NovelToon NovelToon

I Still Want You

1. kucing kecil yang bodoh.

Aku yang melihatnya berbeda, entah mengapa dia nampak begitu indah di mataku. Tatapan matanya yang tajam membuat jantungku seketika itu juga bisa berdetak dengan kencang, sungguh perasaan yang ajaib. Senyum manisnya mampu membuat hatiku berbunga bahagia, hingga seketika muncul keinginanku yang ingin memiliki senyum dan tatapan indah yang teduh milik pria yang bahkan belum aku kenal itu. Yah.. Aku bahkan dengan cepat telah menyadari perasaanku yang sudah jatuh cinta padanya, hanya dengan pandangan pertamaku.

(Elvan Ayuka Bagaskara)

Happy Reading

"Dikaaaaaa"

Teriakan keras gadis itu saat sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menghantam tubuhnya, benturan yang amat keras hingga membuat tubuh itu terpental jauh beberapa meter dan berakhir dengan kepala beradu dengan trotoar jalan yang sore itu tidak cukup ramai. Tatapannya yang mulai gelap menengadah ke atas, napas yang semakin menipis dan pendek bersamaan dengan darah segar yang kental keluar dari kepala, mulut, dan hidung gadis itu. Mulutnya yang telah dipenuhi darah segar perlahan bergerak seolah sedang menggumamkan sesuatu.

"Kakak.. Maafkan aku, bisakah kakak memelukku.. Aku kedinginan.. Ini terlalu menyakitkan.. Ma.. Maafkan aku."

Gumam kecil gadis itu dengan air mata yang menitik dari sudut mata kebiruannya, tubuhnya bergetar hebat menahan rasa sakit, nafaspun mulai melemah, semakin pendek, bersamaan dengan tatapan matanya yang semakin gelap, tetesan air hujan yang sore itu tiba tiba turun menyapa wajahnya yang semakin pucat dengan tubuh yang tidak bergeming lagi.

"Aku mencintaimu.. "

Ucap gadis itu berbisik saat melihat samar sosok yang tengah berlari sambil meneriakkan namanya, sampai akhirnya pandangan itu benar benar gelap, hening, dan tidak merasakan apapun lagi. Tubuh dingin itu terkulai, mata yang di penuhi air mata tertutup perlahan, hanya ada suara rintik hujan dan angin yang meniup jejeran pohon maple hingga membuat daun oranye itu berguguran bersamaan dengan suara teriakan dan isakan dari pria yang saat ini memeluk tubuhnya erat.

* * * * *

5 bulan yang lalu.

Sore ini hujan turun cukup deras mengguyur kota X, hingga memaksa semua orang yang beraktivitas di luar ruangan berlarian untuk menghindar agar tubuh mereka tetap kering tidak terkena air hujan, begitupun dengan beberapa pengunjung di sebuah kedai kopi yang terpaksa harus menunggu lebih lama sampai hujan sedikit mereda. Namun tidak dengan Ayuka yang sepertinya nampak sedang mengejar waktu hingga ia nekat keluar dari kedai kopi yang sejak satu jam lalu di kunjunginya. Ia mulai berlari kecil sambil melindungi kepalanya dengan menggunakan tas miliknya agar tidak sepenuhnya terkena air hujan.

Gadis berambut panjang kecoklatan itu terus berlari kecil menyebrangi jalan yang tidak begitu padat untuk mengejar Bis yang sebentar lagi akan melaju meninggalkan halte itu. Namun belum sempat ia mencapai ujung jalan itu, tiba-tiba suara decitan mobil terdengar cukup nyaring berhenti dengan paksa tepat di sampingnya, hanya berjarak stengah meter dari tubuhnya yang saat ini sudah bergetar, tidak bergeming karena terkejut.

Apa aku masih hidup?

Batin Ayuka yang masih memejam, tangannya yang bergetar masih menutupi kedua telinganya, wajah oval itu terlihat pucat pasi dengan jantung yang masih berdetak hebat.

"Sampai kapan kau akan terus berada di situ Nona?"

Seru seseorang dari dalam mobil Sport hitam yang tadi nyaris menggilas tubuh rampingnya, tanpa berniat untuk keluar dari mobilnya. Pria itu hanya mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil sambil terus mengamati gadis yang masih bersimpuh dengan tubuh yang sedikit bergetar. Perlahan Ayuka membuka kelopak matanya yang sedari tadi tertutup sangat rapat sambil menoleh kearah suara bariton dari pria yang sejak tadi menatapnya.

Pria berwajah manly, dengan tulang pipi yang begitu tegas, hidung mancung, mata seindah galaksi namun begitu tajam, bersurai hitam legam sangat kontras dengan kulit putihnya juga bibir tipisnya. "tampan" satu kata untuk mendeskripsikan pria tersebut. Bahkan Ayuka sempat terpukau dengan wajah yang sedari tadi di tatapnya.

Sambil berdiri perlahan, lututnya yang masih sedikit gemetar berusaha di tahannya agar tidak terjatuh, dan itu sulit membuatnya untuk melangkah. Perlahan ia mengatur nafasnya yang masih tidak beraturan, namun tiba-tiba saja perasaan kesal menghampirinya saat mengingat teriakan keras pria yang dideskripsikan tampan itu, sambil membalas tatapan tajam pria itu yang entah sejak kapan sudah berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini dengan tangan bersedekap di dadanya, senyum kecil tergambar di sudut bibir tipisnya yang sulit diartikan oleh siapapun.

Apa sekarang dia sedang tersenyum? Apa.. kenapa, apa aku terlihat lucu sekarang?

Batin Ayuka yang mulai menebak nebak mengartikan senyum pria di hadapannya itu.

Ah.. Kenapa tiba-tiba saja aku ingin menjambak rambutnya itu

Gerutu kecil Ayuka menyipitkan kedua matanya dengan bibir yang di tekuk.

"Ma.. Maaf," Ucap Ayuka yang masih sedikit syok karena terkejut.

"Tidak masalah, tapi bisakah nona sedikit bergeser? Nona menghalangi jalanku, dan nona akan benar benar basah kuyup jika terus berdiri di sana," Sambung pria bermata coklat itu menatap lekat wajah Ayuka yang sudah benar-benar terlihat pucat.

Lihatlah tubuhnya sampai bergetar **k**arena kedinginan, tapi tidak mau bergeser sedikitpun. Apa karena terkejut membuatnya lupa untuk melangkah.

Batin pria itu, ia bahkan dapat melihat gadis di hadapannya tengah menatap wajahnya kesal, mata bulat kebiruan yang terlihat indah itu jelas menujukan rasa tidak suka padanya, hingga Ayuka tersadar lalu melangkah dengan tenaga yang masih tersisa.

Dasar gadis manja.

"Tunggu." Seru pria itu yang tiba tiba menghentikan langkah Ayuka yang sudah berada di atas trotoar sisi jalan.

Apalagi sekarang, tolonglah.. Aku sangat kedinginan, aku terburu-buru dan tidak ingin meladenimu.

Batin Ayuka, tapi belum sempat ia berpaling, tiba tiba ia merasakan tubuhnya yang terasa hangat, ada sesuatu yang menutupi tubuhnya.

Jaket?

Gumam Ayuka yang masih mematung sambil memegang pundaknya yang sudah tertutupi oleh jaket hitam berbahan kulit tersebut.

"Apa yang Anda.. "

Pertanyaan Ayuka terhenti saat pria yang baru saja lima menit lalu meneriakinya dengan lumayan keras kini sudah tepat berdiri di hadapannya.

"Nona akan menjadi pusat perhatian bila berjalan dengan keadaan seperti tadi."

Jawab pria itu menatap wajah pucat Ayuka sebelum ia mengalihkan pandangannya kearah lain sambil terbatuk.

"Kenapa aku harus menjadi pusat perhatian orang lain?" Tanya Ayuka yang masih belum menyadari kondisinya saat ini.

"Bahkan aku tidak... "

Kalimat Ayuka terhenti saat ia melihat keadaan dirinya, dan kali ini mulutnya mengatup saat menyadari pakaian dalamnya terekspos karena baju luaran yang di kenalannya basah. Wajah Ayuka seketika memerah.

Dasar bodoh.

Batin Ayuka sibuk memaki dirinya sendiri sambil menyilangkan kedua tangannya dia atas dadanya yang terlihat sangat menggoda saat ini. Apalagi pria yang sejak tadi bersamanya sempat melihatnya.

Apa, kenapa dia tersenyum? Apa aku sekarang terlihat bodoh baginya?

Lagi lagi Ayuka hanya bisa membatin saat mendapati pria dia hadapannya itu tersenyum sambil menutup mulutnya menggunakan punggung tangannya, sedang tangannya yang lain berkacak pinggang, sebelum akhirnya pria itu merapikan jaket yang dipakai Ayuka agar tubuh mungil itu tertutupi sempurna.

"Dasar ceroboh." Gumam pria itu namun terdengar jelas di telinga Ayuka.

"Nona terlihat seprti seekor anak kucing kecil yang bodoh." Ucap pria itu terkekeh saat melihat tubuh Ayuka tenggelam karena ukuran jaketnya yang kebesaran.

"Apa? Ku.. Kucing? Bodoh?"

Tanya Ayuka mengernyit, raut wajahnya terlihat kesal namun juga memerah karena pria yang sedang tersenyum itu terlihat sangat manis saat menunjukkan deretan giginya yang putih.

"Hentikan." Seru Ayuka yang terdengar seperti suatu perintah.

"Terimakasih, karena sudah meminjamkan.. " Ucap Ayuka sambil tertunduk sebelum akhirnya ia kembali menatap pria itu yang hanya mengangguk.

"Hmm."

"Dan bisakah anda berhenti untuk menatapku?" Tanya Ayuka yang spontan membuat pria itu mengernyit sambil memiringkan kepalanya.

"Jangan berfikiran yang aneh aneh dulu, aku hanya memastikan apakah Nona sudah aman dari pandangan laki-laki di sekitar sini dengan jaket itu." Balas pria itu santai.

"Tapi anda tidak perlu kan menatap seperti itu." Sambung Ayuka yang sebenarnya merasa malu karena jantungnya yang tidak berniat untuk berhenti berdebar saat pria itu menatapnya.

"Ada apa dengan tatapanku? Nona tidak perlu merasa malu, lagi pula aku sudah melihatnya terlebih dulu, dan satu hal, aku juga tidak tertarik dengan..." Jawab pria itu menghentikan kalimatnya, dan kemudian menyeringai seolah sengaja membuat Ayuka semakin gugup karena sudah sejak tadi ia melihat rona merah di wajah gadis berparas manis itu, dan yang parahnya pria itu seolah menikmatinya.

"Hei.. dasar mesum, tidak tertarik tapi anda sempat melihatnya."

Seru Ayuka kesal tapi wajahnya semakin merona,dan kembali menyilangkan tangannya di atas dadanya. Mendengar ucapan reflek dari Ayuka membuat pria itu terkekeh

"Aku melihatnya sebab Nona sejak tadi terus berdiri di hadapanku. Aku juga pria normal Nona, tidak perlu berlebihan seperti itu, lagian belum tentu juga kita akan bertemu lagi, dan lain waktu sebaiknya Nona memperhatikan pakaian jenis apa yang akan Nona kenakan nanti saat keluar rumah. Sekarang sedang musim hujan, setidaknya ingatlah untuk membawa Payung." Ucap pria itu sedikit menggeleng, sedang Ayuka sudah tidak mampu lagi menahan debaran jantungnya yang mungkin sebentar lagi akan meloncat keluar.

"Selamat tinggal kucing kecil." Bisik pria itu sebelum akhirnya melangkah meninggalkan Ayuka yang masih tak bergeming dengan jantung yang berdebar di tambah rona merah di pipinya.

Ia menggigit bibir bawahnya untuk menghilangkan rasa gugupnya sambil terus menatap punggung lebar pria itu yang semakin menjauh dari pandangannya. Sampai pria itu menghilang bersamaan dengan hujan yang sudah mereda sejak semenit lalu, menyisakan rasa yang sulit untuk di artikan gadis itu, yang jelas ada kebahagiaan di dalam hatinya yang membuatnya tiba tiba tersenyum, apalagi saat aroma khas dari pria itu menyeruak lewat jaket yang sekarang menempel di tubuh mungilnya.

* * * * *

* TO BE CONTINUED.

2. Rahasia kecil sang presdir

Mobil sport hitam type AMG-GT terparkir tepat di depan sebuah gedung perusahaan yang terbilang sangat besar. Perusahaan KZR Grup yang sangat terkenal di kota ini. Nampak dua orang sekuriti membungkuk secara bersamaan memberi hormat saat pemilik mobil sport tersebut keluar, dan di balik pintu mobil itu sudah berdiri seseorang bertubuh tinggi tegap dengan wajah yang kaku, namun tidak mengurangi kadar ketampanannya. Dengan sedikit membungkuk pria yang bernama Elvan Arka Bagaskara itu berjalan mengikuti langkah lebar Dika yang terus berjalan masuk kedalam sambil mengibaskan rambutnya yang terlihat basah.

Yah, dia Kaiden Zaferino Radika, seorang Presdir di perusahaan KZR Grup ini. Anak dari tuan Kaiden Zaferino yang sangat terkenal bukan hanya di kota ini, tetapi juga di beberapa kota lainnya karena gelarnya yang terkenal sebagai pemilik perusahaan terbesar dan sukses di beberapa negara. Dan hal itu cukup membuat pria berusia 52 tahun itu terkenal dan cukup di segani oleh semua rekan bisnisnya, karena sikap tegas, cakap, cerdas, meski sangat arogan dan dingin.

"Tuan muda, apa yang terjadi?" Tanya Arka Asisten pribadi sekaligus orang kepercayaannya itu. Dengan sedikit mengernyit Arka terus mengikuti langkah lebar Dika menuju ruang kerjanya.

Arka meraih ponselnya untuk menghubungi sekretaris agar segera menyiapkan secangkir Teh madu untuk Presdirnya. Dan di dalam ruangan nampak Dika sedang duduk di atas sofa sambil menyandarkan kepalanya dengan sedikit memijat pangkat hidungnya. Hingga semenit kemudian terdengar suara ketukan pintu dari luar, Arka menghampiri pintu dan membukanya untuk mempersilahkan Sekretaris itu meletakkan secangkir teh madu seperti permintaan Arka.

"Minumlah, sebelum Anda masuk angin," Ucap Arka perlahan.

"Hm," Balas Dika singkat namun masih tetap pada posisinya.

"Berdebat dengan Ayah Anda lagi?" Tanya Arka yang sudah sangat paham dengan gerak gerik Presdirnya yang hanya di balas helaan nafas panjang oleh Dika, memang benar, semalam ia baru saja berdebat dengan Ayahnya.

"Lalu, kenapa tuan muda bisa basah kuyup seperti ini?"

"Ah, tadi saat perjalanan kesini aku nyaris menabrak seekor anak kucing." Jawab Dika antusias sambil tersenyum.

"Anak kucing yang bodoh." Lanjut Dika menyeringai, Arka hanya menghela nafas melihat sikap sang Presdir.

Semoga saja dia bukan sekedar anak kucing biasa.

Batin Arka mengangguk memberi respon pada Dika yang nampak masih menyeringai  meraih cangkir Teh madu yg berada di atas meja untuk di minumnya. Sebelum bajunya benar-benar kering di badan, Dika beranjak melangkah memasuki ruangan pribadinya.

Ada satu ruangan yang di dalam sana cukup luas karena terdapat sebuah kamar mandi dan juga kamar tidur, perpustakaan kecil dan ruang musik yang tidak terlalu luas namun sangat nyaman, disitulah kadang Dika menghabiskan waktunya jika ia tidak ingin pulang ke Rumahnya atau ke Mansion utama keluarganya yang hanya di tinggali tuan Kaiden dan Kakak perempuannya, beberapa Asisten pribadi, pelayan, dan orang-orang kepercayaan Ayahnya yang bertugas sebagai Pengawal pribadi sang Ayah.

Dan selang 15 menit Dika keluar dari ruangan pribadinya dengan stelan Jas yang baru dan kembali melangkah menuju sofa untuk duduk sambil menopang kepalanya menggunakan tangannya di sandaran sofa.

"Anda baik baik saja Tuan muda?" Tanya Arka lagi sambil menutup laptopnya, ia terlihat nampak khawatir.

"Kau sendiri tau, suasana hatiku tidak pernah baik bila usai mengunjungi Mansion." Jawab Dika mulai nampak serius.

"Lagi-lagi singa tua itu memaksaku untuk melakukannya, konyol." Lanjut Dika lagi mendengus kesal nampak prustasi.

"Ternyata tuan Kaiden belum mau menyerah, lalu apa alasan Anda kali ini?"

"Memang alasan apalagi yang harus aku berikan, karena aku memang benar-benar belum siap untuk menikah." Balas Dika kembali memejam.

Aku tau, Anda bukan hanya tidak siap, tapi Anda menghindarinya karena tidak menginginkannya.

Batin Arka yang turut prihatin dengan masalah Presdirnya saat ini.

"Seharusnya tuan muda bisa memberi sedikit perhatian kepada tuan Kaiden, dengan cara itu kalian berdua bisa dekat lagi, bukankah itu akan lebih mudah untuk anda berinteraksi dengan tuan tampa harus berdebat." Ucap Arka memberi sedikit nasehat.

"Tidak segampang itu, Ayah tidak pernah butuh perhatianku."

"Setidaknya tuan Kaiden akan bisa sedikit memberi anda waktu bila anda bisa memberikan beliau pengertian tentang alasan anda menolak ide itu."

"Dan apa kau pikir Ayah akan memberikan pengertiannya? bahkan aku sudah memberikan seribu alasan, tetap saja. Aku harus mengikuti langkanya, ayolah Arka, kau tau sendiri orang seperti apa Ayah."

"Saya tau, tapi saya rasa tuan muda lebih tau, karena Anda adalah anaknya."

"Anak? Yah, aku anaknya yang akan selalu menjadi bonekanya, mengikuti semua keinginannya, seperti apa yang Ibu.. "

Kalimat Dika terhenti, pria itu menundukkan wajahnya sambil mengepalkan kedua tangannya dengan keras, hingga kuku kukunya terlihat memutih, kembali bayangan sosok seorang wanita dengan senyum teduh melintas di pikirannya.

"Ibu," Gumam kecil Radika semakin memejam, hingga dengan selang berapa detik saja tiba tiba Radika mulai merasakan sesak, sambil mencengkram rambutnya dengan sangat keras, matanya mulai berkaca, dan hanya selang beberapa detik ia mulai menangis dengan nafas yang semakin tersengal. dengan sigap Arka berlari menuju meja kerjanya,membuka sebuah laci yang di sana terdapat sebuah jarum suntik dan sebotol obat tidur. dengan cepat Arka meraih lengan Radika dan langsung menyuntikkan obat tersebut untuk memenangkan Radika yang tubuhnya sudah di basahi oleh keringat, wajah pucat pasih dengan ekspresi yang di penuhi dengan rasa ketakutan hingga membuat tubuhnya bergetar.

"Tuan muda tenanglah." Bisik Arka masih memegang lengan Radika yang mulai mengantuk.

"Haruskah saya menelfon Dokter Rafindra?" Tanya Arka perlahan.

"Tidak, aku baik baik saja. Aku hanya butuh istrahat sebentar." Jawab Radika dengan suara seraknya dan juga masih sedikit terlihat ketakutan. Ia beranjak dari duduknya, menyeret langkahnya memasuki ruang pribadinya. Tubuhnya meringkuk di atas sofa sambil menatap sebuah bingkai foto yang berukuran sangat besar yang terpampang di sudut kamarnya, di dalam foto itu nampak sebuah wajah yang sedang tersenyum dengan sangat menawan.

"Ibu," Bisik Radika dengan butiran bening yang langsung keluar dari sudut matanya. sedang di luar ruangan, Arka masih sibuk dengan laptopnya, sesekali ia menatap pintu kamar pribadi Presdirnya yang sejak 3 jam lalu belum juga terbuka. Arka paham dengan kondisi Presdirnya saat ini, bahkan  ia sudah terbiasa dengan perubahan suasana hati atau kondisi tertentu Dika. Dimana perubahan sikap dan mental itu akan datang bila Dika mengingat Ibunya, dan di saat itu Dika akan mulai merasa ketakutan, dan bahkan akan menangis dengan keras sambil menjambak rambutnya, dan hanya suntikan obat tidur yang bisa menenangkannya.

Itulah alasan Arka yang selalu berada di samping Presdirnya hampir 24 jam, sebab hanya Arka yang mengerti kondisi psikologis Dika dan hal-hal apa saja yang yang bisa jadi pemicunya. Dan sejak saat itu Arka bukan hanya Asisten pribadi buat Dika, tapi juga sebagai kakak, sahabat, dan orang kepercayaan Dika.

"Anda sudah bangun? Apakah Anda butuh sesuatu?" Tanya Arka yang langsung beranjak dari duduknya dan menutup laptopnya saat melihat Dika berjalan keluar dari ruangan pribadinya menuju ke sofa sambil membawa sebotol red Wine di tangannya.

"Tidak. Aku hanya butuh ini." Jawab Dika sambil mengangkat botol Wine ke arah Arka.

"Sepertinya kau harus membantuku untuk menghabiskan ini." Lanjut Dika lagi menunduk memperhatikan bayangan wajahnya yang nampak berantakan di dalam gelas crystal yang berisi Wine tersebut sambil sesekali menghela nafas panjang seolah sedang memikirkan sesuatu yang rumit.

"Baiklah Tuan." Jawab Arka mengangguk dan langsung duduk di hadapan Dika yang sedang menuang Wine kedalam gelas.

"Bukankah tempo hari adikmu baru datang dari Jerman, Apa dia baik baik saja? Pasti dia membutuhkanmu kan untuk menemaninya."

"Iya Tuan, tapi dia akan baik-baik saja. Dia juga sudah terbiasa." Jawab Arka nampak tersenyum bahagia sambil menerima segelas Wine yang Dika sodorkan padanya, dan ekspresi Arka kaki ini cukup menarik perhatian Dika.

"Syukurlah" Ucap Dika yang balas tersenyum saat melihat wajah tidak biasa dari Asistennya itu.

"Apa barusan kau sedang tersenyum?" Tanya Dika terkekeh.

"Lihatlah, aku bahkan baru melihatmu tersenyum setelah beberapa hari, ini momen yang langka. Apa kau begitu menyayangi adikmu? Hingga bisa membuat pria Robot sepertimu tersenyum saat membahas soal adikmu."

" Iya, dia sangat berarti buat saya Tuan," Jawab Arka nampak berbinar.

"Aku tau, aku dapat melihatnya. Tapi ngomong ngomong sampai saat ini aku belum pernah melihat adikmu, apa mungkin dia juga sekaku dirimu?" Tanya Dika yang membuat Arka terbatuk oleh pertanyaan Presdirnya itu.

Lihatlah siapa yang bicara, aku tidak sekaku itu Tuan.

Batin Arka pasrah dengan mulut frontal Presdirnya.

"Tidak Tuan, dia gadis yang ceria." Balas Arka masih mengusap dadanya yang sedikit panas akibat tersedak Wine yang di minumnya.

"Ah maaf, jadi adikmu seorang gadis? syukurlah. Setidaknya dia tidak akan sama sepertimu." Balas Dika lagi terkekeh sambil terus meneguk Winenya dan menghisap rokok yang beraroma mint itu, sesekali ia menghembuskan asap rokoknya ke Langit-langit ruangan tersebut, hingga asap rokok itu mengepul dan terlihat seperti kabut.

Memang aku kenapa Tuan?

Batin Arka yang seolah tidak sadar dengan sikap kakuhnya yang tidak jauh beda dengan sebuah robot. Sikap yang akan sangat menakutkan jika berhadapan dengan saingan Bisnis Presdirnya yang bila di ketauhi olehnya berbuat curang, atau berniat jahat kepada Presdirnya. Bahkan dalam waktu 24 jam Dika nyaris tidak pernah melihat senyum di wajah Asistennya itu yang sudah sejak lama bekerja untuknya, bahkan bisa di katakan menjadi pelindung Dika dan perusahaan.

"Arka. Apa kau tidak berniat untuk menikah?" Pertanyaan Dika selanjutnya yang membuat Arka kembali terbatuk, alih-alih untuk menjawab, Arka hanya tersenyum kecut mengusap dadanya yang lagi-lagi di rasakan sangat panas.

"Jangan bilang kau masih perjaka. Ayolah Arka, aku bisa membantumu untuk mencari seorang wanita yang kau inginkan, bahkan sesuai dengan standar mu." Dika terus membahas masalah yang membuat Arka prustasi. Bagaimana bisa Presdirnya dengan santai menanyakan sesuatu pertanyaan gamblang seperti itu.

Aku tau Anda sedang dalam mode stres Tuan, tapi tolonglah, lagi pula mana ada waktu untuk hal seperti itu, sementara waktuku selalu di habiskan untuk Anda,

Batin Arka menjerit, berharap Presdirnya berhenti untuk menanyakan hal-hal semacam itu.

"Bagaimana dengan Anda Tuan? Apa Anda tidak berniat untuk mencari wanita kriteria Anda?" Tanya Arka yang hanya di balas seringaian oleh Dika.

"Kau sendiri tahu bukan, aku tidak akan pernah jatuh cinta dengan seorang wanita. Aku juga tidak akan pernah memberikan hatiku untuk mereka. Dan selagi mereka masih nyaman berada di sisiku, aku akan dengan tangan terbuka menerima mereka. Dan jika sudah merasa bosan, merekapun bisa pergi kapan saja mereka inginkan, aku tidak akan pernah melarangnya" Ucap Dika santai yang hanya di balas helaan nafas panjang oleh Arka yang Notabennya sudah sangat paham dengan jalan pikiran Dika.

Hingga malampun semakin larut sampai mereka tidak menyadari telah menghabiskan beberapa botol Wine dan berakhir dengan Dika yang tertidur di atas sofa. Posisi kaki kanan terulur ke atas sandaran sofa sementara kaki kiri menyentuh lantai, karena ia yang lebih banyak meminum Wine tersebut.

Arka membenarkan posisi tidur Dika sebelum ia masuk kedalam ruangan pribadi untuk mengambil sebuah selimut untuk menyelimuti Dika yang sudah terlebih dahulu berada di alam mimpi. Untuk sesaat Arka terdiam, ia dapat merasakan kesedihan dan kekecewaan Presdirnya itu, sebelum akhirnya ia melangkah menuju meja kerjanya, membuka kembali laptopnya dan mulai menyelesaikan beberapa pekerjaan yang sempat tertunda karena menemani Presdirnya untuk minum Wine. Ia masih merasa beruntung karena kali ini Dika tidak memintanya untuk menghabiskan malam di sebuah club seperti kebiasaan Dika, ia tak harus melihat beberapa wanita jalang yang selalu menempel pada Dika, suara brisik dari mereka, dan harus berakhir dengan menggotong Dika yang pingsan karena mabok.

* * * * *

* TO BE CONTINUED.

3. Asisten baru Giovano

Jam sudah menunjukkan pukul 22:30 malam, sudah sangat larut. Ayuka terjaga dari tidurnya saat mendengar suara notifikasi dari smartphonenya. Diraihnya benda pipih yang terletak di nakas samping tempat tidurnya untuk membaca pesan teks dari kakaknya.

Untuk sesaat Ayuka menarik nafas panjang, beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke arah jendela untuk membuka tirai putih yang sedari tadi tertiup angin malam agar ia lebih leluasa menikmati angin malam di kota yang baru dua hari ini ia datangi.

Ayuka terdiam di atas balkon kamarnya, meskipun di sini adalah kota kelahirannya, namun sejak Ayahnya meninggal dunia ia langsung dikirim oleh kakaknya keluar Negri untuk bersekolah juga menemani sang Ibu yang saat itu sedang menderita kangker.

Dan selama 16 tahun lamanya ia juga harus terpisah dengan kakak satu satunya yang sibuk bekerja demi membiayai kuliahnya. Sebab harta yang di tinggalkan oleh almarhum Ayahnya hanya untuk membiayai pengobatan Ibunya. Hingga ibunya juga meninggal dunia setelah beberapa tahun menahan rasa sakit. Dan akhirnya ia bisa bernafas lega karena bisa mengunjungi sang kakak yang sudah sangat di rindukannya.

Perlahan Ayuka mengusap butiran bening yang tiba-tiba menitik di sudut matanya. Rasa sedih tiba-tiba menyelimuti hatinya, saat melihat apa yang sudah kakaknya berikan untuknya dan keluarga kecil mereka.

Kakak pasti sudah bekerja sangat keras, maafkan aku yang tidak bisa membantu kakak, yang tidak bisa berada di samping kakak saat melewati masa-masa sulit sendirian, aku tau kakak pasti merasa lelah dan kesepian tampa aku dan Ibu.

Batin Ayuka sambil menengadahkan kepalanya keatas, memandangi jejeran bintang yang nampak terlihat indah disana, air matanya terus menitik tampa ia sadari. Selang berapa menit, Ayuka kembali ke dalam kamarnya, merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan berusaha memaksa dirinya untuk terlelap.

Pukul 06:30 pagi, Ayuka terbangun saat indera penciumannya mencium sesuatu yang membuat perutnya terasa lapar. Dengan sedikit menggeliat untuk merenggangkan tubuhnya, Ayuka menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu beranjak turun dari atas tempat tidurnya, sedikit berlari menuruni anak tangga menuju kedapur dengan senyum diwajahnya.

"Berhentilah berlari, kalau tidak kau akan terjatuh." Ucap pria bertubuh tinggi tegap itu, yang masih fokus dengan masakannya.

"Selamat pagi kak Arka," Sapa Ayuka yang sudah duduk manis di kursi sambil menopang dagunya di atas meja makan untuk menunggu sarapan yang di masak oleh kakaknya.

"Pagi sayang, maaf semalam kakak tidak pulang ke rumah, banyak pekerjaan yang mesti kakak urus." Balas Arka sambil meletakkan satu buah piring yang berisi pancake dan segelas susu coklat di hadapan adiknya lalu mengusap pucuk kepala gadis itu lembut.

"Apa kakak selalu sibuk seperti itu?" Tanya Ayuka sambil meneguk coklat panasnya.

"Iya, dan kakak berharap kau bisa terbiasa, tidak apa-apa kan?" Balas Arka menarik kursi lalu duduk di hadapan adiknya untuk sarapan.

"Iya kak." Ucap Ayuka singkat sambil terus mengunyah makanannya. Menyadari perubahan ekspresi adiknya, Arka hanya bisa tersenyum sambil menggeleng pelan mengusap pucuk kepala adiknya dengan gemas.

"Maafkan kakak, karena tidak bisa menemanimu setiap saat, apakah kau merasa kesepian di rumah?"

"Tidak kak, lagi pula hari ini Yuka sudah mulai kerja kan di cafe. Yah itu juga kalau di terima kak, dan kakak juga tidak perlu minta maaf, karena Yuka juga sangat mengerti dengan kesibukan kakak."

"Terimakasih sayang, kakak lupa kalau ternyata kau sudah tumbuh dewasa sekarang, sudah tidak ada si adik kecil yang cengeng lagi, kau tumbuh menjadi seorang gadis yang baik hati seperti Ibu. Kakak menyayangimu."

"Kakak juga semakin dewasa sekarang, Yuka bahkan bisa melihat sosok Ayah di dalam diri kakak." Balas Ayuka tersenyum sambil menampakkan senyum lebarnya yang sudah menjadi ciri khasnya.

"Baiklah, sepertinya kakak harus berangkat sekarang. Maaf kakak tidak bisa mengantarmu ke tempat kerja barumu." Ucap Arka seraya meneguk air mineralnya lalu beranjak dari duduknya.

"Tidak apa-apa kak, Yuka bisa sendiri. Semoga hari kakak menyenangkan." Balas Ayuka tersenyum menerima kecupan hangat di pucuk kepalanya sambil menatap punggung lebar kakaknya yang terus berjalan dengan langkah yang sedikit terburu-buru.

"Ah iyaa.. Kau bisa menggunakan mobil yang sudah kakak siapkan, hati hati lah saat berkendara." Seru Arka dari balik pintu sampai akhirnya tubuhnya menghilang dari pandangan Ayuka.

Lima menit berlalu Ayuka selesai dengan sarapannya, sambil bersenandung kecil, Ayuka membereskan sisa piring yang berada di atas meja makan untuk di cucinya. Usai dengan rutinitas paginya Ayuka kembali ke kamarnya untuk mandi dan bersiap. Butuh waktu 25 menit baginya dan semuanya beres, Ayuka menatap wajahnya di cermin sambil tersenyum.

"kerja baik Ayuka," Ucapnya sambil mengusap kepalanya sendiri. Hingga sampai matanya kembali tertuju pada sebuah jaket hitam yang masih tergantung rapi di samping lemari pakaiannya. Nampak senyum terpancar dari bibir gadis itu, tampa aba aba jantungnya kembali berdetak kencang hanya dengan mencium aroma maskulin dari jaket itu. Aroma parfum dari pria yang karena insiden kecil membuat mereka bertemu.

Aku rasa kau akan tetap disini, karena aku mungkin tidak akan bertemu lagi dengan tuanmu untuk mengembalikanmu.

Batin Ayuka membelai jaket itu dengan tatapan sedih. Dan saat ia melirik jam di ponselnya, matanya seketika melebar.

"Astaga aku bisa terlambat, aku akan benar benar tidak di terima di cafe itu." Seru Ayuka berlari kecil menuruni anak tangga meninggalkan kediamannya, meninggalkan mobil yang terparkir di garasi rumahnya, dan lebih memilih untuk naik Bis.

"Astaga yang bener saja kak Arka, masa aku harus menggunakan mobil itu untuk bekerja, apa tidak terlalu berlebihan, lagi pula aku juga hanya akan menjadi pelayan Cafe biasa nantinya." Celetuk Ayuka yang merasa risih dengan mobil yang di berikan kakaknya, sebuah mobil Lamborghini Aventador yang sengaja di siapkan kakaknya untuk digunakannya beraktivitas di luar.

Dengan langka yang sedikit terburu-buru Ayuka menaiki Bus, menyamankan dirinya, sambil melihat kearah jendela Bus, menikmati jejeran pohon maple yang nampak terlihat rapi.

* * * * *

* STAR CAFE AND RESTO.

"Selamat pagi,"

Sapa Ayuka sedikit membungkuk pada sosok yang sedang sibuk berbicara di ponselnya sambil membelakangi Ayuka yang sedari tadi berdiri sambil memperhatikan gerak gerik pria di hadapannya itu. Hingga sampai 20 menit berlalu, obrolan pria itupun selesai dan langsung membalikkan tubuhnya menatap Ayuka yang sedari tadi memasang senyum manisnya. Untuk sesat pria itu terdiam menatap wajah Ayuka, hingga membuat Ayuka merasakan senyumnya yang sudah mulai aneh karena bibirnya yang terasa kaku.

"Ah hentikan, Nona terlalu manis dengan senyum itu." Ucap pria tersebut yang terlihat tampan dengan kemeja yang berwarna biru navi yang kedua lengannya di lipat sampai ke siku.

"Nona Elvan Ayuka Bagaskara?"

Tanya pria itu lagi sambil membuka lembar demi lembar berkas yang sejak tadi di pegangnya. seorang pria yang merupakan pemilik cafe ini. "Silahkan duduk." Lanjutnya lagi.

"Iya Pak," Jawab Ayuka mengangguk dan mulai duduk manis dengan memangku kedua tangannya.

"Hei ayolah.. Aku masih mudah, kita hampir seumuran Nona, jangan panggil aku dengan sebutan seperti itu." Protes pria itu menghembuskan nafas panjang dan kembali memfokuskan pandangannya pada berkas berkas yang tadi di bacanya.

"Ah Maaf, ta.. tapi bapak kan Bos saya, jadi kurang sopan kalau saya.. "

"Panggil kakak saja bagaimana?" Ucap pria itu lagi tersenyum.

"Kakak?" Tanya Ayuka terlihat ragu sambil memiringkan kepalanya.

"Ada apa? Apa aku terlihat begitu tua untuk di panggil kakak?" Tanya pria itu lagi sambil memicingkan matanya.

"Tidak.. tidak apa-apa Pak, ehh maksud saya kakak." Jawab Ayuka gugup dengan senyum lebarnya seraya memegangi tengkuk lehernya.

Ah yang benar saja, apa aku tidak salah tempat.

Batin Ayuka yang sempat termenung, sampai akhirnya ia sedikit tersentak saat pria di hadapannya tiba-tiba menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Ayuka.

"Pantas saja anak itu sangat menyukaimu, kau mempunyai mata biru yang indah, juga senyum yang manis. Tapi kamu tidak salah kan, mendaftar kerja sebagai karyawan biasa? padahal kamu bisa bekerja di tempat yang lebih bagus. Yah bukan berarti Cafe milikiku ini tidak bagus." Ucap pria itu yang sempat membuat Ayuka melongo. Ia berusaha mencerna kata-kata pria di hadapannya itu yang mungkin sebentar lagi akan menjadi Bosnya.

"Maksudnya, suka? Siapa?" Tanya Ayuka lagi yang sepertinya masih bingung dengan kalimat pertama pria itu.

"Ah itu, si anak bodoh yang sampai sekarang masih belum punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya pada gadis yang di sukainya." Jawab pria yang bernama Giovano itu. Tampa melihat wajah Ayuka yang semakin terlihat bingung. Giovano sibuk membolak balik berkas Ayuka yang sepertinya akan langsung ia jadikan sebagai asisten manager. Biar bagaimanapun Ayuka memang tidak pantas menjadi karyawan biasa di cafe itu, meski terbilang Cafe milik Giovano termasuk dalam jejeran Cafe dan Restoran terbesar dan mewah di kota ini.

"Sepertinya kamu tidak terlalu membutuhkan uang, hingga harus kerja di cafe ini, benarkan?" Tanya Giovano sambil menatap Ayuka.

"Itu tidak benar, saya sangat membutuhkan uang untuk membiayai hidup saya yang serba pas-pasan ini, saya seorang diri di kota ini." terang Ayuka dengan wajah memohonnya.

"Sendirian? Pas-pasan?" Tanya Giovano mengernyit.

"Iya, jadi saya sangat membutuhkan pekerjaan ini." Lanjut Ayuka lagi yang membuat Giovano menghela nafas panjang.

"Apa Arka sudah tidak memberimu uang jajan yang cukup lagi?" sahut Giovano yang sontak membuat mata Ayuka melebar, ia mengatup bibirnya dan berusaha menghindari tatapan Giovano.

Dia mengenal kakak? Astaga pria ini apa yang harus aku katakan sekarang, aiiss aku malu sekali.

Batin Ayuka, yang tiba-tiba saja ingin mengecil dan berlari di pojok ruangan.

"Kakak mengenal kak Arka?" Tanya Ayuka dengan suara berbisik yang nyaris tidak terdengar.

"Tentu saja, cukup dekat malah, lagian siapa yang tidak mengenal seorang Asisten Direktur KZR Group yang tegas, pintar, juga berwibawa. Apalagi Direkturnya yang juga begitu sempurna."

"Benarkah?" Tanya Ayuka melongo.

Padahal di rumah, kakak nampak terlihat biasa biasa saja.

Ayuka kembali terdiam dengan pemikirannya.

"Hei, jangan bilang kau tidak tahu seterkenal apa kakak kamu itu. Jangan-jangan kamu juga tidak tahu siapa Direktur KZR Group?" Tanya Giovano yang nampak syok dengan gelengan kepala dan cengiran Ayuka yang membuatnya menarik nafas cukup dalam lalu dikeluarkan secara perlahan.

"Dengar Nona, jika aku yang menjadi kakakmu, mungkin aku sudah menjewer telingamu." Ucap Giovano yang merasa gemas dan langsung mengulurkan tangannya ke arah telinga Ayuka yang sudah terlebih dulu memundurkan kursinya sambil menutup kedua telinganya.

"Ah sudahlah.. mungkin dia kota ini hanya kau satu-satunya orang yang tidak tau sebesar dan seterkenal apa KZR Group. kau bisa membuka internet untuk melihatnya sendiri. Dan kau akan tahu, seterkenal apa seorang Direktur KZR Group dan Asistennya itu. Dan mulai hari ini, kau sudah bisa mulai kerja sebagai Asisten Manajerku." Ucap Giovano tersenyum sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Ayuka untuk menjabat tangan gadis itu.

"Apa? As.. Asisten.. Manajer anda? Tapi sebelumnya aku hanya mendaftar sebagai karyawan biasa saja Pak, bukan jadi seorang... "

"Kakakmu bisa menghajarku, jika tahu adik kesayangannya bekerja sebagai karyawan biasa. Kakak kamu sangat menakutkan, asal kau tahu." Celetuk Giovano yang lagi-lagi membuat Ayuka terkejut.

"Lama kelamaan aku mulai menyukai ekspresi terkejutmu itu, dan tidak perlu sekaget itu, karena jabatan ini sebenarnya masih belum pantas dibandingkan dengan pendidikanmu. Apalagi kau lulusan Universitas terbaik di Jerman, seharusnya kau bekerja di Perusahaan besar Nona."

"................ "

"Nona bermata biru, lanjutkan lamunanmu itu diruanganmu sendiri. Jangan melamun di hadapanku, aku bisa-bisa lupa kalau aku dan kakakmu adalah teman baik dan memacarimu. Sekarang saja aku hampir lupa kalau ada seseorang yang sedang memikirkanmu, silahkan." Timpal Giovano sambil menunjukkan satu ruangan Asisten Manager tepat di hadapan ruangannya sekarang.

"Maafkan saya Pak."

"Siapa yang kau panggil dengan sebutan bapak? bukankah sudah aku katakan berulang kali Nona, panggil aku kakak. Dan juga aku tidak mau melihatmu terus melamun, karena aku pasti akan benar-benar menjewermu nanti. Dan jangan lupa, kau perlu menyuapku untuk satu hal."

"Suap? Maksud kakak?

"Kau lupa dengan apa yang kau katakan tadi? bahwa kau hidup pas-pasan, seorang diri untuk menopang hidup, asal kau tahu, tadi itu aku hampir saja menagis karena terharu saat mendengarmu. Apalagi kalau kakak kamu juga dengar, aku yakin dia bukan hanya menangis, dia bahkan akan...."

"Aahh tolong... Jangan katakan apapun kepada kak Arka soal pembicaraan kita tadi." pinta Ayuka memohon sambil menangkup kedua tangannya di depan wajahnya lengkap dengan wajah termanisnya, yang sontak membuat Giovano kembali melongo.

"Baiklah, tapi kau berutang makan malam denganki."

"Baiklah, aku setuju," Ucap Ayuka beranjak dari duduknya dan langsung meninggalkan ruangan Giovano, sambil berjalan memasuki ruangan barunya yang hanya berjarak beberapa meter dari ruangan bosnya, bahkan ia masih bisa melihat dengan jelas wajah tampan bosnya dari balik pintu yang berbahan kaca tersebut.

* * * * *

* TO BE CONTINUED.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!