Prang!!!
Suara dari benda yang dilempar dengan keras dan menghantam tembok kembali terdengar dari kamar Hansel.
Mama Ira dan beberapa pelayan tergopoh-gopoh datang ke kamar tuan muda tersebut.
Langsung terlihat seorang pria muda yang kini duduk di kursi roda, sedang merah padam menahan amarah. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan seragam ala pelayan berdiri ketakutan tak jauh dari tuan muda tersebut.
"Hansel, ada apa lagi?" Tanya mama Ira seraya mendekat ke arah putranya yang masih terlihat marah.
"Suruh wanita bodoh ini keluar dari kamarku!" Teriak Hansel seraya menuding pada wanita yang kini menunduk ketakutan.
"Berapa kali Hans harus bilang ke Mama? Hans tidak butuh pelayan atau perawat pribadi bodoh seperti ini. Hans tidak butuh dikasihani!" Teriak Hansel sekali lagi seraya menjalankan kursi rodanya menuju ke sudut kamar, tempat meja kerjanya berada.
"Keluar!" Perintah Mama Ira pada pelayan yang ketakutan tadi, dan juga beberapa pelayan yang tadi mengekori dirinya. Seorang pelayan sudah selesai membersihkan pecahan gelas yang tadi di lempar Hansel. Mereka pun serempak keluar dari kamar tuan muda tersebut.
Mama Ira menghampiri Hansel yang kini sedang mengetikkan sesuatu di laptop di hadapannya.
"Mama kira-"
"Sudah cukup!" Hansel memotong dengan cepat perkataan mama Ira yang belum selesai.
"Kaki Hans memang cacat. Tapi kedua tangan Hans masih berfungsi dengan baik. Jadi Hans masih bisa pergi kemanapun Hans mau tanpa bantuan Mama atau para pelayan bodoh itu," sergah Hansel sekali lagi masih dengan emosi yang meluap-luap.
Mama Ira hanya menghela nafas, dan memilih untuk keluar meninggalkan putra sulungnya tersebut.
Hansel Abraham adalah pria muda, tampan, dan mapan. Hidup Hansel awalnya sangat sempurna. Namun sebuah kecelakaan fatal yang menimpa Hansel satu tahun lalu, membuat kesempurnaan di hidupnya menguap pergi.
Hansel kini hanyalah seonggok tubuh cacat yang harus beraktivitas menggunakan kursi roda. Dan kecelakaan tersebut juga sudah mengubah Hansel menjadi pribadi yang temperamental dan dingin pada semua orang.
"Kau memecat perawat pribadimu lagi, Hans?" Sebuah suara yang akrab di telinga Hansel, terdengar dari ambang pintu kamar.
Namun sosok tinggi tegap itu, tak mampu membuat Hansel mengalihkan fokusnya dari layar laptop.
"Aku tidak butuh mereka. Aku bisa mengurus diriku sendiri," jawab Hansel ketus.
"Masih Hansel Abraham yang ketus dan sombong," sahut pria tadi yang kini sudah berdiri di samping meja kerja Hansel seraya bersedekap.
"Tidak perlu mengejek atau mengataiku, jika kau saja masih minta gaji kepadaku, Alex," sindir Hansel dengan nada yang terdengar tidak senang.
Alex hanya tergelak.
"Menurutku, yang kau butuhkan itu adalah seorang istri bukan seorang pelayan atau perawat pribadi," ucap Alex lagi yang sepertinya belum mau berhenti untuk mengejek Hansel.
"Hanya wanita bodoh yang mau menikahi seorang pria cacat," gumam Hansel masih dengan nada yang ketus.
"Dan jika ada wanita yang mau menikah denganku, aku yakin itu hanyalah seorang wanita mata duitan yang silau dengan kekayaan yang aku miliki," imbuh Hansel lagi, kali ini dengan nada pongah.
Alex hanya mencibir.
"Aku akan keluar kota selama dua hari-" Alex belum menyelesaikan kalimatnya.
"Pergilah! Aku bukan ibumu, jadi tidak perlu minta izin kepadaku," sergah Hansel yang sudah memotong kalimat Alex dengan cepat.
"Aku bukan mau minta izin. Aku hanya ingin bertanya, apa kau ingin aku bawakan perawat baru atau mungkin calon istri dari luar kota?" sahut Alex seraya terkekeh.
"Enyahlah dari hadapanku! Sekali lagi kau menyebut perawat baru atau calon istri, aku akan langsung memecatmu detik itu juga!" Gertak Hansel dengan nada galak.
"Baiklah, Tuan muda Hansel yang terhormat. Aku akan keluar dan tidak mengganggumu lagi," ujar Alex yang masih tertawa seraya keluar dari kamar Hansel.
Hansel menjalankan kursi rodanya menuju meja kecil di sudut ruangan untuk mengambil air minum. Pria dua puluh delapan tahun tersebut meneguk dengan kasar air putih di gelasnya.
Kamarnya ini sebenarnya tidak terlalu luas. Tapi untuk bergerak dari sudut ke sudut, Hansel sudah cukup lelah karena harus mendorong kursi roda bodoh ini dengan kedua tangannya.
Dan Hansel juga sudah lupa kapan terakhir kali dirinya pergi ke ruang makan untuk sarapan atau makan malam. Karena sejak kecelakaan yang menimpanya, Hansel selalu makan di kamarnya.
"Pagi, Hans! Sorry aku sedikit terlambat," seorang pria yang mengenakan baju serba putih menyapa Hansel dengan senyuman ramah.
"Bukan sedikit tapi kau sangat terlambat, Jevon. Ini sudah hampir jam sepuluh dan kau baru datang," gerutu Hansel yang mulai menceramahi Jevon.
"Oke! Oke! Aku minta maaf, Tuan muda Hansel yang terhormat. Bisakan aku membantumu mandi sekarang?" Sahut Jevon cepat yang sepertinya sedang malas berdebat denagn Hansel.
Jevon adalah seorang perawat yang selalu datang setiap pagi dan sore untuk membantu Hansel membersihkan diri dan memeriksa perkembangan kesehatan Hansel.
Sesekali Jevon juga membantu Hansel melakukan terapi mandiri agar tuan muda itu bisa berjalan lagi seperti sedia kala.
Bahkan Hansel tidak bisa membersihkan dirinya sendiri. Namun entah mengapa, tuan muda tersebut masih saja sombong dan pongah pada beberapa perawat pribadinya. Hansel bisa dengan mudah memecat para perawat pribadinya jika mereka melakukan kesalahan kecil atau ketahuan sedang menatap Hansel dengan tatapan iba.
Jevon mendorong kursi roda Hansel masuk ke kamar mandi dan pemuda itu mulai membersihkan tubuh Hansel dengan telaten.
"Aku mendengar seorang perawat pribadi baru dipecat pagi ini," ucap Jevon membuka obrolan.
"Yang jelas aku tidak akan memecatmu. Jadi kau tenang saja dan tidak perlu memasang raut wajah ketakutan seperti itu," sahut Hansel ketus.
"Siapa yang ketakutan? Apa kau sedang menyindir dirimu sendiri? Bukankah kau yang takut jika aku berhenti menjadi perawat pribadimu?" Cecar Jevon seraya terkekeh.
"Kau memang sebelas dua belas dengan abangmu yang menyebalkan itu," dengkus Hansel merasa kesal.
"Setidaknya aku lebih tampan dari Alex," timpal Jevon memuji dirinya sendiri.
Hansel kembali berdecak kesal.
"Kenapa bukan kau saja yang menjadi perawat pribadi dua puluh empat jam untukku? Aku akan membayarmu dengan gaji yang tinggi," sergah Hansel yang kembali memberi penawaran pada Jevon.
"Karena aku punya kehidupan pribadiku sendiri. Lagipula aku juga harus melakukan homevisit pada beberapa orang yang membutuhkan jasaku. Jadi jangan serakah, Tuan muda," jawab Jevon seraya menepuk punggung Hansel.
Pemuda dua puluh tiga tahun tersebut sudah selesai membersihkan tubuh Hansel.
Setelah memakaikan baju dan merapikan penampilan Hansel, Jevon segera berpamitan.
"Aku akan kembali sore nanti," pamit Jevon sebelum keluar dan menutup puntu kamar Hansel.
Hansel hanya diam dan tidak menjawab. Pria itu kembali berkutat dengan laptop di meja kerjanya.
.
.
.
Terima kasih yang sudah mampir hari ini.
Jangan lupa like, komen, dan vote.
"Alex!" Panggil mama Ira pada Alex yang baru keluar dari kamar Hansel.
"Selamat pagi, Aunty Ira," Alex membalas sapaan mama Ira seraya tersenyum ramah.
"Duduk!" Perintah mama Ira pada Alex. Wanita paruh baya tersebut mengendikkan dagunya ke arah sofa yang ada di ruang tengah.
Alex menurut dan segera duduk di sofa single berhadapan dengan mama Ira yang kini juga duduk di sofa yang lebih panjang.
"Kau sudah bicara pada Hansel perihal perawat baru untuknya?" Tanya mama Ira dengan raut wajah serius.
"Sudah. Tapi Hansel kembali menolaknya, Aunty," jawab Alex cepat.
Mama Ira berdecak sekaligus bersedekap kesal.
"Anak itu kenapa keras kepala sekali," gumam mama Ira lirih.
"Kau asisten sekaligus sahabat baik Hansel, Alex. Kau yang paham semua hal tentang Hansel. Jadi untuk kali ini aku mau kau yang mencarikan perawat pribadi untuk Hansel," ujar mama Ira memberi perintah.
"Apa? Tapi, Aunty-" Alex ingin menolak. Namun mama Ira sudah mengangkat tangannya seolah memberi isyarat pada Alex untuk tidak menolak.
"Saya harus keluar kota dua hari ini, Aunty. Jadi mungkin saya baru bisa mencarikan perawat baru untuk Hansel setelah pulang dari luar kota," ucap Alex akhirnya yang memilih untuk mengalah.
Mama dari Hansel ini keras kepalanya sebelas dua belas dengan Hansel. Berdebat dengannya hanya akan memunculkan sebuah masalah baru. Entah kenapa Alex bisa bekerja pada keluarga yang semuanya keras kepala seperti ini.
"Carikan saja secepatnya! Aku tidak mau tahu," sergah mama Ira seraya beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Alex.
Alex mendadak menjadi pening. Pria itu melihat jam di arlojinya. Sebentar lagi pesawat Alex akan berangkat. Alex bergegas pergi dari rumah Hansel untuk selanjutnya menuju ke bandara kota.
****
Di kota lain, di sebuah rumah yang sederhana.
Seorang wanita yang tengah gelisah, berulang kali mengusap layar ponselnya dan terlihat menghubungi seseorang. Namun sepertinya ponsel dari orang yang ia hubungi sedang tidak aktif. Raut kekecewaan tampak jelas di wajah wanita berusia dua puluh lima tahun tersebut.
"Uhuuk! Uhuuk!" Suara batuk dari dalam kamar, langsung membuat wanita tadi bergegas masuk.
"Hanni!" Panggil seorang wanita paruh baya yang kini tengah terbaring tak berdaya di atas sebuah ranjang yang sudah tua.
"Uhuuk! Uhuuk!" Suara batuk dari wanita paruh baya tersebut kembali terdengar.
Hanni bergegas mengambil segelas air hangat dan mengangsurkannya pada sang ibu.
"Ibu minum dulu, ya!" Ujar Hanni lembut seraya membantu sang ibu untuk bangun dan minum
"Kau sudah menghubungi Raymond?" Tanya bu Halimah khawatir.
Hanni menggeleng lemah,
"Ponsel Raymond tidak aktif, Bu," lirih Hanni dengan raut wajah sedih.
"Mungkin urusan Raymond di luar kota belum selesai. Hanni yakin, Raymond akan segera kesini jika urusannya sudah selesai," imbuh Hanny lagi yang berusaha memaksakan senyuman di bibirnya.
"Ibu istirahat saja, ya!" Ujar Hanni lagi seraya membantu bu Halimah berbaring.
Hanni menyelimuti tubuh ringkih sang ibu sebelum keluar dari kamar tersebut.
Hanni kembali melihat ke layar ponselnya yang tergeletak dia atas meja ruang tamu. Masih tidak ada panggilan atau sekedar pesan dari Raymond. Rasa sedih kembali menggelayuti hati Hanni.
Sejak menikah dengan Raymond, hubungan rumah tangga mereka memang tidak bisa dibilang baik-baik saja. Hingga tahun kedua pernikahan, restu dari kedua orang tua Raymond tak kunjung Hanni peroleh. Hal ini jugalah yang akhirnya memaksa Hanni dan Raymond menjalin sebuah hubungan pernikahan jarak jauh.
Awalnya Raymond dan keluarganya memang tinggal di kota ini. Namun sudah satu tahun terakhir, keluarga itu pindah ke kediaman mereka yang berada di kota lain. Dan rumah mereka yang ada di kota ini sudah dijual pada orang lain.
Sejak saat itulah, hubungan Hanny dan Raymond mulai menjadi rumit.
Raymond seperti masih bimbang memilih antara Hanny atau keluarga besarnya. Raymond selalu berkata kalau dia mencintai Hanni dan akan membawa Hanni pulang ke rumah keluarga besarnya suatu hari nanti. Namun hingga tahun kedua pernikahan, semua janji Raymond itu seperti hanya omong kosong semata.
Hanni menyeka airmata yang mendadak turun di kedua pipinya. Memikirkan tentang hubungannya bersama Raymond hanya membuat hati Hanni kian terasa sakit.
Langit di luar rumah sudah berubah menjadi gelap, pertanda malam yang sebentar lagi akan datang menjelang. Hanni kembali memeriksa kondisi bu Halimah.
Ibunya tersebut masih tidur lelap setelah minum obat tadi.
Hanni baru saja akan menutup pintu depan, saat sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah sederhana Hanni.
Tak berselang lama, terlihat Raymond yang turun dari pintu pengemudi.
Hanni tak jadi menutup pintu dan ganti berjalan menghampiri Raymond.
Pasangan suami istri yang sudah hampir tiga bulan tidak bersua tersebut segera berpelukan dan melepaskan rasa rindu yang menggunung. Hanni menangis sesenggukan di pelukan Raymond.
"Maaf, aku baru bisa datang, Han," ucap Raymond seraya mengusap lembut kepala Hanni. Pria itu juga berulang kali menciumi puncak kepala sang istri.
Tampak sekali raut bersalah di wajah Raymond.
Raymond membimbing Hanni untuk masuk ke rumah. Keduanya duduk di kursi ruang tamu.
"Aku menghubungimu, tapi ponselmu tidak aktif satu minggu ini," cicit Hanni di sela isak tangisnya.
"Aku minta maaf. Ponselku hilang satu minggu yang lalu, jadi aku ganti nomor sekarang," ujar Raymond menjelaskan.
Raymond merapikan anak rambut yang berserakan di wajah Hanni. Pria itu juga menyeka sisa-sisa airmata di wajah sang istri.
"Bagaimana keadaan ibu?" Tanya Raymond khawatir.
"Belum ada perkembangan sejauh ini. Tapi sekarang ibu sedang beristirahat," jawab Hanni lirih.
"Aku merindukanmu, Han," Raymond mengecup bibir merekah milik Hanni.
Tangan pria itu sudah menelusup masuk ke dalam baju atasan yang dikenakan Hanni.
"Jangan disini, Ray!" Kedua pipi Hanni sudah bersemu merah.
Raymond tersenyum nakal pada sang istri.
"Ayo!" Raymond menggendong Hanni masuk ke dalam kamar.
Dua insan yang sudah lama tidak bersua tersebut saling melepaskan rindu serta hasrat dalam kehangatan malam yang sunyi.
Menjelang tengah malam, Hanni dan Raymond baru menyelesaikan hubungan suami istri mereka. Hanni masih menyembunyikan wajahnya di pelukan Raymond.
"Apa sedang ada masalah dengan perusahaanmu?" Tanya Hanni membuka obrolan.
Raymond menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan dari sang istri.
"Masalahnya sedikit rumit," Ray membelai rambut sebahu milik Hanni. Pandangan pria itu menerawang.
"Perusahaan papa sudah di ujung tanduk sekarang. Dan satu-satunya orang yang bersedia membantu mengajukan sebuah syarat," Raymond melepaskan Hanni dari pelukannya dan ganti menatap dalam ke arah istrinya tersebut.
"Syarat?" Hanni mengernyit tak mengerti.
"Perjodohan bisnis." Jawab Raymond lirih.
"Papa memaksaku untuk menikahi adik dari rekan bisnisnya tersebut demi menyelamatkan perusahaan keluarga kami," imbuh Raymond lagi.
Duarrr!
Bagaikan disambar petir, Hanni hanya terdiam dan menatap linglung pada Raymond.
.
.
.
Terima kasih yang sudah mampir hari ini.
Jangan lupa like, komen, dan vote.
Hanni masih duduk diam dan menatap tak percaya pada Raymond.
"Aku minta maaf, Hanni," ucap Raymond dengan nada memelas.
"Aku terpaksa mengiyakan permintaan papa karena aku tidak mau menjadi seorang anak yang durhaka," imbuh Raymond lagi masih dengan nada memelas.
Sangat berbeda dengan Hanni yang kini hanya diam tak berbicara sepatah katapun. Namun airmata yang kini jatuh di kedua pipi Hanni seakan menjadi jawaban dari jeritan hati Hanni.
"Aku sama sekali tidak memiliki perasaan pada Renata. Aku hanya mencintaimu, Hanni," ucap Raymond bersungguh-sungguh seraya menggenggam erat kedua tangan Hanni.
"Re...Renata?" Hanni tergagap.
"Renata Aditama, adik dari Alanaro Aditama. Orang yang bersedia membantu perusahaan milik papa," Raymond menjelaskan.
"Renata gadis yang baik, Hanni. Aku sudah menceritakan semua tentang pernikahan kita kepadanya, dan dia ingin bertemu denganmu," imbuh Raymond lagi.
"Bertemu denganku?" Tanya Hanni tak mengerti.
"Apa maksudmu Renata ada di kota ini?" Tanya Hanni sekali lagi.
Raymond mengangguk.
"Renata yang sudah membantuku agar aku bisa ke kota ini dan menemuimu. Dan Renata sangat ingin bertemu denganmu," ujar Raymond sekali lagi.
"Kamu mau kan, bertemu dengan Renata?" Tanya Raymond penuh harap.
Hanni diam sejenak.
Pikiran Hanni benar-benar kacau sekarang. Berita tentang Raymond yang akan menikah dengan Renata. Lalu Renata yang ingin bertemu dengan Hanni. Apa ini berarti Raymond akan menjadikan Renata madu dari Hanni?
Atau Raymond akan menceraikan Hanni saat sudah menikah dengan Renata nanti?
"Hanni!" Panggil Raymond lembut.
Seketika semua lamunan Hanni menjadi buyar.
"I...iya, Ray. Aku akan bertemu dengan Renata," jawab Hanny akhirnya seraya memaksakan senyuman di bibirnya.
Ray tersenyum senang.
"Uhuuk! Uhuuk!" Suara batuk dari bu Halimah di kamar sebelah kembali terdengar.
"Aku akan memeriksa ibu sebentar," ujar Hanni seraya mengenakan bajunya.
"Perlu kutemani?" Tawar Raymond cepat.
"Tidak. Kau istirahat saja. Kau pasti lelah," tolak Hanni seraya mencium pipi Raymond.
Pria tersebut tersenyum dan kembali merebahkan dirinya di atas tempat tidur.
Hanni keluar dari kamar dan segera menuju ke kamar bu Halimah.
Di dalam kamar berukuran tiga kali empat meter tersebut, bu Halimah terlihat sedang duduk di tepi ranjang seraya terbatuk-batuk.
Hanni segera mengangsurkan segelas air putih hangat pada sang ibu.
"Apa sedang ada tamu, Han?" Tanya bu Halimah dengan suara lirih.
"Ada Raymond, Bu," jawab Hanni yang kembali mengambil gelas yang sudah kosong dari tangan bu Halimah.
"Syukurlah, kalau suamimu sudah datang. Ibu sudah baik-baik saja. Sebaiknya kamu temani Raymond di kamar," ucap bu Halimah memberikan perintah.
"Hanni disini saja, menemani Ibu," jawab Hanni seraya menggenggam tangan sang ibu.
"Jangan seperti itu, Hanni! Raymond itu suamimu. Sudah sepatutnya kamu menemaninya dan tidak mengabaikannya," nasehat bu Halimah seraya mengusap lembut kepala Hanni.
"Apa Ibu tidak apa-apa kalau Hanni tinggal?" Tanya Hanni khawatir.
"Ibu tidak apa-apa, Hanni. Pergilah ke kamarmu!" Perintah bu Halimah sekali lagi.
"Baiklah. Ibu panggil saja Hanni jika butuh sesuatu," pesan Hanni yang langsung disambut bu Halimah dengan sebuah anggukan.
Hanni pun keluar dari kamar sang ibu dan kembali masuk ke kamarnya.
Raymond sudah tertidur lelap. Sangat berbeda dengan Hanni yang tidak mengantuk sama sekali. Otak dan pikiran Hanni benar-benar kacau sekarang.
Hanni berbaring miring dan memandangi wajah Raymond yang kini terlelap.
Selama dua tahun menikah dengan Raymond, Hanni masih tak menyangka jika kisah rumah tangganya akan menjadi serumit ini.
Sekali lagi, Hanni menyeka airmata yang jatuh tanpa permisi di pipinya. Hanni mencintai Raymond.
****
Hansel sedang duduk di jok belakang mobilnya seraya memainkan ponsel, saat mobil yang ia tumpangi keluar dari jalan utama dan membentur batu besar di hadapannya dengan sangat keras.
Tubuh Hansel tersentak ke depan. Namun sabuk pengaman yang ia kenakan membuat tubuh Hanseal tidak terpelanting ke depan.
Antara sadar dan tidak, Hansel merasakan ada seseorang yang membuka sabuk pengamannya, dan menyeret tubuhnya keluar dari mobil.
Hansel berusaha melihat siapa orang yang sudah menyeretnya dengan kasar. Namun pandangan Hansel begitu kabur dan berputar-putar. Hansel tidak bisa melihat apapaun lagi.
Hansel berpikir, hidupnya sudah berakhir, saat benda tumpul itu dipukulkan berulang-ulang di kepala belakangnya. Tak cukup sampai disitu, Hansel juga bisa merasakan, saat kakinya dihantam dengan sebuah benda keras berulang kali. Hansel bahkan tak lagi bisa merasakan tulang-tulang kakinya. Hanya ada rasa sakit.
Rasa sakit yang belum pernah Hansel rasakan sebelumnya. Dan saat Hansel berpikir semuanya sudah berakhir, tubuh Hansel yang sudah berlumuran darah tersebut di lempar kembali ke dalam mobil.
Saat itulah dunia Hansel mendadak menjadi gelap dan benar-benar gelap. Namun rasa sakit di sekujur tubuhnya, masih bisa Hansel rasakan dengan sangat jelas.
Sakit...
Sangat sakit...
Semua kejadian itu...
"Aaaa!" Hansel membuka lebar matanya dan langsung terduduk di atas ranjang king size miliknya.
Manik mata hazel miliknya menatap nyalang pada benda-benda di sekitarnya.
Mimpi itu...
Kenapa mimpi itu selalu hadir dan terasa begitu nyata?
Bahkan ini sudah setahun setelah terjadinya kecelakaan tersebut. Namun entah mengapa, kilas-kilas kejadiannya masih melekat erat di benak Hansel.
Hansel merasa ada kejanggalan dalam peristiwa kecelakaan tersebut. Namun, saat polisi menyelidinya lebih lanjut, tidak ditemukan bukti apapun. Kecuali luka-luka di tubuh Hansel yang di luar kewajaran, serta supir Hansel yang mendadak kabur dari tempat kejadian perkara, sesaat setelah kecelakaan terjadi.
Dan hingga kini, supir tersebut masih buron dan belum diketahui keberadaannya.
Hansel membunyikan lonceng yang ada di atas nakas disamping tempat tidurnya.
Dasar tidak berguna!
Bahkan untuk mengambil segelas air saja, Hansel tak lagi bisa melakukannya sendiri.
.
.
.
Terima kasih yang sudah mampir hari ini.
Jangan lupa like dan komen.
Untuk kalian yang ingin vote karya ini, silahkan klik pita ungu yang ada tulisannya "lomba update tim" agar vote kalian masuk dan dihitung sebagai dukungan untuk othor. Terima kasih 😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!