Jantung berdetak kencang. Dag.. dig.. dug..
dag.. dig.. dug.. Tidak terkontrol lagi denyutannya. Memukul mukul dada. Mendobrak-dobrak. Sesak sekali rasanya. Sempit. Tekanan darah naik dengan cepat. Seperti roket yang meluncur. Melarikan diri dari pengaruh gravitasi bumi. Tujuh mil per detik. Melesat cepat.
Menyamai aksi sang detak jantung. Tidak mau kalah. Penglihatan menjadi ganda. Bayangannya berlipat-lipat. Foto-foto yang tertempel didinding kantor, lurus, tegak, rapi, kini tampak miring semua. Pandangan menjadi buram. Kepala terasa sangat berat. Pusiiingg sekali rasanya. Argghh.. tidak kuat menahannya.
Tubuhnya pun ikut melemah. Tangan kirinya memegang ujung meja kantor yang mewah itu. Tangan kanannya menopang kepala yang terasa sangat sakit sekali. Mencengkram dadanya. Tubuh tua nan gempal itu mulai miring. Lemah sekali. Abi pingsan.
“Suami Ibu terkena serangan stroke,” ucap dokter pelan. “Butuh waktu yang cukup lama agar Bapak bisa sembuh total,” sambung dokter. Memberikan penjelasan panjang lebar pada Umi.
Seisi ruangan tampak dingin sekali. Cemas.
Asiyah berada di samping Abi sejak tadi. Tidak henti-hentinya menangis melihat kondisi Abi. Asiyah tidak tega melihat Abi. Abi terlihat tidak sekuat biasanya. Abi lemah sekali sekarang. Ketika mendengar kabar bahwa Abi jatuh pingsan di kantor hingga dibawa ke UGD Rumah Sakit tadi, seketika itu juga Asiyah meninggalkan semua aktivitasnya.
Asiyah tadinya sedang berkuliah. Asiyah segera meminta izin pada dosennya untuk pulang. Beruntung dosennya tidak terlalu banyak bertanya ketika Asiyah mengatakan bahwa Abi masuk rumah sakit dan Asiyah harus segera kesana.
Abi yang masih terkulai lemah di tempat tidur rumah sakit, hanya menatap kearah istrinya yang berdiri tidak jauh darinya. Perempuan cantik yang tampak awet muda itu mendengarkan penjelasan dokter tentang kondisi Abi dengan sangat teliti.
Seorang pengusaha sukses, kini hanya mampu terbaring di kasurnya. Bibirnya kaku, tak dapat menyatu sempurna antara bibir atas dan bibir bawahnya, miring. Tangannya kaku, membengkok. Tidak dapat bergerak. Kakinya tak dapat berjalan. Abi tidak bisa apa-apa.
Umi tampak sangat terkejut sekali dengan semua keadaan ini. Tidak percaya. Mengapa semua ini dapat terjadi? Mengapa jadi seperti ini? Umi syookk..Tiba-tiba saja. Semua terjadi secara mendadak..
Umi terdiam menyendiri cukup lama di sudut ruang itu, sambil menatap kosong kearah Abi..
Beberapa hari dirawat di rumah sakit, Abi diizinkan oleh dokter untuk pulang kerumah. Rawat jalan saja kata dokter.
Memang Abi belum sembuh, karena kelumpuhan yang dialami Abi akibat stroke ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa sembuh total, atau bahkan harapan untuk sembuh itu pun bisa hilang sama sekali. Tergantung tekad Abi sendiri, bagaimana Abi bisa mengontrol pikirannya, di samping perawatan dan pengobatan yang juga harus di maksimalkan tentunya.
Selama Abi dirawat di rumah sakit Aisyah dan Ali hanya bisa sebentar-sebentar saja melihat Abi. Peraturan rumah sakit sangat ketat. Anak kecil tidak boleh masuk, apalagi harus berlama-lama di dalam ruangan rawat inap pasien. Walaupunlah ruangan tempat Abi dirawat adalah ruangan VVIP, tetap saja tidak dibolehkan. Kata perawat biar steril. Kasihan juga anak-anak, takut tertular penyakit.
Aisyah dan Ali masih sama-sama duduk dibangku Sekolah Dasar. Aisyah dan Ali adalah adik-adik Asiyah yang terlahir kembar. Usia mereka berjarak sembilan tahun dari Asiyah. Waktu itu Umi tiga kali mengalami keguguran setelah lahirnya Asiyah. Awalnya Abi dan Umi tidak percaya, karena dari mereka berdua sama-sama tidak ada yang memiliki keturunan melahirkan bayi kembar. Tetapi alhamdulillah, sembilan tahun setelah lahirnya Asiyah, Umi melahirkan bayi kembar.
Tak tanggung-tanggung Allah memberikan karuniaNya. Setelah sekian lama Umi dan Abi mendamba kehadiran anak lagi setelah hadirnya Asiyah. Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Abi dan Umi dikabulkan oleh Allah. Sepasang bayi kembar yang cantik dan tampan hadir mewarnai hidup mereka.
Asiyah sendiripun adalah seorang kakak yang juga cantik rupanya dan berkepribadian baik. Lengkap sudah kebahagiaan mereka. Ditambah lagi Abi juga sedang naik daun dalam bisnisnya kala itu.
Siang itu, tiba-tiba seorang pengacara yang mengurus semua ***** bengek berkas-berkas perusahaan Abi datang ke rumah.
Umi mulai khawatir, karena biasanya Pak Subroto akan menemui Abi jika sedang ada masalah saja di dalam perusahaannya.
Dengan membawa setumpuk berkas yang keluar dari tas hitamnya. Penuh sekali tas itu dengan berbagai macam kertas. Kertas-kertas berharga sepertinya. Repot sekali kelihatannya saat mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tas jinjing hitamnya yang mengkilat itu.
Gemetar tangan Pak Subroto. Wajahnya tegang sekali. Merah padam. Sambil sesekali mengusap peluh yang mengucur deras di dahinya. Sapu tangan abu-abu itu diambilnya dari kantong belakang celananya, secepat mungkin agar tak tampak tanda kecemasan itu dari dahinya.
Ia duduk di kursi ruang tamu mewah milik Umi.
Umi berada di hadapannya, harap-harap cemas. Bersiap untuk mendengar, kira-kira kabar apa yang dibawa oleh pengacara itu. Mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Menatap getir. Jari-jari tangannya bermain satu sama lain di atas lututnya. Umi cemas.
"Maaf Bu.. ini adalah berkas-berkas yang harus segera Ibu tanda tangani.." Ucap Pak Subroto. Getir. Sembari menjelaskan keadaan yang sebenarnya telah terjadi.
Benarlah dugaan Umi sebelumnya. Dunia seakan terbalik. Kabar yang tidak mengenakkan itu pun sampai juga padanya.
Ada banyak berkas yang harus ditanda tangani oleh Umi.
Ternyata memang telah terjadi sesuatu dengan Abi hingga membuatnya terkena serangan stroke mendadak.
Perusahaan yang telah lama dibangun oleh Abi, dirintisnya dari nol bersama Umi, kini berada dititik terendahnya lagi. Bangkrut. Perusahaan Abi bangkrut.
Abi ditipu oleh rekan bisnisnya. Semua aset perusahaan dan aset pribadinya habis sudah dipertaruhkan saat memulai bisnis bodong bersama rekannya yang penipu itu.
Hanya rumah lah yang tersisa. Rumah yang ditinggalinya saat ini. Abi tidak berani mempertaruhkan rumahnya untuk kepentingan bisnis. Takut terjadi apa-apa. Paling tidak rumah sebagai tempat berteduh masih ada jika terjadi apa-apa dengan bisnisnya.
Asiyah mendelik sesekali kearah Umi. Asiyah hanya diam. Tidak bertanya apapun. Asiyah takut salah bicara.
Dilihatnya tangan Umi gemetar. Bergetar bibirnya, Umi tak kuasa menahan tangisnya saat menandatangani berkas-berkas perusahaan untuk terakhir kalinya.
Tidak menyangka. Sungguh tak disangka. Bangkrut? Umi masih tidak percaya. Ini tidak mungkin terjadi. Kita tidak mungkin jatuh miskin. Dicubit-cubitnya punggung telapak tangannnya. Mencoba memastikan bahwa semua ini bukanlah mimpi dan semoga Ia tidak merasakan sakit dan berharap ini semua hanyalah mimpi.
Pak Subroto merasa sangat tidak enak. Menyaksikan Umi yang biasanya terlihat bahagia dengan segala kemewahannya, kini sedang berada pada masa tersulitnya dengan kucuran air mata, kesedihan yang tampak jelas didepan matanya. Bukan. Bukan sebuah kebahagiaan lagi.
Setelah semua proses penandatangan selesai, pengacara itu pamit pulang. Tinggallah Umi dan Asiyah di ruang tamu rumah mewahnya.
Umi mendekap erat Asiyah. Menangis. Berubah merah wajah Umi yang putih itu. Bengkak matanya. Terlalu lama menangis.
Asiyah hanya diam. Walau Asiyah mengerti betul akan apa yang sedang terjadi. Asiyah pasrah tentang apa yang akan terjadi kedepannya. Asiyah sadar betul semua harta ini benar-benar hanya titipan Allah. Buktinya sekarang sudah diambil lagi. Dalam sekejap semuanya hilang.
Menghampiri Abi di dalam kamarnya. Abi masih lemah. Berbaring dikasurnya. Abi belum bisa apa-apa. Umi duduk di sebelah Abi, menatap Abi dengan berurai air mata.
Asiyah pergi meninggalkan Abi dan Umi berdua saja, setelah sejenak menatap mereka dari pintu kamar itu. Asiyah mencoba menenangkan diri di dalam kamarnya sendirian.
“Abi.. mengapa semuanya jadi seperti ini? Umi tidak kuat menghadapi semua ini sendirian,” Umi menangis sesenggukan dihadapan Abi. Menggenggam erat tangan Abi. Menatap wajah Abi. Umi sangat terkejut dengan semua keadaan ini.
Umi belum siap menerima semuanya. Umi tidak siap jika harus menanggung semuanya sendirian tanpa Abi.
Abi menatap Umi lamat-lamat. Menetes air mata dari tiap sudut matanya.
Abi tidak bisa bicara. Kali ini Abi tidak dapat menghibur istri tercintanya. Hanya do’a di dalam hatinyalah yang menjadi sehebat-hebat senjatanya dalam membantu Umi dan anak-anaknya saat ini.
Biasanya Abi lah yang menjadi pendengar setia semua keluh kesah Umi. Menjadi tempat bersandar bagi Umi.
Kini Umi harus menghadapi semua keadaannya sendirian.
Keadaan yang sangat berat menurut Umi.
Menghadapi semuanya dengan dua orang anak yang masih kecil, suami yang terbaring sakit dan Asiyah yang baru saja menduduki bangku kuliah.
Abi sangat memahami bagaimana kondisi Umi sekarang. Abi tahu betul Umi saat ini sangat tertekan. Abi mengerti betul bahwa istrinya itu adalah perempuan yang rapuh.
Dari pertama kali mengenal Umi, Abi lah yang selalu menenangkan Umi setiap kali Umi ada masalah. Masalah kecil menurut Abi, tetapi menurut Umi masalah tidak ada yang kecil, yang namanya masalah tetaplah masalah, Umi akan bersikap luar biasa dalam menghadapinya, Umi akan terus memikirkan masalah itu sampai benar-benar selesai dan tidak mengganggu pikirannya lagi.
Beberapa bulan berlalu setelah Abi jatuh sakit dan kabar kebangkrutan Abi diketahui. Tabungan Umi kian menipis. Asiyah, Aisyah dan Ali butuh biaya untuk terus bersekolah. Sementara pengobatan Abi tidak mungkin distop. Belum lagi biaya untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Tidak sedikit uang yang dibutuhkan untuk menutupi semuanya.
Salah satu kesalahan besar yang diperbuat Umi saat ini adalah Umi lupa bahwa perusahaan Abi sudah bangkrut, semua asetnya sudah sirna, hanya tinggal rumah dan uang tabungannya yang tersisa sedikit.
"Umi masih ke salon ya?" tanya Asiyah.
"Iya," jawab Umi sambil meneteskan air matanya.
"Umi habis belanja baju baru lagi?" Asiyah mendelik ke arah kantong cantik berisi belanjaan itu.
"Iya," Umi terduduk di kursi depan TV. Lelah sekali nampaknya habis kesalon dan belanja seharian. Lesu wajahnya. Umi tampaknya tertekan, bukannya malah tampak bahagia atas apa yang barusan dilakukannya.
Asiyah yang melihat Umi seperti ini hanya diam. Tidak ada kata protes sama sekali yang keluar dari mulut Asiyah untuk Umi. Walau jelas sekali Umi bertindak boros, belanja ini dan itu yang sebenarnya tidak dibutuhkan sama sekali, melakukan perawatan tubuh ke salon yang semestinya tidaklah perlu dilakukan, kan Umi sudah cantik, apalagi Abi sekarang sedang terbaring sakit, jadi untuk apa Umi mempercantik diri lagi, pikir Asiyah kala melihat Umi pulang pergi ke salon.
Lagi pula kalau sebelum kebangkrutan perusahaan Abi terjadi, tak masalahlah Umi melakukannya. Karena memang Umi dapat jatah bulanan dari Abi yang memang untuk semua keperluan pribadi Umi. Tapi kalau sekarang, sudah bisa makan enak dan bisa tidur dengan nyenyak saja sudah sangat bersyukur seharusnya.
Kata Abi dulu, tidak apa-apa perawatan tubuh ke salon, toh cantiknya Umi buat Abi juga. Dan tidak apa-apa Umi belanja baju baru, asalkan pakaian lama jangan ditumpuk di lemari, sedekahkan pada yang membutuhkan. Rumus belanja baju baru itu, masuk satu keluar satu, jangan sampai memberatkan diri dengan hisabnya diakhirat kelak, begitu kata Abi.
Umi terduduk lemah di hadapan Asiyah, seperti ada penyesalan atas apa yang dilakukannya barusan, Umi benar-benar khilaf akan perbuatannya.
Kini di kamar Asiyah lah mereka berdua selalu berdiskusi. Memang hanya Asiyah lah saat ini yang bisa diajak berdiskusi oleh Umi saat ini. Mencari solusi dari setiap permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Asiyah sudah cukup dewasa menurut Umi untuk dijadikan tempat berbagi. Dan Asiyah pun memiliki pola pikir yang memang terbilang cerdas. Lagi pula tidak ada lagi selain Asiyah yang mengerti tentang hal ini. Termasuk sanak saudaranya yang lain. Tidak mungkin rasanya untuk menceritakan tentang kesusahan rumah tangganya kepada mereka, karena biasanya Umi lah orang yang paling bahagia diantara saudara-saudaranya. Apalagi dalam urusan ekonomi, bahkan Umi lah yang paling banyak memberikan materi kepada mereka.
Yaa.. memang Asiyah lah saat ini yang menjadi teman terbaik bagi Umi untuk berbagi keluh kesah, saat pengacara datang waktu itupun, Asiyah lah yang menemani Umi mengakhiri semuanya.
Asiyah telah menjadi saksi bagaimana getirnya jari jemari lentik Umi saat menghadapi berkas-berkas biadap itu. Asiyah lah yang mendengar semua perkataan pengacara waktu itu. Asiyah jugalah yang melihat dengan jelas wajah ketakutan Umi.
“Umi, apa kita jual saja yaa rumah ini, nanti kita beli rumah kecil saja dulu Mi, menjelang Asiyah mendapatkan pekerjaan, nanti kalau Asiyah sudah mendapatkan pekerjaan, Asiyah akan menabung untuk kita, terus kalau tabungan Asiyah sudah cukup baru in syaa Allah kita beli rumah lagi yang besar Mi,” Asiyah begitu polos dalam kata-katanya.
Asiyah mencoba membantu Umi, memberikan solusi. Asiyah kasihan melihat Umi. Asiyah juga kasihan melihat Abi dan adik-adiknya. Terlalu mudah pikirnya untuk membeli rumah baru.
Asiyah tampak belum paham betul tentang harga properti yang tidak mungkin bisa dijangkaunya dalam waktu yang singkat.
Umi hanya diam mendengar penawaran solusi dari Asiyah. Apalagi saat mendengar Asiyah hendak bekerja, tersayat rasanya hati Umi, Asiyah baru saja masuk kuliah. Asiyah yang sudah terbiasa dengan segala kehidupan mewah, kini mencoba bekerja keras untuk membahagiakannya. Umi tidak tega.
Hancur benar hati Umi mendengar kata-kata Asiyah tadi. Berusaha menyemangati Umi.
Umi tampak rapuh sekali tanpa Abi. Umi menyesal karena sikapnya. Umi lupa kalau perusahaan Abi sudah bangkrut. Umi lupa dengan semua keadaan ini. Umi terkejut dengan semua perubahan ini. Umi butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Tidak bisa langsung berubah gaya hidupnya.
Umi tertekan dengan semuanya. Bagaimana dengan teman-temannya nanti? Arisannya? Bagaimana dengan kehidupannya kedepan? Aahh berat sekali rasanya. Umi pusing.
Tidak ada jalan lain. Rumah yang menjadi harta satu-satunya milik mereka yang tersisa saat ini harus dijual juga. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Rumah ini harus tetap dijual.
Sudah tidak perduli lagi dengan kesedihan yang mengendap di hati. Sudah tidak perduli lagi dengan semua komentar orang-orang. Sudah tidak penting lagi bagaimana dengan kelompok arisan Umi. Sudah tidak ada tawar menawar lagi. Yang terpenting sekarang bagaimana caranya bisa menyambung hidup dan bisa memenuhi semua kebutuhan hidup yang akan terus mendesak mereka.
Lupakan semua tentang banyaknya kenangan yang sudah tercipta di dalam rumah ini. Buang semua jauh-jauh. Tutup mata. Pejamkan rapat-rapat. Bismillah..
Pengumuman tentang dijualnya rumah Abi menyebar luas. Dari mulut ke mulut. Dari tetangga ke tetangga. Asiyah pun juga ikut membantu menyebarkan berita melalui media sosial miliknya.
Rumah Abi terletak di komplek perumahan elite. Tidak terlalu sulitlah menjualnya. Kawasannya sangat strategis. Yaa walaupun harga yang ditawarkan terbilang mahal, memang hanya menjangkau untuk kalangan atas saja.
Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Umi mengira akan memakan waktu cukup lama untuk melepaskannya ke tangan orang lain. Ternyata tidak. Tiga pekan saja.
Tidak jauh-jauh dari rumahnya, pembelinya adalah tetangganya sendiri. Qadarullah, tetangganya ingin membelikan rumah untuk anak keduanya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Rezeki memang tidak kemana. Pak Royan membeli rumah itu kontan, setelah satu pekan bernegosiasi dengan Umi. Alhamdulillah.. akad jual beli rumah berjalan dengan lancar.
5 Milyar Rupiah rumah pemberian Abi terjual.
Umi diberi waktu oleh Pak Royan untuk berkemas dan membereskan semua barang-barangnya dalam waktu dua pekan. Cukuplah. Sekalian Umi mau mencari rumah kecil untuk ditempati bersama Abi, Asiyah, Aisyah dan Ali.
Dengan uang 5 Milyar Umi bisa membeli rumah kecil yang sederhana dan masih banyak sisanya.
Rencananya sisa uang pembelian rumah nanti, sebagiannya akan dijadikan modal usaha untuk Umi. Umi akan memulai kehidupannya lagi dari nol dengan uang yang ada.
“Alhamdulillah ya Mi, rumah kita cepat terjual,” Asiyah memandang Umi, tersenyum. Umi membalas senyuman Asiyah. Umi mendekap erat anak sulungnya itu. Ada rasa tenang di hati Umi dan Asiyah.
Kini mereka akan memulai hidup yang baru dengan modal yang cukup. Bisa membeli rumah kecil yang lumayan baguslah dengan uang segini. Asiyah dan adik-adiknya juga bisa melanjutkan sekolah dengan tenang. Pengobatan Abi juga akan berjalan dengan lancar.
Aisyah dan Ali baru saja pulang sekolah. Mobil antar jemput sekolah mereka terparkir didepan rumah. Sekolah Dasar Islam swasta elite yang berbiaya mahal memang. Mobil antar jemputnya saja mengkilat sekali, terawat.
“Umiiiiii.. Umiiiii..,” Aisyah dan Ali berteriak memanggil Umi dari pintu depan rumah mereka. Perempuan kecil berhijab dan laki-laki kecil berkopiah itu berlarian masuk kedalam rumah, mengembangkan kedua tangannya siap memeluk Umi dan Kak Asiyah yang sedang duduk di ruang tengah rumah mereka.
"Heii, anak-anak kembar Umi sudah pulang, ganti baju sana, setelah itu cuci tangan, cuci kaki, makan, yaa,” Umi memeluk erat kedua anak kembarnya. Bergantian dengan Kak Asiyah. Asiyah memeluk dan mencium lembut adik-adik kesayangannya itu satu per satu.
“Iya Umi,” Aisyah dan Ali menjawab dengan manjanya.
“Ayoo.. ayoo sana cepatt,” Umi menyuruh mereka segera kekamar.
Lega rasanya satu masalah telah terpecahkan.
Semuanya akan berjalan seperti biasanya, hanya saja rumah mereka akan menyusut ukurannya nanti. Uang jajan juga akan dipangkas. Tidak ada ke salon, jalan-jalan dan arisan lagi untuk Umi. Uang untuk keperluan rumah tangga juga akan dikempeskan.
Ahh ternyata hampir semuanya akan mengalami perubahan. Apa bisa berjalan dengan mudah seperti biasanya lagi? Sulit sepertinya.
Satu pekan sudah akad jual beli rumah berlalu, tiba-tiba datang lagi sebuah berita mengejutkan dari pengacara perusahaan Abi kemarin.
Umi kembali menangis setelah menerima panggilan telepon dari Pak Subroto. Umi terduduk di kursi meja makan. Lemah badannya. Baru saja hatinya sedikit tenang, kini sudah dilanda bencana lagi. Sudah dilanda kesedihan lagi. Kiamat sudah. Tamat sudah semua rencana yang sudah tersusun rapi bersama Asiyah kemarin.
Ternyata ujian yang diterima Umi lebih berat dari perkiraan sebelumnya. Tidak mungkin semua akan berjalan seperti biasanya lagi. Ini sulit.
Asiyah yang baru saja pulang kuliah siang itu mendapati Umi dalam keadaan yang lemah di sudut kamarnya.
Umi tidak mau lagi menampakkan kesedihannya di hadapan Abi. Diam-diam Umi menangis di kamar Asiyah. Berbaring di tempat tidur. Menghadap ke dinding. Berlinang air mata Umi.
“Ujian apa lagi ini ya Allah,” Umi meratapi semua yang terjadi. Keadaannya begitu berat menurut Umi. Umi tidak kuat.
Menghampiri Umi. Duduk disebelah Umi yang sedang berbaring di atas kasur tempat tidurnya. “Umi, ada apa?” tanya Asiyah lembut. Asiyah memegang bahu Umi. Memeluknya.
Umi mengalihkan badannya. Menatap Asiyah. Duduk berhadapan. Menceritakan semua kejadiannya. Tentunya dengan linangan air mata lagi. Umi tidak tahan. Umi tidak bisa memendam semuanya sendirian.
Kata Umi, tadi pengacara perusahaan menelepon lagi dan memberitahukan bahwa masih ada hutang perusahaan yang harus dibayarkan oleh Abi.
Padahal semua aset sudah habis disita. Semua uang sudah habis terkuras. Tetapi ternyata Abi masih harus menanggung kerugian akibat penipuan rekan bisnisnya senilai 5 Milyar Rupiah. Sama persis nilainya dengan angka penjualan rumah yang baru satu pekan ditanda tangani oleh Umi.
Asiyah hanya diam mendengar cerita Umi. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Asiyah terkejut. Asiyah bingung. Asiyah belum bisa memberikan solusi untuk permasalahan yang tingkat kesulitannya kali ini memang benar-benar rumit.
Apa yang harus Asiyah lakukan kali ini untuk membantu Umi. Asiyah belum bekerja. Bahkan tabungan Asiyah pun sangat jauh dari kata cukup untuk menutupi semua hutang perusahaan Abi.
Umi dan Pak Subroto janjian sore ini di rumah. Pertemuan yang memang sudah diatur waktu teleponan tadi. Tidak bisa ditunda-tunda lagi. Cek berisi uang 5 Milyar sudah disiapkan oleh Umi.
Pak Subroto sudah menyiapkan berkas untuk ditanda tangani oleh Umi. Lagi. Berulang kali menandatangani berkas tetapi hanya untuk menambah kesedihan di dalam hati Umi.
Kali ini tangis Umi menjadi-jadi karena harta satu-satunya yang di milikinya saat ini hanyalah uang ini.
Bagaimana Umi bersama keluarganya dapat menjalani hidup kedepannya, sementara untuk pegangannya saja saat ini tidak tersisa lagi?
Bagaimana dengan sekolah anak-anaknya? Biaya pengobatan Abi?
Untuk kontrakan rumah dan biaya makannya sehari-hari? Bagaimana?
Umi benar-benar bingung. Ingin pecah rasa kepalanya memikirkan semua ini. Semuanya terjadi mendadak. Bertubi-tubi.
Kali ini Umi berkeluh kesah pada Pak Subroto tentang keadaannya. Umi meminta keringanan pada Pak Subroto. Memohon dan memelas pada Pak Subroto untuk menolongnya.
"Bagaimana Pak, bisakah Saya meminjam uang pada Bapak?"
Pak Subroto diam. Menundukkan kepalanya. Sesekali melihat wajah Asiyah dan Umi.
Tidak tega. Sungguh Pak Subroto kasihan pada Umi.
Umi terus memelas agar Pak Subroto mau meminjamkannya sejumlah uang dan mengurus semuanya. Mulai dari tempat tinggalnya nanti hingga masa depan pendidikan anak-anaknya setelah ini.
Pak Subroto menyanggupi semua permintaan Umi. Pak Subroto meminjamkan uang 100 Juta Rupiah pada Umi yang boleh dicicil pembayarannya, kapan pun sesuai kesanggupan Umi.
Pak Subroto segera memberikan cek 100 Juta Rupiah pada Umi untuk dicairkan. Pak Subroto juga menyanggupi membantu Umi untuk mencarikan kontrakan rumah dengan harga yang murah.
Kata Umi tidak apa-apa rumahnya papan yang penting bisa untuk tempat berteduh.
Pak Subroto juga membantu Umi mengurus segala keperluan pemindahan sekolah anak-anaknya ke sekolah yang murah saja. Yang penting Aisyah dan Ali bisa tetap bersekolah. Sementara Asiyah pindah ke kampus biasa yang juga murah biayanya.
Pak Subrotolah yang mengurus semuanya, atas permintaan Umi.
Umi berjanji akan mengembalikan uang Pak Subroto suatu saat nanti, bagaimanapun caranya. Walau sebenarnya Umi tidak tahu kapan waktu itu akan datang. Kapan Ia akan mampu membayarnya. Tidak terbersit sedikitpun di kepala Umi kapan waktunya.
Pak Subroto memang orang yang baik. Tidak terlalu sulit baginya untuk membantu Umi karena menurutnya selama ini Abi telah banyak berbuat baik padanya. Abi adalah rekan kerja yang sangat peduli padanya. Abi sudah dianggapnya seperti saudaranya sendiri. Pak Subroto sudah banyak membantu Abi dalam menangani berbagai kasus sengketa lahan yang akan dijadikan proyek pembangunan oleh Abi, semasa kejayaan Abi dulu.
Abi seringkali memberikan bonus dan berbagai hadiah untuknya dan juga keluarganya. Hal itu tidak bisa dilupakannya begitu saja oleh Pak Subroto. Kini roda kehidupan sedang berputar 180°, giliran Pak Subroto yang menyenangkan Abi dan keluarganya. Mencoba meringankan sedikit kesulitan yang sedang dihadapi oleh Abi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!