NovelToon NovelToon

Phobophile: Beyond The Fears

Prelude Beyond - A Little Prince and A Woman from Etherealand

Babilonia, 589 Sebelum Masehi

Dia adalah sang pangeran. Usianya baru menginjak sepuluh tahun saat ayahandanya—Raja Babilonia—berhasil mengepung Kerajaan Yehuda dan meluluhlantakkan Bait Salomon. Kala itu sang pangeran sedang tertidur pulas di sebuah ayunan Taman Gantung. Dalam tidurnya, ia bermimpi jauh ke masa depan. Sebuah masa yang sangat-sangat jauh dari masanya.

Persiapan penyambutan Raja dan prajurit sedang dilaksanakan. Genderang kemenangan ditabuh, terdengar sahut menyahut dari delapan arah mata angin. Semua orang tampak bersukacita. Para pelayan hilir mudik mendekorasi taman dan pilar-pilar istana dengan berbagai macam tanaman dan pernak-pernik. Sejenak, semua orang mengabaikan keberadaan sang pangeran di ayunan. Ibunda ratu dan saudara-saudarinya juga sibuk mempersiapkan penampilan terbaik mereka di acara penyambutan. Sang pangeran adalah satu-satunya anggota kerajaan yang sanggup tertidur pulas di tengah perayaan, tertidur di tengah buaian semilir angin yang membawa hymne kemenangan Kerajaan Babilonia setelah pengepungan selama belasan tahun.

Dalam tidurnya, sang pangeran kecil mengalami sebuah mimpi. Ia berada di tengah gurun pasir, di hadapannya berdiri tegak sebuah cermin obsidian. Di permukaan cermin gelap itu, refleksi dirinya tampak dalam wujud seorang wanita dewasa berpenampilan aneh. Beberapa saat, ia hanya bergeming heran mengamati penampilan si wanita—yang ia pikir adalah bayangan dirinya sendiri. Sang pangeran belum juga sadar bahwa dirinya sedang bermimpi.

"Ini space-jumpsuit. Tidak ada pada zamanmu, Pangeran."

Sosok wanita itu tiba-tiba berbicara.

"Eh. Kau—kau kah yang berbicara? Kau—si-siapa?" Sang pangeran terbata-bata usai terlonjak kaget, memberanikan diri menanyai sosok di dalam cermin yang baru saja berbicara padanya. Rasa ingin tahu perlahan-lahan mulai membakar tengkoraknya.

"Aku adalah rekan bisnis yang kau pilih. Kita berada di dalam sebuah mimpi."

"Mimpi?" tanya sang pangeran sembari menggaruk ubun-ubunnya.

"Ya, ini adalah mimpi yang menembus ruang dan waktu. Mimpi yang mengubah dunia. Mimpi yang mengantarkan ras manusia ke versi terbaik di antara semua makhluk yang ada di alam semesta."

Sang pangeran mendadak bungkam, mencoba meredam rasa terkejut dan kebingungan yang terus beranak-pinak. Jujur saja ia tidak mengerti dengan apa yang sedang wanita itu bicarakan. Sesaat muncul keinginan dalam benaknya untuk membuktikan kebenaran kata-kata si wanita. Detik kemudian, sang pangeran memukul wajahnya dengan keras. Nihil. Sang pangeran tidak merasakan efek yang ia harapkan. Ia tidak merasa sakit sama sekali.

"Ja-jadi benar—ini—mimpi?"

Wanita di cermin tampak mengembuskan napas pendek. Gusar. Ekspresinya berubah galak dan tak sabar. "Sudah kubilang ini adalah mimpi. Sebuah mimpi kunjungan. Kau harus mempercayai kata-kataku," tekannya.

"Tapi bagiku ... mimpi ini sangat aneh. Bagaimana mungkin aku sadar kalau aku sedang bermimpi? Bagaimana pula kau—kau—berada dalam cermin dan mimpiku?"

"Yang Mulia Pangeran Kecil, untuk saat ini aku tak punya waktu menjawab pertanyaan remeh-temehmu," sinis wanita di dalam cermin. Seketika tatapannya meruncing seumpama ujung mata pedang. Suaranya pun terdengar setegas derap langkah pawai kavaleri di medan perang. "Ini adalah mimpi yang mempertemukan dua waktu. Cermin ini sebenarnya adalah portal. Alam bawah sadarmu belum bisa memproyeksikan alat yang lebih canggih selain cermin obsidian. Aku datang dari masa depan untuk memberimu sebuah pilihan."

"Pilihan?" Sang pangeran terus mempertanyakan statemen si wanita. Pikirannya seakan tak bisa mencerna apapun. "Aku tidak percaya. Bagaimana caranya kau datang dari masa depan?" imbuh sang pangeran.

"Huh! Sepertinya aku butuh waktu sekian abad hanya untuk menjelaskan caraku melacak dan menjangkaumu. Sudah kubilang, aku tidak punya waktu untuk itu."

"Hm. Baiklah. Jangan marah!"

"Kalau begitu jangan menguji kesabaranku!"

"Baiklah, sekarang katakan! Pilihan macam apa yang hendak kau berikan padaku?"

"Takdir. Ada pilihan takdir yang harus kau pilih," wanita itu menyahut cepat.

"Takdir?" Sang pangeran menggaruk pelipisnya. "Ayahandaku bilang, takdir tidak bisa dipilih. Takdir sudah ditentukan oleh Sang Pencipta."

"Aku tahu. Tetapi, bagaimana kalau kau memiliki takdir unik? Bagaimana kalau Sang Pencipta memberimu sedikit kebebasan untuk menentukan beberapa persen dari takdirmu sendiri?"

"Siapa kau? Apa kau diutus oleh Sang Pencipta untuk memberitahuku tentang semua ini?”

Senyum kecil asimetris terukir di bibir wanita itu, "Bukan. Aku bukan utusan Sang Pencipta. Aku hanyalah makhluk yang memiliki takdir serupa denganmu. Pilihan takdir ini hanya bisa bekerja jika kau mau menggunakan kesempatan yang ada."

Pangeran akhirnya memutuskan untuk bungkam dan mendengarkan dengan seksama, memberi kesempatan wanita berpenampilan futuristik itu menjelaskan maksud dan tujuannya.

"Takdir pertama—pilihan pertama, kelak kau akan jadi seorang raja Bumi tak tertandingi, namamu akan menjadi rekor tak terpatahkan dalam sejarah umat manusia. Takdir kedua—pilihan kedua, kau akan hidup tanpa nama, identitas, latar belakang, keluarga—tetapi kau akan terus hidup hingga zaman yang paling akhir. Bersama-sama kita akan membangun sebuah peradaban terbaik sebelum alam semesta lenyap tak bersisa. Sampai di sini—jelas?"

Pangeran kembali terperangah. Tak pernah menduga akan diberi pilihan yang sangat tidak masuk akal. Pertama, ia bukanlah putra mahkota. Kecil kemungkinan ia akan mewarisi takhta ayahandanya. Kedua, ia tahu manusia adalah makhluk hidup yang suatu saat akan mati. Meskipun beberapa orang memiliki umur panjang, tetapi kematian adalah hal yang pasti. Ia takkan lupa kalimat-kalimat bijak yang pernah diucapkan ayahandanya, warisan dari kakek leluhurnya, Raja Hammurabi. Lantas, bagaimana caranya ia bisa hidup hingga zaman yang paling akhir?

Apa wanita itu sedang membicarakan tentang sihir?

"Pilihan yang kau berikan tidak masuk akal," sang pangeran kembali berargumen. "Kedua-duanya adalah hal yang mustahil. Bahkan aku belum pernah mendengar sihir semacam itu."

"Semua yang kubicarakan memang tidak masuk akal dan dianggap sihir belaka untuk manusia zaman besi sepertimu. Tetapi, semua itu telah menjadi nyata pada zamanku."

Pangeran menyahut cepat, kesabarannya mulai terkikis. "Memangnya kau berasal dari zaman apa, Wanita?"

"Saat ini aku berada di zaman paling akhir. Pasca kiamat menghantam Bumi, ada rentang waktu menuju kiamat di seluruh alam semesta. Aku mengaksesmu dari masa itu, di planet dan galaksi yang berbeda denganmu. Etherealand. Kau akan mengingat nama itu selamanya."

Sang pangeran kecil kembali bungkam beberapa jenak, mencoba berpikir kritis meskipun rumit. Wanita berpenampilan aneh di hadapannya masih menatap lurus dan tajam, bola matanya tampak seperti asteroid yang menerabas atmosfer, terbakar, dan siap menghantam apa saja yang berada di bawahnya.

"Sekarang bangunlah dari tidurmu, Pangeran Kecil!" lirih sang wanita yang wujudnya mulai tampak kabur dan menipis. Kalimat terakhir wanita itu benar-benar membangunkan sang pangeran dari tidurnya. "Seorang pembunuh bayaran akan segera menusuk lehermu."

Kedua mata sang pangeran sontak terkuak. Ia melihat ujung belati obsidian sedang terangkat tinggi hendak menghujam lehernya.

PRANG!!!

Sebuah gada besi melayang entah dari mana ke arah sosok yang hendak menikamnya. Sosok itu tampak seperti seorang pelayan kerajaan, seorang wanita muda yang sempat menatap sang pangeran dengan penuh kebencian. Gada itu mengenai lengan si wanita, mematahkan tangan yang awalnya memegang belati. Belati tersebut terlepas dan tercampak serampangan. Menyisakan seorang wanita kesakitan dan seorang ahli pedang yang muncul dari balik rimbun tanaman tak jauh dari ayunan sang pangeran.

Saat melihat wajah si pemuda ahli pedang, si wanita berusaha bangkit dan berlari. Dengan mudah si pemuda ahli pedang menangkap wanita pembunuh bayaran yang menyamar menjadi pelayan itu.

"Beraninya kau mau melukai seorang anak kecil yang sedang tertidur!"  amuk sang ahli pedang kepada si wanita. Dengan cepat si pemuda meletakkan sebilah pedangnya di leher wanita itu.

"Bunuh aku! Ayo!" tantang si wanita.

"Katakan siapa yang mengirimmu?" desak si pemuda.

"Tidak ada yang mengirimku. Aku melakukannya dengan sukarela."

"Jawab! Siapa yang mengirimmu!"

"Tidak penting siapa! Bunuh saja aku! Maka yang berikutnya akan datang dan terus datang untuk melenyapkan anak itu. Anak itu adalah kutukan! Pembawa sial! Sumber bencana!"

Sang pangeran menundukkan kepala setelah mendengar kecaman dari wanita yang hendak membunuhnya. Fokus pikirannya kembali pada wanita yang datang di mimpinya, wanita yang memintanya untuk memilih satu di antara dua pilihan.

*

Prelude Phobophile - Crane Climber

Hongkong, 1986

"Jika hidup dan mati adalah takdir. Maka aku akan memilih sendiri dengan cara apa aku akan mati."

Anastasia bergumam penuh tekad sebelum menerobos pagar kawat sebuah proyek konstruksi gedung pencakar langit kota Hongkong. Langkahnya berayun tenang melintasi area konstruksi yang sudah sepi. Sembari berlalu, ia menoleh datar ke arah pos penjaga. Tampak beberapa pengawas proyek sudah bergelimpangan tak sadarkan diri di meja, kursi, dan lantai usai menyantap dumplings yang ia berikan cuma-cuma dua jam sebelumnya.

Berdalih sedang melakukan kegiatan amal, Anastasia memberikan beberapa porsi makanan gratis pada seorang pengawas proyek yang sudah ia intai selama beberapa waktu belakangan. Wajah asingnya yang lugu tidak memancing rasa curiga sama sekali. Pengawas proyek itu tidak tahu bahwa isian dumplings yang mereka santap bersama rekan-rekannya sudah dibubuhi serbuk obat insomnia. Segalanya berjalan rapi, terencana sejak jauh-jauh hari. Gadis itu bahkan sudah memilih kostum senada dengan warna menara derek.

Anggap saja Anastasia adalah gadis pembuat onar. Tujuan utamanya adalah memanjat menara derek setinggi 150 meter yang sudah ditinggal pulang operatornya. Ia bergegas memasuki area gedung yang sepi dan lenggang, tiga per empat telah rampung. Melangkah lurus ke elevator, ia tempuh lantai demi lantai menuju titik panjat berada. Di punggungnya tersampir ransel berisi beberapa peralatan panjat tebing.

Setiba di lokasi panjat, ia melepas ransel dan bergegas mengenakan perlengkapan pengamanan. Sebenarnya ia tidak suka mengenakan perlengkapan pengaman, hanya saja ia tidak ingin mengambil risiko terjatuh sebelum sampai di puncak menara derek. Selesai dengan persiapan, ia pun melompat ke badan derek, memanjat vertikal dengan penuh perhitungan dan semangat. Kurang dari satu jam, ia sudah tiba di puncak menara derek, terduduk lemas di bingkai derek yang melintang horizontal.

Menarik napas dalam-dalam, ia beranikan diri memandang ke bawah, ke seantero kota Hongkong dari ketinggian 150 meter. Adrenalinnya seketika terpacu maksimal, menyentuh langsung di titik euforia. Detik kemudian gadis itu tertawa sekeras-kerasnya.

"Ha ha ha .... Aku melakukannya! Aku melakukannya!" seru Anastasia di sela tawa yang pecah. Tangannya menekan dada, merasakan denyut jantung memompa arus adrenalin yang terus meremas-remas rasa takutnya. "O ha .... Aku baru saja melakukannya! Ini gila!"

Rasa takut pada ketinggian baru saja membuat Anastasia ekstase dalam rasa senang. Sebuah kondisi kronis nan ironis yang sulit dijelaskan secara ilmiah. Phobophilia dikenal sebagai kelainan psikologis di mana penderitanya mencintai rasa takut dan segala sesuatu yang merangsang timbulnya rasa takut. Anastasia adalah satu dari segelintir orang yang bertaruh nyawa dalam setiap keputusan—antara menaklukkan rasa takut dengan mengambil seluruh risiko yang ada atau menyerah dalam depresi. Dampaknya sama-sama fatal. Kematian. Jika harus memilih, tentu saja ia lebih memilih mati saat sedang bersenang-senang.

Di ujung lengan derek, Anastasia memandang ke arah kait derek yang menggantung gagah tak gentar oleh terpaan angin. Ia kembali merangkak perlahan-lahan di dalam bingkai lengan derek. Sensasi yang ia rasakan sungguh berbeda sejak melihat ke bawah. Bayangan ketinggian tak bisa lepas dari rekam indera. Rasa takutnya kian membabi-buta, sejalan pula dengan rasa senangnya.

"Ayo lihat! Apa yang bisa kau lakukan untuk menyelamatkan aku, wanita berengsek?!"

Anastasia berbicara pada sosok wanita dalam imajinasinya. Lantas mengambil telepon satelit pemberian wanita itu untuk memberi tahu bahwa ia akan menutup buku kehidupan hari ini. Ya, ia akan mengakhiri segalanya hari ini. Detik berikutnya, sosok imajinasi itu pun menjadi nyata.

Panggilan Anastasia dijawab.

"Aku tahu kau sedang berada di atas menara derek, Ana," wanita menyebalkan itu berkata dengan nada antusias. “Senang melihatmu bersenang-senang...”

"Wah, wah, wah. Aku baru saja ingin memberimu kejutan. Tetapi kau selalu membalikkan keadaan," Anastasia tertawa suram.

"Turun! Sensasinya akan jauh lebih menyenangkan," tantang wanita itu.

"Aku akan turun dengan melompat. Jiwaku akan terbang dalam klimaks euforia dan tubuhku akan mendarat sehancur-hancurnya. Itulah yang akan kulakukan."

Wanita di seberang telepon terkekeh mencela. Anastasia benar-benar muak harus mendengar tawa itu lagi dan lagi. Ia bersumpah. Rasanya lebih baik mati daripada harus mendengar tawa wanita itu berulangkali. "Aku sungguh akan melompat. Aku serius. Ini adalah terakhir kali aku mendengar tawa jahanammu. Jadi, tertawalah sepuasnya!"

"Sayang sekali kau cukup puas dengan melompat dari ketinggian ratusan meter, Ana. Padahal, aku sudah menyewa helikopter untuk membawamu menuju Kiev. Kau bisa lompat dari helikopter, atau, barangkali kau ingin jalan-jalan dulu ke Chernobyl. Akan ada kecelakaan reaktor nuklir di sana. Kau bisa terseleksi secara alami. Aku juga yakin kau bisa menyelinap ke inti reaktor dan meledak sehancur-hancurnya."

Anastasia bungkam seketika, tak bisa mempercayai apa yang barusan dikatakan wanita gila itu. Bagaimana mungkin wanita itu selalu mengetahui sebuah kejadian yang belum terjadi secara akurat? Apa dia seorang cenayang yang bisa melihat masa depan?

"Kau membual!" cecar Anastasia dengan nada memekik. “Kau pembual!”

"Untuk apa aku membual? Ha ha ha. Tenang saja, Ana. Papamu tidak ditugaskan di sana. Dia akan baik-baik saja di Sarov. Lagi pula, dia sudah tidak mempedulikan kau, bukan? Jadi untuk apa masih memikirkannya?"

"Persetan! Aku tidak peduli dengannya. Aku hanya ingin kau berhenti membual, Berengsek! Berhentilah mempengaruhi keputusanku! Aku lelah dengan kelainan jiwa ini."

"Phobophilia bukan kelainan jiwa, Ana. Tetapi sebuah keunikan yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Kau unik."

"Terserah. Aku tidak menginginkan kehidupan unik ini. Mamaku mati, papaku pergi ke kota rahasia Soviet untuk mengembangkan nuklir, keluarga besarku juga sudah dieksekusi mati. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Untuk apa aku hidup?"

"Kau tidak punya siapa-siapa di masa lalu. Semuanya sudah berlalu. Tetapi kau akan memiliki anak-anak yang manis di masa depan. Kau punya masa depan dan kau harus bertahan sampai hari itu, Ana sayaaang."

"Tidak, aku tidak mau punya anak dengan kelainan jiwa. Aku tidak ingin mereka bernasib sama dan menderita seperti yang aku rasakan."

"Kalau begitu, aku punya penawaran bagus untukmu. Kau boleh mati, asalkan tubuhmu tetap hidup. Bagaimana?"

“Apa katamu?” Anastasia terkekeh geram. “Kau ingin tubuhku hidup sementara jiwaku—“

“Bebas,” wanita itu menyalip cepat. “Itukan yang kau inginkan?”

“Bualanmu semakin lama semakin tidak bernalar. Bagaimana bisa kau melakukan itu? Bagaimana caranya, hah?”

“Aku tidak membual. Aku benar-benar tahu caranya. Turunlah sekarang! Ikutlah denganku ke Moskova. Kau bisa memikirkan kesepakatan ini sepanjang perjalanan nanti.”

Anastasia semakin tidak mengerti. Segala sesuatu yang keluar dari mulut wanita menyebalkan itu tak pernah tercerna sempurna dalam nalarnya. Ia masih duduk di ujung lengan derek ketika harus mengambil sebuah keputusan.

*

1. A Psycho

Singapura, 2019

 

 

Gerimis halus masih turun dari langit saat seekor anjing betina berhenti menyalak. Suara lantangnya perlahan mencicit dan benar-benar hilang sedetik kemudian. Binatang itu mati. Malam hanya menyisakan hujan, seonggok bangkai, dan sesosok lelaki tinggi ber-hoodie hitam dengan pisau berlumuran darah di tangannya.

Pemandangan menggerikan itu terjadi di tepi jalan sebuah komplek perumahan sepi—yang terdiri dari puluhan rumah dengan ukuran dan bentuk identik. Terdapat dua baris rumah yang dipisahkan sebuah jalan beraspal sepanjang kurang dari seratus meter. Beberapa rumah tampak suram. Keberadaan orang-orang kaya pemilik rumah di sana juga tidak diketahui dengan jelas. Seolah-olah mereka sengaja menelantarkan properti untuk ditinggali makhluk-makhluk dimensi lain.

Namun kini, sebuah pertunjukan langka masih berlangsung di jalan komplek. Sesosok asing, tinggi, tegap, mengenakan pakaian serba hitam—sedang bersekongkol dengan hujan, sunyi, dan gelap untuk melenyapkan seekor anjing terlantar tak berdosa.

Detik ini, lelaki itu sedang mencacah dengan brutal.

Detik berikutnya, lelaki itu mendongak ke jendela di mana sepasang mata sedang menonton aktivitasnya.

Pada detik bersamaan, si pelaku dan saksi mata mengumpat lirih di tempat masing-masing.

"Motherfu****!!!"

Seorang gadis menutup gorden jendela kamarnya dengan gerakan cepat. Mulutnya refleks menganga selebar pintu gerbang. Sepasang kakinya gemetaran—ia seret paksa menjauhi jendela. Sekujur tubuhnya mendadak lemas tak berdaya. Di bawah sana, seorang pencacah daging terbaik dunia baru saja memergoki aksi pengintipannya.

Tubuh gadis itu limbung ke tepi ranjang. Napasnya tiba-tiba sesak seolah tak ada oksigen sama sekali di kamar bernuansa merah gelap tersebut. Ya, merah gelap. Sewarna darah kental yang melumuri aspal jalan. Dalam hati, gadis itu mengutuk alam semesta yang telah menjadikannya saksi tunggal sebuah perbuatan keji, tak waras, tak manusiawi, dan tak pantas dilakukan makhluk berwujud manusia.

Tunggu! Manusia?

Gadis itu menggeleng kencang, menolak ide bahwa sosok yang ia lihat di luar sana adalah sejenis manusia.

Mengatup mulut yang sedari tadi menganga lebar, gadis itu lantas mulai menggigiti kuku jemarinya. Sesak napas. Gelisah. Benaknya terus memutar rekaman pembantaian anjing yang dilakukan sosok asing itu. Kimia dalam tubuhnya bereaksi anarkis. Rasa-rasanya ia hendak muntah. Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan perasaan itu. Tetapi ...

"Huh. Tenang, Zeal! Come on!" sugesnya pada diri sendiri.

Tetapi, di tengah tekanan mental yang hebat, sebuah kecemasan baru muncul. Gadis itu cemas pada hasrat yang berusaha memonopoli kewarasannya. Sebuah hasrat terlarang yang ia senangi—yang selama ini membuatnya benar-benar merasa hidup. Hasrat itu baru saja memprovokasinya untuk turun dan bergabung dalam pesta di bawah sana. Masa bodoh untuk tujuan apa! Mungkin ia hanya ingin menantang maut dan berusaha menaklukkan rasa takut seperti biasa. Detik berganti menit, gadis itu mulai berperang dengan psikologisnya sendiri. Ia peluk erat-erat dadanya, mencoba untuk tidak menuruti ide gila yang menggoda.

"Dia bukan harimau! Aku tak bisa menaklukkannya. Tidak bisa!"

ZEAL adalah nama gadis setengah gila yang mengintip di balik gorden jendela. Bodohnya ia tepergok. Sekarang ia mondar-mandir dalam keremangan kamarnya. Sesekali menggigiti kuku. Sesekali mengacak-acak rambut. Ia ingin sekali mengintip lagi. Namun, bayangan anjing dalam kepalanya terus melawan hasrat iblis yang membakar rasa penasaran. Kali ini sang iblis tampaknya menang dari si anjing. Zeal kembali mendorong tubuhnya maju ke depan, kembali ke jendela.

"Tenang, Zeal! Tenaaang!" sejak tadi ia bermonolog pada diri sendiri. "Oh, baiklah, Anjing. Rest in peace. Pergilah dari pikiranku! Pergilah!"

Zeal mencecar kondisi mentalnya yang membingungkan. Rasa takutnya mulai menjadi candu. Kedua kakinya masih gemetar tatkala sampai di depan jendela. Tangannya kembali menggapai ujung gorden yang tadi ia tutup—bersiap menyibak layar pertunjukan untuk kedua kalinya.

"Anjing yang malang!" Zeal bergumam pada nuraninya. "Maaf aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolongmu."

Akhirnya ia membuka gorden jendela lebar-lebar, namun tempat kejadian perkara sudah kosong. Acara pembantaian sudah selesai. Tampak pintu sebuah rumah baru saja ditutup. Tiga rumah ke kanan dari rumah yang tepat berhadapan dengan miliknya. Rumah itu gelap, tersudut di ujung. Ia bahkan baru tahu kalau rumah itu dihuni seseorang.

"Tetanggaku?" Zeal merasa nyawanya tercabut dari badan. "Tukang jagal?"

”Mampus!”

Zeal meremas kepalanya kuat-kuat.

“Mampus akuuu!”

Zeal sangat yakin, siapapun yang baru masuk ke rumah itu adalah pelakunya. Ia tak bisa melupakan kilat pisau yang menggorok leher anjing itu, menyayatnya hingga putus, mencongkel biji matanya hingga lepas, mengoyak perut dan mengeluarkan isi-isinya, lantas membabi-buta mencacahnya. Terakhir, pelaku itu menabur-nabur potongan bangkainya di sepanjang jalan.

Jalan berserak potongan bangkai. Itulah pemandangan yang sedang ia saksikan.

Zeal kembali menutup gorden jendela, melenyapkan pemandangan horor di bawah sana. Ia mulai frustasi, tak bisa melupakan detail kejadian itu barang sedetik pun. Terutama saat matanya bertemu dengan mata si pelaku. Sebentuk nafsu iblis terpancar jelas dari maniknya. Zeal yakin ia takkan bisa tidur tenang lagi mulai malam ini dan seterusnya. Jaket parasut hitam yang dipakai sosok itu menyembunyikan hamparan kulit putih mengerikan. Kulit pucat pembunuh!

"Dia tetanggaku."

“Tamatlah riwayatku!”

"Dan dia memergokiku."

“Oh tidak!”

"Dia pasti akan membunuhku.”

”Pasti!”

Zeal menelan ludah pasrah usai menyeracaui nasib buruknya. Tak sengaja arah pandangannya singgah pada  boneka Chucky yang sedang duduk manis bersandar di kepala ranjangnya. Boneka itu tersenyum jahat. Tangan Chucky memeluk sebuah kotak musik. Ia pun naik ke ranjang, menghampiri Chucky, dan membuka kotak musik tempat miniatur Tiffany menari berputar-putar. Für Elise dari Beethoven; lagu nina bobok favorit Zeal sepanjang masa. Sambil menenangkan diri dengan mendengarkan melodi Für Elise dari kotak musik, ia sisir rambut Chucky dengan jemari lentiknya.

"Apa dia bisa menghentikan tekanan hidupku, Chucky?" Zeal bertanya getir pada boneka kesayangan itu.

"Bisa," jawab Chucky dalam imaginasinya.

"Baiklah, Cinta. Mungkin sudah waktunya ... semua beban ini diakhiri," Zeal menepuk pelan kepala Chucky. Boneka itu adalah teman tidurnya sedari kecil. "Hm. Kalau begitu aku mandi dulu ya. Habis itu ... kita bobok ya ..."

Masih dijejali perasaan yang kacau, Zeal melucuti satu persatu pakaiannya hingga bebas. Kemudian ia bergerak keluar kamar, menuruni anak tangga, dan masuk ke kamar mandi. Seluruh lampu di rumahnya berwarna kuning temaram. Sangat menyatu dengan latar dinding marun yang memberi kesan gothic sempurna.

Zeal menyukai suasana itu, berharap ada hantu yang merangkak dari sudut-sudut gelap dan menakutinya. Sepanjang hidup ia belum pernah bertemu hantu. Rasa penasaran terkadang mengutuknya. Seakan justru hantu lah yang takut bertemu dengannya.

Zeal membuka shower tanpa menutup pintu. Tak ada pintu yang harus ia tutup selain akses keluar masuk rumah. Kini ia berjongkok di atas tray—mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Pikirannya sesaat mengembara ke masa lalu. Tujuh tahun sudah ia hidup sebatang kara. Saat perceraian kedua orangtuanya dinyatakan sah, ia menolak hak asuh mamanya. Ia putuskan untuk tinggal sendirian. Rumah yang ia tinggali saat ini awalnya menjadi sengketa di pengadilan harta gono-gini kedua orangtuanya, namun pada akhirnya, rumah itu dialih namakan ke padanya. Ya, rumah itu sekarang sah menjadi miliknya.

Zeal bergegas bangkit dari posisi mandinya, menghampiri cermin di depan basin, lalu mengoceh pada pantulannya. "Malam ini aku menemukan sesuatu yang lebih menantang dari pada harimau dan hantu. Kau tahu apa?"

Zeal menatap lekat bayangannya dalam durasi yang panjang.

"A psycho."

Tak bisa menentukan apakah ia bisa menikmati rasa takut seperti biasa, namun yang pasti, Zeal tahu bahwa hidupnya takkan sama lagi seperti sebelumnya.

*

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!