

“Tidurlah di sini.”

“Boleh?”

“Ya, dua hari nanti aku ada pekerjaan di luar kota. Tinggallah di sini.”

Mala berjingkrak kegirangan. Sangat bahagia dia. Rupanya Romeo tahu apa yang sedang Mala rasakan.

.

Malam ini Romeo menginap di rumah Mala. Menikmati makan malam yang sederhana. Meskipun begitu ia merasakan kehangatan di rumah ini. Biasanya dia selalu duduk di ruang makan seorang diri. Kini ia merasakan makan bersama keluarga.

“Romeo, maaf ya ruang makannya sempit,” ucap Yasmin—ibu Mala, di tengah-tengah makan malam mereka.

“Tidak apa-apa. Justru malah lebih enak.”

Yasmin dan Rafael—ayah Mala tersenyum. Meski Romeo dari keluarga berada, dia tidak merasa risih tinggal di rumah sederhana milik orangtua Mala.

“Mala, apa tadi membawa peralatan sekolah?”

Pertanyaan ibunya membuat Mala dan Romeo saling memandang. Mereka tidak ada rencana menginap. Malah tidak membawa baju ganti.

“Nanti Pak Udin aku suruh ambil,” sahut Romeo.

“Oh, ya. Mana Pak Udin? Tidak ikut makan?”

“Dia sedang keluar, ada hal yang aku suruh tadi. Mungkin sudah makan di luar.”

“Oh, ya sudah kalau begitu.”

Acara makan malam pun berlanjut. Ayah hanya diam sejak tadi. Hingga selesai makan, Rafael masih diam tanpa sepatah kata.

Selesai makan malam, seperti biasa Rafael dan Mala duduk di depan televisi. Menonton sinetron yang menjadi favorit mereka.

“Om, suka sinetron?” tanya Romeo tiba-tiba.

Rafael menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kepergok nonton sinetron menyedihkan itu sungguh malu.

“Iya nih, gara-gara Mala jadi suka. Habis dia nggak mau ngalah.”

“Kok aku? Kan emang ayah yang suka!” Mala membela diri.

Romeo tertawa melihat pemandangan ini.

Lalu tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Yasmin yang sedang melipat pakaian di kamarnya, segera membuka pintu.

“Eh, Pak Udin. Ayo silahkan masuk.”

Baru saja Udin hendak masuk ke dalam, Romeo muncul dari dalam.

“Tuan, ini pesanannya. Dan ini tas sekolah beserta buku dan peralatan milik Non Mala.”

Romeo mengambil paper bag dan tas ransel itu dari tangan Pak Udin.

“Terima kasih, Pak.”

“Sama-sama, Tuan.”

“Pak Udin sudah makan?”

“Sudah, Tuan. Tadi pas ngambil perlengkapan Non Mala.”

“Pak Udin mau kopi?” tanya Bu Yasmin.

“Tidak usah, Bu. Saya mau pamit.”

“Lho kok buru-buru?”

“Anu, Bu. Itu__”

“Besok Pak Udin harus bangun pagi-pagi, Tante,” sahut Romeo.

“Lho tidak menginap? Eh iya tidak ada kamar kosong.”

“Saya ada jadwal jaga malam, Bu. Kebetulan satpam yang jaga sedang sakit.”

“Oh, ya sudah hati-hati kalau gitu.”

“Ya, saya permisi dulu, Bu dan Tuan?”

Selepas kepergian Pak Udin, Yasmin membawakan tas Mala ke kamarnya. Sedangkan Romeo ke ruang televisi membawa paper bag itu. Ia ingin memberikannya pada Mala, tapi diurungkannya karena masih asyik menonton.

“Nak Romeo, kalau lelah istirahat saja di kamar Mala,” perintah Yasmin.

“Saya di sofa saja, Tante.”

“Lho, kalian sudah sah kok pisah, Ndak apa-apa satu kamar. Ndak akan di grebek. Toh Pak RT sudah tahu kok.”

Romeo menolak tidur di kamar Mala, tapi Yasmin terus memaksa dan pada akhirnya Romeo mengalah lalu masuk ke kamar Mala.

Beberapa saat kemudian, Mala masuk ke dalam kamarnya. Mala menekan saklar lampu, dia terkejut karena ada Romeo yang tidur di atas ranjangnya.

“Kok kamu di sini?” tanya Mala sambil menutup pintu dan menguncinya. Reflek sepertinya.

“Ibu yang menyuruh. Lagipula kan kita sudah menikah.”

Mala menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. Romeo bangkit dan segera mematikan lampu kamarnya. Berganti lampu tidur.

“Percumah, lampu itu sudah mati.”

Romeo berkali-kali menarik tali lampu tidur. Pantas saja tidak menyala. Lampunya telah mati. Jadi kamar ini gelap.

“Ya sudah kita tidur gelap-gelapan ya.”

Mendengar ucapan Romeo, jantung Mala berdebar. Takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Romeo membuka satu tirai jendela, kamar itu terlihat sedikit lebih terang karena pantulan lampu temaram dari halaman.

“Ini buat kamu.” Romeo menyodorkan paper bag.

“Apa ini?”

“Bukalah.”

Mala membuka isi paper bag itu.

“Ponsel? Untukku?”

“Ya, itu untukmu. Agar aku bisa menghubungimu saat aku di luar kota nanti.”

“Tapi ... Aku tidak paham.”

“Sini aku ajari.” Romeo menepuk bantal yang ada di sampingnya. Dengan berat hati Mala pun menuruti perintah Romeo.

Dengan sabar ia mengajari Mala bagaimana caranya memakai ponsel pintar itu. Mala memang tidak paham, karena dia tidak pernah memegang ponsel. Paling milik ayahnya. Itupun ponsel jadul yang ketinggalan jaman.

“Nah, ini nomorku sudah di simpan. Jadi kau bisa hubungi aku.”

“Suamiku?” Mala membaca nama kontak nomor Romeo.

Lalu di hapusnya nama itu dan diganti.

“Kok aneh? Memangnya apa yang aneh?”

“Memang aneh, karena aku tidak tahu siapa kamu!”

Nomor Romeo di beri nama 'Aneh' oleh Mala. Mendengar penjelasan Mala Romeo tertawa. Terdengar nyaring tawanya. Mala terdiam mengamati wajah itu. Ia akui bahwa Romeo sangat tampan.

“Kenapa liatin aku begitu? Apa kau menyukaiku?”

Next ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!