NovelToon NovelToon

Runaway

Chapter 1 - Prahara

Chapter 1

Prahara

Rambut hitam yang lurus, panjang dan lembut seperti hamparan sutra hitam itu kini seolah menari dan meliuk mengikuti arah angin, hembusan angin membawa wangi tiap helainya menguar keudara.

Sosok Ayu[1] yang biasanya menyaksikan lembayung senja menghiasi langit sore Kertalodra itu kini tengah menengadahkan paras indahnya memandang gumpalan-gumpalan awan hitam yang bergulung seperti ombak yang besar, tangannya yang putih dan ramping dengan jari jemari lentiknya terulur seolah tengah mencoba meraih udara yang terasa dingin menyentuh kulit halus mulusnya yang seperti porselen.

[1. Ayu \= cantik]

Sore ini sangat mendung dan langit gelap menyelimuti namun tak kunjung turun hujan seolah hanya menyiratkan sebuah duka atau firasat buruk pada setiap mata yang memandangnya.

Sosok gadis ayu itu tak lain dan tak bukan adalah Ruanindya Galuh Winarang, anak tunggal dari Raja Arya Tirta Kusuma Winarang dan permainsurinya Dewi Ayu Galuh Ningtyas, Putri dari Kerajaan Kertalodra.

Putri Ruanindya Galuh Winarang adalah Gadis tercantik di seluruh penjuru kerajaan Kertalodra. Namun selain kecantikannya yang tersohor, sang Putri juga diketahui memiliki tubuh yang lemah namun tak seorang pun tahu penyakit macam apa yang diderita Ruanindya, itu sebabnya ia dilarang meninggalkan istana oleh ayahandanya sendiri.

Kerajaan Kertalodra adalah kerajaan yang luas dan makmur, bangunan istananya terlihat megah, indah dan besar.

Namun tetap saja tidak ada yang sempurna di dunia ini begitu pula kerajaan Kertalodra, jauh dari pusat kerajaan, kemiskinan rakyat dan kejahatan masih tersebar dan merajalela.

Arya Tirta Kusuma Winarang adalah Raja yang penuh wibawa dan sakti, ia telah menaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya untuk tunduk di bawah kekuasaan Kertalodra, namun kesuksesan itu tidak ia capai sendiri, Sang Raja mempunyai senjata pamungkas yang menjadi kebanggaannya, yaitu Panglima besar Gantara Wisesa. Panglimanya yang paling kuat, gagah, perkasa, dan tanpa ampun, selalu memenangkan perang yang ia dan pasukannya hadapi.

Malam itu setelah makan malam bersama Ayahanda dan Ibundanya, entah kenapa Ruanindya berbaring dengan gelisah di atas ranjang kayunya yang mewah, besar dan empuk berbalut kain beludru lembut kualitas terbaik miliknya.

Sang Putri Kertalodra menghela nafas lesu beberapa kali, tidak ada keinginan untuk berjalan-jalan mengelilingi istana indahnya seperti biasa atau sekedar bermain dengan para dayang yang selalu melayaninya. Ia sedari tadi hanya membolak-balikkan tubuhnya dari satu sisi ke sisi yang lain.

Malam ini seolah membawa suasana kelam pada hatinya, tanpa ia sendiri tahu penyebabnya.

Brak!

Pintu kamar sang putri dibuka secara paksa dan cepat sehingga menimbulkan suara yang keras yang dihasilkan dari benturan daun pintu dengan dinding kamarnya.

Ruanindya terperanjat kaget, lamunanya buyar seketika, dan ia mendudukan tubuhnya dengan segera demi melihat siapa pelaku yang begitu lancang menerobos masuk ke kamar seorang Putri Kertalodra tanpa tata krama.

Mata bulat dan jernih sang putri bertemu dengan sosok lelaki gagah, tinggi dan tampan yang kini berjalan cepat mendekat kearahnya, kalau saja ia bertemu dengan sosok lelaki tampan itu bukan dalam keadaan seperti ini mungkin ia akan jatuh cinta pada saat itu juga. Namun, apa yang dilakukan sosok lelaki tampan dihadapannya kini membuatnya marah. Dengan mengumpulkan keberaniannya Sang putri mengangkat dagunya dengan angkuh, mencoba menunjukan kuasa dan wibawanya sebagai seorang putri Kertalodra, "Siapa kau?! Beraninya--"

Belum sempat Ruanindya menyelesaikan ucapannya, sosok gagah dan tampan itu telah mencengkram lengannya dan menariknya turun dari atas ranjangnya yang nyaman, "Ikut aku, cepat!"

"Tidak! Aku tidak mau! Kau pasti penculik atau pembunuh! Lepaskan aku! Toloooong!" Ruanindya memberontak dan terus berteriak mencoba melakukan perlawanan pada sosok yang kini tengah membawanya secara paksa dan berharap para prajurit yang berjaga akan segera masuk dan menolongnya lepas dari lelaki yang tidak ia kenal yang tengah mencoba akan membawanya entah kemana, namun hasilnya nihil, sekeras apapun ia berteriak tidak ada satupun penjaga yang masuk untuk menolongnya.

karena Ruanindya terus memberontak, sosok itu akhirnya memegang kedua bahu kecil dan putih sang putri lalu menatapnya dengan mata elangnya yang tajam, "Dengarkan aku! Aku Gantara Wisesa, Panglima Kertalodra. Aku diutus Gusti Prabu Arya Tirta Kusuma Winarang untuk menyelamatkanmu dan membawamu pergi dari sini. Jangan banyak bertanya, aku akan menjelaskannya nanti," melihat gelagat sang putri yang tidak akan menurutinya, Gantara dengan terpaksa menotoknya hingga Ruanindya tidak bisa bergerak sama sekali dan akhirnya terkulai lemas jatuh ke lengan kokoh Gantara.

Gantara segera memanggul tubuh Ruanindya pada bahu kekar dan lebarnya, dengan mudah melompat dari atas jendela kamar sang putri, berlari tanpa suara dan kemudian dengan ringan kembali melompati pagar istana yang tinggi tanpa kesulitan sedikitpun seolah itu hanya palang yang rendah lalu mendarat pada punggung seekor kuda jantan yang gagah.

Gantara mendudukan sang putri dihadapannya, dalam perlindunganya, "Hiaaa!" Tanpa menunggu lama, pendekar tampan itu segera menghentakan kakinya pada tubuh kekar kudanya, setelahnya kuda Jantan itu segera melesat dan berlari kencang meninggalkan istana yang penuh teriakan dan kobaran api pemberontakan.

Pada malam yang dingin itu, tubuh Ruanindya gemetar bukan hanya karena kedinginan namum juga karena ia ketakutan, Ruanindya takut membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya, sejujurnya ia belum percaya sama sekali pada lelaki yang mengaku sebagai panglima utusan Ayahandanya, bisa saja lelaki yang sekarang membawanya itu berbohong dan ia hanya seorang penculik atau bahkan pembunuh.

Ruanindya memang selalu menginginkan dan membayangkan dirinya bisa dengan bebas berjalan-jalan keluar istana, berpetualang dan melihat dunia luar, namun bukan begini cara yang ia inginkan, terlalu menakutkan dibawa keluar secara paksa pada malam hari oleh lelaki yang tidak ia kenal. Entah apa yang akan dilakukan lelaki itu padanya, membayangkannya saja sudah membuat Ruanindya gemetar ketakutan dan berkeringat dingin, apalagi ketika ia dibawa pergi dengan kuda ia juga mendengar keadaan istana yang tiba-tiba menjadi riuh tanpa tahu penyebabnya.

Masih segar dalam ingatan Gantara, ketika pemberontakan itu meledak ia segera bergegas menemui Raja untuk melindunginya, namun Raja menolak dan malah memandatkannya tugas untuk membawa pergi Ruanindya dan melindungi keselamatan putri semata wayangnya apapun yang terjadi.

"Tidak Gusti prabu [2], sudah tugas hamba untuk melindungi keselamatan Gusti Prabu."

[2. Gusti Prabu \= Yang mulia raja]

"Gantara Wisesa! Aku memerintahkanmu untuk melindungi putriku!" Wajah Raja Arya Tirta Kusuma Winarang mengeras dengan suara memerintah seorang Raja yang penuh kuasa dan tidak bisa ditolak, namun sedetik kemudian matanya menatap Gantara penuh dengan permohonan, "Nyawa putriku lebih berharga dari nyawaku sendiri panglima, tidak ada gunanya aku hidup kalau nyawa putriku sendiri tidak selamat. Aku percaya kau bisa melindunginya."

Gantara akhirnya mau tidak mau menerima tugas yang dibebankan Raja padanya, Raja Arya Tirta Kusuma Winarang bahkan memberinya sebuah buntalan kain yang isinya perbekalan untuk perjalanan putrinya dalam pelarian, seolah Raja berwibawa itu memang sudah tahu akan terjadi pemberontakan pada tahtanya.

Di sisi lain ketika kedua orang itu --Gantara dan Ruanindya-- telah pergi meninggalkan Istana kerajaan, sang Raja tengah menghadapi pemberontakan Patih[3] Gandatala dan antek-anteknya.

Sebenarnya Raja Arya Tirta Kusuma Winarang sudah lama melihat keserakahan pada mata Patih Gandatala, namun sang Raja tidak ingin semena-mena menuduh Patihnya begitu saja tanpa bukti yang jelas, jadi Raja Arya Tirta Kusuma Winarang hanya bersiap dengan segala kemungkinan hingga akhirnya malam pemberontakan ini terjadi.

Patih Gandatala sendiri memang sejak dulu telah berambisi untuk merebut tahta dari Arya Tirta Kusuma Winarang dan menjadi raja Kertalodra.

Jadi perlahan dan dengan diam-diam, Patih Gandatala telah membangun kekuatannya sendiri dan mempersiapkan semuanya untuk malam pemberontakan ini sejak lama.

Pasukan istana telah dipukul mundur dan semakin terdesak. Patih Gandatala secara pribadi langsung menghadapi Raja Arya Tirta Kusuma Winarang, Sang Raja yang memang sakti tentu tidak mudah untuk dikalahkan, namun karena permainsuri Dewi Ayu Galuh Ningtyas tertangkap lalu dijadikan sandera dan diancam akan dibunuh, akhirnya mau tak mau membuat Sang Raja Kertalodra menyerah.

Memanfaatkan kesempatan itu, Patih Gandatala dengan sengaja segera melancarkan serangannya hingga membuat Raja Arya Tirta Kusuma Winarang terluka parah.

Patih Gandatala segera mengirimkan Raja Arya Tirta Kusuma Winarang kedalam penjara bawah tanah dan membelenggunya dengan rantai yang berlapis-lapis dan penjagaan yang ketat.

Termasuk permainsuri dan semua orang yang tidak mau tunduk pada kekuasaannya juga tidak luput ia jebloskan kedalam penjara kerajaan tanpa belas kasihan sedikitpun.

Kekalahan Raja Arya Tirta Kusuma Winarang pada pemberontakan Patih Gandatala bukan semata-mata disebabkan karena prajurit-prajurit kerajaan Kertalodra yang lemah namun Patih Gandatala memang telah menghimpun kekuatan, beberapa pejabat dan prajurit berbelot memihaknya dan ia juga merekrut pendekar-pendekar kuat dan sakti mandraguna dari segala penjuru untuk bekerja di bawah perintahnya ditambah dengan ketidakberadaan sang Panglima besar Gantara Wisesa dalam menahan gempuran para pemberontak.

Ketidakberadaan Gantara menyebabkan kecurigaan Patih Gandatala, dan kecurigaannya segera terbukti dan menjadi nyata ketika orang-orangnya melaporkan padanya bahwa mereka tidak menemukan Putri Ruanindya Galuh Winarang bahkan di kamar sang Putri sendiri.

Patih Gandatala menggeram marah dan segera menyuruh beberapa pendekar untuk segera melakukan pengejaran.

Keadaan istana Kertalodra yang biasanya terlihat megah dan indah kini terlihat carut marut, mayat bergelimpangan dan noda darah tergenang di mana-mana.

Ketika kuda yang membawa dirinya dan Ruanindya sudah berlari cukup jauh dari istana, Gantara segera melepaskan totokan pada tubuh sang putri lalu berbicara dengan suara beratnya tepat ditelinga Ruanindya, "Sedang terjadi pemberontakan di istana, dan hamba diutus untuk menyelamatkan Putri dalam sebuah pelarian."

Mata Ruanindya terbelalak, mulutnya terasa kelu, dalam suara lelaki dibelakangnya tidak terdengar sedikit pun suatu kebohongan.

Bersambung...

**Sedikit pengenalan tokoh-tokoh dalam cerita :

Gantara Wisesa, Panglima besar kerajaan Kertalodra.

‎Ruanindya Galuh Winarang, Putri tunggal Raja dan Permainsuri Kertalodra.

‎Arya Tirta Kusuma Winarang, ayah Ruanindya, Raja Kertalodra.

‎Dewi Ayu Galuh Ningtyas, ibu Ruanindya, Permainsuri Raja Kertalodra.

‎Gandatala, Patih Kertalodra, pemberontak.

Hallo saya Rui. Salam kenal, semoga pembaca sekalian menyukai karyaku yang satu ini. Mind to like, tip, follow & comment**?

Chapter 2 - Pelarian

Chapter 2

Pelarian

Derap langkah kaki kuda yang tengah berpacu untuk berlari dengan cepat membelah keheningan malam, kepulan debu yang membumbung sepanjang jalan yang kuda itu lewati tersamarkan oleh gelapnya malam.

Kuda hitam jantan, besar dan gagah itu sama sekali tidak terlihat lelah bahkan setelah menempuh jarak yang jauh, kecepatan larinya bahkan belum menurun sedikitpun.

"Hiaa!!!" Teriakan lantang itu berasal dari salah satu sosok yang menunggangi kuda hitam itu, kedua kakinya menghentak menepuk sisi badan kuda. Itu seperti perintah mutlak untuk sang kuda supaya menambah kecepatan berlarinya, seiring dengan hentakan kaki si penunggang kuda derap langkah kaki kuda menjadi lebih cepat dan lebih cepat lagi.

Samar terlihat ada dua sosok menunggangi kuda gagah itu. Satu sosok yang sedari tadi terus memegang tali kekang kudanya, dialah tuan dari kuda gagah itu. Sosoknya sendiri lebih gagah dari kuda yang ia tunggangi, memakai pakaian hitam yang membalut tubuh tinggi dan kekarnya, rambut hitam sepunggungnya hanya diikat sebagian dengan sederhana, wajahnya luar biasa tampan, namun dengan garis yang sangat tegas, sorot matanya tajam seperti elang yang memandang lurus kearah jalan di depannya. Jelas bahwa itu adalah sesosok pendekar yang sangat kuat.

Di hadapannya duduk satu sosok lain yang seolah berada dalam kungkungan tubuh sang pendekar, sosok itu berkulit putih dengan pakaian sutra indah membalut tubuhnya yang jauh lebih kecil dari sang pendekar. wajahnya ayu dan halus, hidungnya bangir, bibirnya tipisnya sewarna mawar yang sedang mekar menambah keindahan parasnya, rambut panjang hitamnya digelung diatas kepalanya dengan sebuah mahkota emas, dari mata bening teduhnya terus mengalirkan airmata membuat jejak basah dipipinya hingga menetes mengenai tangan sang pendekar. Sosok gadis ayu itu terlihat sangat rapuh.

Merasakan basah di punggung tangannya yang sedang memegang tali kekang, sang pendekar melirik gadis yang duduk di hadapannya. Bahkan dengan sinar cahaya bulan yang remang malam itu sang pendekar masih tetap bisa melihat pipi gadis di hadapannya basah karena air mata, ternyata gadis ayu itu sejak tadi belum berhenti menangis. Sang Pendekar menghela nafas, ia berpikir kalau ia lebih baik memimpin beribu-ribu pasukan dalam medan perang, dibandingkan harus menjadi pengawal dan merawat seorang putri raja yang terkenal manja.

Sang pendekar tampan itu memang tak lain dan tak bukan adalah Panglima Gantara Wisesa, panglima yang paling kuat dan sakti di kerajaan Kertalodra. Kekuatan Gantara terkenal diantara kawan maupun lawannya, tersohor di dalam kerajaan Kertalodra bahkan sampai kerajaan lain karena berhasil memimpin pasukannya memenangkan banyak perang bahkan yang paling berdarah.

Ia telah membuat beberapa kerajaan lainnya untuk tunduk dibawah kekuasaan kerajaan Kertalodra.

Dari sosok Gantara Wisesa bukan hanya kekuatannya saja yang tersohor namun juga ketampanannya, bukan hanya rupanya yang bagus namun tingkah laku dan tutur katanya dalam berbicara juga baik, jauh berbeda dengan para pendekar lainnya yang biasa berbicara dan bertindak kasar. Dengan semua kelebihan itu tidak heran Gantara berhasil mencapai posisinya sekarang di usia mudanya. Oleh karena itu, banyak pejabat kerajaan yang menawarkan putrinya untuk dijadikan istri oleh Gantara, namun dengan halus Gantara selalu menolaknya.

Gantara Wisesa adalah satu-satunya murid dari empu Indrayana yang tersohor, bukan hanya karena bisa membuat pedang dan keris[1] yang sangat bagus namun juga karena kesaktiannya dalam ilmu beladiri dan ilmu kanuragan[2], awalnya ia tidak memiliki murid karena ia tidak mau ilmunya disalahgunakan dan berbuah dosa untuknya, namun Gantara adalah anak yatim piatu yang tidak sengaja ia temukan hampir mati kelaparan di sebuah desa terpencil, empu Indrayana bisa melihat bahwa watak anak itu baik dan memiliki cikal bakal tenaga dalam yang besar, jadi empu Indrayana membesarkan anak itu dan menurunkan semua ilmu dan kesaktiannya pada Gantara. Setelah merasa tugasnya selesai, empu Indrayana menghabiskan masa tuanya bertapa digunung menyucikan dirinya sampai sang kuasa (Tuhan) menjemputnya.

"Kita harus kembali. Bagaimana dengan Ayahanda dan Ibunda?" Suara bergetar karena tangis menembus indra mendengaran Gantara, pemilik suara itu tak lain dan tak bukan adalah Putri dari kerajaan Kertalodra, Ruanindya Galuh Winarang anak tunggal dari Arya Tirta Kusuma Winarang, raja Kertalodra. Orang yang kini harus Gantara lindungi dan rawat dalam pelarian akibat dari prahara yang ditimbulkan dari pemberontakan oleh Patih[3] Gandatala.

Dalam anggapan Gantara Wisesa, seorang putri adalah seorang gadis yang sangat dimanjakan, yang hanya bisa memerintahkan dayang-dayangnya sesuka hati, mendapatkan apapun yang mereka inginkan tanpa perlu bersusah payah, tidak bisa melindungi diri sendiri karena biasanya seorang putri tidak akan tertarik belajar seni bela diri atau pun ilmu kanuragan[2] yang melelahkan, oleh karena itu Gantara tidak begitu menyukai sang Putri Raja namun hanya ia simpan di hati dan tidak berniat mengungkapkannya untuk menghormati Raja sebagai junjungannya. Bagaimana pun Raja Arya Tirta Kusuma Winarang adalah lelaki yang sangat kuat dan berwibawa yang ia sendiri kagumi dan ia jadikan panutan.

"Tidak bisa, Gusti Prabu [4] menitahkan hamba untuk membawa Putri sejauh mungkin dan melindungi Putri dari para pemberontak," walau pun Gantara tidak menyukai Ruanindya, tapi ia tahu batasan dalam hal tata krama dalam berbicara.

Ruanindya tahu kalau titah raja untuk prajurit seperti Gantara adalah mutlak, "Bagaimana bisa...pemberontakan..." ucapnya kembali terisak. Kini ia jauh dari Ayahanda dan Ibundanya, jauh dari kerajaannya dan di bawah kejaran para pemberontak yang ingin membunuhnya, bahkan Ayahandanya hanya mengirimnya dalam pelarian dengan satu pengawal. Ia memang tidak terlalu mengenal Gantara bahkan sebelumnya tidak tahu seperti apa wajah dan sosoknya, namun Ruanindya cukup tahu kalau orang yang bernama Gantara Wisesa adalah pendekar terkuat di Kertalodra, Panglima besar kebangggaan Ayahanda Raja, bahkan ia sering mendengar dayang-dayang membicarakan sang Panglima kemudian memuji kekuatan dan ketampanan Gantara Wisesa. Namun tetap saja semua ini tidak dapat dipercaya, hanya satu orang untuk melindungi Putri tunggal Raja? Yang benar saja.

Gantara mengarahkan kudanya melesat memasuki sebuah gua, ia melihat sekeliling gua dan setelah merasa kalau gua tersebut cukup aman untuk mereka beristirahat malam ini, Gantara segera melompat turun dari kuda, "Mari saya bantu Putri turun," Gantara memegang pinggang ramping Ruanindya sementara Ruanindya sendiri segera memegang bahu kokoh Gantara, setelahnya dengan mudah seperti mengangkat sehelai bulu, Gantara mengangkat tubuh Ruanindya turun dari kuda. Untuk ukuran pendekar yang kuat seperti Gantara, tubuh langsing dan ramping sang Putri yang terawat terasa sangat ringan.

"Kenapa kita berhenti disini?" Kini giliran Ruanindya yang menatap sekeliling gua, namun sejauh yang ia lihat hanya gelap, tentu saja matanya tidak setajam mata pendekar seperti Gantara.

"Kita bermalam disini," Gantara mengambil buntalan kain yang menggantung dipelana kudanya.

"Disini sangat gelap, aku tidak bisa melihat apapun," Ruanindya mulai panik, tangannya seolah menggapai-gapai udara kosong mencoba meraih Gantara.

Gantara mengetahui Ruanindya yang mulai panik segera meraih tangannya, "Tenanglah Putri," kemudian gantara mengarahkan tangan Ruanindya untuk memegang leher kudanya, "Tunggulah disini sebentar dengan Beliung, aku akan mencari kayu bakar didepan gua."

"Beliung? Siapa itu?" Ruanindya mengedipkan matanya dengan tidak mengerti.

"Itu kudaku."

"Apa?" Ruanindya tidak bisa menahan kekehannya, "Kau memberi nama pada kudamu? Manisnya," setelah mengatakan itu ia kembali terkekeh, merasa lucu sekaligus senang bisa menggoda --mencemooh--Panglima besar di hadapannya.

Gantara mengabaikan perkataan Ruanindya, ia memang sengaja memberi nama pada kudanya supaya kudanya bisa dengan mudah ia panggil bahkan untuk menciptakan keterikatan yang kuat dengan kudanya, Gantara merawat sendiri kudanya sedari kuda itu masih kecil, "Hamba akan pergi sekarang," ketika ia mulai melangkah, Ruanindya segera mencegahnya.

"Tunggu tunggu! Kau bermaksud meninggalkanku di dalam gua yang gelap ini di bawah perlindungan seekor kuda? Apa kau gila?" Berbeda dengan nada bicaranya tadi yang diselingi kekehan, kali ini nada bicara Putri Raja itu terdengar kesal.

"Beliung adalah kuda yang tangguh." Gantara mencoba menenangkan Ruanindya, dengan alasan yang menurutnya logis.

"Tidak! Aku tidak mau! Aku harus ikut kemana pun kau pergi," Sedangkan Ruanindya merasa alasan Gantara sangat konyol.

Karena Gantara sama sekali tidak ingin berdebat dengan Ruanindya akhirnya mereka berdua pergi bersama mencari kayu bakar sedangkan Beliung masih tetap di dalam gua.

Setelah terkumpul kayu bakar yang cukup ditambah telinga Gantara yang sudah tidak tahan mendengar keluhan dari mulut Ruanindya akhirnya mereka kembali ke dalam gua.

Gantara segera membuat api unggun dan seketika gua menjadi terang, awalnya dia sama sekali tidak ingin menerangi gua ini sedikitpun karena bisa memancing musuh mengetahui di mana mereka bersembunyi tapi sepertinya Ruanindya tidak akan mau diam dalam gua yang gelap jadi ia terpaksa membuat api unggun.

Gantara membuka buntalan kain yang ia bawa, di sana ada beberapa setel pakaian, beberapa potong kain yang panjang, sebuah topeng dan dua buah apel bahkan 5 kantong koin emas. Gantara lalu mengambil satu setel pakaian, melihat pakaian di tangannya tidak bisa tidak membuat keningnya mengernyit, yang ia pegang jelas-jelas adalah pakaian untuk seorang lelaki tapi ukurannya benar-benar pas untuk tubuh Ruanindya, akhirnya Gantara mengerti maksud dari pakaian lelaki dan kain panjang bahkan sebuah topeng yang diberikan Raja Arya Tirta Kusuma Winarang padanya didalam buntalan kain, Raja ingin putrinya untuk menyamar menjadi seorang lelaki demi keselamatannya, Gantara kemudian memberikan pakaian laki-laki dan kain panjang itu pada Ruanindya, "Lebih baik Putri mengganti pakaian."

"Kenapa aku harus? Yang aku pakai belum kotor," walaupun bertanya demikian Ruanindya tetap mengambil pakaian yang disodorkan Gantara dan melihat pakaian itu, "Pakaian ini...ini pakaian untuk laki-laki dan sangat jelek," protesnya. Memang pakaian itu adalah pakaian standar yang biasa para pendekar pakai, bukan pakaian sutra indah yang biasa keluarga kerajaan kenakan.

"Mulai saat ini, Putri harus menyembunyikan identitas Putri. Baju kerajaan yang Putri gunakan terlalu mencolok, kalau Putri ingin selamat lebih baik Putri mendengar saranku, lagipula semua barang-barang ini Gusti Prabu Arya Tirta Kusuma Winarang sendiri yang menyiapkan, ia ingin Putri menyamar menjadi seorang lelaki," Sambil menjelaskan Gantara menghamparkan sebuah kain ditanah, kain itu digunakan untuk alas tidur Ruanindya nantinya.

"Lalu untuk apa ini?" Ruanindya mengangkat kain panjang yang diberikan Gantara.

Gantara melihat apa yang di pegang Ruanindya, "kain itu tentu saja untuk membebat dada Putri, agar nampak rata seperti laki-laki," jelasnya tanpa merasa malu ataupun ragu.

"Kau! Beraninya--"

"Itu keinginan Gusti Prabu Arya Tirta Kusuma Winarang," potong Gantara sebelum sang Putri kembali protes.

Wajah Ruanindya tertekuk kesal namun tetap akan mengganti pakaiannya, bagaimanapun Ayahandanya sendiri yang menyiapkan untuknya, "Balikan tubuhmu, awas kalau kau sampai mengintip! akan kucongkel matamu!" Titah Ruanindya dengan suara ketus. Sesuai perintah Ruanindya, selama Ruanindya mengganti pakaian Gantara membalikan tubuhnya membelakangi Ruanindya. Mau tak mau Sang Putri membebat dadanya hingga rata lalu memakai pakaian laki-laki yang diberikan Gantara, "Aku sudah mengganti pakaianku, kau bisa berbalik."

Mendengar itu Gantara segera membalikan tubuhnya dan mengamati penampilan Ruanindya dari ujung kepala sampai ujung kaki, tatapan Gantara masih pada Ruanindya kemudian pendekar gagah dan tampan itu mulai melangkah mendekati Sang Putri.

Melihat Gantara semakin mendekat dengan tatapan tajam dari mata elang Gantara tentu saja membuat Ruanindya tergagap, "Ma-mau apa kau?"

Detik berikutnya tangan Gantara mulai terulur kearah Ruanindya...

[1. Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, seringkali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah.]

[2. Kanuragan adalah ilmu yang berfungsi untuk bela diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa.]

[3. Patih adalah jabatan Perdana Menteri pada kerajaan Nusantara kuno.]

[4. Gusti prabu sama dengan yang mulia raja.]

Bersambung...

Mind to like, tip, follow & comment? ^^

Chapter 3 - Sang Putri yang manja

Chapter 3

Sang Putri yang manja

"Ma-mau apa kau?" Ruanindya semakin ketakutan dan merasa terintimidasi dengan tatapan mata elang milik Gantara.

Ketika Gantara mulai mengulurkan tangan kearahnya, Ruanindya segera memejamkan matanya, kedua tangan gemetarnya memeluk dan meremas erat pakaian sutra di dadanya --pakaian sutra yang sebelumnya ia pakai dan kini sudah ia lepas diganti dengan pakaian sederhana--.

Tubuhnya terasa lemas karena rasa takut dan bahkan dia sudah tidak bisa bergerak untuk melangkah mundur barang sedikit pun, bahkan Putri Raja itu seperti lupa caranya bernafas.

Ruanindya berpikir, kalau Gantara berniat buruk padanya, bagaimana dirinya yang seorang gadis bertubuh kecil, tidak memiliki ilmu silat atau ilmu kanuragan bisa melawan Gantara yang memiliki tubuh tinggi dan kekar, seorang pendekar sekaligus panglima besar Kertalodra? Riwayatnya dipastikan hanya akan sampai di sini.

Tangan Gantara sampai diatas kepala Ruanindya kemudian menarik lepas mahkota emas yang dipakai sang Putri. Seketika itu gelungan rambut Ruanindya terlepas, rambut hitam halusnya tergerai indah mengalir melewati bahu hingga ke pinggangnya, "Ini juga sangat mencolok," mendengar suara Gantara dan merasa tidak terjadi apa-apa, Ruanindya segera membuka matanya dan menghela nafas lega lalu mendapati mahkota yang ia pakai kini berada di tangan Gantara.

Seperti meremas daun kering, seperti itu pula lah dengan mudahnya Gantara meremas mahkota emas indah milik Ruanindya menjadi gumpalan bola lalu melemparnya kearah gua yang lebih dalam.

Melihat itu mata Ruanindya terbelalak, "Apa kau gila?! Itu mahkota kerajaan yang diberikan oleh Ayahanda Prabu. Kau! Pasti akan mendapat hukuman!" Ruanindya dengan marah menunjuk-nunjuk wajah Gantara.

"Gusti prabu pasti akan mengerti dengan tindakanku," Gantara mengambil secarik kain seperti pita dari dalam bajunya dan kembali mendekat kearah Ruanindya hingga kini benar-benar berdiri didepan sang Putri, tangannya kembali terulur untuk mengikat sebagian rambut Ruanindya dengan sederhana seperti caranya mengikat rambutnya sendiri. Sedangkan Ruanindya hanya diam terpaku menatap dada bidang gantara yang berada didepan wajahnya, menghirup aroma kayu yang maskulin menguar dari tubuh sang pendekar tampan.

Kini penampilan Ruanindya sudah persis seperti penampilan pendekar laki-laki pada umumnya, namun hanya wajah ayunya saja yang tidak bisa menyembunyikan identitasnya sebagai seorang gadis, di sini lah kelak guna topeng putih dalam buntalan kain yang diberikan Raja Arya Tirta Kusuma Winarang, untuk menyembunyikan wajah ayu sang putri.

Setelah selesai dengan rambut Ruanindya, Gantara segera merebut baju sutera yang Ruanindya pegang lalu dengan acuh tak acuh melemparnya kedalam api.

"KAU!!!" jerit Ruanindya marah dengan suara nyaringnya yang menggema di seisi gua melihat baju sutera kesayangannya hangus dilalap api dan habis menjadi abu, setelahnya dengan mata nanar menatap Gantara, "Dengan wewenang sebagai Putri Raja Kertalodra, kuperintahkan kau untuk membunuh dirimu sendiri disini sekarang juga!"

Gantara dengan tenang duduk bersila, meletakan pedangnya di pangkuannya dan berkata dengan santai, "Maaf tapi itu perintah yang tidak dapat hamba laksanakan. Oh ya, lebih baik Putri tidak berteriak, atau itu akan semakin memancing para pembunuh menemukan kita."

"Argh!!! Kau benar-benar menjengkelkan!" Ruanindya menghentakan kakinya ketanah dengan kesal seperti anak kecil yang tidak mendapatkan mainan yang ia inginkan. Sang Putri Kertalodra lalu menghembuskan nafasnya dengan putus asa, ia merasa tidak mungkin melawan orang yang seperti batu di hadapannya ini, berdebat pun akan percuma lagipula ia sendiri merasa sangat lelah.

Ruanindya yang masih merasa kesal akhirnya memutuskan untuk duduk di atas kain yang sudah Gantara siapkan sebelumnya untuk digunakan sebagai alas beristirahat, tangannya terlipat di depan dadanya yang kini sudah terlihat rata seperti seorang lelaki.

Melihat sang Putri sudah duduk, Gantara segera mengambil apel yang berada dalam buntalan kain yang ia bawa lalu menaruh apel itu di hadapan Ruanindya, "Makan lah Putri."

Ruanindya menatap apel merah di hadapannya, karena ia masih merasa kesal pada Gantara, ia mengangkat dagu lalu dengan angkuh berkata, "Aku tidak la--" namun belum sampai perkataanya selesai, sebuah suara menginterupsi perkataan sang Putri.

Kruyuk..

Gantara menatap darimana sumber suara itu berasal, perut Ruanindya. Alis tebalnya terangkat sebelah,

"Sepertinya perut Putri tidak dapat berbohong."

Ruanindya berdehem, wajah putihnya memerah karena malu lalu tanpa berkata apapun mengambil apel di hadapannya dan memakannya, setelah menelan suapan pertamanya ia segera berucap, "Aku belum memaafkanmu."

"Baiklah," Gantara seperti biasa menjawab Ruanindya acuh tak acuh, mengeluarkan pedang dari sarungnya lalu mengelap mata pedangnya sampai mengkilap.

Pedang itu pedang yang selalu menemaninya di medan perang dan selalu menebas musuh-musuhnya tanpa ampun.

Pedang yang terlihat sangat tajam itu dibuat secara khusus oleh empu Indrayana lalu dihadiahkan pada Gantara, jadi pedang itu adalah salah satu barang berharga miliknya.

Pedang sakti itu diberi nama Pancasona.

Melirik Gantara sebagai teman seperjalananya dan telah menjaganya sejauh ini, mau tak mau Ruanindya merasa sedikit perduli, "Kau tidak makan?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Aku tidak lapar, dan sekalipun lapar aku bisa menahannya," memang benar apa yang dikatakan Gantara, ia seorang prajurit tentu saja menahan rasa lapar barang satu atau dua hari adalah hal yang sangat biasa, apalagi di medan perang, Gantara bahkan pernah tidak makan selama lima hari berturut-turut.

"Kenapa harus menahan lapar? Apelnya masih ada," Ruanindya melongok kearah buntalan dan masih melihat sebuah apel tersisa di sana.

Akhirnya Gantara mengalihkan pandangannya dari pedang kepada Ruanindya, "Lebih baik apel itu untuk Putri makan sampai kenyang, hamba bisa mencari makanan lain setelah kita keluar dari gua ini."

"Yasudah," Ruanindya menggendikan bahunya lalu melanjutkan acara memakan apelnya.

Gantara kembali memasukan pedangnya pada sarungnya setelah selesai menggosoknya, "Putri, tanpa mengurangi rasa hormatku pada Putri dan Gusti Prabu Arya Tirta Kusuma Winarang maupun Permainsuri Dewi Ayu Galuh Ningtyas izinkan hamba mulai sekarang dan selama dalam pelarian, hamba akan memanggil Putri hanya dengan nama Rua, dan akan mengakui Putri sebagai adik sepupu jauhku, lalu menyesuaikan tata bicaraku seperti pada seorang adik sepupu demi keselamatan Putri. Jadi hamba mohon Putri maklum."

Ruanindya melongo menatap Gantara, baru kali ini ia mendengar Gantara bicara agak panjang. Setelah sadar dari ketertegunannya Ruanindya pun mengangguk sebagai jawaban, "Baiklah, aku memaklumi dan mengizinkan."

"Terima kasih. Lebih baik sekarang kau tidur."

Ruanindya baru saja mengizinkan Gantara tapi tetap saja ia sedikit merasa kaget dengan nada bicara Gantara yang tidak lagi formal padanya, Ruanindya sedikit kagum dengan cepatnya penyesuaian diri Gantara masuk dalam perannya sebagai kakak sepupunya.

Tanpa Ruanindya ketahui, sebenarnya Gantara sangat menikmati itu, ia tidak perlu lagi bicara formal dengan tata krama tinggi pada Putri yang ia anggap sangat manja.

Ruanindya perlahan merebahkan tubuhnya, ia langsung merasa tidak nyaman karena tanah tempat berbaringnya itu terasa keras jauh berbeda dengan ranjangnya yang empuk dan lembut, "Ini keras, tidak nyaman," keluhnya.

"Jangan kau bandingkan dengan ranjangmu di istana," ucap Gantara seolah bisa membaca isi pikiran Ruanindya.

Ruanindya berdecih lalu tatapannya tanpa sengaja menangkap sosok kuda milik Gantara, "Kenapa kau menamai kudamu dengan nama Beliung?"

"Karena ingin."

Ruanindya memutar matanya malas, ia merasa Gantara benar-benar seperti batu atau gunung es. Ia mengingat-ingat beberapa pujian dayang-dayang yang kadang ia dengar tentang Gantara yang mengatakan kalau lelaki itu tidak hanya kuat dan tangguh namun juga ramah dan baik, 'Cih apanya yang ramah dan baik,' cemooh Ruanindya dalam hati. "Maksudku alasanmu memberi nama itu pada kudamu."

"Karena aku berharap kelak ketika kudaku dewasa maka dia akan sekuat dan secepat angin ****** beliung, dan itu memang terjadi sesuai dengan harapan."

Akhirnya Ruanindya mendapat jawaban yang lebih tepat, ia tersenyum puas, "Berharap kelak ketika dewasa? Kudamu sekarang bukannya kuda dewasa? Itu berarti kau merawat kudamu dari masih kecil?" Ruanindya menatap Gantara penuh dengan keingintahuan dan hanya mendapatkan anggukan sebagai jawaban namun itu sudah cukup membuatnya takjub, "Woah... kenapa kau mau repot-repot begitu?"

"Untuk ikatan yang kuat," Gantara menambahkan kayu pada api unggun yang mulai meredup.

"Ikatan yang kuat?" Ruanindya mengedipkan mata bulatnya tak mengerti.

Gantara kembali mengangguk, "Ikatan kuat antara tuan dan kudanya sehingga menjadi teman."

"Contohnya?"

"Hanya dengan aku yang memanggil namanya atau bersiul, maka Beliung akan menghampiriku."

"Benarkah?" Sekali lagi Ruanindya merasa takjub, ia baru mendengar ada hal yang seperti itu. Ia pikir kuda adalah binatang bodoh yang hanya bisa berlari dengan cepat.

Gantara mengangguk lalu bersiul pelan --mengingat jaraknya dengan Beliung sangat dekat--, dan tanpa diduga-duga kuda jantan itu segera berjalan menghampiri tuannya, menundukan kepalanya di depan Gantara seolah meminta Gantara untuk membelai kepalanya dan dengan senang hati Gantara melakukan itu, "Anak pintar," pujinya pada Beliung.

"Woah.." Ruanindya tercengang melihat adegan di hadapannya.

"Tidurlah, besok kita akan pergi dari sini pagi buta."

"Aku tidak bisa tidur, bagaimana mungkin di tempat seperti ini aku bisa tidur. Tidak bisakah kita mencari penginapan saja?" Ruanindya mulai merengek.

"Rua," panggil Gantara sambil meletakan pedangnya lalu mendekat kearah Ruanindya.

"Apa?" Baru saja Ruanindya mengalihkan padangannya dari Beliung ke arah Gantara, ia sudah merasakan lengan kokoh itu di letakan sang pendekar di belakang punggungnya, dan satu telapak tangan lainnya dengan lembut mengusap wajahnya lalu seketika itu kesadaran Ruanindya hilang, jatuh tertidur dengan nyenyak.

Ketika tubuh Ruanindya terkulai, Gantara segera memeluknya supaya tubuh sang putri tidak menghempas ke tanah. Baru saja Gantara memberikan sirep[1] ringan pada Ruanindya agar Putri manja itu bisa tertidur nyenyak.

Dengan perlahan Gantara membaringkan tubuh Ruanindya, manjadikan buntalan kain bekal mereka sebagai bantal lalu menyelimutinya dengan kain yang lain.

Pendekar gagah perkasa itu menatap wajah tidur Ruanindya yang tenang, "Mulai sekarang hidupmu tidak akan seenak di istana," Gantara merasakan hatinya sedikit iba pada sang Putri.

[1. Sirep adalah ilmu untuk membuat orang tertidur.]

Gantara kembali duduk bersila dengan tegak, menutup matanya untuk beristirahat namun tidak benar-benar tertidur, ia masih tetap waspada dengan keadaan sekitarnya sekalipun ia sudah membuat pelindung di mulut gua dengan tenaga dalamnya, ditambah membuat ilusi sehingga dari luar mulut gua tidak terlihat, seolah tidak ada gua disana.

Bersambung...

Mind to like, tip, follow & coment? ^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!