NovelToon NovelToon

Ikatan Cinta Alenna

Bab 1

Ruko sepatu, hadiah dari ayah untuk kakak tercinta akan segera beroperasi. Dukungan penuh diberikan Alenna untuk bisnis sang kakak, Mario. John, ayah Alenna bahkan mendistribusikan sepatu all size dari pabriknya untuk memenuhi rak-rak pajang ruko.

Alenna sendiri masih menjabat sebagai sekretaris di anak perusahaan sang ayah. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun, Alenna telah sukses membantu perkembangan bisnis sepatu di anak perusahaan itu. Alenna masih bekerjasama dengan Leon, pimpinan anak perusahaan tempatnya bekerja. Namun, posisi Leon hanyalah sementara. Begitu sang kakak lulus kuliah, posisi Leon akan segera digantikan. Alenna sungguh menantikan momen penggantian jabatan itu.

"Tunggu di sini, Alenna. Karyawan baru ruko akan segera datang," kata Mario pada Alenna.

"Baiklah. Aku tunggu di sini. But, di atas sana jangan macam-macam sama Anjani loh ya." Alenna mengingatkan kakaknya.

Mario hanya tersenyum sekilas lalu meninggalkan Alenna. Mario menuju lantai dua sembari menunggu kedatangan Anjani, wanita yang begitu dicintainya.

Beberapa menit Alenna menunggu, yang datang bukanlah karyawan baru ruko, melainkan Anjani. Seketika Alenna mempersilakan Anjani naik ke lantai dua menemui kakaknya. Selanjutnya, Alenna masih setia menunggu karyawan baru yang dimaksud kakaknya tadi.

"Em, sepertinya itu!" Alenna berjalan keluar ruko.

Seorang lelaki baru saja turun dari ojek. Alenna memperhatikan lelaki itu dengan seksama. Mendadak saja dadanya berdebar begitu melihat senyum lelaki itu yang terarah padanya.

"Assalamu'alaikum, Mbak. Saya mau ketemu sama pemilik ruko ini," kata lelaki itu sopan. Nada suaranya khas, kejawa-jawaan.

"Wa'alaikumsalam. Silakan. Em, namanya, Mas?" tanya Alenna.

Alenna ikut memanggil Mas, karena Alenna mendapat sapaan Mbak.

"Nama saya Rangga," terangnya.

Alenna tersenyum lantas mengantarkan Rangga pada Mario dan Anjani yang sudah menunggu di lantai dua ruko.

Alenna diam-diam memperhatikan sosok Rangga. Posturnya tinggi dan badannya ideal. Kulitnya sawo matang. Gurat-gurat otot tampak di punggung tangan dan lengannya. Tanda bahwa kesehariannya dilalui dengan penuh kerja keras menggunakan fisiknya. Tubuh Rangga juga kekar. Andai kaos yang dipakainya disibak, pastilah akan terlihat dada bidang.

"Silakan duduk. Yang tampan itu kakakku, owner ruko ini. Namanya Mario. Sedikit dingin, tapi baik kok.” Alenna memperkenalkan Rangga pada Mario.

Usai mengantar Rangga, Alenna turun. Dia sibuk mengecek smartphone karena baru saja ada panggilan suara tak terjawab dari rekan bisnis.

Beberapa menit berlalu, Alenna melihat Anjani turun dan pamit pulang. Jeda beberapa menit lagi, Alenna melihat Rangga dan Mario juga turun.

"Ini adikku. Namanya Alenna. Sudah kenalan kan tadi?" tanya Mario.

"Ya belumlah. Gimana mau kenalan, Mas Rangganya keburu pengen ketemu pemilik ruko," terang Alenna.

"Kalau begitu silakan berkenalan. Aku tinggal menelepon ayah dulu. Rangga, aku tinggal dulu. Sampai bertemu besok," kata Mario ramah.

Mario menjabat tangan Rangga, lalu kembali ke lantai dua untuk menelepon sang ayah.

"Mas Rangga sudah mau pulang?" tanya Alenna.

"Iya, ini mau nyari ojek dulu di depan. Adiknya Bos, pamit pulang dulu, ya?" pamit Rangga.

Alenna mengangguk. Dia senang dengan julukan Adiknya Bos yang baru didapatkannya. Namun, Alenna lebih senang dipanggil menggunakan namanya. Lain waktu Alenna berniat meminta Rangga mengganti sapaan untuknya.

"Huft." Hembusan nafas Alenna kentara.

"Mas Rangga bikin kaki gemeteran. Benar-benar gagah. Jauh sekali jika dibandingkan dengan Juno. Juno boleh menang tampan, tapi badan kekar Mas Rangga tak ada tandingan. Uuuh, Mas Rangga. Kau berhasil mencuri hatiku di pertemuan pertama kita," tutur Alenna bergumam sendiri sambil memperhatikan sosok Rangga yang mulai naik ojek.

Inisiatif muncul. Alenna memberi usul pada Mario untuk menyediakan kendaraan operasional ruko. Sebenarnya itu hanya dalih. Niat awal Alenna adalah mempermudah Rangga dengan ketersediaan motor yang bisa digunakan karyawan. Mario setuju dengan ide Alenna.

Hari-hari berlalu. Alenna tidak punya kesempatan berkunjung ke ruko karena kesibukannya di kantor. Banyak meeting, pertemuan dengan relasi, dan kerjasama baru di luar kota. Sebagai anak pemilik tiga pabrik sepatu beserta perusahaannya, Alenna memiliki tanggung jawab pada pekerjaan dan kepercayaan yang diberikan padanya.

Hari terus berlalu, Alenna mendengar kabar bahwa Rangga begitu dekat dengan Anjani. Alenna awalnya santai saja karena dia tahu bahwa sang kakak tidak akan diam saja. Hingga kemudian, Alenna mendengar kabar bahwa Rangga terlibat adu jotos dengan kakaknya lantaran telah berani mengungkapkan cinta pada Anjani.

"Mas Rangga parah nggak kondisinya?" tanya Alenna via telepon begitu Mario selesai menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka.

Alenna mendengar penjelasan sang kakak dengan seksama. Usai menawarkan diri untuk membantu menyiapkan keperluan Rangga selama tinggal di ruko, Alenna bergegas izin pulang lebih dulu dari kantor dan menemui Rangga di ruko. Rangga izin tinggal di ruko sampai luka memarnya sembuh. Tidak mungkin baginya untuk pulang dengan kondisi muka memar. Yang ada hanya akan membuat khawatir semua orang.

Alenna mengupaskan buah untuk Rangga. Alenna terus-terusan tersenyum sembari menemani Rangga. Dalam hati Alenna begitu miris melihat muka bonyok Rangga. Ingin rasanya Alenna protes pada sang kakak.

"Terima kasih Adiknya Bos," kata Rangga.

“Panggil saja aku Alenna. Aku masih muda dan belum menikah, kok.” Alenna menyuapi Rangga.

Rangga tampak ragu-ragu. Namun, Rangga mengizinkan Alenna menyuapinya buah apel.

Alenna tersenyum. Wajah kebuleannya begitu khas dan sungguh cantik. Rangga sedikit terpana karenanya.

Alenna pamit pulang karena Rangga hendak istirahat. Alenna tidak mau mengganggu tidur Rangga dan memilih pulang setelah berjanji besok pagi akan membawakan makanan dan obat untuk Rangga.

"Mending aku mengharapkan cintanya Mas Rangga, daripada Juno yang jelas-jelas masih memiliki perasaan pada Anjani. Huft,” gumam Alenna.

Alenna pulang. Perlahan mobilnya melaju menjauhi ruko. Meninggalkan Rangga yang sudah terlelap dalam mimpinya.

“Alenna,” desis Rangga, mengigau menyebut nama Alenna.

***

Keesokan harinya, Alenna kembali menemui Rangga di ruko. Sosok Rangga kembali membuat Alenna terpana, apalagi saat melihat otot-otot kekar Rangga. Alenna terpaku, diam sejenak sambil menelan salivanya. Setelah sadar, Alenna mendekat dan mengobati luka Rangga dengan obat oles.

"Alenna, maaf nih. Bisa munduran dikit nggak?” Rangga dengan nada khas jawanya meminta dengan sopan.

Berhenti mengoleskan obat, Alenna menatap Rangga dengan heran.

“Mundur? Apa cantikku kelewatan?” Spontan saja Alenna berkata demikian.

“Bukan begitu. Anu … Em, itu tuh!” Rangga menunjuk ke arah bibir Alenna dengan hati-hati.

Mata Alenna mengerjap cepat. Dia sedikit kaget saat Rangga menunjuk ke arah bibirnya.

“Kenapa dengan bibirku, Mas? Apa warna lipstikku mengganggu Mas Rangga?” tanya Alenna blak-blakan.

Rangga tersenyum canggung. Dia tidak enak hati mau menjelaskan. Posisinya dengan Alenna saat ini masih tetap sama. Wajah mereka terlalu dekat.

“Bukan! Anu, itu. Em, bau … petai,” ucap Rangga pada akhirnya.

“Astaghfirullah,” seru Alenna.

Alenna menutup mulutnya. Mendadak dia teringat belum menggosok giginya. Padahal tadi pagi dia menyantap petai dengan lahapnya. Buru-buru Alenna mundur dan langsung berlarian menuju kamar mandi di lantai dua.

Tingkah konyol Alenna membuat Rangga tertawa.

“Adiknya Bos lucu juga,” kata Rangga.

Dia mengambil alih obat oles yang dibawa Alenna. Diraihnya cermin dan mulai mengoles obat pada luka dan lebam di wajahnya.

“Ah,” pekik Rangga menahan sakit.

Beres dengan bau mulutnya. Alenna kembali dan mendapati Rangga sudah selesai mengolesi lebam dan lukanya. Rangga juga sudah meminum obat tablet yang diberikan Alenna.

Rangga tidak menyadari bahwa obat yang diberikan Alenna bukanlah obat pereda nyeri, melainkan obat tidur. Rangga terkantuk-kantuk. Dia berusaha duduk tegak di atas ranjang begitu tahu Mario akan datang. Namun, karena tak bisa menahan kantuknya, Rangga pun terlelap.

Alenna tersenyum melihat Rangga tertidur. Diselimutinya tubuh gagah Rangga. Dipandanginya lekat-lekat wajah lebam Rangga yang sungguh masih tetap saja memikat hati Alenna.

"Tubuh Mas Rangga benar-benar kekar. Sungguh gagah,” gumam Alenna sambil tetap tersenyum. “Sayangnya, Mas Rangga pernah menaruh hati pada Anjani.” Senyum Alenna seketika berubah.

Tak lama kemudian, Mario-Anjani datang membawa bubur Rangga. Ketika Mario hendak membangunkan Rangga, terciumlah gelagat aneh Alenna. Alenna pun mengaku telah memberikan obat tidur dosis rendah agar Rangga bisa istirahat tanpa merasa nyeri. Ya, niat Alenna memang seperti itu.

"Aku tidak tahu sejak kapan kamu berani bermain dengan obat tidur. Aku tidak akan tanya alasannya. Jangan diulangi lagi. Mengerti?” Mario berusaha menasihati Alenna dengan lembut.

Alenna mengangguk. Dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun, rupanya janji itu dilanggar. Alenna kembali memberikan obat yang sama pada Rangga keesokan harinya.

"Mas Rangga sudah merasa lebih baik?" tanya Alenna setelah Rangga menelan obat yang dia berikan.

"He'em. Kemarin habis minum obat yang kamu berikan, tidurku nyenyak. Sepertinya setelah ini juga," kata Rangga santai. Dia tidak tahu bahwa obat yang diberikan Alenna adalah obat tidur.

"Kalau gitu Mas Rangga tidur, ya. Setelah ini aku kembali ke kantor," tutur lembut Alenna.

"Aku tidak apa-apa, Alenna. Kamu pergilah," kata Rangga.

"Ish, Mas Rangga ngusir aku?" Alenna mencebik.

"Eh, bukan begitu maksudku. Masa iya aku ngusir adiknya bos." Rangga tersenyum canggung karena bingung menjelaskannya.

"Yasudah kalau begitu. Aku duduk di sofa. Beberapa menit lagi aku kembali ke kantor. Mas Rangga tidurlah. Eit, nggak boleh ngusir aku lagi!" ancam Alenna sembari menunjukkan senyuman manisnya.

Rangga mengalah. Sejujurnya dia sudah tidak sanggup berdebat lagi karena kantuk yang mulai menyerang dirinya. Rangga merebahkan tubuhnya. Sesaat kemudian, dia sudah memasuki alam mimpi yang indah.

Sosok cantik Alenna sedang bergelayut manja di tubuh kekar Rangga. Berulang kali Alenna mencubit gemas perut Rangga. Tangan Alenna juga merasakan dada bidang Rangga. Menyentuhnya dengan lembut. Begitulah gambaran mimpi Rangga.

Di saat yang sama, bukan di alam mimpi, Alenna tersenyum melihat Rangga yang terlelap. Ditatapnya wajah Rangga. Lebam dan luka Rangga terlihat sudah mulai memudar.

"Maaf, Mas Rangga. Setelah ini nggak pakai perantara obat lagi, kok. Aku cuma ingin melihat Mas Rangga terlelap seperti ini," gumam Alenna.

Ya. Niat awal Alenna hanya ingin melihat Rangga terlelap. Puas memandangi wajah Rangga, Alenna berniat kembali ke kantor. Begitu Alenna sudah mau beranjak dari ruko, bola mata Alenna melihat lengan kekar Rangga. Selimut yang tadi dipasang Alenna tidak sengaja tersingkap.

Alenna tergoda dengan tubuh Rangga. Sekuat mungkin Alenna mengontrol dirinya. Pada akhirnya Alenna memilih kembali memandangi wajah lebam Rangga. Tangan Alenna terjulur perlahan, lalu mengusap pipi Rangga dengan lembut.

"Izinkan aku mencintaimu, Mas." Alenna lirih berkata. Lebih seperti sedang berbisik.

Perhatian Alenna beralih pada bibir Rangga. Meski ada bekas luka di ujungnya, tetap saja Alenna tergoda. Seolah kehilangan akal, Alenna memutus jaraknya dengan Rangga. Alenna menikmati sensasi lembut nan kenyal yang dilakukan sepihak oleh dirinya.

Usai melakukan aksinya, wajah Alenna berseri sembari kembali memandangi wajah Rangga. Namun, detik berikutnya Alenna terkaget-kaget mendengar suara Anjani. Anjani memergoki perlakuannya pada Rangga.

"Apa yang kamu lakukan Alenna?” tanya Anjani lembut, khawatir membuat Alenna ketakutan. Anjani mendekat.

“Ak-aku, aku hanya … em, dosis rendah. Mas Rangga akan segera bangun.” Alenna kelagapan.

"Hai, Alenna.” Meli, sahabat baik Anjani yang baru naik ke lantai dua pun menyapa.

Alenna melambaikan tangan kanannya sembari nyengir kuda.

“Kamu nggak ke kantor?” tanya Meli sembari berjalan mendekat.

“Iya, ini mau kembali ke kantor. Aku pergi dulu,” kata Alenna.

Sebelum pergi, Alenna menyempatkan diri untuk berbisik di telinga Anjani.

“Kumohon jangan adukan perbuatanku pada Mario. Aku sungguh mendukung pernikahanmu dengan kakakku,” bisik Alenna.

Anjani bingung harus merespon apa. Pada akhirnya Anjani memilih untuk mengangguk saja. Begitu melihat anggukan Anjani, Alenna tersenyum, berterima kasih, dan langsung pergi dari ruko.

Bersambung ....

Mampir juga yuk ke novel Cinta Strata 1. Kisah Alenna dan Rangga bermula dari sana. Like, Vote, Rate5, Fav, dan tinggalkan jejak komentar kalian. See You.

Enjoy Reading, dan terima masih sudah mampir.

***

Bab 2

Anjani, calon istri Mario menepati janjinya untuk tutup mulut atas perlakuan mesra Alenna pada Rangga yang terlelap. Beberapa hari berlalu, Anjani sudah melupakan hal itu. Fokusnya teralih untuk mempersiapkan pernikahannya dengan Mario.

Alenna sendiri tidak pernah datang lagi ke ruko sejak aksi sepihaknya. Alenna sibuk bekerja, melakukan relasi dengan rekan bisnis di dalam dan di luar kota.

"Kenapa aku tidak bisa lepas dari bayang-banyang Mas Rangga? Apakah ini cinta atau hanya sebuah nafsu belaka?" gumam Alenna sambil bersandar di bangku meja kerjanya.

"Alenna," panggil Leon seraya langsung membuka pintu ruang kerja Alenna.

Alenna kaget dan langsung memperbaiki posisi duduknya.

"Sudah kubilang ketuk pintu dulu, Leon! Main masuk aja!" protes Alenna.

Leon tidak menanggapi prores Alenna. Dia malah menyodorkan beberapa berkas.

"Periksa ini. Teliti. Cermati. Temukan celah yang memungkinkan perusahaan kita merugi. Aku keluar dulu," kata Leon.

"Pergi lagi? Akhir-akhir ini kamu sering kemana sih?" Alenna tidak habis pikir dengan kebiasaan baru Leon yang sering meninggalkan kantor.

"Ada urusan," jawab Leon singkat.

"Awas saja jika kau berani lagi menggagalkan pernikahan Mario-Anjani!" ancam Alenna.

Leon berhenti. Dia balik badan. Ditatapnya Alenna dengan senyum licik.

"Begitu khawatirnyakah kau dengan pernikahan kakakmu, Alenna? Kau sendiri bahkan bukan adik kandungnya," ledek Leon.

Alenna bungkam saat dikatai seperti itu. Wajah bule Alenna memang spesial. Status dirinya juga spesial. Alenna hanya seorang anak yang terlahir dari hasil perselingkuhan ayah Mario dengan mama bulenya, Mommy Monika.

"Jangan macam-macam! Atau kuadukan perbuatanmu saat itu!" ancam Alenna.

"Ya-ya-ya. Aku sudah tidak tertarik lagi dengan kehidupan keluargamu, Alenna. Aku pergi dulu. Bye!" Leon pergi.

Alenna duduk kembali. Kepalanya penat. Semenjak Leon tahu bahwa Mario-Anjani akan berencana melangsungkan pernikahannya kembali, sejak saat itu Alenna sering ribut dengan Leon. Bukan tanpa alasan, Leon sering mengungkit status dirinya di keluarga Mario. Itu yang membuat Alenna geram.

Alenna keluar dari ruangannya. Tidak bermaksud membuntuti Leon, tapi dia berniat ke ruangan divisi pemasaran. Alenna tidak sengaja melihat Leon menuju lantai sembilan sambil membawa beberapa alat. Padahal, seingat Alenna tidak ada pertemuan apa pun lagi.

Alenna acuh. Dia melanjutkan niatannya untuk mengunjungi divisi pemasaran. Semua anggota divisi di sana menaruh hormat pada Alenna. Mereka segera menyambut baik kedatangan Alenna. Dalam sekejab, Alenna larut dalam diskusi ringan bersama mereka.

"Aku kembali ke ruanganku dulu. Lanjutkan pekerjaan kalian. Lusa, kita akan melakukan rapat terbatas bersama kepala divisi lainnya," terang Alenna pada kepala divisi pemasaran.

"Siap laksanakan, Nona." Kepala divisi membukakan pintu untuk Alenna.

Alenna kembali ke ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Alenna baru sadar bahwa dirinya begitu lama ada di ruang divisi pemasaran.

"Oke, masih ada waktu untuk memeriksa berkas dari Leon. Semangat Alenna!" Alenna menyemangati dirinya.

Berkas di meja kini menjadi perhatiannya. Dedikasi Alenna pada pekerjaan sungguh tinggi. Larut dalam pekerjaan sudah membuat hatinya lebih baik.

"Selesai. Wow. Perasaan baru sebentar sudah mau jam empat saja." Alenna melihat jam digital di meja.

Berkas selesai diperiksa. Alenna pergi ke ruangan Leon untuk meletakkan berkas itu. Di ruangan itu tidak ada Leon. Sedari perdebatan kecilnya tadi, Alenna enggan mengunjungi ruangan Leon. Tidak peduli juga Leon sudah kembali atau tidak. Alenna masuk saja ke ruangan itu dan meletakkan berkas yang selesai diperiksa.

"Alhamdulillaah. Beres. Setidaknya aku tidak akan berdebat karena pekerjaan. Cukup masalah pribadi saja." Alenna tampak puas begitu meletakkan berkas di meja Leon.

Tanpa sengaja, pandangan Alenna menangkap benda aneh di dekat tumpukan berkas lainnya. Alenna menajamkan mata untuk mengetahui benda apa itu. Alenna mencoba mengambilnya dan memperhatikannya dari dekat.

"O-obat? Untuk apa Leon menyimpan obat semacam ini? Apa dia berniat menjalin hubungan intim dengan seseorang? Dengan siapa? Leon kan belum menikah?" Alenna bertanya-tanya.

Mendadak hati Alenna tidak enak. Dia menghubung-hubungkan gerak-gerik aneh Leon di ruang pertemuan beserta obat perangsang yang ditemukan di meja kerja.

"Tidak salah lagi. Leon punya niat buruk. Tapi kepada siapa?" Alenna kembali bertanya-bertanya.

Sementara itu di tempat lain, tepatnya di ruang pertemuan, Leon sedang menemui Anjani dan Rangga. Leon berdalih akan membahas kerjasama dengan ruko sepatu milik Mario, tempat Rangga bekerja.

Anjani tidak mau berbelit-belit. Dia ingin Leon segera menjelaskan kerjasama yang dimaksud. Namun, Leon menyuruhnya untuk menunggu sambil meminum teh, sementara Leon mengambil berkasnya di ruangannya.

"Aku minum tehnya," lirih Rangga yang masih tegang sehabis naik lift untuk pertama kalinya.

Rangga meneguk teh bagiannya hingga tandas. Anjani yang saat itu sedang berpuasa pun memberikan teh bagiannya untuk Rangga. Jadilah, Rangga meminum dua cangkir teh sekaligus. Baik Rangga ataupun Anjani sama-sama tidak tahu bahwa teh yang Rangga minum sudah dibubuhi obat perangsang oleh Leon.

Leon begitu lama meninggalkan Anjani dan Rangga. Dia berdiam diri di ruangannya. Menunggu efek samping dari obat perangsang yang sudah dia bubuhkan ke dalam teh.

“Rangga, Anjani. Selamat menikmati kehangatan di dalam sana. Hahaha.” Dasar Leon gila.

Anjani mulai kesal dan bosan menunggu Leon yang begitu lama kembali. Anjani tidak menyadari keanehan yang dirasakan Rangga pada tubuhnya.

Panas. Rangga merasa tubuhnya mulai panas. Seketika hasrat untuk bercinta memuncak. Sekuat mungkin Rangga menahan dirinya. Dia tidak ingin menyentuh Anjani demi mengatasi rasa aneh dalam tubuhnya.

“Aku susul Leon dulu. Mas Rangga tunggu di sini,” tegas Anjani tanpa menengok ke arah Rangga.

Anjani keluar ruangan dengan kesal. Anjani berniat menyusul Leon ke ruangannya. Namun, Anjani tidak tahu di mana ruangannya. Anjani memutuskan untuk bertanya di bagian resepsionis depan. Sesampainya di lantai dasar, Anjani melihat mobil Mario dari kejauhan. Anjani lekas menemui Mario dan menceritakan semua keanehan yang dirasakannya.

Di ruang pertemuan, Rangga gelisah. Dirinya lega Anjani sudah keluar dari ruangan itu. Namun, Rangga sungguh tidak bisa mengontrol dirinya. Keinginan itu sudah memuncak. Tangan kekar Rangga bahkan refleks menggebrak meja.

Di saat yang bersamaan, Alenna mendekat ke ruang pertemuan.

“Mas Rangga,” lirih Alenna begitu melihat Rangga duduk di salah satu kursi.

“Alenna, tolong jangan mendekat!” cegah Rangga yang sudah seperti orang frustasi.

Gerak-gerik Rangga membuat Alenna sadar bahwa Ranggalah yang menjadi korban obat yang diberikan Leon.

“Mas Rangga baik-baik saja?” tanya Alenna memastikan kondisi Rangga.

“Jangan mendekat Alenna!” teriak Rangga. Dia sudah frustasi.

Langkah Alenna terhenti mendengar teriakan itu.

“Panas sekali!” seru Rangga.

Rangga membuka kaos yang dipakainya. Lengan kekarnya terlihat. Dada bidangnya terekspos jelas. Alenna terpana melihat tubuh gagah Rangga.

Rangga melangkah ke pojok ruangan, menjauhi Alenna. Dia membentur-benturkan kepalanya. Berharap dengan benturan keras dirinya bisa tersadar.

“Mas Rangga jangan menyakiti diri! Tenang!” Alenna panik begitu melihat Rangga menyakiti diri sendiri.

“Menjauh Alenna! Aku tidak ingin menyentuhmu!” teriak Rangga.

“Aku tidak bisa melihatmu seperti ini, Mas. Aku akan membantumu menuntaskan rasa yang saat ini kau tahan,” tutur lembut Alenna.

Alenna mendekat. Rangga makin frustasi melihatnya.

"Menjauh, Alenna!" teriak Rangga, tapi Alenna tidak mendengarkannya.

Begitu Alenna sudah di dekat Rangga, lekas direngkuhnya tubuh gagah Rangga yang selama ini memang menggoda dirinya. Tangan Alenna gesit menekan kepala Rangga ke arahnya hingga menyatukan bibir mereka.

"Lepas!" seru Rangga sambil sedikit mendorong Alenna.

"Tidak apa-apa," lirih Alenna sambil melanjutkan aksinya.

Rangga mulai merasakan sensasi lembut pada bibirnya. Rangga yang sudah tidak tahan lagi pun menyambut Alenna. Dibalasnya perlakuan lembut Alenna dengan sedikit kasar. Tidak berlangsung lama, tiba-tiba …

Brak!

Mario datang. Satu pukukan melayang ke titik lemah Rangga. Seketika Rangga pun pingsan. Mario menyuruh dua security unuk membawa Rangga ke rumah sakit. Dua security lain disuruh untuk meringkus Leon.

Alenna tidak terima dengan perlakuan Mario hingga membuat Rangga pingsan. Namun, Mario malah menyalahkan Alenna atas sikap tidak wajarnya pada Rangga.

“Sejauh mana Rangga sudah menyentuhmu?” tanya Mario tegas.

“Mas Rangga tidak bersalah. Leon dalangnya!” Alenna berseru tak kalah tegasnya.

“OK. Aku pastikan mulai besok kau dipindahkerjakan di induk perusahaan ayah. Di Jakarta sana.” Mario memutuskan sepihak.

“Tidak mau!” tolak Alenna.

“Tidak ada penawaran lagi, Alenna. Jauhi Rangga. Jernihkan pikiranmu. Perbaiki sikapmu, terutama ibadahmu!” tegas Mario lagi.

Alenna mematung. Keputusan Mario sudah bulat. Ayahnya pun pasti akan lebih mendengarkan saran Mario. Perlahan air mata Alenna jatuh membasahi pipinya. Anjani yang peka langsung merangkul calon adik iparnya itu.

"Sst. Saranku, turuti saja! Demi kebaikanmu,” tutur lembut Anjani.

“Jika aku ke Jakarta, apa Mas Rangga akan baik-baik saja?” tanya Alenna.

Anjani sungguh tidak paham apa yang sebenarnya dimaksud Alenna. Apa pun itu, Anjani memutuskan hanya mengangguk.

Baiklah. Aku akan pergi ke Jakarta, batin Alenna.

***

Malam hari terasa lebih pekat. Bukan karena suasana malam yang gelap. Semua itu terjadi karena hati Alenna yang tidak karuan rasanya. Alenna mengemasi pakaiannya. Memasukkan dalam koper.

Mommy Monika, ibu Alenna itu datang ke kamar putrinya. Dia telah mendengar semuanya dari Mario. Mommy Monika dan sang suami pun setuju dengan pemikiran dan keputusan Mario.

"Tidak apa-apa, Sayang. Ini demi kebaikanmu. Jernihkan pikiranmu. Mendekat pada-Nya seperti dulu. Satu lagi, minta maaf dulu pada Rangga," saran Mommy Monika.

Alenna tertunduk. Dirinya sungguh malu jika harus bertemu Rangga. Alenna malu atas sikap tak patutnya pada lelaki baik-baik seperti Rangga.

"Apa Mas Rangga sudah di ruko?" tanya Alenna.

"Iya. Ayo Mommy temani kamu ke sana. Biar perasaanmu lebih lega." Mommy Monika keibuan.

Alenna mengangguk. Dia bergegas ganti baju, lalu diantar Mommy Monika ke ruko menemui Rangga.

Ruko begitu sepi. Hanya ada Rangga di sana. Mario masih bersama John mengurus tuntas kasus Leon, sehingga tidak bisa menemani Rangga di ruko.

Alenna sampai di lantai dua ruko. Mommy Monika tidak ikut naik, melainkan hanya menunggu di parkiran. Mommy Monika percaya pada putrinya.

"Mas Rangga," panggil Alenna hati-hati.

Rangga yang saat itu sedang berbaring pun seketika duduk begitu mendengar suara Alenna.

"Alenna. Ada apa?" tanya Rangga tanpa berani melihat Alenna.

Sejujurnya Rangga merasa malu atas kejadian sore tadi. Rangga pikir, seharusnya sore tadi dia bisa lebih menahan diri. Sehingga dirinya tidak sampai membalas perlakuan lembut Alenna padanya.

"Maaf," kata Alenna.

"Maaf untuk apa?" Kali ini Rangga berani menoleh.

"Maaf atas sikapku yang sungguh tidak pantas. Tidak seharusnya aku memberi Mas Rangga obat tidur saat wajah Mas Rangga lebam. Tidak seharusnya aku menciumi bibir Mas Rangga saat kondisi Mas Rangga sedang terlelap. Tidak seharusnya aku merengkuh tubuh Mas Rangga tadi sore, hingga membuat kita ..." Kata-kata Alenna terhenti.

Air mata Alenna menetes. Dia sungguh malu pada dirinya sendiri. Semua kata-katanya barusan terdengar seperti sebuah pengakuan dosa. Alenna menyesal. Sungguh menyesal telah berbuat hal tak pantas pada lelaki baik-baik seperti Rangga.

Hati Rangga luluh. Dia tidak tega melihat Alenna.

"Aku memaafkanmu. Maafkan aku juga, Alenna." Rangga tulus mengatakan itu.

Alenna mengusap air matanya. Dia tersenyum manis lantas mengangguk-angguk.

"Terima kasih, Mas. Malam ini, sekalian aku mau pamit. Mulai besok, aku dipindahkan ke induk perusahaan. Di Jakarta," terang Alenna. Hatinya berusaha tegar.

Rangga tersenyum sekilas. Tidak ada tanggapan lain setelahnya.

Mas Rangga benar-benar tidak punya rasa apa pun padaku, batin Alenna, terasa perih.

"Kalau begitu aku pulang dulu, Mas. Sekali lagi, maaf. Assalamu'alaikum," pamit Alenna.

"Wa'alaikumsalam," jawab Rangga.

Alenna tidak menemui tanda-tanda Rangga akan mencegah kepergiaannya. Miris sekali. Alenna terlalu berharap tinggi. Kini yang ada hanyalah rasa sakit hati.

"Sudah lega?" tanya Mommy Monika.

Alenna hanya mengangguk sekilas. "Ayo kita pulang, Mom."

Mommy Monika yang mengambil alih kemudi. Dia membiarkan putrinya terdiam sambil menikmati pemandangan malam di luar kaca jendela mobil.

***

Pagi hari pukul setengah tujuh. Alenna berpamitan. Mommy Monika memeluknya erat.

"Baik-baik di sana," kata Mommy Monika yang lekas mendapat anggukan dari Alenna.

"Paman Li akan ayah tugaskan di Jakarta. Dia akan membantumu. Fokus saja beradaptasi di sana, hingga pikiran dan kondisi batinmu stabil. Satu tahun. Dua tahun. Sama sekali tidak masalah. Bantu ayah mengurus perusahaan di sana," nasihat John.

"Insya Allah, Alenna akan amanah." Alenna tersenyum pada ayahnya. Setidaknya dirinya bisa sedikit lega karena ada Paman Li, tangan kanan ayahnya yang sudah dianggap Alenna seperti paman sendiri.

Giliran Alenna berpamitan pada sang kakak, Mario. Mimik wajah Mario melembut, tapi masih terpancar aura ketegasan.

"Maaf," tutur lembut Alenna.

"Minta maaf pada-Nya. Dekatkan dirimu pada-Nya. Lupakan Rangga!" nasihat Mario.

Dua pesan Mario yang pertama bisa diterima Alenna. Namun, Alenna tidak akan bisa melupakan Rangga.

"Jenguk aku di Jakarta kalau ada waktu. Ajak Anjani. Maaf, aku tidak bisa hadir saat hari bahagiamu bersama Anjani," terang Alenna.

Mario hanya mengangguk. Anggukan itu sudah cukup bagi Alenna. Menit berikutnya, Alenna diantar sopir pribadi sang ayah menuju bandara.

Mobil melaju pergi setelah menurunkan Alenna beserta kopernya. Langkah Alenna mendadak berat. Tak ingin rasanya meninggalkan kota itu.

"Alenna!" seru seseorang.

"Mas Rangga?" Alenna seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Aku nggak telat, kan?" Rangga ngos-ngosan. Nada khas jawanya semakin kental.

Alenna menggeleng pelan. Sesaat kemudian senyumnya mengembang.

"Ini. Hadiah kecil untukmu." Rangga menyerahkan hadiahnya pada Alenna.

Hati Alenna bergetar begitu melihat isi hadiah dari Rangga.

"Mukena dan sajadah," lirih Alenna. Tak terasa air matanya menetes.

"Jaga dirimu di sana. Perbanyak ibadah. Dekat dengan-Nya jauh lebih nikmat," nasihat Rangga.

Alenna tersenyum. Anggukan berulang menyusul.

"Mas Rangga pernah jatuh cinta?" tanya Alenna tiba-tiba.

"Pernah sekali. Pada Anjani, tapi langsung ditolak." Rangga ringan berkata.

Alenna tersenyum kecut.

"Oh." Alenna mengangguk. "Izinkan aku mencintaimu, Mas." Imbuh Alenna, serius, tulus.

Rangga terdiam sejenak. Setelahnya, sebuah senyum disuguhkan.

"Pastikan perasaanmu itu benar-benar rasa cinta. Bukan nafsu ataupun hanya obsesi pada tubuhku. Aku menunggumu kembali." Senyum Rangga semakin mengembang setelah mengatakannya.

Alenna mengangguk mantap kali ini. Hatinya begitu lega. Ada harapan besar di sana. Kini Alenna mantap ke Jakarta.

"Assalamu'alaikum, Mas Rangga."

"Wa'alaikumsalam, Alenna."

Tanpa Rangga dan Alenna sadari. Tak jauh dari tempat mereka, berdiri seorang lelaki berparas tampan. Sedari tadi lekaki itu terus mengamati. Lelaki itu adalah Juno, mantan pacar Alenna.

"Alenna. Aku menunggumu kembali," tutur Juno, sembari memantapkan hati.

Bersambung ....

Mampir juga yuk ke novel Cinta Strata 1. Kisah Alenna, Rangga, Juno bermula dari sana. Like, Vote, Rate5, Fav, dan tinggalkan jejak komentar kalian. See You.

Enjoy Reading, dan terima masih sudah mampir.

***

Bab 3

"Alenna, adik bos. Apakah tidak apa-apa orang biasa sepertiku mendapat cinta darimu?" gumam Rangga sambil tetap memandangi langkah Alenna yang semakin lama semakin menjauh.

Rangga terus berdiri sembari tersenyum hingga sosok Alenna masuk ke dalam area bandara. Meski samar, dada Rangga mulai tersapu desir merdu.

Mendadak Rangga senyum-senyum sendiri kala mengingat rekaman CCTV yang menampilkan aksi sepihak Alenna. Rangga refleks memegangi bibirnya sembari tetap senyum-senyum tak jelas.

Berganti memori, Rangga pun kembali teringat dengan sikap tak terduga dirinya dan Alenna akibat jebakan Leon kemarin sore. Sempat berdebar dada Rangga kala mengingatnya, tapi lekas tersadar begitu tahu bahwa semua itu salah.

"Astaghfirullah. Banyak dosa yang sudah kulakukan. Apalagi kemarin sore aku benar-benar menikmati perlakuan lembut adik Bos." Rangga geleng-geleng kepala.

Rangga memegangi dadanya. Jantungnya kembali berdebar-debar merdu saat mengingat bagaimana cara yang dilakukan Alenna untuk mengatasi hasrat bercintanya yang memuncak akibat obat perangsang jebakan Leon.

"Kemarin itu sungguh berbahaya. Coba saja Bos tidak membuatku pingsan tepat waktu, pasti aku dan Alenna sudah ehem-ehem berdua. Untung saja tidak sampai sejauh itu." Ada rasa syukur yang terselip. "Ah, keluarga pebisnis itu ada-ada saja permasalahannya," imbuh Rangga.

Hadiah kecil dari Rangga yang sudah diberikan pada Alenna bukan untuk mencari sensasi. Rangga sungguh ingin melihat Alenna selalu berselimut dan diselimuti kebaikan di jalan-Nya. Hal serupa juga akan diterapkan dalam kehidupan Rangga sendiri. Sembari menunggu Alenna kembali kapan pun itu, Rangga memutuskan untuk berbenah diri setelah banyak hal yang sudah dia lewati.

Rangga memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Dia merindukan ibu dan dua adiknya. Rangga memulai langkahnya. Begitu Rangga balik badan, di depannya sudah ada Juno. Rangga sempat kaget, tapi dia lekas tersenyum ramah pada Juno.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Juno to the point.

Rangga menautkan alisnya. Dia sedikit terheran dengan sosok tampan di hadapannya itu. Rangga tidak mengenalnya.

"Maaf, Mas. Namanya siapa dulu, nih. Kenalan dulu dong," kata Rangga ramah.

"Aku Juno. Panggil saja Juno, tanpa embel-embel mas." Juno tersenyum ramah. Tangannya terulur.

"Nama saya Rangga." Rangga menjabat tangan Juno yang terulur padanya.

Juno adalah teman kuliah satu jurusan dengan Anjani. Dia adalah adik tingkat Mario yang sama-sama mengambil jurusan ekonomi. Rangga belum tahu tentang hal itu, karena Juno sama sekali belum pernah ke ruko.

"Tadi mau tanya apa?" tanya Rangga.

"Apa Mas Rangga ini bekerja di ruko sepatunya Mas Mario? Aku pernah lewat di depan sana dan kebetulan pernah lihat Mas Rangga," terang Juno.

"Benar. Saya kerja di sana," jawab Rangga membenarkan dengan sejujurnya.

Basa-basi dimulai. Akhirnya Juno dan Rangga saling bercerita. Rangga mengaku juga mengenal sosok Meli yang super heboh, tapi mendadak kalem kalau lagi Video Call dengan sang suami. Rangga juga bercerita bahwa dirinya mengenal Dika yang irit bicara. Juga ada Ken yang kadang bijak kadang labil. Rupanya, semua yang diceritakan Rangga dibenarkan oleh Juno. Yap, karena semua yang ada di ruko itu adalah teman baik Juno.

"Kalau Anjani, bagaimana kabarnya?" tanya Juno.

"Em, sepertinya baik. Ada Bos Mario yang menjaganya. Mereka sebentar lagi juga akan menikah," terang Rangga.

Juno terdiam sejenak. Dia tahu rencana pernikahan Mario-Anjani dari Ken. Juno kemudian tersenyum.

"Semoga pujaan hatiku itu bahagia bersama Mas Mario," tutur Juno lembut.

Rangga terkejut. "Eh? Pujaan hati? Kamu pernah menaruh hati pada Anjani?" tanyanya.

"Iya. Bahkan sejak SMA. Kita berdua juga sempat dijodohkan. Waktu itu Anjani kabur ke kota demi menghindari perjodohan itu. Aku kejar cinta Anjani sampai ke kota ini. Sayangnya Mas Mario lebih beruntung bisa mendapatkan cinta Anjani." Juno malah curhat.

Rangga menepuk-nepuk pelan bahu Juno. "Sabar. Kita sama. Aku lebih parah. Sekali aku ngaku cinta, langsung ditolak saat itu juga sama Anjani."

"Loh, Mas Rangga pernah menaruh hati juga pada Anjani?" Giliran Juno yang dibuat kaget.

Sosok Anjani menjadi topik seru bagi Juno dan Rangga pagi itu. Juno bahkan mengajak Rangga mencari tempat teduh untuk melanjutkan obrolan mereka. Kebetulan juga Rangga diberi cuti kerja tiga hari oleh Mario. Sedangkan Juno, kuliahnya masih akan berlangsung siang nanti.

"Mas Rangga tadi ke sini nganter Alenna ya?" tanya Juno kemudian.

"Nggak ngantar, kok. Cuma ngasihkan sesuatu buat adik Bos," terang Rangga. "Kamu sendiri?" tanyanya.

"Aku tadinya ke sini mau ketemu Alenna. Mau ngobrol bentar sebelum dia berangkat ke Jakarta, Mas. Tapi sepertinya momennya nggak tepat." Juno kembali curhat.

Rangga memperhatikan Juno sekilas. Bisa ditangkap olehnya, sikap berbeda begitu terlihat saat Juno membahas Alenna.

"Apa kamu menyukai Alenna?" tanya Rangga.

Juno terkekeh pelan. Satu tarikan nafas, lantas dia pun menjawab pertanyaan Rangga.

"Aku mantan pacar Alenna," terang Juno.

Deg!

Fakta yang baru saja didengar Rangga membuat dirinya tersentak. Sama sekali Rangga tak menduga akan mendengar pengakuan seperti itu. Sekarang ini yang duduk di sampingnya adalah mantan pacar dari wanita yang mulai membuat dadanya berdesir merdu.

"Aku lihat tadi, Alenna begitu bahagia melihat Mas Rangga datang. Alenna menyukaimu ya, Mas?" tanya Juno memastikan.

Rangga ragu-ragu hendak menjawab pertanyaan itu. Di satu sisi Rangga masih ingat dengan jelas bahwa Alenna tadi meminta izin untuk mencintainya. Rangga sendiri pun mulai merasakan desir tak biasa dalam dadanya.

"He'em. Seperti dugaanmu." Rangga akhirnya membenarkan bahwa Alenna memang menyukainya.

Atmosfir di sekitar Juno dan Rangga sulit diartikan. Dua lelaki gagah dan tampan itu sama-sama pernah menaruh hati pada Anjani, meski pada akhirnya Mario-lah yang berhasil mendapatkan cinta Anjani. Kini, baik Rangga ataupun Juno sama-sama menumbuhkan cinta untuk Alenna.

"Tidak perlu bersaing ya, Mas. Siapa pun jodoh Alenna nantinya, itu pasti sudah garis takdir yang indah dari-Nya." Juno berbesar hati. Dia kapok dengan yang namanya bersaing.

Rangga tersenyum mendengar penuturan Juno. Satu anggukan mantap menyusul. Dia setuju dengan pemikiran Juno.

"Mulai sekarang kita berteman." Rangga mengulurkan tangannya.

"Setuju. Kita berteman," sahut Juno seraya menjabat tangan Rangga.

Persahabatan baru terjalin. Rangga dan Juno berteman. Dua sosok lelaki yang sama-sama mengharapkan cinta Alenna itu memutuskan untuk berteman. Entahlah apa yang akan terjadi di kemudian hari begitu Alenna kembali. Siapa yang nantinya akan dipilih Alenna. Rangga ataukah Juno?

Tatkala Rangga dan Juno mulai menjalin pertemanan mereka, pesawat yang membawa Alenna terbang menuju Jakarta. Alenna sempat sedikit gelisah.

"Uuuh, kenapa tiba-tiba aku jadi kepikiran Mas Rangga sama Juno, sih?" keluh Alenna dengan lirih.

Alenna mencoba tenang. Ditepisnya bayang-banyang Juno. Alenna menggantinya dengan bayang-bayang Rangga. Alenna tersenyum begitu mengigat pesan dari Rangga sebelum dirinya lepas landas tadi.

"Tunggu aku kembali Mas Rangga. Akan kupastikan bahwa perasaan ini adalah cinta," tutur lembut Alenna.

Bersambung ....

Mampir juga yuk ke novel Cinta Strata 1. Kisah Alenna dan Rangga bermula dari sana. Ada Mario-Anjani, Meli, Dika, Juno dan Ken juga di sana. Like, Vote, Rate5, Fav, dan tinggalkan jejak komentar kalian. See You.

Enjoy Reading, dan terima masih sudah mampir.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!