Panasnya matahari, seakan membakar bumi dan isinya, tak terasa oleh para penumpang di sebuah mobil travel yang sedang melaju dengan kecepatan masih standar menembus jalanan kota. Mobil berwarna hitam metalik itu terlihat mulai menuju keluar dari batas kota.
Di dalam travel terlihat seorang pria dan wanita yang duduk bersebelahan. Di mana pria tampan itu terlihat ingin beramah-tamah dengan gadis muda yang terlihat sedang tidak bersahabat. Gadis muda itu bernama, Alcenna.
"Mau ke mana Dek?" tanya pria yang duduk di sebelah gadis tersebut memancing percakapan.
"Pulang kampung!" jawab gadis itu singkat dan terdengar ketus. Suasana hatinya sungguh terlihat tidak baik saat ini.
"Sombong sekali Dek," kata pria tampan itu masih dengan nada lembut. Namun si gadis tidak terpengaruh sama sekali. Wajah kusut tergambar jelas didampingi sikap acuh tak acuh darinya.
"Masalah buat situ!" jawab Alcenna masih ketus. Tiada keramahan apapun dari gadis itu.
Mendengar jawaban yang tidak bersahabat, membuat pria di samping gadis tersebut akhirnya diam seribu bahasa.
"Rasakan situ, mau sok kenal sok dekat," batin gadis itu.
"Lagian, sudah tua masih saja ganggu anak gadis orang," hati gadis itu masih membatin.
Sebenarnya pria itu tidak juga terlalu tua, karena Alcenna gadis berusia 22 tahunan, sehingga ia merasa di atas angin. Namun itu bukan alasan sepenuhnya dia bersikap ketus. Pikiran ruwet membuat dia tak ingin diganggu. Apalagi mereka tak saling kenal.
Tak terasa mobil telah jauh keluar dari kota. Satu jam sudah berada di perjalanan. Alcenna ingin memejamkan mata untuk tidur sejenak. Melepaskan beban pikiran yang mengganggu beberapa hari ini, tapi ternyata matanya tak bisa sinkron dengan pikirannya. Hingga Alcenna mendengar kembali suara pria di sampingnya berkata, "Mau minum?"
"Tidak, terima kasih!" Lagi-lagi Alcenna bersuara dengan nada sinis. Tak ada manis-manisnya nada bicara yang terdengar. Herannya, pria itu tak juga jera untuk beramah tamah.
"Percaya diri sekali mengasih air minum bekas bibirnya. Dia kira siapa dia rupanya." Alcenna berkata dalam hati dan semakin geram pada pria tampan itu.
"Tenang saja, tak ada virus kok." Sekali lagi dia menjawab, seakan tahu jalan pikiran Alcenna. Jelas pikiran pria itu salah duga dengan penolakan gadis tersebut.
Alcenna diam dan tidak meladeni ucapannya, sungguh hati kecil Alcenna tersulut emosi juga pada akhirnya dengan sok kenal sok dekatnya itu. Alcenna memejamkan mata, pura-pura ingin tidur. Alih-alih ingin tidur, yang ada pikiran dia mengembara dengan pembicaraan ibunya di telfon dua hari yang lalu.
***
Kilas balik ...
"Assalamu'alaikum Nak, kamu bisa izin kerja satu atau dua hari Nak?" terdengar suara ibu di seberang sana.
"Wa'alaikumussalam, ada apa ya Bu? Kenapa mendadak?" tanya Alcenna sambil menduga-duga ada apa gerangan.
"Ibu ingin kamu pulang kampung sebentar, ada yang ingin ibu bicarakan dengan kamu tapi tidak lewat telepon ini, dan cukup kamu saja yang pulang, tidak dengan adik-adikmu."
"Apa sepenting itu Bu? Sehingga harus dalam waktu dekat ini juga Alcen izin kerja?" tanya Alcenna pelan.
"Iya Nak, ini mendesak sekali. Usahakan Nak, besok pagi minta izin dan sorenya langsung berangkat pulang." Terdengar suara lembut Ibunya di seberang sana, walau lembut tidak bisa untuk dibantah.
"Baiklah Bu, Alcen usahakan besok pagi minta izin dari kantor ya, assalamu'alaikum Bu" jawabnya mengakhiri pembicaraan yang cukup membuat hati penasaran. Hanya saja ia tak mendapat izin waktu itu. Bos memberinya izin baru hari ini. Alcenna menelepon ibu, dan meminta menunggu.
"Kampungnya di mana Dek?" Kembali si makhluk reseh di samping buka suara. Heran, begitu tidak jeranya dia dengan sikap judes Alcenna.
Aakkkkhhhh ... sungguh gadis itu dibuat senewen oleh pria di samping, tetapi Alcenna tetap menjawab, "Aku tinggal!!"
Alcenna mendengar dia tertawa. Dasar aneh dijuteki berulang kali malah tertawa, lalu dia kembali diam. Beberapa penumpang memperhatikan interaksi mereka. Alcenna masa bodoh, bodoh amatlah. Mereka kembali berdiam diri.
Setelah 3 jam perjalanan, pak supir mengantar sampai ke alamat rumah orang tua Alcenna. Dia turun tanpa permisi pada pria yang menyapa tadi, sedikitpun tak ada niat di hati akan beramah-tamah dengan pria tersebut. Alcenna hanya mengucapkan terima kasih pada supir.
"Assalamu'alaikum Bu ...." ucap Alcenna sambil mengetuk pintu rumah.
Merasa tak mendapatkan jawaban, sambil jari tangan lentiknya mengetuk pintu, dia mengulangi mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum Buuu ...."
"Buuu ... Ayaaah ... ohhh BuuAyaaah ...." ujarnya kemudian sedikit iseng.
Krieeettt ... terdengar pintu rumah yang sudah dimakan usia berbunyi, tanda seseorang telah menyadari dia telah sampai.
"Bukannya mengucapkan salam, malah memanggil buaya pada orang tuamu Nak," ujar ibu lembut tapi tidak dengan cubitan yang terasa di pinggang Alcenna. Alcenna merasa lumayan perih rasa digigit semut, itu pun semut gambir.
"Sudah loh Ibu, sudah dua kali Alcenna ucapkan, tapi yang Ibu dengar yang Alcenna panggil dengan iseng. Assalamu'alaikum Ibu," ucapnya kemudian mengulangi salam.
"Wa'alaikumussalam, ayo Nak kita ke dalam. Mandilah dulu, Ibu akan membuatkan kamu teh hangat."
"Baik Bu, terima kasih. Ayah mana Bu?" tanyanya sambil celingak-celinguk memindai keberadaan ayahnya.
"Ayah masih pergi bersama temannya."
"Ohhh."
Alcenna langsung menuju ke kamar, kamar yang sudah enam tahun dia tinggalkan, karena pada awalnya dia memilih melanjutkan Sekolah Menengah Atas di ibu kota provinsi, inginnya ke ibu kota negara, tapi dia gadis lugu dari kampung. Dia takut dijual. Itu alasannya jika ada yang bertanya. Padahal dia tak ingin membebani orang tuanya terlalu besar.
Alcenna sudah enam tahun di kota P. Dia pulang ke desa hanya sekali setahun. Bertepatan dengan hari raya. Saat bersekolah, hari-hari libur dia akan pulang. Hanya tiga tahun setelah dia bekerja dia tak bisa pulang seperti dulu.
Dia anak pertama dari tiga bersaudara, adik-adik menyusul sekolah di kota ketika masing-masing mereka telah menamatkan Sekolah Menengah Pertama di desa.
Waktu telah menamatkan SMP, Alcenna datang pada ayahnya dan sengaja meminta pada ayahnya untuk melanjutkan SMA di kota. Dia merasa jika di desa nantinya akan sedikit kesulitan mencari kerja setelah tamat sekolah.
Jika sekolah di kota, akan banyak kenalan dan akan lebih mudah mencari kerjaan setelah tamat. Itulah perkataan yang diucapkan Alcenna untuk meyakini hati ayahnya. Memang, dia tak berniat langsung melanjutkan kuliah, karena ingin meringankan beban orang tua.
Walau anak seorang guru, tapi pada zaman itu, gaji seorang guru tidaklah makmur yang dibayangkan, apalagi ayahnya bekerja serabutan. Hanya banyak bersyukur saja.
Sambil berbaring sejenak melepas lelah, dia teringat ketika meminta izin sekolah ke kota pada ayah-ibunya. Ibunya sedikit keberatan. Maklum hati seorang ibu, tapi sang ayah mengizinkan setelah dia katakan dengan jelas alasan sekolah ke kota.
"Ayah tanya padamu, apakah kamu yakin sekolah di sana dan bisa menjaga kepercayaan ayah, tidak membawa aib dan malu pulang ke kampung ini?" Suara ayah yang lembut namun penuh ketegasan meminta kepastian Alcenna.
"Yakin Yah," jawabnya mantap. Dia yakin tak akan membawa malu untuk ayah-ibunya, karena ia berniat sekolah ke sana untuk masa depan yang lebih baik dan ada nama ibu yang akan diperjuangkan sebagai profesi guru, di mana beliau mendidik generasi bangsa.
Apa kata dunia nanti jika anak seorang pendidik generasi bangsa membuat malu. Bisa-bisa ibunya dihujat karena gagal mendidik anak sendiri. Alasan itu menjadi motivasinya untuk melangkah hati-hati.
Namun manusia banyak yang lupa atau banyak tahu salah manusia lain saja. Anak guru sekalipun hanya anak manusia. Gudang salah gudang dosa.
"Kalau sudah yakin, baik ayah izinkan. Sekali lagi jaga diri baik-baik setibanya di sana, dan satu lagi pesan ayah kurangi sifat keras hati kamu Nak. Tidak baik terlalu keras hati, bisa menghancurkan diri sendiri. Besi saja yang keras bisa hancur karena panas dan air hujan," kata ayah panjang lebar.
"Tapi aku bukan besi, ayah. Aku manusia." Tentunya kalimat itu dia ucapkan dalam hati saja, yang dia lakukan hanya menganggukkan kepala. Namun bukan berarti dia setuju dengan ucapan ayahnya yang mengatakan keras hati bisa menghancurkan diri sendiri.Maklumlah gadis remaja berusia 16 tahun.
***
Tok ... tok ... tok ....
Alcenna bangkit ketika mendengar pintu kamar diketuk. "Loh belum jadi mandi?" tanya ibunya.
"Belum Bu. Sebentar lagi ya Bu, tadi meluruskan pinggang dulu. Rasanya ini pinggang sedikit tidak lurus," dia menggoda sang ibu.
"Ya sudah, tapi jangan lama ya. Nanti tehnya keburu dingin dan lagi ibu sudah buatkan mie goreng kesukaanmu Nak."
"Iya Bu. Terima kasih Ibu sayang. Ini langsung mandi, tapi sebelum itu, Alcen penasaran ada apa Ibu menyuruh pulang? Apa tak bisa mengasih tahu intinya saja sekarang, jadilah." Dia merayu ibunya.
"Hmm nanti ya Nak kita cerita, mandi dulu terus minum teh dan makan mienya dulu. Nanti malam ibu cerita." Sang ibu menolak dengan lembut.
"Baiklah Bu, Alcen mandi dulu." Akhirnya gadis keras kepala itu menuruti perkataan ibunya. Alcenna menuju lemari, membuka lemari usang tersebut dan mengambil handuk lalu melangkah ke luar kamar. Dia masih sempat mendaratkan ciuman sayangnya pada pipi ibunya.
**//**
Haii Readers yang terkasih ... ini novel author yang pertama ya. Author sengaja buat cerita ringan dikalangan biasa saja.
*S**emoga ada manfaat dan bisa memotivasi kita bersama* dalam hidup sehari-hari dan bisa sebagai hiburan pikiran kita yang sama penat heheee.
***Kritik dan saran nya author harapkan ya, biar bisa membuat author lebih berkembang, gak badan aja ni yang author kembangkan heheee ....
Selama ini sebagai readers author rajin kritik dan saran, tetapi ternyata setelah mencoba ngarang author menyesal banyak kritik ... mengarang itu tak segampang mengkomen 😂😂***
...Alcenna Moswen
...
Waktu telah menunjukan jam 20.00 WIB. Setelah menyelesaikan makan malam bersama, Alcenna pamit ke kamar. "Alcen ke kamar duluan ya Bu ... Ayah," yang dibalas dengan anggukan kepala oleh kedua orang tuanya.
"Oh ya Bu, bila Ibu tidak lelah. Maukah Ibu ke kamar mendengar sedikit keluh kesahku di kota," kata Alcenna memancing agar ibu ke kamar. Dia penasaran ada apa sebenarnya.
"Iya, nanti ibu menyusul."
Alcenna berlalu meninggalkan kedua orang tuanya. Tak lama terdengar pintu diketuk. Tok ... tok ... tok ... Alcenna pun berdiri membukakan pintu, lalu menutup pintu kamar.
"Ada apa Bu?" kata dia to the point. Dia tak sanggup membendung rasa ingin tahunya.
"Nak, ibu mau minta tolong kamu berbicara kepada ayahmu, tolong batalkan niat ayahmu yang ingin berpisah dari ibu."
"Apa Bu? Berpisah?," ia ulangi kata itu dengan dahi berkerut. Sungguh sesaat gadis itu seakan tak mengerti dengan kata berpisah, karena melihat hidup orang tuanya. Dia tak yakin benar mendengar kata berpisah.
Walau mereka tidak termasuk kaya harta tetapi di mata gadis tersebut, mereka berdua orang tua yang kaya hati. Selama ini tak pernah melihat mereka bertengkar atau setelah 6 tahun tak didekat mereka ada hal yang mungkin dia lewatkan. Itulah pikiran sang gadis.
"Ibu tak bisa meminta tolong yang lain Nak. Ibu sudah usahakan bicara ke ayahmu, tapi ayahmu berkeras mau meninggalkan ibu. Ibu kemarin memberi pisau kepada ayahmu," ucap ibunya terbata-bata.
"Untuk apa Bu?" tanya Alcenna sedikit seperti orang linglung. Tadi pisah sekarang pisau.
Ibu katakan pada ayahmu, "jika ingin pergi ... langkahi dulu mayat aku Bang ... aku ini hanya seorang diri Bang. Orang tua tak punya, sanak famili jauh. Bahkan anak-anak tidak ada dekatku ...."
Alcenna tak bisa lagi menahan air mata, ibu juga tertunduk dan menangis. Alcenna tak bisa berkata apapun, hanya menangis dan menumpahkan sesak yang tiba-tiba memenuhi rongga dada.
Begitu juga dengan ibunya, bahu ibu terguncang pelan tanda dia menahan pedih hatinya.
Beberapa saat setelah itu, Alcenna membuka suara pada ibu. "Ada apa sebenarnya Bu? Bolehkah Alceena tahu dan bisakah Ibu ceritakan?"
"Ibu saat itu baru pulang dari sekolah. Ibu melihat tas yang berisi baju ayahmu. Terletak disudut lemari. Ibu kurang paham Nak apa yang jadi penyebabnya. Ibu sudah bertanya tapi ayahmu tidak menjawabnya. Ayahmu cuma mengatakan biarkan aku pergi."
"Terus, ibu tidak bertanya ayah mau ke mana?"
"Sudah Nak. Ibu tanyakan ke ayahmu, ke mana Abang mau pergi? Di usia kita yang sudah tua ini kenapa Abang malah mau meninggalkan aku?"
Saat itu ayahmu menjawab, "Ke mananya liat nanti saja, yang penting aku ingin pergi dulu dari rumah ini, kalau aku pergi setidaknya berkurang bebanmu."
"Aku tak pernah terbebani dengan semua ini, kita ini cuma hidup berdua lagi. Anak-anak sudah tak didekat kita, kalau pun Abang mau pergi ke tempat anak-anak tidak masalah bagiku, tapi kalau Abang mau pergi karena meninggalkan aku, aku tak rela! langkahi mayatku dulu! Itu ibu katakan pada ayahmu."
"Ibu ambil pisau dan beri ke ayahmu Nak," ujar ibunya kemudian.
Kembali gadis tersebut dan sang ibu terdiam. Dia berpikir, apa karena sekarang ayahnya tidak bekerja. Maka kepercayaan diri ayah jadi menurun, tapi dia dan ibunya tak pernah mempermasalahkan selama ini. Rezeki Allah yang mengatur, selagi hambanya mau berusaha dan berdoa. Lalu kenapa sampai ayah mempertaruhkan rumah tangganya di usia senja," gadis tersebut membatin sambil menatap ibunya dengan pandangan tak mengerti.
"Bu ... biar besok Alcenna tanya ke ayah, ketika ibu di sekolah. Mana tahu ayah mau lebih jujur ke Alcenna dan sekarang Ibu bawa tenang dulu, jangan terlalu berpikir jauh. Semoga ada jalan untuk kita tentang ini ya Bu." Dia meyakinkan ibunya.
Alcenna mencoba memberi ketenangan sedikit kepada ibunya, padahal jauh di dalam hati, dia sangat merasa sesak dan nyeri memikirkan rumah tangga orang tuanya yang tiba-tiba di ujung tanduk tanpa ada tanda-tanda.
"Ibu balik ke kamar dulu, kamu istirahat ya Nak. Namun ibu minta yakinkan ayahmu. Ibu tak ingin berpisah hidup dengannya, andai pun berpisah hanya maut yang memisahkan kami." Pesan ibunya.
Setelah ibu menutup pintu kamar, Alcenna berbaring sambil menyanggah kepala dengan kedua tangan, dia termangu memandang langit-langit kamar.
"Sebelum aku bertanya sendiri, aku tak mau berpikir yang buruk tentang ayah. Ayahku bernama Moswen, laki-laki yang kini berusia 55 tahun itu bukanlah lelaki yang buruk dalam bersikap pada anak istrinya." Alcenna menggumam.
"Dia seorang ayah yang sangat kami hormati. Ayah yang memang tidak melimpahkan kami dengan harta benda, tapi melimpahkan kami kasih sayang yang lebih. Seorang ayah yang sangat memperhatikan putra-putrinya." Gadis itu masih meneruskan gumamnya.
drttt ... drrrrttt ....
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia menoleh sepintas melihat ke meja riasnya, memutus gumamnya. Dia bangkit dan berjalan menuju meja rias.
"Halo sayang ...." ujar seseorang di seberang sana yang tak lain adalah kekasihnya yang telah mengisi hati selama 5 tahun ini. Hanya hatinya bukan hari-harinya.
"Ya sayang, halo juga," katanya sedikit tidak semangat. Dia lelah fisik, lalu tiba-tiba lelah hati mendengar cerita ibunya.
"Kok lesu saja suaranya, mau tidur ya?" tanya kekasihnya diujung telepon.
"Belum." Alcenna menjawab dengan irit.
"Hmmm ada masalah apa di kampung? Kemaren semangat pas izin mau pulang kampung, apa mau aku susul ke sana?" tanya si pria dengan beruntun.
"Jangan, tak usah. Cuma masih letih saja." tolak sang gadis dengan cepat.
Di dalam hatinya, "Disuruh menyusul pun paling ada saja alasan. Lagian selama ini dia tak pernah bertanya detail di mana kampungku. Jika ingin pulang, aku hanya bilang pulang kampung tanpa menyebutkan nama kampungku. Alcenna tak ingin berbagi cerita ini.
"Yakin tak ada masalah?" desak si kekasih gadis tersebut.
"Iya," jawaban singkat kembali terdengar.
"Ya sudah, aku mau mengabari besok sudah mulai berangkat berlayar lagi, kamu hati-hati dan jaga hati."
"Ke jepang lagi? Berapa lama?" tanya Alcenna.
Ternyata benar batin Alcenna. Gayanya saja bilang pakai mau menyusul. ini saja pamit karena mau berangkat, Alcenna berkata di dalam hati.
"Ya, pelayaran sekali ini mungkin sekitar 4 bulan atau bisa jadi 6 bulan." Kekasihnya menjelaskan.
Walaupun pikirannya sedang banyak, dia ingin membahas perkembangan hubungan ke depannya. Alcenna bingung, mau dibawa ke mana hubungan mereka selama ini. Apakah mau dibawa ke pelaminan atau akan dibawa ke laut saja.
"Sayang sibuk tak? Ada yang ingin aku bahas sejak lama." Alcenna berusaha menyampaikan isi hatinya.
"Tidak sibuk kok, mau bahas apa?" tanyanya lembut.
"Sayang selalu pergi lama, bahkan yang ini lebih lama lagi. Apa tidak bisa mencari kerja di darat saja, ketika kita sudah menikah nanti. Maksudku kalau bisa jangan jadi pelaut."
"Kenapa hmmm? Apa takut aku berselingkuh?"
"Aku lebih takut dengan diri sendiri, takut tak kuat membina rumah tangga selalu berjauhan begini."
Dia terdiam di ujung sana, tetapi Alcenna tetap berkicau laksana burung murai di pagi hari. "Jika begini terus kapan kita bisa berencana menikah, sekarang usiaku 22 tahun. Aku berencana menikah di usia 24 tahun. Itupun jika Allah meridhoi."
Alcenna memberi waktu beberapa saat ketika dia masih terdiam. Lalu setelah itu dia mendengar jawaban dari kekasihnya, "Beri aku waktu selama 4 bulan aku berlayar ya sayang. Setelah pulang, kita bahas secara langsung tidak lewat telepon, bagaimana?"
"Baiklah, tapi pikirkanlah masak-masak di sela waktu santai. Jangan jadi beban dalam bekerja. Aku istirahat dulu ya, badanku letih sekali rasanya." Alcenna memutuskan sambungan seluler ketika kekasihnya menjawab ok.
Ya ... orang yang mengisi hatinya adalah seorang pelaut. Alcenna dan dia terpisah jarak jauh. Walau pun dia lagi tidak berlayar, mereka pun hampir tak bertemu, tapi walau begitu gadis cantik itu masih setia padanya.
Alcenna kembali berbaring dan teringat kata-kata soal jaga hati, "Jaga hati? Uffh entah siapa yang sekarang harus jaga hati."
Lima tahun pacaran, rasa tak punya pacar. Alcenna selalu pergi dengan teman, waktu hanya habis untuk keluarga dan teman.
Dia semakin lelah dan entah kapan jatuh dalam tidur pulasnya. Dia mulai berlayar lebih dahulu, meninggalkan kekasih yang akan berlayar di pagi hari.
**//**
...Ardhan Barra
...
Alhamdulillah bab dua nya selesai, tapi aku minta kritik saran para readers yang terkasih..
Jika cerita ini terasa menjenuhkan jangan tinggalkan aku yaa ... tapi tinggalkanlah jejak komen readers agar kedepannya lebih menyenangkan 😊
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....
Alcenna tersentak saat azan subuh berkumandang, dia mengerjapkan mata sejenak menyesuaikan dengan sekelilingnya.
Perlahan dia bangkit dan duduk sejenak di pinggir ranjang. Dia melakukan itu untuk kesehatannya. tidak baik setelah bangun langsung berdiri. Dia pernah merasakan pusing ketika langsung berdiri.
Terlihat gadis itu mulai melangkahkan kaki ke kamar mandi, dia mandi dan berwudhu untuk menunaikan shalat subuh.
Selesai shalat, dia pergi ke halaman belakang sekedar menghirup udara segar di desa yang jarang-jarang dia lakukan di kota.
Di kota, selesai mengerjakan shalat subuh, yang dia lakukan kembali mengukur tempat tidur dan berlayar ke pulau kapuk berharap bisa memimpikan seorang pangeran dari antah berantah menjelang waktu kerja memanggil untuk kembali menepi dan sadar.
Awal tamat sekolah, sang gadis muda itu melamar menjadi Sales Promotion Girl di sebuah perusahaan kosmetik ternama. Lalu tiga bulan setelah itu dia melamar menjadi seorang sales di perusahaan makanan ringan yang terkenal.
Gadis muda tersebut kurang suka memakai Make-up. Dia merasa kurang nyaman bekerja di perusahaan kosmetik. Maka dia memutuskan mencari perusahaan lain dan pilihannya perusahaan Consumer Goods.
Walau ibunya ingin dia kuliah, tapi dia menolak dengan halus. Dia ingin meringankan beban ayah-ibunya, biarlah dia mengumpulkan uang kuliah sendiri nanti. Alcenna berpikir begitu di usia mudanya. Ketika sebagian anak seusianya hanya bisa menghamburkan uang orang tuanya, tidak dengan gadis satu ini.
Enam bulan di perusahaan yang baru, Alcenna diangkat menjadi merchandiser, tugasnya kini mengatur tata letak barang untuk membuat display atau pajangan di toko-toko, agar jadi semenarik mungkin. Sehingga bisa menimbulkan daya tarik bagi yang melihatnya untuk membeli.
Seharusnya tugas merchandiser itu saja, tetapi karena dipercaya lebih oleh bos, ia diminta mengawasi beberapa SPG, laporan penjualan dan absen para SPG juga menjadi tanggung-jawabnya. Gadis tersebut menerima dengan enjoy tanpa banyak mengeluh.
***
Saat masuk ke ruang keluarga, Dia melihat ayahnya duduk termenung. "Ayah mau dibuatin teh?" sapa Alcenna memecah lamunan sang ayah.
"Boleh ... sudah lama ayah tak merasakan teh buatan anak gadis ayah."
Alcenna pun beranjak ke dapur, membuatkan ayah segelas teh dan membuat dua potong roti bakar untuk ayah. Ibunya tidak biasa sarapan, dan sebentar lagi akan berangkat mengajar.
"Ini Ayah, teh dan roti bakar." Alcenna meletakkan dengan hati-hati di meja. Dia lalu mendudukkan diri di samping ayahnya. Dia bercerita sedikit soal kerjaan pada sang ayah, menjelang ayah menyelesaikan menyantap sarapannya.
Setelah beberapa saat, dia melihat teh ayahnya tinggal sedikit dan telah memakan roti bakar sepotong, dia mulai memancing percakapan ke arah yang di ingin tahunya. "Yah ... boleh Alcenna bertanya sesuatu hal tentang ayah dan ibu?" katanya hati-hati.
"Ibumu telah cerita ya?" tanya ayahnya dan dijawab dengan anggukan oleh Alcenna.
"Jadi Ayah mau ke mana?" Sengaja dia tak menanyakan sebabnya dulu.
"Ayah belum tahu, nanti ke mananya ayah kasih kabar ke Alcenna, ayah tak bisa lagi hidup bersama ibumu". Deg ... jantungnya rasa diremas mendengar perkataan ayahnya.
Membayangkan perpisahan ayah-ibunya, membuat hati Alcenna sedih. Alcenna berusaha menahan tangis, dan juga bisa melihat mata ayah berkaca-kaca menahan sedih hatinya.
"Ayah ... okelah kalau itu keputusan Ayah. Jika Ayah sudah tak sanggup hidup dengan ibu, tapi apakah Ayah sudah pikirkan kami anak-anak Ayah? Bagi Ayah, mungkin selesai masalah Ayah dengan meninggalkan ibu," dia berucap dengan suara yang semakin bergetar.
Karena ayahnya hanya diam dengan mata yang berkaca, dia melanjutkan ucapannya, "Lalu bagaimana dengan kami Yah? Bagaimana dengan masa depan kami Ayah ... apa kata orang tentang kami Yah. Orang akan bilang kami dari keluarga yang berantakan. Bagaimana pasangan kami nanti memandang kami Yah ... Alcenna malu Yah, jika orang tua Alcenna pisah ...." tangisnya pecah. Dia tak bisa membayangkan jika dia dari keluarga yang berpisah hidup.
Ayah merengkuh anaknya ke dalam pelukan, ayahnya juga menangis. Lalu masih dengan terisak Alcenna masih terus bertanya, "Sebenarnya ada masalah apa Yah, sampai harus berpisah?"
Terdengar helaan napas ayah. Gadis itu begitu pandai bersikap. Dia tak mau mendesak sang ayah, karena memang bukan haknya mengetahui permasalahan orang tuanya, jika mereka tidak mau cerita. Alcenna hanya punya hak meyakini ayahnya, bahwa ibu tidak ingin berpisah dengan beliau.
"Bukan kami anak-anak Ayah saja yang tak ingin berpisah dari Ayah, ibu juga tak ingin. Ibu yang meminta pulang karena kata ibu, Ayah mau pergi dari rumah. Alcen mohon Yah, jika masih bisa dipertahankan jangan lakukan Yah. Bukannya selama ini ayah dan ibu tak pernah terlihat ada konflik di mata kami."
Masih dalam pelukan ayah, walau isak tangisnya sudah mulai reda, "Ayah jangan banyak pikir karena Ayah tak kerja. Ibu dan Alcenna tak pernah memberatkan Ayah bahkan kami tidak pernah menyalahkan Ayah, Ayah-kan sudah berusaha. Di usia Ayah ini, wajarlah Yah mencari kerja sulit. Ibu juga tak pernah merasa terbebani, toh dulu ketika Ayah bekerja semua gaji Ayah kasih ke ibu. Ibu tak lupa dengan itu Yah."
Dulu waktu masih tinggal di rumah, awal bulan Alcenna sering mendengar, "Bu, ini gaji ayah bulan ini, ayah minta sedikit ya Bu untuk uang isi dompet ayah." Saat itu ayah sebagai supir di sebuah perusahaan minyak.
"Mohon Alcen Ayah, jangan lakukan ini pada kami. Kami tak mungkin bisa tenang tanpa Ayah-ibu."
Ayah terdiam dan Alcenna menunggu dengan penuh harap, "Baiklah ayah tak jadi pergi," terdengar suara ayah yang parau di telinganya.
Alcenna mengurai dari pelukan sang ayah, memandang ke manik mata ayah yang mulai berwarna hitam pudar. Mata yang sarat dengan keteduhan. "Benarkah Ayah?" tanyanya memastikan.
"Iya, nanti ayah bicarakan lagi sama ibu. Ayah janji tak akan meninggalkan ibu." Ayah kembali memeluk anak gadisnya.
"Alhamdulillah Ya Allah, Engkau mempermudahkan hamba Mu meyakinkan ayah hamba," dia berdoa dalam hati.
"Percayalah Yah, bagaimana pun sikap ibu atau perkataan ibu, ibu sangat sayang pada Ayah. Jadi Ayah tak usah terlalu berpikiran jauh karena Ayah tak kerja atau apalah yang Ayah rasa." Alcenna melepaskan pelukan dari ayah dan menyandarkan kepala di bahu ayah. Dia masih ingin bermanja.
"Kamu berapa hari libur Nak?"
"Alcen minta izin 3 hari Yah."
"Kok bisa bos mengasih izin selama itu Nak, ini bukan momen penting kamu izinnya." Ayahnya kembali bertanya.
"Apanya yang tak penting Yah, ini bahkan lebih penting dari momen aku menikah nanti." Dia berucap dalam hati.
"Alcen banyak di lapangan Yah. Kemaren sebelum minta izin Alcen sudah memajang dan mengatur rapi ke toko-toko tempat produk- produk Alcen masuk Yah, makanya baru bisa pulang sekarang."
"Ohhh ... menantu ayah apa kabar, orang mana kira-kira calon menantu ayah itu?" tanya ayahnya kemudian beralih topik pembicaraan.
Alcenna tersedak ludahnya sendiri. Selama ini dia tidak pernah bercerita soal cinta monyet yang sekarang sudah berubah menjadi kingkong. Dia tidak diberi izin untuk pacaran. Dulu kata ayahnya, kalau akan pacaran tak payah sekolah, menikah saja langsung.
"Hmmm Ayah yakin ada yang mau sama anak Ayah ini?" elaknya.
"Yakinlah ... anak ayah cantik, baik hati lagi. Walau ya keras hati dan pemarah," ucap sang ayah.
"Hmmmm Ayah sudah memuji malah jatuhi lagi," katanya pura-pura kesal.
"Ayolah siapa calon menantu ayah?" tanya ayah kembali.
"Ada sih Yah, kerjanya pelaut. Tadi malam dia kasih kabar katanya pagi ini berangkat lagi ke Jepang. Sebenarnya Alcen belum terlalu yakin dengannya Yah, karena selama 5 tahun saja bisa dihitung sama jari bertemunya," kata Alcenna sambil menggerak-gerakkan jari seperti orang hendak berhitung.
"Lama juga ternyata anak ayah bohongi ayah yaaa ...." ucap ayah sambil pura-pura marah dan menjewer sayang telinga anaknya.
"Maaf Yah ... habis dulunya juga tak terlalu serius waktu dia masih di sekolah pelayaran Yah, cinta-cinta monyet aja Yah," katanya jujur.
Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring ponsel dari dalam kamar. "Ayah maaf Alcen tinggal sebentar ya, mana tau penting," dia pamit.
**//**
Aku minta like dan komennya donk kalau bersedih ehhh bersedia 🤭
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!