NovelToon NovelToon

Aero The Kidnapper

Part 1

happy reading guyss...

Bunga melati yang dirangkai indah telah menghias sisi kanan kepala hingga depan dada si calon pengantin. Wajahnya sudah di poles make up, membuat siapa saja pasti akan pangling melihat. Belum lagi sanggul yang ditata sedemikian rupa hingga menampilkan kesan mewah dan anggun.

Sang calon pengantin yang memiliki tubuh cukup tinggi bila dibandingkan kebanyakan orang Indonesia, tengah berdiri di depan cermin. Mematutkan diri, sementara tim perias sedang menyempurnakan penampilannya.

Lebih dari 3 jam ia duduk tenang menerima perlakuan sang tim dukun pengantin. Berlebihan atau tidak? Jawabannya tidak, setiap pengantin normalnya memang diperlakukan seperti ini di hari pentingnya. Satu kali seumur hidup, jika memang berjodoh. Pagi-pagi buta pintu kamarnya sudah diketuk. Mereka, para tim perias pasti takut calon pengantin wanitanya kesiangan.

Jangankan kesiangan, bahkan untuk tidur saja tidak bisa. Entah kenapa ia terlalu gugup, namun tidak bisa berbagai cerita dengan siapapun. Termasuk keluarganya.

"Udah selesai belum?" Itu kalimat pertanyaan yang keluar dari mulut sang Ibu dari balik telefon. Memang dimana perempuan itu? Tentu saja sedang memastikan dekorasi, katering, tamu dan sang besan. Sebisa mungkin ia tidak ingin pesta pernikahan anaknya terlihat biasa saja. Pasalnya sang calon besan adalah keluarga pengusaha batubara. Maka sebisa mungkin acara harus digelar mewah-karena ia ingin menunjukkan pada teman-temannya.

"Hampir Bu."

"Kalau udah selesai segera turun ya, Ibu ngga mau kamu telat. Turun sendiri ngga apa-apa kan? Ibu harus jaga-jaga disini."

"Iya ngga apa-apa." Balas sang pengantin dengan penuh pengertian.

Ternyata tak semua pengantin bisa bahagia dihari pernikahannya. Sekarang, perempuan itu sedang merasakannya. Kebahagiannya tidak sempurna. Harusnya di hari penting ini, setidaknya ada keluarga, adik atau kakak menemani. Tapi nyatanya, satupun tidak ada.

"Masa ngga ada yang jemput Mba di kamar?" Seloroh seorang wanita yang dari tadi sibuk merapikan tatanan kebaya. Ia langsung bersuara begitu sambungan telefon mati.

"Saya bisa sendiri kalau Mba ngga bisa antar."

See. Kuat sekali sang calon pengantin, bahkan dia tidak ingin merepotkan orang lain. Dia bisa berjalan sendiri menuju ballroom tempat akad. Hanya berjalan itu perkara mudah, iya kan? Tapi terkait kepantasan, semua itu tidaklah patut.

"Bisa! Aneh aja masa pengantin dibiarkan berkeliaran menuju tempat akad sendiri. Ngga ada gitu saudara Mba, adik atau kakak yang jadi pendamping. Mereka ngga takut apa? Di tengah jalan siapa tahu ada yang nyulik saking cantiknya." Celoteh sang perempuan cantik yang masih menyempurnakan si calon ratu sehari sambil tertawa.

Gadis cantik ini hanya tersenyum tipis sambil berusaha mencuri nafas karena perut yang begitu tertekan oleh korset sialan. Para tim make up mulai membereskan barangnya, dan mereka secara berurutan keluar dengan membawa koper besar berisi entah apa. Tinggallah hanya mereka bertiga, gadis manis bertinggi 168 si calon pengantin, sang dukun pengantin dan satu asistennya.

"Gugup ya Mba?" Tanya salah seorang tim.

Wanita ini menjawab dengan wajah datar. "Lumayan."

"Pengantin lelakinya pasti makin jatuh cinta."

Lagi, gadis manis ini hanya tersenyum saja.

"Postur tubuhnya pas banget, kebayanya pas di badan. Keliatan kaya bangsawan jawa Mba." Tambah wanita itu seperti berusaha menghibur calon ratu sehari. "Yuk." Ajak sang asisten untuk keluar, kemudian ikut memegang ekor kebaya warna putih agar tidak terseret di lantai hotel yang kotor.

Dunia ini kejam, kamu ngga usah naif. Saat ada seseorang yang sangat-sangat potensial mendekati kamu. Jangan terlalu jual mahal. Ngga ada alasan kamu untuk menolak. Malah kamu harusnya banyak bersyukur. Nanti saat kalian sudah berkeluarga, kamu patuhi dia, layani dia dengan sangat baik. Biar apa? Biar kamu hanya jadi satu-satunya. Otak kamu dipake untuk bertahan di keluarga mereka. Jangan malu-maluin ya?

Bukan kebahagian yang sang wanita ini pikirkan, tapi kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Hidupnya sudah dilatih untuk selalu penuh rencana. Nasehat atau omelan macam tadi yang Ibu sampaikan terus terngiang di kepala sang pengantin. Omongan tadi lah yang membuat sang pengantin tidak bisa tidur.

Sepanjang langkah menyusuri lorong, mata gadis cantik ini nampak kosong. Bahkan dia tidak sadar saat dua pendampingnya sudah meninggalkannya sendiri.

Tepat di lorong menuju lift, ia berhenti, menengok ke belakang karena perasaan aneh. Ia merasa seperti diawasi oleh sepasang mata. Jika ia tidak salah dengar, dua orang tadi sepertinya pamit kembali ke kamar untuk mengambil sepatu.

Bisakah kalian tidak pergi semua? Suara hati wanita itu terdengar.

Setelah menunduk, gadis cantik ini baru tersadar jika kakinya masih beralaskan sandal hotel. Pantas saja, langkahnya terasa nyaman.

Pintu kamar tepat di sebelah kiri tiba-tiba terbuka. Seorang pria tinggi bermasker keluar, menyapanya.

"Hai."

Apakah benar itu menyapa dirinya? Pasalnya, tidak ada lagi manusia yang ada di lorong hotel lantai 5. Karena ingin memastikan lagi, wanita berkebaya putih ini menoleh ke kanan kiri dan depan belakang, siapa tahu sang pria salah mengucap.

Sampai akhirnya secara tiba-tiba saat sang wanita lengah, tubuhnya ditarik paksa memasuki kamar. Mulutnya ditutup dengan sapu tangan yang sudah dibubuhi aroma menyengat. Tak ada respon atau penolakan yang wanita itu lakukan, karena dia sendiri bingung.

Hingga lama kelamaan ia mulai berontak karena bau menyengat tadi sudah tak bisa ia tahan. Al hasil kekalahan baginya, badannya langsung lemas hampir luruh ke lantai. Namun dengan sigap, sebelum itu terjadi sang pelaku lebih dulu menahannya. Merengkuhnya dari belakang sebelum tubuh langsing itu terjatuh.

...***...

Beberapa jam kemudian ...

Dunia memang kejam.

"Perasaan dosis yang saya berikan hanya sedikit. Tapi kenapa tidak bangun-bangun?"

"Tidak tau."

"Tinggalkan saja Bos, misi sudah selesai."

"Lima menit lagi."

Sambungan telefon terputus. Pria yang dipanggil Bos masih ada di dalam toilet sebuah hotel. Ia kembali memasang masker kain untuk menutup separuh wajahnya, kemudian keluar. Ia berniat menunggu hanya beberapa menit hingga sang wanita bangun, baru dia akan pergi. Katakanlah dia jahat karena sudah berani menghambat rencana besar seorang wanita. Tapi bagaimana lagi, ini memang sudah takdirnya.

Mata tajam milik lelaki bermasker ini bersiaga ketika melihat gadis yang terbaring di atas ranjang sudah bangun dan sedang duduk mencari tahu. Matanya menelisik ke sekitar ruangan. Selain itu si gadis juga memeriksa tubuhnya sendiri serta sanggul yang tidak lagi menghias kepala dengan tangannya. Terlalu bingung, sampai belum sadar jika ia sedang diperhatikan seorang lelaki dewasa.

"Ehem."

Tubuh ramping calon pengantin itu langsung tersentak saat suara deheman terdengar keras. Mata indahnya melebar begitu melihat ada makhluk lain di dalam ruangan yang sama.

Setelah berhasil mengingat siapa lelaki di hadapannya. Ia berbisik sangat lirih. "Kamu?"

"Hai Rea."

Seru si pria, dengan suaranya yang berat dan dalam. Bahkan Rea sendiri merinding begitu namanya dipanggil dengan cara seperti itu. Sangat berbeda. Jantungnya berdebar karena kaget, tidak menyangka sosok pria itu memiliki suara yang membuatnya takut.

Siapa sebenarnya lelaki yang berpostur tinggi ini? Sangat misterius, karena dari awal bertemu ia selalu mengenakan masker. Rea mendadak langsung berdiri, kemudian berjalan cepat ke arah pintu. Tujuannya hanya satu, mencari tahu acara pernikahannya. Bagaimana keluarganya? Bagaimana calon suaminya? Apakah mereka mencarinya? Apakah acara pernikahan masih bisa dilanjutkan?

"Aw!"

Tanpa disangka, tubuh Rea terdorong ke belakang hingga terbaring lagi di atas ranjang. Dan yang membuat Rea makin terkejut adalah, tubuh pria itu ikut menindihnya, mengungkung dengan kedua lengan ada di kanan kiri sisi kepalanya. Mau apa lelaki ini?

"Regina Athalia." Panggil pria itu sengaja mendekatkan wajahnya- membuat Rea membisu.

Di samping itu, tepat seperti yang lelaki perkirakan, wanita yang dia tarik paksa masuk ke kamar bukanlah sosok ekspresif. Dalam keadaan menegangkan seperti ini saja Rea cenderung tenang dan tidak heboh. Jangan harap ada teriakan, dorongan dan perlawanan. Tidak. Wanita cantik ini cenderung menerima.

"Ya?"

Bahkan masih bisa menjawab saat keadaan sudah sangat berbahaya. Apa Rea tidak berpikir jika mungkin saja si lelaki bermasker ini akan memperkosanya? Atau setidaknya melakukan perbuat jahat yang lain? Apa motif ia menyekapnya?

Mata tajam sang pria menyelami netra milik gadis cantik itu. Menelitinya dengan benar sambil mengingat-ingat gambaran wajahnya.

"Saya Aero. Maaf untuk pernikahan kamu yang gagal."

Katanya kemudian, dan tanpa menunggu lama Aero langsung berdiri usai memutus kontak mata. Ia segera keluar dari kamar, tanpa lagi menoleh ke belakang. Tanpa meninggalkan apapun. Tanpa menjelaskan apa yang telah terjadi. Tanpa menjelaskan niatannya.

Tubuh tegapnya langsung hilang di balik pintu.

Sementara itu, Rea yang sudah kembali bangkit, segera ikut keluar dari kamar. Ia ingin tahu apa yang sudah terjadi disaat dirinya menghilang. Apa fungsi Aero menyekapnya di kamar, lalu kemudian meninggalkannya begitu saja? Ada apa ini?

Rea bahkan tak sama sekali takut saat dirinya hanya berdua saja dengan sang lelaki. Ia hanya takut, bagaimana keluarganya sekarang.

Bagaimana nasib dirinya setelah ini?

Bagaimana jika dia diusir?

Bagaimana jika dia langsung tak dianggap?

Bagaimana jika semua orang acuh padanya?

Post 24 Nov 2020

Jangan lupa like dan comment yaa guys.

Part 2

Tidak ada yang tahu dibalik sikap tenang dan tanpa ekspresi seorang Rea saat ini, ia sedang gelisah. Bagaimana tidak? Kurang lebih dua jam yang lalu-atau sebenarnya bukan dua jam,tapi hampir sehari- dia baru saja mengalami musibah. Penculikan atau penyanderaan. Entahlah, keduanya seperti sama saja menurut Rea.

Kebaya masih melekat di tubuhnya yang semampai, masih pula mengenakan sandal hotel. Ia menyesal, kenapa tidak meminta salah satu tim make up menemaninya. Setidaknya, akan ada saksi bahwa ia telah disekap seseorang. Jika sudah seperti ini, Rea hanya bisa terus merapalkan doa dalam diam. Semoga ada keajaiban, semoga waktu telah berhenti dan semuanya akan kembali baik-baik saja.

Secara tidak sabar, ia menekan bel kamarnya sendiri. Sial, karena dia lupa menyimpan kunci kamar. Rea sangat berharap setidaknya masih ada orang di dalam, entah tim make up, keluarga atau siapapun.

Kenapa Rea tidak langsung turun ke bawah? Tidak mungkin. Penampilannya saat ini sangat tidak pantas. Ia terlihat seperti baru saja mengalami...

Ah sudahlah.

Ceklek

Gagang pintu diputar, dan harapan Rea sepertinya terkabul. Masih ada orang di dalam kamarnya. Namun,

"Ya?"

"Anda siapa?" Tanya Rea yang tak pernah melihat orang yang membuka pintu.

"Saya tamu kamar hotel ini."

Hmm? Rea menggeleng pelan, dia sepertinya masih dalam pengaruh alkohol. Sehingga pendengarannya sedikit terganggu.

"Maaf sekali, saya belum merasa check out. Dan ini sepertinya masih kamar saya. Ijinkan saya masuk untuk mengecek apakah ini benar kamar saya atau bukan." Kekeh Rea.

"Wait!" Tahan sang pria sambil meneliti penampilan Rea yang amburadul. Wanita yang lumayan manis ini hampir saja memasuki kamar hotel orang lain.

Really? Kebaya pengantin, namun dengan rambut yang terurai? Apakah di pesta pernikahannya baru saja dilanda badai katarina?

...***...

Rea terduduk lemas di salah satu kursi, masih di hotel yang sama dia tempati. Penjelasan yang baru dia terima sangat mengejutkan. Bahkan tanpa menunggu hitungan menit otak untuk mencerna dan menguraikan, seluruh tulang di tubuhnya langsung tak berfungsi. Hampir saja ia luruh ke lantai jika tidak ada seseorang yang menahan.

"Acara pernikahan tadi berjalan lancar. Tamu dan keluarga mempelai terlihat nyaman dan menikmati pesta. Dan tak lama, secara bersamaan mereka meninggalkan hotel. Mereka bilang ingin segera ke luar kota."

Itu pernyataan salah satu tim hotel yang sedang merapikan kembali ballroom. Matanya memandang tempat yang seharusnya menjadi singgah sana ratu. Namun semua itu hanya sebuah impian belaka. Tidak pernah ia menjadi ratu sehari disana. Tidak pernah ia menyalami tamu-tamu undangan. Tidak pernah ia merasa sudah dinikahi seseorang.

Kenapa tidak ada orang yang mencarinya? Kenapa semua terkesan santai padahal sebenarnya pengantin wanitanya telah hilang? Ada yang aneh dan itu masih terus Rea cari tahu.

"Minum dulu Kak." Seorang wanita staf hotel memberikan gelas mineral pada Rea.

"Ini jam berapa?"

"Jam 4 sore."

Kepala Rea makin berputar mendengar jawaban itu. Ia tidak bisa menangis, padahal rasa sesak sudah sangat terasa di dada. Hatinya seperti dipukul dengan palu godam yang besar. Menghempaskannya sampai ia tak bisa mengekspresikan lagi cara menyikapi semua ini.

Regina Athalia tak habis akal, walaupun saat ini seluruh tubuhnya benar-benar lemah. Otaknya masih mampu menuntunnya meminta kepada staf hotel untuk masuk kembali ke kamar tempat ia diculik.

Tidak ada berita apapun terkait hilangnya Rea yang dibicarakan oleh staf hotel. Semua nampak biasa-biasa saja. Apa sebenarnya dia yang bermimpi atau bagaimana?

Rea beserta seorang lelaki memasuki kamar hotel yang dituju, tempat itu masih sama seperti saat Rea pergi. Tak rapi maupun berantakan, untaian melati, sanggul dan aksesoris lain tertata rapi di atas nakas-seperti menang disiapkan. Baru Rea sadari juga disana ada sebuah paper bag, berisi sepasang pakaian wanita. Untuk dia kah?

"Bisa saya pakai kamar ini untuk membersihkan ini?" Tanya Rea setelah mengecek isi paper bag warna hitam.

"Silahkan, kamar ini memang atas nama Anda."

"Ha?"

Staf hotel pamit keluar, tak bisa meluruskan kebingungan yang Rea alami. Kamar Rea dia bilang?

...***...

Maaf untuk semuanya.

Aero.

Berkali-kali pun dilihat, note paper itu tak akan berubah. Rea meremasnya kesal, sampai tanpa sadar air matanya luruh. Luruh di saat yang sebenarnya tidak tepat. Kenapa tidak sejak tadi ia menangis? Justru saat di taksi, ia menumpahkan ketidakberdayaannya ini di hadapan supir. Ia mengaku lemah dan kalah. Tak bisa sekuat yang dibayangkan. Nafasnya tertahan, berusaha tidak mengeluarkan suara isakan yang bisa menganggu konsentrasi orang lain.

Pria bermasker itu meminta maaf atas semuanya. Dia kira hanya meminta maaf masalah akan selesai dan hidupnya bisa kembali normal?

Rea bahkan sejak 3 hari lalu tidak melihat wajah calon suaminya. Lelaki yang terlihat arogan namun bisa menerimanya. Apa dia tidak mencarinya?

"Tunggu sebentar ya Pak." Rea segera turun, berjalan memasuki halaman rumah. Ia tidak membawa uang, bahkan ponsel. Seluruh barang yang ada di kamar lama tempat dia dirias bersih, tak ada satupun barang miliknya tertinggal.

"Mba Rea??" Bibi Yul adalah orang yang membuka pintu rumah.

"Bi, tolong bayarin taksinya dulu ya? Rea ngga bawa uang."

Bibi Yul langsung terenyuh mendengar penjelasan Rea, gadis cantik yang dia asuh tidak memiliki uang. Benar, jarang sekali memiliki uang lebih. Karena dia membaginya untuk kebutuhan rumah yang harusnya ditanggung oleh kepala keluarga.

"Siap Mba!"

Usai memastikan ia tak memiliki lagi tanggungan. Wanita berparas manis ini melangkah masuk, telinganya langsung mendengar suara-suara ribut antara Ibu dan Bapak. Bahkan sampai ada bantingan, gebrakan dan suara benda pecah.

Pyar

Lemparan benda keramik itu tepat jatuh di depan langkah Rea, membuatnya terkejut dan langsung berhenti.

"Pulang kamu?!"

Sepasang mata itu melebar melihat kedatangan Rea.

"Ibu."

"Udah Ibu bilang kan? Jangan buat malu!" Sambil mengomel, sosok Ibu itu berjalan cepat ke arah Rea, seperti ingin menerkam. Tangannya bahkan sudah terangkat ingin melakukan sesuatu.

Pada akhirnya, inilah yang terjadi. Rambut Rea yang masih kusut langsung dijambak, ditarik paksa sambil Rea harus ikut berjalan mengikuti.

"Apa kamu ngga punya cara lain buat mempermalukan keluarga kamu? Setidaknya jangan dihari pernikahan Regina!! Ibu malu, waktu tahu bukannya kamu ke ballroom malah masuk ke kamar cowo. Lagi latihan jadi murahan kamu?" Bentak wanita itu ketika sudah memasuki sebuah kamar. Kamar Rea yang kecil dan biasa.

"Keluar aja dari rumah kalau ngga mau di atur!" Tambahnya lagi, sementara sang kepala rumah tangga tak punya daya apapun.

"Bu, Rea dapat musibah."

"Keluar aja dari rumah. Calon suami kamu aja langsung pergi saat tahu kamu sama cowo lain."

"Ngga Bu!"

"Ibu ngga tau harus apain kamu lagi. Lebih baik kamu tinggal aja sama keluarga Bapak kamu yang dulu. Ibu udah ngga sanggup. Kamu bikin malu Regina!!"

Satu yang Rea tahu, ini bukan harinya untuk bahagia ternyata.

...***...

Sementara di tempat lain, seorang lelaki baru saja turun dari motornya. Ia memasuki tempat tinggal sederhana tempat banyak kawannya berkumpul.

"Siang Bos. Misi berhasil?"

"Gagal."

"Ah pasti bercanda. Bos Aero tidak mungkin gagal menjalankan misi."

"Tapi kali ini gagal."

Ulangnya lagi dengan makin tegas. Ia lepas masker yang selalu menutup setengah wajahnya, hingga berhasil menampakkan wajah utuh yang penuh wibawa.

Aero adalah namanya yang dikenal luas. Hanya beberapa saja yang tau nama lengkap lelaki jangkung itu siapa. Kakinya yang panjang membawa ke arah kamar pribadi yang ada di lantai dua. Ia melepas jaket dan duduk di sisi ranjang. Kepalanya sedikit menunduk.

Diamnya Aero adalah saat yang berbahaya. Dan benar saja, tiba-tiba ponsel yang ada di genggaman tangan dia banting hingga membentur tembok. Tak bisa dicegah, benda elektronik itu langsung berantakan.

"Maaf."

Bisiknya sangat lirih, entah kata maaf untuk siapa.

25112020

Jangan lupa like dan comment ya guyss.

Part 3

Pria jangkung yang baru saja merusak ponselnya sendiri beberapa jam lalu ini tengah menatap lurus pemandangan di luar jendela kamarnya. Apa yang dia pikirkan biasanya tak sesuai dengan ekspresi wajah. Bisa jadi, saat dia tengah terdiam seperti saat ini, otaknya justru tak memikirkan apa-apa. Namun justru saat sedang berdiskusi atau berdebar dengan orang-orangnya, ia justru sedang memikirkan sesuatu. Unik. Karena dia bisa berpikir dalam kondisi riuh ramai penuh suara.

Asap rokok ia hembuskan, sesekali memejamkan mata agar bisa terlelap. Katakanlah dia gila, karena posisinya menutup mata justru saat berdiri juga dengan puntung rokok yang masih menyala di selipan jari sebelah kanan.

"Apa kali ini seorang Aero tidak bisa berpikir dengan benar? Ngga ada gunanya lo sekap cewe itu. Gue ngga peduli mau lo apain dia."

"Tapi thanks bro, berkat lo yang bertindak murahan itu, gue bisa lepas dari bayang-bayang masa depan suram."

Aero masih ingat dengan jelas setiap kalimat yang dilontarkan pria brengsek itu lewat sambungan telefon. Bisa-bisanya dia mengejek dan mengatai Aero lelaki bodoh. Biasanya ia tak terlalu memikirkan omongan orang lain, ia tidak akan peduli penilai orang tentang dirinya. Hanya saja tindakannya kali ini yang bisa dibilang gagal mengusiknya.

Anak buahnya saja tidak percaya dia membuat kesalahan, apa benar Aero sudah sebodoh itu kali ini? Sudah banyak kasus yang dia selesaikan. Mengungkap apa yang seharusnya menjadi kebenaran. Kadang pula ia ikut andil juga untuk menyembunyikan bukti nyata suatu perkara besar yang ditangani pihak kepolisian. Dia hanya bekerja untuk mendapatkan uang, itu saja.

Namun kali ini, apa karena bukan urusan uang ia gagal? Apa karena urusan pribadi dia tidak berhasil? Entahlah, dia sendiri masih ingin tahu bagaimana bisa seperti itu. Dari mana sumber kegagalannya harus dia cari tahu.

Aero membuka mata elangnya lagi setelah sekitar 1 menit terlelap. Itu lebih dari sekedap cukup untuknya. Tanpa melihat sisa rokok, ia segera mematikannya pada asbak yang tersedia di dekat tempatnya berdiri. Melenggang begitu saja keluar kamar hanya dengan celana jeans warna hitam yang menggantung di pinggang.

"Jordiiii!!" Teriaknya dari lantai dua. Semua orang yang masih setia berkumpul di ruangan luas lantai satu langsung memberikan atensinya pada Bos mereka,tanpa suara. Beberapa detik kemudian suara langkah berlari terdengar menaiki tangga. Lelaki itu memiliki bahu lebar, penampilan rapi dengan celana kain serta kemeja putih. Itulah Jordi.

"Iya Mas, kenapa?" Panggil Jordi dengan sopan saat sudah memasuki ruangan milik Bosnya. Hanya dia saja yang dibolehkan memanggil Aero dengan Mas, selain karena lebih tua, juga karena rasa hormat. Special. Dan semua orang dalam rumah itupun tahu.

"Untuk case selanjutnya, saya ingin Ario yang pegang kendali. Setelah kamu keluar panggilkan dia." Maksudnya adalah Aero ingin Ario dilibatkan dalam semua kasus.

Jordi cukup kaget mendengarnya, ia kira seseorang lain ada yang lebih layak, tenang dan pandai menjadi next leader. Tapi apa boleh buat, statusnya hanya seorang bawahan. Ia harus patuh.

"Siap Mas!"

"Ada satu lagi."

Jordi mengambil nafas diam-diam. Ia takut untuk yang 'satu lagi' ini. Karena pasti dirinya yang mendapatkan tugas ini. Tidak berat jika menurut Bos besarnya, namun kalau harus dilakukan dengan sangat rahasia, itu membuat Jordi sering sesak nafas. Ia adalah salah satu orang yang tidak bisa lama-lama menyimpan rahasia. Dia takut, karena bisa jadi rahasia itu dapat membawanya pada kondisi yang membahayakan.

Untuk itu, sebelum perintah dikumandangkan. Buru-buru Jordi meminta sesuatu. "Kalau bisa, beri satu partner Mas."

"Hmm?"

Wajah Aero yang mendadak menoleh sempat mengejutkan lelaki berpenampilan rapi ini-padahal hari sudah malam namun Jordi masih seperti pekerja kantoran.

"Artinya kamu meminta uang saku dibagi dua."

"I-iya." Jawab Jordi setengah tidak rela. Daripada dia harus berpusing-pusing menyelesaikan tugas sendiri. Akan lebih baik jika ada dua otak yang berpikir.

Aero hanya mengangguk menanggapinya.

"Siapa yang mau kamu jadikan partner?"

"Ardi. Boleh Mas?"

Pintanya dengan sedikit menurunkan nada bicara. Pasalnya Ardi sering Bosnya ajak kemana-mana karena dikenal paling jago bela diri. Lelaki itu selalu menjadi pilihan disetiap case.

Kening Aero berkerut, dan itu membuat Jordi makin tak enak hati. Sepertinya permintaan ini tidak akan di acc.

"Ok!"

"Apa?" Reflek Jordi balik bertanya. Ia sebenarnya kaget karena begitu mudah bosnya memberi persetujuan.

"Ok saya bilang." Aero duduk di kursi, sambil menyalakan laptop kemudian melanjutkan lagi omongannya. "Untuk case ini sebenarnya kamu sendiripun cukup."

"Apa tugasnya?"

"Kamu harus ingat, kamu perlu panggil Ardi."

Ah iya. Mana mungkin partner tidak diberitahu apa tugasnya. Aero lebih suka menyampaikan keinginannya langsung, tanpa perantara. Karena dengan perantara, ia sering mengalangi miss com."Siap Mas!"

Segera Jordi keluar dari ruangan berpintu warna hitam bertuliskan danger. Ia berjalan menuju balkon yang memperlihatkan keadaan lantai satu, kemudian memanggil nama Ardi. Meminta lelaki yang sedang asik main game PS untuk segera naik.

...***...

Sementara di belahan dunia yang lain. Hati wanita manis ini tengah hancur, ia dihianati. Bukan hanya oleh calon suaminya, tapi juga oleh saudara tiri dan kedua orang tuanya.

Ia pikir, statusnya dalam keluarga sama dengan adik tirinya. Sama-sama anak mereka. Lagi-lagi itu semua hanyalah angan, klise. Regina Athalia belum bisa mendapatkan tempat di hati orang rumah. Padahal sebaik mungkin dia mengabdi, banting tulang untuk membuat keluarga mereka hidup dalam kecukupan. Tidak terlalu mewah, namun Rea bisa memberikan apa yang keluarganya butuhkan tanpa waktu menabung yang lama. Penghasilannya sangatlah lumayan, bahkan lebih tinggi bila dibandingkan saudara tiri dan Bapak selaku kepala rumah tangga. Hampir 70% gajinya ia pakai untuk keperluan rumah, sementara untuk dirinya sendiri, Rea memilih sederhana.

Arka, pria yang akan menjadi calon suami Rea sampai detik ini tak menampakkan diri. Berkali-kali wanita ini menelepon, mengirim pesan, bahkan menghubungi lewat social media, tak ada satupun yang terkirim. Arka memblokir semua akses komunikasi dengannya-mungkin. Kenapa dalam sekejap lelaki yang awalnya baik itu berubah jadi kejam? Tidakkan pria itu ingin tahu apa yang suda terjadi dengannya di hari-H pernikahan? Mana kata cinta dan sayang yang terus di elu-elukan itu? Mana perhatian yang diberikan saat masa pendekatan? Mana janji-janji yang dibuat manis untuk membuatnya tersenyum ketika sudah lelah bekerja? Mana itu semua? Rea masih mempertanyakan.

"Ibu malu sama keluarga mereka. Bisa-bisanya kamu malah kabur ke kamar temen Arka!! Bodoh banget kamu!! Harusnya dari awal perkenalan, kamu bilang kalau memang ngga suka sama Arka, Ibu bakalan deketin dia sama adik kamu aja."

Sampai detik ini Rea tidak juga memahami apa yang Ibunya sampaikan. Satu kalimat terucap Rea membela diri, maka akan ada balasan jutaan kata-kata khusus untuk telinganya. Selain keras, pemilihan kalimat kasar yang Ibunya sampaikan membuat Rea hanya bisa diam dan menangis.

"Di minum dulu." Perintah Bibi yang setia duduk di samping ranjang Rea.

"Ngga pengin minum Bi. Rea masih ngga tau salahnya dimana. Mereka kok ngga pengin tahu kemana Rea waktu itu si? Mas Arka juga ngga tahu kemana." Sambil berbaring lemah di ranjang, Rea mencurahkan isi hatinya pada satu-satunya wanita yang selalu memperhatikannya di rumah ini.

Wanita yang telah lama mengabdikan hidupnya di rumah ini bergerak mundur. Memijat pelan kaki anak majikannya yang terbungkus selimut. Itu hal yang biasa dia lakukan guna menghibur ahli waris rumah ini. "Bukannya Bibi ngga percaya. Tapi waktu itu Bibi ada di gedungnya juga Mba. Emang beneran Mba Rea kabur sama temennya Mas Arka?" Tanya dengan penuh kehati-hatian.

"Rea ngga pernah bohong kan sama Bibi? Waktu harus hutang pun Rea bilang kan?"

Wanita pemilik wajah manis keturunan Mama kandungnya ini sedikit bangkit, duduk bersandar headboard. "Rea udah dandan, dianter turun sama dua orang yang make up -in. Eh di tengah lorong, dua orang tadi ke kamar ambil sepatu. Dan ngga lama pintu kamar kebuka, ada laki-laki pakai masker narik Rea masuk ke kamar. Terus-"

Nafas gadis manis itu tertahan, ada sesak yang muncul ketika dia menceritakan hal buruk itu kembali. Terlebih saat Rea mengingat foto yang Bibi Yul tunjukkan. Foto ketika dirinya tengah ada dipelukan seorang lelaki di atas ranjang. Itu adalah aib. Wajahnya jelas sekali terlihat. Dan sulit untuknya mengelak jika itu bukan dia.

"Rea ngga tahu udah diapain aja." Rengeknya disertai air mata yang meluruh tanpa henti. Bibi Yul hanya bisa mendekat dan memeluk anak asuhnya untuk menenangkan.

"Mas Arka bilang itu temennya, dan Mba Rea kenal?"

"Enggaaa. Rea ngga kenal orangnya." Elaknya lagi semakin menggeleng kuat. Ia menolak semua tuduhan jika pria yang bersama Rea di hotel adalah orang yang dia kenal. Belum selesai hatinya teriris saat mendengar cerita Bibi Yul tentang kelanjutan acara di ballroom. Lagi-lagi Rea harus menerima hatinya dihempaskan ke dasar jurang.

"Jadi beneran Bi? Mas Arka nikahnya sama Rena?" Ulang Rea untuk kesekian kalinya dengan suara putus asa. Ada luka tak kasat mata yang begitu menyiksanya. Ia yakin, butuh waktu lama untuk menyembuhkan ini.

"Mungkin sebenarnya Mas Arka bukan jodohnya Mba Rea. Bibi yakin, Mba Rea itu jodohnya orang paling baik di dunia ini. Lebih baik dari Mas Arka, lebih baik dari siapapun lelaki yang Mba Rea kenal. Bibi percaya itu." Hibur Bibi tak kalah haru. Matanya mulai berkaca-kaca, efek sesal yang harus ikut dia hadapi. Kenapa keluarga majikannya harus berjalan seperti ini? Ia adalah saksi hidup saat Mamah Rea meninggal, kemudian Ayahnya menikah lagi, dan terakhir saat Ayahnya meninggalkan dirinya berjuang sendiri.

"Ada yang hilang, tapi nanti pasti ada yang kembali." Pelukan Bibi Yul makin erat pada wanita yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri. Rasa cintanya pada Rea mungkin sama besar seperti pada anaknya di desa. Karena cinta tak mengenal apapun.

"Rea mau pergi aja dari rumah ini Bi, Rea ngga kuat lagi."

Mendengar nada frustrasi yang keluar dari mulut Rea, Bibi Yul segera melepaskan pelukannya. Kedua tangannya meremas kuat bahu Rea, kemudian berkata,"Jangan! Mba Rea itu ahli waris rumah ini, ngga boleh pergi! Mereka yang harusnya pergi! Hak Mba Rea disini! Mereka cuma numpang."

Mereka yang dimaksud adalah Ibu dan Bapak baru yang tak sama sekali memiliki ikatan darah dengannya. Orang asing.

Namun itu tak mempan, wanita berumur 25 tahun ini menatap lekat mata Bibinya dengan penuh tekad.

"Rea pengin hidup tenang, sama Bibi. Yaaa??"

"Mba, saya sudah janji sama Bapak."

"Jadi Bibi ngga mau?"

Perlahan wajah tua yang sudah mengabdikan separuh umurnya di rumah besar ini hanya menggeleng sambil tersenyum. "Mungkin Mba Rea ngga tahu, ada hal yang perlu dijaga di rumah ini. Kenangan Mamah sama Papah Mba Rea ada disini. Jangan pergi ya?"

"Rea ngga punya daya lagi buat berjuang. Laki-laki yang Rea pikir bisa bantu untuk keluar dari sini ternyata ngga bisa apa-apa. Harus aku sendiri yang mengusahakan. Aku ngga mau berharap sama orang lain. Percuma."

Ada pesan buat Aero?

atau Rea?

jangan lupa like dan comment ya

29112020

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!