NovelToon NovelToon

Istri Culun Pria Narsis

Intan Arofah Ferdian

"Ma, Pa, Intan berangkat dulu yah," seru Intan berpamitan kepada kedua orang tuanya.

"Hati-hati, Nak. Jangan lupa dipakai kacamatanya," ucap Nie mengingatkan kepada putrinya untuk selalu memakai kacamata tebalnya. Intan hanya menganggukan kepalanya.

Intan Arofah Ferdian, sosok wanita cantik dan baik, kecantikannya sengaja ia tutupi dengan memakai kacamata tebalnya. Sebenarnya matanya tidak rabun, kacamata yang sengaja dibeli oleh Ferdian, papanya dari Amerika. Panggilannya adalah Intan, karena mama, papa, dan kedua kakaknya memanggilnya dengan sebutan Intan.

Memiliki sifat inscure, kurang percaya diri dan pemalu. Intan memilih bekerja di toko kue, meskipun ayahnya memiliki perusahaan yang cukup di kenal oleh negaranya. Intan akan kuliah satu tahun setelah lulus SMA.

Dengan mengendarai sepeda kesayangannya, Intan tiba di toko kue tempatnya bekerja. Toko yang dikenal enaknya kue red valwet nama kue yang sedang melejit. Kue berwarna merah yang lembut dan lezat itu sangat laris, membuat toko kue tempat Intan bekerja semakin ramai oleh pembeli.

"Intan," panggil Mai, sahabat Intan yang sama-sama bekerja di toko kue.

"Mai, kamu kapan sampai? Biasanya terlambat," ejek Intan dengan tersenyum ke arah Mai.

"Hehehe, tau aja kalau aku sering terlambat. Aku sampai lima menit yang lalu," jawab Mai dengan senyuman polosnya.

"Ke dapur yuk," ajak Intan sambil membenarkan kacamatanya yang hampir jatuh.

Mai dan Intan berjalan ke arah dapur, mereka menyiapkan alat-alat untuk membuat berbagai kue yang dipesakan oleh pelanggannya. Jari-jari lentik mereka mulai bercibaku dengan peralatan kue, satu persatu karyawan yang lainnya mulai berdatangan dan duduk di posisi masing-masing. Ada waktu setengah jam lagi untuk membuka toko kue sebelum pemilik toko tiba.

Mai yang sudah biasa membuat kue ulang tahun, Intan membuat kue red valvet, dan sepasang kasir yang sudah berada di posisi masing-masing. Pemilik toko kue sudah tiba dan toko keu pun sudah di buka. Karena masih pagi, toko kue masih sepi. Semua pegawai beristirahat sejenak sambil menunggu pelanggan datang.

Semakin sore, toko kue semakin rame. Tangan Intan tak henti-hentinya bercibaku dengan peralatan dan bahan-bahan membuat kue. Karena sudah terbiasa, Intan menjadi lebih gesit mengambil apa yang dibutuhkan untuk membuat kue yang akan ia buat.

Hampir satu tahun Intan bekerja di toko kue, dengan penghasilan lumayan, Intan melupakan tujuannya yaitu kerja satu tahun untuk biaya kuliahnya. Ramainya toko kue membuat semua orang yang bekerja disibukan dengan posisi mereka masing-masing. Karena sifat Intan yang pemalu, ia selalu bekerja di dapur dan tidak pernah menunjukan dirinya pada pelanggan yang selalu memakan kue buatannya.

"Apa boleh saya bertemu dengan pembuat kue red valvet ini?" tanya seorang pembeli karena merasa puas dengan rasa kue yang ia makan.

"Maaf, Pak, kami tidak diperbolehkan memberi informasi tentang siapa pembuat kue red valvet ini. Karena itu privasi dari pembuat kue," ucap Rena, pegawai yang berada di posisi menghantarkan kue kepada pelanggan atau pembeli.

"Ah, baiklah tidak masalah." Rifal menundukan kepalanya. Perasaannya kecewa saat mendengar jawaban dari salah satu pegawai toko kue.

Kira-kira siapa yah yang ahli membuat kue seenak ini? Sampai dia tidak ingin identitasnya terbongkar. Padahal tidak ada ruginya bertemu denganku, laki-laki tampan dan dermawan, batin Rifal dengan jiwa narsisnya.

Setelah kuenya habis, Rifal meninggalkan toko kue itu. Dipikirannya selalu bertanya-tanya tentang siapa pembuat kue red valvet kesukaannya itu. "Cari tahu siapa yang membuat kue red valvet yang ada di toko kue seberang jalan." Rifal menyuruh anak buahnya lewat telepon, tanpa menunggu jawaban, ia langsung menutup panggilan telepon itu.

Sementara Intan sedang istirahat, ia sudah membuat tiga kue red valvet berukuran besar karena pelanggan setia toko kue yang memesannya secara langsung. Intan memainkan ponselnya sejenak, rasanya lelah jika harus berurusan dengan peralatan masak. Meskipun sudah biasa, Intan bangga bisa membuat kue seenak yang ada di toko kue besar-besar yang ada di kota.

"Intan, tadi ada yang nanya, siapa yang membuat kue red valvet seenak itu? Tapi aku tidak menjawabnya," ujar Rena yang menghampiri Intan saat sedang duduk meluruskan kakinya.

"Terimakasih yah, Ren. Sudah menjaga privasiku," ucap Intan sambil menatap Rena dan membenarkan kacamatanya.

"Iya, kenapa kamu memilih untuk menutup identitasmu?" tanya Rena yang ikut duduk di depan Intan.

"Aku tidak ingin dikenal banyak orang," jawab Intan dengan senyuman kikuknya.

"Kenapa?" tanya Rena yang penasaran.

"Karena ... sudahlah lupakan." Intan bangun dari duduknya dan tidak ingin menjawab pertanyaan Rena. Karena Intan malu jika banyak orang yang mengenalnya.

Hari mulai larut, toko kue tutup jam sembilan malam. Semakin malam, maka semakin banyak pembeli. Apalagi ini adalah malam minggu, banyak pasangan yang rela mengantri demi mencicipi salah satu kue yang ada di toko kue dekat dengan perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan bahan pangan. Semua pegawai kembali disibukan dengan melayani para pembeli.

"Mbak, kue red valvetnya satu potong yah, sama kue coklatnya satu potong," ucap salah satu pembeli.

"Saya pesan kue kering satu kotak, dan kue bronisnya satu kotak," ucap pembeli lainnya. Dan masih banyak lagi pembeli yang mengucapkan pesanannya.

Sementara itu, para chef di dapur masih disibukkan dengan peralatan memasak yang mereka butuhkan. Intan yang sebagai salah satu chef, tidak pernah keluar melihat pelanggannya. Ia takut akan keramaian, karenanya ia selalu berada di dapur. Dapur yang tidak boleh dikunjungi oleh pembeli, pembeli dilarang masuk ke dapur.

Telepon Intan berdering, karena ramainya pelanggan, membuat Intan tidak menyadarinya. Intan masih disibukan dengan peralatan yang biasa ia pegang. Kacamatanya yang selalu membuat dirinya culun sangat membantunya. Kenapa? Karena dengan penampilan culunnya, membuat Intan sadar, mana yang tulus berteman dengannya dan mana yang tidak. Dengan bekerja di toko kue, Intan mendapatkan teman yang tulus tanpa memandang fisik. Karena itu, Intan sangat betah bekerja di toko kue ini.

Meskipun papanya mempunyai perusahaan, Intan tidak mengandalkan kekayaan papanya. Ia lebih memilih untuk hidup mandiri dan tidak bergantung kepada orang tuanya. Mama dan papa Intan pun bangga, mereka sudah berhasil mendidik anaknya menjadi sosok yang mandiri dengan penampilan culunnya. Akan tetapi, mereka takut jika putrinya tidak mendapatkan kekasih yang baik.

"Ma, Intan mau tidak yah kalau kita jodohkan dengan anak teman papa?" tanya Ferdian kepada istrinya, Nie.

"Dicoba aja dulu," jawab Nie sambil menepuk-nepuk masker yang ada di wajahnya.

"Kalau nolak gimana?" tanya Ferdian, karena ia tahu bahwa Intan sangat benci dengan perjodohan.

"Entahlah, mama juga enggak tahu," jawab Nie sambil berpikir keras.

***

Jangan lupa untuk memberikan like, komentar, dan vote. Terima kasih.

Red Valvet

Bel pintu pun berbunyi, mereka sudah menebak bahwa itu adalah Intan. Ferdian membukakan pintu untuk putrinya. Wajah lelah Intan terlihat jelas, mukanya kusut seperti baju yang kumel. Intan masuk ke dalam rumah.

"Ma, Pa, aku ke kamar dulu yah. Lelah," ucap Intan dengan suara pelan.

"Iya, habis itu makan, terus duduk di sini. Papa mau bicara penting." Ferdian duduk di sofa, Intan hanya menganggukan kepalanya, kemudian melangkah menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

Setelah sampai di kamarnya, Intan meletakan tas yang selalu ia bawa dan mengambil handuk, kemudian langsung menuju kamar mandi. Intan berpikir, apa yang akan papanya bicarakan. Penting dalam hal apa?

"Nyaman sekali memakai kacamata tebal itu. Dengan berpenampilan cupu yang sesuai dengan sifatku yang pemalu," gumam Intan sambil menatap wajahnya di cermin meha rias.

Ah, aku melupakan sesuatu. Papa bilang, ia akan berbicara penting. Intan langsung keluar dari kamarnya tanpa membawa kacamatanya dengan rambut terurai.

Sebelum menuju ke tempat mama papanya berada, Intan menuju meja makan terlebih dahulu. Karena perutnya meminta jatah untuk diisi. Dan ternyata hanya ada tahu dan tempe serta telur dadar yang ada di meja makan. Tanpa menunggu waktu lama, Intan langsung menyidukkan nasi untuk mengisi perutnya.

Setelah dirasa kenyang, Intan langsung menghampiri kedua orang tuanya. Pikirannya selalu bertanya-tanya, kemana bibi yang bekerja sebagai asisten rumah tangga? Kenapa cuma ada tahu dan tempe serta telur dadar? Apa yang akan dibicarakan papanya? Semua pertanyaan selalu berputar di pikirannya.

"Ma, Pa," sapa Intan saat tiba di ruangan yang bernuansa klasik. "Katanya Papa mau ngomong penting." Intan duduk di samping mamanya.

"Iya, tapi Papamu sedang memasukan mobil ke bagasi sebentar," jawab Nie, Intan menganggukan kepalanya. Tak lama pun Ferdian datang dan duduk di sofa single.

"Ada apa, Pa?" tanya Intan yang penasaran.

"Kamu tidak ingin menikah?" tanya Ferdian yang langsung ke intinya, membuat Intan melototkan matanya.

"Kenapa Papa nanyanya gitu?" Bukannya menjawab, Intan malah balik bertanya.

"Papa hanya ingin tahu," jawab Ferdian dengan tangan yang sudah memegang secangkir kopi, kemudian meminumnya.

Nie yang menunggu jawaban putrinya sambil memakan cemilan kripik pisang yang ada di meja. Intan diam tak bersuara, membuat Mama Papanya penasaran. Sebelum menjawab, Intan menarik napasnya panjang-panjang.

"Pa, aku tidak pernah menginginkan pernikahan mewah. Tapi Intan masih ingin kuliah. Aku mohon, Papa mengertilah," ucap Intan yang memasang wajah sedihnya.

"Apa kamu mau mama menjodohkanmu?" tanya Nie, mata Intan langsung mengarah kepada sumber suara.

"Tidak! Intan tidak ingin dijodohkan!" Intan benar-benar tidak habis pikir dengan orang tuanya yang menginginkan agar ia cepat-cepat menikah. Padahal kedua kakaknya sudah memiliki anak. Ya, kedua kakak Intan sudah menikah saat lulus SMA.

Tak menunggu lama, Intan langsung meninggalkan kedua orang tuanya yang sedang frustasi. Intan masih ingin menggapai cita-citanya, tapi kenapa kedua orang tuanya selalu menanyakan tentang pernikahan. Masuk ke dalam kamar, memutar lagu yang ada di ponselnya, kemudian menenggelamkan wajahnya pada bantal-bantal yang empuk itu.

Sungguh tidak habis pikir, Intan yang masih remaja tidak mau kehilangan masa-masa kebebasannya meskipun dihabiskan dengan pekerjaan. Tak menunggu lama, Intan pun terlelap dalam mimpi indahnya. Karena rasa lelah dan rasa pusingnya akan kejadian hari ini.

"Bagaimana sekarang? Intan tidak ingin dijodohkan," ucap Nie yang mulutnya masih penuh dengan kripik pisang.

"Habiskan dulu makananmu yang ada di dalam mulutmu, baru berkata," ujar Ferdian yang sebenarnya tidak mendengarkan ucapan Nie.

***

Sementara itu, Rifal masih mencari tahu tentang siapa sebenarnya koki yang membuat kue red valvet seenak itu? Namun ia masih belum bisa menemukan siapa koki itu, hingga akhirnya ia memutuskan pulang ke rumahnya.

"Bunda, Ayah, tumben masih melek?" tanya Rifal kepada kedua orang tuanya, karena biasanya ketika ia pulang kerja, kedua orang tuanya sudah tidur.

"Ayah pengen ngomong penting," ucap Rubin, Ayah Rifal.

Rifal Rubin Syahputra, laki-laki narsis yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Gagah dan berwibawa, memiliki kisah cinta yang selalu kandas di tengah jalan. Setiap berencana ingin menikah, entah kenapa mempelai wanitanya selalu membatalkan pernikahan itu secara sepihak. Karena bukan untuk yang pertama kalinya, Rifal berpikir untuk mencari pasangan yang sederhana dan tidak akan memandang dari fisik.

"Ayah mau ngomong apa?" Rifal duduk di samping Bundanya, Nahla. Rifal meletakan ponselnya di meja yang ada di depannya.

"Sudah makan?" tanya Rubin kepada anaknya karena baru pulang kerja. Rifal menganggukan kepalanya, pertanda bahwa ia sudah makan. Sebenarnya perutnya masih kenyang karena memakan kue red valvet yang ada di depan kantornya.

"Bunda pengen deh, sekali-kali beliin kue yang ada di depan kantormu," ucap Nahla kepada putranya, agar sesekali membelikan kue untuknya.

"Nanti aku beli yah, Bun." Rifal mengusap tangan Bundanya dengan halus. "Katanya Ayah mau ngomong?" Rifal menatap ke Ayahnya yang sedang meminum kopi.

"Oia, ayah lupa. Rifal, apa kamu tidak mau mencari pendamping hidup lagi?" tanya Rubin. Rifal menarik napasnya sebentar, kemudia ia keluarkan.

"Ayah enggak bosen ya? Yang ditanya itu mulu," kata Rifal yang menatap wajah Ayahnya dengan tatapan jengkel.

"Bunda sudah menginginkan cucu, kamu anak bunda satu-satunya, Sayang." Nahla memegang tangan Rifal, "Bunda sudah tua, biarkan bunda merasakan indahnya menimang cucu."

Rifal memikirkan setiap perkataan bundanya, melihat usianya yang sudah layak untuk memiliki keluarga sendiri membuat dirinya frustasi. Aku takut, dan aku trauma. Sudah berapa kali merencanakan pernikahan dan itu selalu gagal, batin Rifal. Kemudian ia menenggelamkan wajahnya di bantal kesayangannya.

***

"Intan," kata Nie sambil sesekali mengetuk pintu kamar putrinya.

"Masuk aja, Ma. Tidak dikunci kok," Intan sedikit berteriak, karena ruangan kamarnya sedikit kedap suara.

Mendengar putrinya sudah memperbolehkan dirinya masuk, Nie pun masuk tak lupa menutup pintunya kembali. Intan ternyata sedang memakai masker wajah sambil memainkan ponselnya di atas kasur. Nie berjalan mendekati Intan.

"Intan," katanya lagi memanggil putrinya.

"Hm," jawab Intan. "Mama, Intan enggak mau dijodohkan!" sambung Intan penuh penekanan.

Belum berbicara, Intan seakan-akan bisa menebak tujuan Mamanya datang ke kamarnya. Nie menarik napas panjang, lalu menggelengkan kepalanya. Melihat putrinya asik memainkan ponselnya, ia berpikir agar Intan mau segera menikah.

Walaupun Nie beralasan ingin memiliki cucu itu tidak mungkin, karena Kori kakak pertama Intan sudah menikah dan sudah memiliki anak perempuan. Begitu pula dengan kakak kedua Intan, Rudi. Istri kakak kedua Intan sedang mengandul, usia kandungannya masih tiga bulam.

Nie terus berpikir dengan keras. Alasan Nie ingin segera menikahkan putrinya adalah, ia ingin putrinya mendapatkan sosok suami yang baik. Banyak patner bisnis papanya yang ingin menikahi putri satu-satunya dari keluarga Ferdian.

Lelaki Hidung Belang

Banyak patner Ferdian yang ingin memperistri Intan, dan itu membuat Nie khawatir jika putrinya jatuh pada laki-laki hidung belang. Karena semenjak acara pembukaan kantor cabang, Intan tidak menggunakan kacamatanya, melainkan ia memakai dress dengan lengan pendek panjang hanya sampai lutut. Seketika mata para laki-laki hidung belang ingin memperistri putrinya.

Banyak tawaran, dari mulai menyerahkan perusahaan untuk putrinya agar mau diperistri oleh salah satu rekan bisnis mereka. Dengan tegas, Ferdian menolak mentah-mentah lamaran itu. Itulah mengapa kedua orangtua Intan ingin segera melihat Intan menikah.

***

Keesokan paginya, Intan masih terlelap di alam mimpinya. Nie dan Ferdian sudah ada di meja makan. Mereka sengaja tidak membangunkan putrinya, akan ada sebuah drama. Sepasang suami istri itu pun setelah selasai makan lanjut duduk di ruang tamu.

"Intan memang kebangetan kalau tidur!" Nie yang sudah merasa kesal dengan putrinya yang masih tertidur meskipun jam menunjukan pukul 10:30.

"Biarkan, nanti juga bangun," ujar Ferdian dengan tatapan mata yang masih fokus pada layar laptopnya dan beberapa dokumen pekerjaan.

Setengah jam berlalu, tapi Intan tak kunjung bangun dan menghampiri mama dan papanya yang sedang duduk di ruang tamu. Gadis itu masih terlelap di alam mimpinya. Nie berinisiatif untuk memulai dramanya.

"Apa mama aja yang bangunin Intan? Terus Papa duduk di sofa sambil memegang kepala. Ceritanya Papa sakit kepala gitu." Nie yang mulai tidak sabar untuk memulai sandiwara dalam keluarganya, sebelumnya Kori dan Rudi beserta istri-istri mereka sudah diberi tahu sebelumnya.

Ferdian mengangguk, kemudian ia mengacak-acak semua dokumen penting itu kesembarang arah. Entahlah, kenapa dokumen penting itu Ferdian hambur-hamburkan ke sembarang arah. Dan itu termasuk rencana Nie, mau tidak mau Ferdian menurutinya. Dari pada ia harus tidur di luar lagi, jadi ia harus menuruti kemauan istri manjanya.

Nie berjalan menuju kamar putrinya. Diketuk berkali-kali namun masih tidak ada jawaban. Hingga Nie memutuskan untuk menelepon Intan. Karena gadis itu lebih mementingkan bunyi suara ponsel, daripada suara pintu.

"Nih anak kalau sudah tidur pasti lupa waktu, padahal semalam tidur jam sepuluh malam." Nie mengoceh sambil terus memainkan ponselnya, mencari nomor ponsel anak perempuan satu-satunya.

Ponsel milik Intan pun berdering. Benar saja, Intan langsung mengangkat panggilan yang ada di ponselnya. Dengan suara khas bangun tidur, tanpa memakai kacamatanya. Intan mengangkat panggilan itu tanpa membaca siapa yang meneleponnya.

"Ha-Halo," ucap Intan setelah menggeser tobol hijau.

"Bangun, Nak! Kamu enggak tau pukul berapa sekarang?" tanya Nie sedikit berteriak. Intan langsung membuka matanya, melihat jam dinding yang menunjukan pukul 11:15 WIB.

"Ya ampun, Mama kenapa enggak bangunin aku dari jam enam sih, Ma?" Intan langsung bangun dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya.

"Anak gadis tidur nyenyak sekali! Malah mama yang disalahin. Sekarang mama lagi cemas, itu papa kamu ...." Nie sengaja menggantung perkataannya agar Intan bertanya.

"Papa kenapa?" tanya Intan yang sudah cemas dan takut kalau dirinya akan dipecat dari toko kue tempat ia bekerja.

Bukannya menjawab pertanyaan Intan, Nie justru mulai menitikan air matanya. Intan yang melihat hal tersebut membuat dirinya takut jika sang papa kenapa-kenapa. Intan mendekati Mamanya dan mengusap air mata Mamanya.

"Papa kenapa, Ma? Kita keluar yuk, Mama ceritakan apa yang terjadi sama papa?" Intan mengajak Mamanya keluar, kini Nie seakan-akan berakting. Berakting bahwa langkah kakinya berat.

"Ma, kita keluar yah, kita lihat papa." Nie mengangguk, mereka berjalan keluar kamar. Seketika Nie berdehem sangat keras, itu adalah kode agar Ferdian melaksanakan perintahnya untuk berpura-pura sakit.

Ferdian yang mendengar suara deheman dari istrinya, ia langsung memegangi kepalanya. Kini Ferdian seakan-akan sedang menjambak rambutnya sendiri, berakting sakit kepala sambil sedikit mengerang kesakitan.

Intan yang mendengar Papanya kesakitan, ia pun langsung berlari ke sumber suara. Ternyata sang Papa sedang menjambak rambutnya, "Apa yang Papa lakukan?" teriak Intan.

"Ini sakit sekali, Nak," tak henti-hentinya Ferdian menjambak rambutnya.

"Kita ke rumah sakit yah, Pa," ajak Intan. Namun yang Intan dapatkan hanyalah sebuah gelengan kepala dari sang Papa. "Ayo, Pa, kita ke rumah sakit. Intan tidak tega melihat Papa seperti ini." Intan mencoba membantu Papanya untul berdiri.

"Ayo, Ma. Mama kenapa diam aja? Kasihan Papa," ucap Intan kepada Mamanya. Karena sedari tadi Nie hanya memandangi Intan dan Ferdian.

"Intan, hutang Papamu banyak, sekarang sudah jatuh tempo. Kita harus segera pergi dari rumah ini, nanti Papa kamu, kita bawa ke klinik terdekat." Nie mencoba dibuat sedramatis mungkin.

"In-Intan masih punya tabungan ko, Ma. Kita bawa Papa ke rumah sakit yah. Ayo, Ma. Bantu aku angkat Papa." Intan merelakan tabungannya demi kesembuhan sang Papa. Dalam pikirannya, ia memikirkan apa yang terjadi sebenarnya? Karena setahu Intan, Papanya tidak memiliki hutang.

"Ma, Mama sudah hubungi Abang dan Kakak?" tanya Intan yang mengingat kedua kakak laki-lakinya. Nie menggelengkan kepalanya, kini Intan sendiri yang pusing karena kejadian ini. Sementara Ferdian masih betah dengan raungan pura-puranya.

Hingga akhirnya Intan dan Nie membawa Ferdian ke rumah sakit. Dan rumah sakit itu pula sudah di bayar untuk mengikuti sandiwara yang sudah dibuat oleh Nie. Asisten atau bisa disebut tangan kanan Ferdian yang sudah mengurusnya. Nie yang melihat putrinya sangat perhatian kepada sang papa, membuat dirinya menangis terharu beneran.

Intan benar-benar tidak tahu dengan masalah ini, mama papanya tidak pernah cerita kalau mereka punya hutang. Nie yang masih setia dengan tangisan palsunya menatap putrinya yang masih dengan ekspresi kebingungan.

"Ma, duduk. Apa Mama tidak cape berdiri terus?" tanya Intan. Nie duduk di samping Intan, masih dengan air mata palsunya. "Sebenarnya apa yang terjadi, Ma?" Intan mulai penasaran.

"Kamu ingat? Perusahaan papa kamu dulu pernah bangkrut, papa mencari dana untuk membangkitkannya. Tapi sekarang kondisi papamu sedang begini," lirih Nie pelan.

Intan pikir semua hutang papanya sudah lunas, ternyata ada yang ditutupi darinya. Intan berinisiatf untuk bekerja keras, agar Papanya bisa sehat kembali. Tiba-tiba ponsel Intan bergetar, ternyata panggilan dari bos nya.

"Ha-halo, pak," sapa Intan saat sudah mengangkat panggilan telepon itu.

"Intan, kenapa hari ini tidak masuk? Tanpa keterangan pula," tanya pemilik toko kue tempat Intan bekerja.

"Maaf, Pak. Papa saya masuk rumah sakit. Sekali lagi maaf yah, Pak," Intan berkali-kali mengucapkan kata maaf.

"Yasudah, semoga papamu cepat sembuh, agar besok kamu bisa bekerja lagi." Setelah mengucapkan kalimat itu, panggilan pun langsung ditutup.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!