Avrora: Water Voice
Chapter 1
\=\=\=\=\=\=\=\=
[100 tahun kemudian]
Tempat itu sangat sunyi. Cermin berderetan menghiasi dinding dengan rapi. Terdapat tanaman kecil plastik di sebelah kiri wastafel hitam dan lampu kecil yang lebih sudi menerangi cermin daripada toilet.
Salah satu cermin itu menampakkan sosok gadis yang memasang wajah kesal. Gadis itu bukanlah makhluk halus. Dia nyata. Wajah gadis itu terlihat kesal sambil berusaha mengikat dasi di kerah bajunya. Dasi itu tergantung seperti menyeringai ke arah gadis itu. Gadis itu mengikat dasinya lagi dan lagi. Dia mendengus kesal dan menyerah. Gadis itu berdecih, tidak tahu alasan kenapa dia sangat payah dalam hal ini.
Dilihatnya jam tangan yang menunjukan pukul 07.26. Empat menit lagi upacara akan segera dimulai. Gadis itu pasrah. Akhirnya dia tarik dasi itu dengan kasar dan ditaruh di saku roknya. Sedikit merapikan jepit rambut biru yang sedikit longgar, jas putihnya yang sedikit kusut, dan akhirnya siap mengakhiri penderitaan yang tidak menghasilkan apa-apa.
Di luar toilet, ada anak laki-laki yang menunggu si gadis keluar dari toilet perempuan dan terheran-heran apa yang membuatnya harus menunggu sangat lama. Sempat terlintas dari benaknya untuk pergi duluan menuju lapangan upacara. Dia menghela nafas dan memandang langit di balik jendela yang mulai panas. Kini sifat malasnya mulai menggodanya untuk bolos upacara.
Pintu toilet itu akhirnya terbuka dan seseorang yang ditunggu laki-laki itu akhirnya datang. Gadis itu memakai jas dan rok putih dengan kemeja hitam.
“Kamu tidak jadi memakai dasinya, Inna?” tanya laki-laki itu kepada sahabatnya bernama Inna.
“Aku malas memakainya, Rey,” jawab Inna sambil menepuk kantong roknya tanda bahwa dasinya ada di sana.
Rey merengut tidak suka dengan apa yang didengarnya dan dia hanya bisa menghela nafas. "Aku bisa membantumu Inna," Inna pergi menuju lapangan upacara menghiraukan Rey. Rey mengikuti Inna dari belakang, “Mau aku bantu pakaikan dasinya?” tanya Rey.
“Tidak perlu,” balas Inna jengkel. Sekali lagi Inna melihat jamnya dan kini menunjukkan satu menit lagi upacara akan segera dimulai. Inna menunjukkan jamnya kepada Rey dan mereka segera berlari menuju lapangan upacara. Berlari melalui lorong sekolah yang dimana dindingnya dipenuhi dengan lapisan batu alam hitam dan lantainya
keabu-abuan yang sedikit licin. Belok ke kiri dan mereka berdua telah sampai di lapangan yang sudah dipenuhi oleh murid-murid berseragam seperti mereka.
Lapangan itu terlihat sangat panas karena sinar matahari benar-benar bersinar sangat terang di sana. Cahaya matahari itu seolah-olah tersenyum dan seperti mengatakan hari indah telah menunggu di sana. Terlalu silau sehingga Inna benar-benar berharap ada awan yang mau menutupi matahari itu.
Rey pun menarik tangan Inna, memaksanya untuk berbaris sebelum senior yang dari tadi melihat mereka mulai mempertanyakan alasan keterlambatan mereka berdua. Inna sendiri pasrah saja ditarik Rey karena energinya sudah hilang diambil oleh matahari itu.
Bangunan akademi yang modern itu didominasi oleh warna-warna gelap seperti hitam dan abu-abu. Terlihat keren, tetapi juga sangat misterius. Di lapangan ini terdapat senior kelas tiga yang menjadi pengawas. Beberapa robot dan 'Helper' juga ikut mengawasi upacara.
Helper adalah sebutan pegawai khusus yang dibuat oleh kerajaan untuk mengawasi lembaga pendidikan. Pengawasan agar tidak timbulnya generasi muda yang berbeda haluan dari idealisme kerajaan.
Di hadapan murid-murid baru yang sedang berbaris terdapat panggung kaca. Seorang wanita separuh baya memasuki panggung itu. Wajahnya sangat lembut, tetapi penuh rahasia. Inna mendeskripsikannya seperti wajah boneka. Penuh kepalsuan.
Upacara dimulai dan wanita itu yang dikenal sebagai kepala sekolah akademi mulai berbicara. Di saat upacara masih berlangsung, salah satu anggota Komite Sekolah menegur Inna. Tatapannya tajam seakan menemukan kesalahan. Inna pastinya merasa tidak nyaman.
“Dimana dasimu?” tanya senior berambut perak itu.
Inna memang risih, tetapi juga jengkel ketika ditanyakan mengenai hal itu. Dia keluarkan dasinya dan ditunjukan ke arah senior itu. Senior itu balas menatap Inna. Matanya seolah memerintahkan Inna untuk mengenakan dasi itu. Inna melirik ke kanan dan kirinya, mencoba untuk melihat apakah murid-murid itu sedang melihat ke arahnya. Aman. Sayangnya, Inna masih ragu atau lebih tepatnya malu memakaikan dasi itu.
Secara perlahan Inna kenakan dasi itu sambil melirik ke arah senior itu. Sampai kapan laki-laki berambut perak itu mau mengawasinya? Inna sudah mau menyerah dan segera mengaku tidak bisa memasangkan dasinya seandainya seseorang tidak memanggil senior itu.
“Yhogi,” seorang gadis memanggil senior itu, “Bisa kemari sebentar?” dan mereka berdua saling berbisik, tidak tahu sedang membahas apa. Laki-laki itu akhirnya pergi meninggalkan Inna dan ‘penyelamatnya’. Gadis itu mengambil dasi Inna dan membantu memakaikannya. Seolah tahu apa yang membuat Inna enggan memakainya.
Inna memberanikan diri melihat gadis yang membantunya. Sepasang mata berwarna hijau dan rambut merah ttembaga terlihat di depan Inna. Figur cantik yang sepertinya sangat populer.
Gadis itu menepuk pundak Inna, “Namaku Primrose,” bisiknya.
Huh? “Aku—”
“Kita mungkin akan bertemu lagi nanti.” Potong gadis bernama Primrose itu.
Belum sempat Inna mengucapkan terima kasih, barisannya berjalan maju memasuki sekolah. Ketika Inna berjalan
maju melewati Primrose, lehernya terasa aneh. Bukan merinding, lebih tepatnya perih.
....o.O.W.O.o....
Akademi Tessera terkenal sebagai salah satu sekolah terkenal di dunia yang memiliki tujuan utama untuk melatih 'Alam'. 'Alam' adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang dapat mengendalikan suatu energi. Kekuatan 'Alam' itu difokuskan oleh akademi untuk digunakan melawan binatang Fotia. Akademi ini disimbolkan dengan empat patung putri Raja Shabit. Raja Shabit terkenal sebagai raja terkuat sepanjang masa di Kerajaan Timur. Dia memiliki lima anak perempuan yang sama kuatnya dengan sang raja.
Kerajaan Timur terkenal dengan sejarah perangnya yang disebut Lautan Api. Perang yang dimulai oleh salah satu anak perempuan Raja Shabit, Putri Fotia. Pemicu perang ini terjadi akibat putri Fotia tidak terima putri Azula, adik putri Fotia, menjadi istri dari Negara Seberang. Akibatnya, putri Fotia berkerja sama dengan iblis Fos untuk membangkitkan binatang hitam dari bawah tanah. Binatang itu diberi nama Fotia. Putri Fotia kini memiliki julukan sebagai Ratu Binatang Buas. Perang Lautan Api selesai setelah Putri Fotia dikalahkan oleh keluarganya sendiri walaupun nyawa adalah bayarannya.
Perang memang telah berakhir tetapi binatang Fotia masih saja bermunculan di kerajaan. Jumlah binatang itu tidak bertambah tidak pula berkurang walaupun tentara terus menyerangnya. Menurut beberapa pakar, binatang itu adalah bukti bahwa Putri Fotia masih hidup. Karena hal inilah, Akademi Tessera dibangun. Empat tuan putri itu sebagai simbol dari keberanian dan kecintaan kepada tanah air mereka demi mengalahkan Fotia.
Keempat patung tuan putri itu mengelilingi air mancur yang terletak di taman pusat akademi. Semua wajah patung itu tidaklah mungkin semirip yang aslinya.
Inna memandang patung Putri Thea. Satu-satunya tuan putri yang selamat setelah perang Lautan Api berakhir. Selanjutnya, di sana ada Putri Azula, Putri Asteri, dan Putri Chroma.
Di samping Inna ada Rey yang ikut memandang patung Putri Chroma. “Putri Chroma. Idolamu,” kata Rey.
Inna memasang muka jengkel. Entah kenapa dia sangat sensitif akhir-akhir ini. Siapa saja yang mengajaknya berbicara, suasana hati Inna akan kusut. Inna menghiraukan Rey dan berjalan mengikuti barisannya yang sudah jauh. Rey yang juga manusia pastinya tidak suka menjadi sasaran kemarahan Inna. Hanya karena dia sahabat kecilnya bukan berarti Inna bias seenaknya seperti itu. “Katakan sesuatu Inna,” suara Rey sedikit meninggi.
Inna memandang Rey masih dengan raut muka tidak senang. Akhirnya, Inna memilih memakai earphone-nya agar tidak mendengar suara berisik Rey dan kembali berjalan. Dari kejauhan Inna tahu Rey masih diam di sana. Kebiasannya kalau sedang kesal. Kadang Inna lupa betapa keras kepalanya Rey.
Inna menoleh ke arah Rey dan berkata, “Aku minta maaf,”
Rey menghela nafas dan berjalan menuju ke arah Inna. Inna lupa betapa tingginya Rey sekarang. Padahal sewaktu SMP tinggi mereka sama.
“Ayo, susul mereka,” ucap Rey.
Mereka berdua akhirnya tidak mengatakan apa-apa selama perjalanan. Rey memilih diam karena memang bukan waktunya bercanda bersama Inna. Sedangkan Inna merasa sedikit canggung karena sikap kekanak-kanakannya tadi.
Sejujurnya Inna tidak suka bersekolah di Akademi Tessera. Akademi ini terkenal dengan sebutan 'Sekolah Budak'. Mengingat kerajaan terlalu mengutamakan pemusnahan binatang Fotia. Inna tahu betapa mengerikannya binatang Fotia, tetapi bukankah Inna memiliki hak untuk memilih?
Inna paham sekali apa yang dilakukan kerajaan demi kepentingan bersama. Hanya saja Akademi Tessera tidak seperti sebelumnya. Dahulu, banyak sekali orang berlomba-lomba memasuki Akademi Tessera. Sekarang, hanya yang terbaik dari yang terbaik bisa diterima menjadi siswa-siswi Akademi Tessera dan tentu saja yang memiliki isi dompet yang tebal.
Kedua sahabat itu kini memasuki akademi. Lebih tepatnya aula akademi. Mereka berbaris di barisan yang berbeda. Inna di barisan perempuan dan Rey di barisan laki-laki. Mereka berbaris sambil menunggu giliran untuk melakukan wawancara. Wawancara yang akan menentukan ‘kekuatan’nya. Inna menyeringai tidak suka.
Aula akademi itu terasa sangat aneh. Baunya seperti berada di rumah sakit. Dindingnya berwarna putih bahkan semua dekorasi di sana juga berwarna putih. Tidak ada sinar matahari memasuki ruangan itu. Hangatnya alam berubah menjadi dingin oleh pendingin ruangan.
Kini giliran Inna untuk diwawancarai. Rey yang berbaris berseberang sana juga masuk secara bersamaan dengannya. Ruangan yang dimasuki Inna sangat gelap dan hanya terdapat satu meja dan dua kursi berwarna putih yang saling berhadapan. Seorang wanita telah menduduki salah satu kursi itu. Wanita itu memanggil nama Inna dan mempersilahkannya untuk duduk.
Inna duduk berhadapan dengan wanita yang sedang membaca lembaran kertas di tangannya. Wanita itu berhenti membaca dan kini melihat ke arah Inna. Tidak ada senyuman di wajahnya. “Bukankah tidak baik menolak keinginan ayahmu?” tanya wanita itu yang memiliki suara yang lembut, tetapi menusuk.
“Aku tidak paham,” jawab Inna.
Wanita itu kembali bertanya. “Yang mana yang tidak kamu pahami?”
“Kamu tahu ayahku?” tanya Inna yang sebenarnya sedikit tersinggung, tetapi lebih bingung. Inna kembali berkata, “Sebelum itu, Anda belum memperkenalkan diri,”
Wanita itu memasang raut muka yang datar seolah-olah Inna sedang berbicara dengan hologram.
“Nama saya Henna Winter,” wanita bernama Henna Winter akhirnya tersenyum palsu sebagai bentuk
keramahtamahan. “Dan saya tahu namamu… dan ayahmu,” lanjutnya.
“Mari kita mulai dari awal,” kata Henna Winter tanpa tersenyum. Dia bertanya, “Ayahmu sempat memberitahu bahwa kamu tidak ingin masuk ke akademi. Kenapa?”
“Kita semua tahu kenapa. Beruntung sekali saya mendapatkan undangan masuk ke akademi tanpa tes,” jawab Inna dengan nada sarkastik. Kebiasaan Inna jika masih marah dia bisa menyemburkan kalimat pedas kepada siapa saja.
Henna Winter tertawa kecil, “Akademi hanya menerima yang terbaik dari yang terbaik,” ucapnya. Inna mengerutkan keningnya tidak suka.
Sebenarnya Inna tidak ingin ayahnya malu karena sikap dirinya, jadi Inna berusaha sebisa mungkin agar bersikap 'baik'. Tetapi, jika sudah begini Inna jadi kepikiran ide baru. Untuk apa Inna berpura-pura? Siapa tahu dia akan ditolak masuk ke akademi ini,j kan?
Sebelum itu, ada beberapa hal yang ingin Inna tanyakan kepada Henna Winter. Toh, dia juga tidak akan diterima di sini. “Kenapa akademi mengacuhkan anak-anak yang lemah? Bukankah itu tugas akademi untuk melatih mereka menjadi kuat?” tanya Inna dengan nada yang sedikit meninggi, tetapi tertahankan. Jantungnya berdetak cepat. Inna selalu berekspresi dengan wajahnya, bukan karena mulutnya karena dia bisa melepaskan kalimat-kalimat yang dapat menyinggung lawan. Jadi, dia belum pernah seberani ini kepada orang tua sebelumnya.
“Kami menguji mental mereka.” Jawab wanita itu yang terlihat tidak ingin membahas hal tersebut.
“Mereka mencoba menjadi yang terbaik. Seharusnya akademi menjadi tempat motivasi—” raut muka Henna Winter terlihat tidak suka dengan ucapan Inna, tetapi Inna tetap lanjut. “—untuk menjadi yang terbaik seperti yang Anda katakan,” kata Inna.
Henna Winter menggelengkan kepalanya, “Akademi dibentuk untuk mengalahkan binatang Fotia,” Wanita itu kembali tersenyum palsu seakan mengejek. “Selain itu, faktanya mereka tidak cukup berusaha. Jika mereka tidak kuat dan tidak berguna untuk kerajaan, mereka tidak dibutuhkan,” lanjutnya.
Inna memasang wajah datar walaupun hati dan pikirannya sudah tidak karuan. Bagaimana bisa ada orang yang memiliki jalan pikir seperti ini? Henna Winter yang berkulit putih seperti salju itu memiliki aura yang berbeda dari orang lain. Menurut Inna, Henna Winter ada sedikit kesamaan dengan kepala sekolah. Mereka berdua sama-sama penuh kebohongan.
“Tidakkah Anda punya cita-cita?” tanya Henna Winter lagi dengan senyuman palsunya. Mengalihkan topik.
“Tidak ada.” Jawab Inna cepat. Inna sudah tidak ada niat untuk meladeni wanita separuh baya di depannya. Dan pastinya lawan bicaranya juga sudah tidak mau mewawancarai Inna.
Terdengar suara alarm seolah tanda waktu telah habis. Secarik kertas muncul melalui sisi meja. Henna Winter tidak perlu nelihat hasil tes itu karena dia tahu jenis 'Alam' yang cocok untuk Inna. Wanita itu memberikan secarik kertas itu kepada Inna. Inna mengambil dan membacanya.
“Anda berbakat di 'Alam' air. Silahkan keluar untuk mengambil buku dan nomor kamar Anda.” Kata Henna Winter dengan nada sopan. Inna segera keluar sambil menahan kemarahannya.
....o.O.W.O.o....
Tidak jauh dari pintu ‘keluar’ ruang wawancara itu, Rey menghampiri Inna. Inna bisa melihat Rey memegang secarik kertas yang sama dengannya.
Rey melihat raut muka Inna yang tidak enak dilihat. Inna yang berpapasan dengan tatapan Rey menyentuh keningnya seolah-olah pusing. Rey mencoba menyenangkan suasana hati Inna. “Aku berbakat di 'Alam' petir,” kata Rey.
Inna tidak membalas perkataan Rey. Sepertinya Inna benar-benar sudah diterima di akademi ini. Inna sudah menyerah. Lebih baik ikuti saja alurnya.
“Kamu kenapa lagi?” tanya Rey.
“Ingatkan aku untuk membalas wanita bernama Winter itu,” Inna menjawab pertanyaan Rey dengan perkataan yang sangat tidak sopan. Inna berjalan ke loket 'Alam' air dan mengambil perlengkapan sekolah dan kunci kamarnya.
Rey sedikit mengecilkan suaranya agar tidak ada yang mendengar mereka. “Henna Winter?” tanya Rey. Inna menjawab pertanyaan Rey dengan tatapan bingung. Kenapa suaranya dikecilkan seperti itu?
Rey hanya menghela nafas dan berjalan ke loket 'Alam' petir yang diikuti oleh Inna. Rey berkata. “Henna Winter adalah salah satu lulusan terbaik di Akademi Tessera. Sekarang dia berkerja sebagai dewan 'Alam' untuk kerajaan dan juga guru di akademi.”
Inna berdecih tidak percaya. Tidak mungkin seorang dewan memiliki sifat dan jalan pikir seperti itu. Inna tahu betul mengenai politik negaranya. Pemerintah dan kerajaan yang sama-sama memiliki tugas untuk menyejahterakan negara dan rakyatnya dibedakan dengan kerajaan mengawasi pemerintah dan pemerintah mengawasi rakyat. Sedangkan dewan sebagai penghubung antara keduanya.
“Kamu benar-benar tidak tahu Henna Winter ya,” ejek Rey. Inna tidak membalas ejekan Rey. Rey berjalan menuju lift yang mengarah ke asrama 'Alam' petir.
“Aku kan tidak tertarik dengan politik.” Kata Inna setelah Rey pergi.
....o.O.W.O.o....
Dibalik kaca yang sangat besar, terdapat banyak pemimpin dari pihak kerajaan dan pemerintah. Mereka mengawasi murid baru Akademi Tessera. Menyeleksi setiap murid dan memberi pendapat. Setiap murid akan diwawancari oleh orang yang berbeda.
Henna Winter yang namanya sangat terkenal duduk bersebelahan dengan kepala sekolah akademi yang juga merupakan kenalannya sewaktu di akademi. Kepala sekolah yang bernama Glenda Moonlight.
“Kamu tidak menyangka akan bertemu dengan Swan kecil secepat ini?” tanya Glenda Moonlight.
“Anak itu tidak ada mirip-miripnya kecuali wajahnya,” balas Henna Winter yang sudah memberikan kesan pertama yang tidak baik kepada Innadellona Swan.
Henna Winter pun mengamati wawancara dibalik kaca itu.
Ruangan wawancara itu sebenarnya adalah sebuah alat khusus yang berfungsi untuk mengetahui jenis 'Alam' yang dimiliki secara akurat. Umumnya, 'Alam' akan muncul ketika berumur 12 hingga maksimal 17 tahun. Sesuai kebijakan pemerintah dan kerajaan, penentuan 'Alam' yang belum mengetahui jenis 'Alam' akan dilakukan ketika telah menaiki bangku Sekolah Menengah Atas atau Akademi.
“Glenda,” panggil Henna Winter.
“Ya?”
“Hasil tes menyatakan dia berasal dari 'Alam' air,” kata Henna Winter. Glenda Moonlight tidak mengatakan apa-apa. Untuk sekarang ini Henna Winter memerlukan orang yang mau mendengarkannya. Henna Winter menatap foto Inna yang mengingatkannya dengan masa lalu yang tragis. “Dia seperti air terjun. Aku berharap air ini belum mencapai ujungnya,” lanjutnya.
....o.O.W.O.o....
Dinding kamar itu berwarna putih dan biru muda. Warna khas asrama 'Alam' air. Inna masih di depan pintu, memandang kamarnya yang cukup sederhana. Di kiri dekat pintu terdapat rak sepatu. Inna maju lima langkah dan menghadap ke arah ruangan di kanannya yang berisikan kamar tidur sedangkan di kirinya adalah kamar mandi.
Di luar dari ruangan-ruangan itu terdapat Tv dan sofa biru. Disediakan pula dapur kecil serta kulkas. Di dalam kulkas itu telah tersedia berbagai macam makanan yang cukup lengkap.
Jika diingat-ingat Akademi Tessera melarang murid baru membawa koper dan hanya diperbolehkan membawa satu tas saja. Bahkan tas yang dibawanya sudah diambil oleh Komite Sekolah ketika memasuki akademi. Kini tas yang kepenuhan isi itu berada di atas sofa. Inna ambil tas itu dan setelahnya memilih istirahat di kamar tidurnya.
Kamar tidur yang tidak terlalu besar dan kecil itu sangat nyaman ditempati. Inna membuka lemari bajunya yang sudah diisi dengan baju seragam yang berbeda. Kalau Inna mengingat kembali, dia sudah diberikan baju sekolah yang ia kenakan sekarang setelah mendapatkan undangan masuk ke akademi.
Di samping lemari baju terdapat meja belajar dan laptop. Inna terkekeh kecil, kenapa akademi yang super maju dan modern justru memberikan murid-muridnya barang lama seperti ini. Setidaknya akademi tidak pelit memberikan papan Touch Board, TB. Tanda merah kelap-kelip yang menandakan pesan masuk. Inna aktifkan TB dan melihat pesan yang berisikan jadwal pelajaran, acara, dan hal-hal yang berhubungan dengan sekolah.
Inna membuka jendela kamarnya dan membiarkan angin musim semi bertiupan yang membuat rambut panjangnya mengikuti hembusan angin. Inna memejamkan matanya ketika merasakan ciuman dari angin tersebut. Matanya yang biru perlahan-lahan terbuka, ditatapnya pemandangan indah yang penuh dengan warna.
Setidaknya ada hal yang tidak Inna benci dari akademi ini.
Inna matikan TB dan segera meletakkan buku yang didapatkannya dari loket ke meja belajar. Ketika sedang merapikan buku serta isi di dalam tasnya, matanya melihat buku yang bertuliskan ‘Akademi Tessera’.
Inna membuka salah satu halaman buku itu yang menunjukan biodata seseorang. Inna merasa ada yang aneh. Dengan cepat Inna membuka halaman daftar nama siswa akademi dan dicarinya nama Primrose. Di sana hanya ada satu nama Primrose Moonlight. Nama yang sama dengan nama kepala sekolah. Tiba-tiba Inna mendengar ketukan pintu dan segera ke sana untuk melihat siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Inna tidak menemukan siapa-siapa kecuali buku yang berada di lantai. Buku itu memiliki judul yang sama, tetapi bersampul biru. Berbeda dengan yang sebelumnya yang berwarna merah.
Inna buka buku itu yang kini berisikan data mengenai murid baru di akademi. Inna tahu bahwa buku itu pastinya memiliki informasi mengenai dirinya juga.
“Darimana mereka mendapatkan semua data-data ini?” tanya Inna kepada dirinya sendiri. Akademi ini lancang sekali menulis informasi tanpa sepengetahuannya. Bertambah lagi alasan Inna membenci akademi ini.
Avrora: Water Voice
Chapter 2
\=\=\=\=\=\=\=\=
Kaki-kaki itu berlari ketika mendengar suara bel berdering di setiap sisi akademi. Bel itu tidak berbicara, tetapi semua murid sangat yakin bahwa bel itu meminta mereka semua untuk masuk ke kelas mereka masing-masing. Ada sebagian dari mereka masih bingung mencari kelasnya, ada pula yang sengaja menabrak salah satu dari mereka. Di lorong itu hanya dipenuhi oleh murid kelas satu yang bahkan status murid mereka belum sepenuhnya sah.
Sebelum sepenuhnya menjadi murid Akademi Tessera, murid kelas satu akan di tes kembali selama satu bulan. Hanya berupa tes biasa untuk mengukur keahlian dan keterampilan murid. Selama satu bulan itu, kelas yang ditempati juga belum tetap dan akan terus berganti. Bahkan murid-muridnya juga diacak. Jadwal kelas acak ini tidak diketahui murid kelas satu selain Komite Sekolah. Murid pun akan segera mengetahui jadwal kelas melalui Hp atau TB mereka.
Walau begitu, setiap murid di akademi akan mendapatkan dua jenis kelas. Pertama, kelas pagi yang berisikan mata pelajaran sekolah dasar, teknik kemiliteran, dan tempat bersosialisai dari berbagai 'Alam'. Kedua, kelas malam yang dikhususkan untuk melatih 'Alam' dan biasanya latihan ini hanya ada di asrama masing-masing 'Alam'.
Inna sekarang berada di kelas pertamanya yang penuh dengan peta dunia. Uniknya kelas ini memiliki wangi lemon madu. Seolah-olah menjadi ciri khas tempat ini.
Sayangnya di hari pertama sekolahnya, Inna justru sangat lelah. Wajahnya terlihat mengantuk, tetapi dipaksanya mata biru itu untuk tetap terbuka. Gurunya tidaklah bodoh untuk tidak menyadari itu. Sebenarnya, mata pelajaran sejarah di hari pertama murid kelas satu adalah suatu kebosanan. Jujur saja, guru itu pun juga merasakan hal yang sama, tetapi kamera pengawas terlihat masih setia mengawasinya. Mata Inna sudah siap tertutup dan otaknya mulai menyusun mimpi indah jika saja suara buku yang terjatuh dari belakangnya tidak merusak semuanya. Bukan Inna saja yang menoleh ke belakangnya, tetapi beberapa murid lainnya juga.
Laki-laki yang Inna ketahui bernama Noah Dracred tertidur dengan pulasnya. Wajahnya tertutup oleh buku pelajaran lain yang tidak ada kaitannya dengan sejarah. Justru buku sejarah yang terjatuh di dekat kaki Noah sepertinya bukan alarm yang dapat membangunkan Noah.
Guru sejarah itu menghampiri Noah dengan wajah kesalnya. Awalnya Noah dibangunkan secara lembut, tetapi tidak berhasil membangunkannya. Guru itu melihat ke arah Inna seperti meminta tolong membangunkan Noah. Tatapan guru itu terlihat marah. Inna tidak mau memandang guru itu, tetapi Inna tahu apa yang diinginkannya. Mungkin lebih baik teman sebaya Noah saja yang membangunkannya daripada guru yang sedang menahan emosi itu.
Beberapa murid melihat Inna sambil berbisik dengan teman sebangku mereka. Inna tidak suka cara mereka menatapnya. Inna hiraukan mereka dan diayunkan tangannya hingga membentuk bola air.
Beruntung sekali Inna membaca buku Dasar Teknik 'Alam' yang disiapkan oleh pihak akademi. Buku kecil berwarna hitam itu adalah buku yang digunakan untuk melatih murid mengendalikan 'Alam' mereka. Walau kelas malam belum dimulai, Inna rasa membaca buku itu terasa jauh lebih menyenangkan daripada menonton drama yang berubah alur itu. Inna masih ingat sekali dasar membentuk energi 'Alam' adalah konsentrasi, imajinasi, dan keinginan.
Sebelum Inna melemparkan bola air itu, Inna sempat melirik ke gurunya sebentar karena ia curiga. Entah kenapa tatapan laki-laki itu sama sekali tidak terkejut ketika melihat 'Alam' Inna, sedangkan beberapa murid melihat ke arah Inna dengan terkejutnya. Pasalnya bola air yang Inna buat bisa terbilang sempurna untuk seseorang yang baru mengetahui jenis 'Alam'nya.
Tidak mau menjadi pusat perhatian, Inna segera melemparkan bola air itu ke arah Noah dengan sedikit amarah. Noah terbangun dan segera berdiri dengan rambut dan baju yang basah. Noah melihat Inna dengan kesal karena beraninya melemparkan air kepada seseorang yang baru ditemuinya. Guru sejarah itu menyentuh bahu Noah untuk menyadarkannya. Walau Noah memang bersalah karena tidur di jam kelas, tetapi tatapan matanya terlihat tidak merasa bersalah sama sekali. Akhirnya, mulut pedas guru itu keluar. Inna dan beberapa murid lainnya hanya bisa diam dan melihat mereka sebagai hiburan. Noah diberi hukuman untuk menjawab pertanyaan yang diberikan, tetapi kali ini Inna terdiam bukan karena melihat mereka. Melainkan rambut dan baju Noah yang sudah sepenuhnya kering tanpa jejak lembab dari airnya.
....o.O.W.O.o....
Kantin luas itu dipenuhi murid kelas satu yang bercanda tawa di meja masing-masing. Makanan sehat dan enak terasa meleleh di mulut. Beberapa robot penjaga kebersihan dan Helper terlihat tidak terlalu banyak, membuat murid di sini merasa lega dan tidak merasa seperti berada di penjara. Walau terkadang beberapa anak laki-laki yang siap membuat keributan berakhir dengan diam di tempat ketika melihat tatapan Helper yang dingin.
Di meja dimana Rey dan Inna duduk telah tersedia makanan hangat dan sederhana. Nasi putih, daging kemerahan yang dilapisi saus mentega, beberapa sup yang berisikan sayuran hijau dan wortel, serta buah apel sebagai makanan penutup terlihat tinggal sedikit. Mereka makan dengan pelan karena Inna harus menelan makanannya sebelum bercerita kembali dengan Rey.
Suara Inna bagaikan angin buat Rey. Ketika Inna bertanya, Rey hanya mengangguk tanpa mengetahui apa yang Inna bicarakan. Inna mulai bercerita tentang hal-hal yang membuatnya merasa kesal, dan malangnya Inna menyadari bahwa Rey tidak mendengarkannya. Sekali gerakan, Inna tarik makanan Rey. Helper yang melihat Rey dan Inna bertengkar dengan suara pelan hanya dapat terkekeh kecil dan membiarkan mereka bertengkar kecil.
“Hey!” Rey berteriak kesal ketika makanannya direbut oleh Inna.
Inna mengecilkan suaranya, tetapi terdengar menekankan kalimatnya. “Salahmu sendiri tidak mendengar ceritaku, Rey,” kata Inna yang akhirnya membiarkan Rey menarik kembali piringnya.
Rey melihat jadwal pelajaran di Hp-nya yang dimana pada jam pelajaran berikutnya tidak sekelas dengan Inna. Entah Rey harus senang akan hal itu atau tidak. Rey memasukan Hp-nya di saku dan secara bersamaan ia melihat Glenda Moonlight menatap ke arah meja makannya. Rey menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mengetahui siapa yang dilihat kepala sekolah itu karena rasanya tidak mungkin jika Glenda Moonlight sedang mengawasi mereka.
“Apa kamu mendengarkan Rey?” tanya Inna dengan nada hampir marah ketika melihat Rey menoleh ke kiri dan ke kanan. Rey yang mendengar pertanyaan Inna hanya dapat mengangguk saja dan kembali melihat kepala sekolah, tetapi sudah pergi entah kemana. “Kamu kenapa?” tanya Inna melihat tingkah aneh Rey.
“Tidak ada apa-apa kok,” jawab Rey.
Mereka berdua selesai makan dan hendak kembali ke kelas masing-masing sebelum bel masuk berbunyi. Rey yang berdiri dengan memegang piring kosong dijatuhkan oleh seseorang yang tidak sengaja menabraknya.
Laki-laki berparas tampan dengan rambut dan mata seterang matahari itu bernama Venus Lockhart. Ketiga remaja itu terlihat terkejut dan terdiam di sana. Mereka semua sedang memikirkan sesuatu, tetapi mereka kembali ke alam sadar ketika mendengar suara gadis memanggil nama Venus.
Gadis yang memanggil Venus adalah Primrose. Sepertinya Primrose habis mengejar Venus, terlihat dari mimik wajah Venus yang menyebalkan ketika melihat Primrose yang kelelahan.
Inna melihat beberapa gerombolan cowok yang terlihat tidak bersahabat sedang melihat ke arah mereka. Venus yang juga sadar dengan kumpulan orang-orang itu pun pergi bersama mereka. Primrose sepertinya menyerah mengejar Venus dan memilih membantu Rey untuk merapikan beberapa makanan yang jatuh, walau sebenarnya ada robot pembantu di sana. Primrose melihat bekas luka di tangan Rey. Rey yang menyadari arah tatapan mata Primrose segera Rey tutupi lukanya.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Inna yang tidak menyadari apa yang Rey sembunyikan.
“Ya,” jawab Rey.
Inna kenal Venus Lockhart. Sangat kenal. Venus itu dari dulu hingga sekarang selalu dianggap hampir semua orang sebagai anak populer. Terakhir kali Inna dan Rey mendengar kabar dari Venus adalah saat dia dikenal sebagai geng motor, walau pun sebenarnya ia sudah tidak ada hubungan lagi dengan geng itu.
Primrose yang melihat keanehan dari kedua sahabat itu tidak mengatakan apa-apa. Inna yang sadar ada Primrose jadi merasa tidak nyaman. Gadis itu menolongnya di upacara dulu dan Inna belum sempat mengucapkan terima kasih. Primrose tersenyum dan pamit kepada mereka berdua ketika suara bel terdengar lagi. Sebelum itu Primrose sempat berpesan kepada Rey dengan nada hampir berbisik.
“Kenapa tidak ke UKS saja? Mungkin lukanya bisa disembuhkan.”
....o.O.W.O.o....
Entah sebuah kemalangan atau bukan. Inna bukannya tidak suka dengan posisi meja yang mengharuskan adanya dua orang, hanya saja dengan menjadikan teman sebangku sebagai pasangan kerja kelompok adalah bencana. Walau pun Inna tahu murid kelas satu masih berada di kelas acak, tetapi ia tetap tidak suka jika Noah adalah teman partnernya. Ketika itu, Noah terlambat datang ke kelas. Sayangnya, kursi kosong di sebelah Inna seakan sudah menandakan bahwa itulah hukuman Noah atas keterlambatannya.
Beruntunglah mata pelajaran ini tidak sebosan seperti yang sebelumnya, membuat hampir seisi kelas fokus. Membuat Inna melupakan bahwa partnernya sedang mengambil earphone hitam kecil di sakunya secara diam-diam. Suara tawa yang terdengar hingga luar kelas tidak menghentikan Noah untuk melakukan pelanggaran.
Guru biologi itu berhasil melihat apa yang dilakukan Noah, tetapi diabaikannya dan melanjutkan acara mengajarnya asalkan Noah tidak berisik. Apapun yang sedang Noah dengarkan, suaranya masih dapat terdengar.
Suara yang menganggu konsentrasi murid untuk belajar itu berhasil mengundang guru untuk menegur Noah. "Ehem! Dracred,"
Inna melihat Noah dengan geram. Inna tidak ingin menegur Noah, tetapi semua mata tertuju ke arah mereka dan Inna harus menghentikan aksinya. Inna menyentuh bahu Noah meminta untuk segera menyadari sikapnya. Noah hanya melirik ke arah Inna dan kembali melanjutkan aktifitasnya. Dengan nada kesal yang ditahan, Inna memberanikan diri untuk mengatakan apa yang dipikirkannya. “Noah Dracred! Apa kamu sadar kita berada di kelas?” bisik Inna yang sebisa mungkin menahan marahnya.
Noah melihat Inna dengan tatapan benci sebagai jawabannya.
“Dracred, berikan Hp dan earphone-mu sekarang,” kata guru itu. Noah berikan semuanya kepada guru itu. “Lain kali perhatikan apa yang akan saya sampaikan,” lanjutnya sambil menatap Noah dengan tenang.
Inna dan Noah melirik bersamaan dengan tatapan saling membenci satu sama lain. Kelas kembali sepi walau beberapa dari mereka ada yang masih melihat mereka. Ruangan yang sangat terang oleh sinar matahari itu tiba-tiba menjadi gelap oleh mendungnya langit.
Luna
Terdengar bisikan dari arah jendela. Inna spontan menoleh ke arah jendela, tetapi dia hanya dapat melihat awan putih berubah menjadi abu-abu kotor dengan angin-angin kencang bertiupan. Di luar jendela itu sebenarnya mengarah ke arah taman belakang akademi, dimana kolam ikan terlihat dari sana.
Guru itu kembali melihat ke arah meja Inna dan mendapatkannya sedang tidak memperhatikan pelajaran. Inna tidak terkejut ketika namanya dipanggil oleh guru, tetapi yang terkejut justru Noah. Noah melihat ke arah Inna, tetapi yang di dapatkannya bukanlah sosok Inna, melainkan orang lain. Seorang wanita yang sepertinya pernah Noah lihat sebelumnya. Noah menggelengkan kepalanya dan kembali melihat ke arah Inna yang kini menjadi Inna yang sebenarnya.
“Jawab pertanyaan yang ada di papan tulis,” kata guru biologi itu. Inna maju ke depan kelas dan menjawab dengan mudah. Entah kenapa Inna merasakan sesuatu yang aneh. Sekilas Inna melihat sosok gurita besar.
Pena hologram untuk papan tulis itu terjatuh dari tangan Inna ketika kepalanya terasa sangat sakit. Inna melihat ke arah murid lain di kelas yang meleleh sedikit demi sedikit. Perlahan-lahan meleleh membiarkan kulit mereka bercampur dengan bau amis darah. Inna hanya melihat mereka dengan horor. Ketika kepalanya yang terasa sakit Inna pegang dengan kuat, secara bersamaan pula lehernya terasa perih. Inna terjatuh dan kembali mendengar satu kata yang barusan ia dengar.
Luna
Luna
Luna
Luna
...na
..nna
“Inna!” mata Inna terbuka dengan cepat. Dia melihat seorang gadis cantik dengan tatapan cemas di hadapannya. Inna menyadari posisinya saat ini sedang tertidur di lantai. Guru dan beberapa murid lainnya melihatnya dengan tatapan khawatir. Kemudian salah satu Helper mengangkat Inna yang sepertinya akan dibawa ke UKS. Semar-semar Inna melihat kalung yang dikenakan laki-laki Helper itu. Inna ingin melihat sosok wajah yang menolongnya dan ia menyadari bahwa laki-laki itu bukanlah Helper dan gadis yang memanggilnya barusan adalah Primrose. Primrose datang bersama beberapa murid kelas tiga lainnya. Apa yang sedang mereka lakukan di kelasnya?
....o.O.W.O.o....
Primrose meminta kedua murid kelas 3 yang bersamanya untuk segera membagi buku hologram khusus yang sebelumnya belum sempat dibagikan kepada murid kelas satu.
Guru itu melihat Primrose sambil memijit kepalanya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Primrose?” tanyanya. Primrose tidak menjawab.
Kedua murid kelas 3 yang selesai melakukan tugasnya segera pamit keluar, begitu juga dengan Primrose. Ketika Primrose keluar dari kelas, Noah melihat gadis cantik itu dengan tatapan dingin.
Kelas pun kembali dilanjutkan. Noah yang kini mulai bosan tiba-tiba menyadari sesuatu. Noah pun tahu siapa sosok yang dia lihat ketika melihat Inna.
“Luna Mermaid.”
....o.O.W.O.o....
Mata Inna terbuka sedikit demi sedikit. Langit ruangan itu adalah langit kamarnya. Inna sadar bahwa ia berada di kamarnya. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya dan tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit sekali. Semua ruangan berputar seperti air. Inna mencoba berdiri, tetapi jatuh lagi di kasurnya karena kepalanya pusing. Matanya tidak berkedip, tetapi Inna merasakan tatapan matanya seperti kosong. Inna pun mencoba duduk di lantai dan menundukan wajahnya di kasur.
Primrose datang bersama makanan di tangannya. Masuk ke dalam kamar Inna dan melihat Inna sedang duduk di lantai dengan wajahnya yang ditundukan di kasur membuat Primrose berpikir bahwa Inna pasti merasa pusing. Primrose meletakkan mangkuk berisi makanan itu di meja belajar Inna kemudian menghampiri Inna untuk membantunya tidur di kasur.
“Jangan!” kata Inna yang merasakan kehadiran Primrose. “Aku nyaman seperti ini, aku hanya sedikit pusing,” lanjut Inna.
Primrose mengangguk paham saja. “Seharusnya aku membiarkanmu beristirahat di UKS saja,” kata Primrose merasa sedikit menyesal.
“Tidak apa-apa,” kata Inna yang akhirnya bisa bertatapan langsung dengan Primrose sebelum mengatakan yang ingin dikatakannya. “Terima kasih,”
Primrose tersenyum ramah. “Namamu Innadellona Swan, kan?” tanya Primrose. Inna mengangguk.
“Kamu bisa panggil aku Inna saja,” kata Inna gugup. Sejujurnya Inna sangat gugup berbicara dengan Primrose. Dari kecil Inna tidak punya teman perempuan karena bisa dibilang Inna adalah anak penyendiri. Semasa kecilnya, Rey adalah satu-satunya teman yang dia punya.
“Kalau begitu kamu bisa panggil aku Prim,” kata Primrose.
“Maaf jika merepotkan. Aku tidak tahu kenapa bisa-bisanya pingsan di saat belajar,” kata Inna. Primrose tertawa kecil mendengarnya.
“Kamu hanya kelelahan kok,” kata Primrose terdengar berbeda. “Selain itu kamu tidak perlu meminta maaf, sudah sepatutnya teman saling menolong satu sama lain," lanjutnya.
Mendengar hal itu membuat Inna menjadi senang. Pertama kalinya Inna memiliki teman selain Rey, tetapi secara bersamaan pula Inna terbayang dengan salah satu sahabatnya yang pergi dari sisinya tanpa alasan.
Primrose pun segera pamit pergi setelah melihat Inna sudah sehat. Setelah Primrose pergi, Inna pun mendengar suara sunyi yang sangat tidak disukainya. Inna pun bersiap-siap untuk menemui Rey karena dia ingin membicarakan mengenai apa yang terjadi kepadanya. Inna hendak pergi, tetapi melihat makanan buatan Primrose membuat perutnya berbunyi. Mau tak mau Inna harus makan dahulu.
....o.O.W.O.o....
Ketika Inna mencari Rey di asrama 'Alam' petir, beberapa senior melarangnya untuk masuk karena masih kelas satu. Inna sudah mengatakan bahwa ia hanya ingin bertemu dengan Rey dan salah satu dari mereka mengatakan bahwa Rey berada di UKS.
Inna sekarang berada di luar ruang UKS sekolah. Inna hendak masuk, tetapi berhenti ketika mendengar suara bukan milik Rey berasal dari sana.
“Tanganmu Rey,” terdengar suara asing yang memanggil nama Rey. Inna reflek menjadi penasaran. “Ya, aku tahu–” suara Rey pun terdengar, tetapi kalimatnya tidak terlalu jelas. Bukannya masuk, Inna malah mencoba mengintip di balik pintu yang sebenarnya tidak tertutup rapat.
“Sama sepertiku. Kamu lihat lenganku ini?” kembali suara asing itu yang berbicara.
“Apa ini?” kali ini suara Rey terdengar lagi. Inna dapat melihat Rey yang menunjukan tangannya yang terdapat gambar Petir dengan Naga di sana. Tato?
Tiba-tiba Inna kembali merasakan sakit, tetapi kali ini di lehernya. Inna merasa sakit sekali hingga kesadarannya tidak dapat ditahan. Terakhir yang Inna ingat hanyalah kaki seseorang yang berdiri di depan pintu UKS.
....o.O.W.O.o....
Ketika Inna membuka matanya, dua remaja laki-laki melihat ke arahnya dengan tatapan cemas. Salah satu dari mereka ada yang Inna kenal sejak kecil. Namanya Rey Heavender, sahabat kecilnya. Di samping Rey terdapat laki-laki berambut pirang dengan mata biru yang secerah langit.
Rey segera membantu Inna untuk duduk di kasurnya. “Kamu tidak apa-apa? Tadi kamu pingsan di depan UKS,” kata Rey dengan nada khawatirnya.
“Ya, sudah kedua kalinya aku pingsan hari ini,” Inna menjawab sambil menyentuh kepalanya. Inna tidak melihat Rey yang dimana tatapannya sangat terkejut.
Inna pun memegang lehernya yang masih sakit. Rasa sakitnya berhasil membuat Inna meringis kesakitan.
“Maaf, bukannya ingin membuatmu kaget,” kata laki-laki asing itu membuat Inna bingung. “Lehermu,” laki-laki itu memberikan cermin kepada Inna. Inna melihat lehernya dimana terdapat gambar Air dan Putri Duyung di sana. Gambar itu terlihat seperti tato, tetapi Inna yakin sekali bahwa gambar itu lebih mirip seperti sebuah bekas luka. Gambar itu perlahan-lahan menghilang.
“A-apa ini?” tanya Inna dengan nada gemetar.
“Tanda Avrora,” kata laki-laki itu menjawab pertanyaan Inna. Inna melihatnya dengan tatapan penuh pertanyaan membuat laki-laki itu sedikit canggung. “Sebelumnya perkenalkan, namaku Ben Wincessor dari 'Alam' angin,” kata laki-laki bernama Ben itu.
“Innadellona Swan dari 'Alam' air,” kata Inna dan mereka saling berjabat tangan. Inna masih dengan tatapan kebingungannya.
“Baiklah, aku harus kembali. Aku harus menyampaikan hal ini kepada Yhogi,” Ben pun pergi dari UKS.
Suasana menjadi cukup sunyi setelah Ben pergi. Bahkan angin-angin tidak ada yang bertiupan melalui jendela yang terbuka. Inna dan Rey masih terdiam, mungkin sedang memikirkan sesuatu yang membuat mereka merasa tidak nyaman satu sama lain. “Jadi, tadi kamu bilang kamu pingsan dua kali?” tanya Rey seperti mencairkan suasana daripada bertanya karena khawatir.
Inna melihat ke arah Rey dengan tatapan serius. “Aku mendengar suara,” kata Inna dengan suara yang pelan.
“Suara?” tanya Rey bingung.
“Ya, suara air yang berbicara,” kata Inna. Rey hanya memasang muka datar. Sebisa mungkin tidak membuat Inna marah.
Rey tidak percaya dengan apa yang dikatakan Inna. “Apa yang dikatakannya?” tanya Rey memastikan secara rinci apa maksud dari perkataan Inna barusan.
“Luna,”
Inna masih terlihat bingung, sedangkan Rey ingin mengatakan sesuatu kepada Inna hanya saja dia tidak tahu harus memulai darimana. “Ada sesuatu yang harus aku jelaskan,” kata Rey memberanikan diri. Inna melihat ke arah Rey berharap dia bisa menjelaskan semuanya.
“Tanda yang ada di lehermu adalah tanda seorang Avrora. Berarti kamu adalah Avrora,” kata Rey dengan nada yang terdengar berat. Entah kenapa Rey merasa sangat berat untuk mengatakannya. Rasanya ia juga tidak mempercayai hal ini. Sedangkan Inna yang mendengar cerita tersebut tidak berbicara apa-apa.
“Apa itu Avrora?” tanya Inna.
“Bagaimana menjelaskannya, ya?” tanya Rey kepada dirinya sendiri. Rey bahkan tidak tahu asal mula dari Avrora itu sendiri. “Nanti Ben akan membicarakan hal ini kepada Yhogi, jadi kamu bisa tanyakan apa saja kepadanya,” lanjut Rey.
“Siapa Yhogi?” tanya Inna.
“Laki-laki berambut perak yang menegurmu di upacara,” jawab Rey. Inna membelalakkan matanya. Apa hubungannya dengan laki-laki itu. Rey sedikit merasa bersalah karena menyebut nama laki-laki yang hampir membuat Inna malu. “Menurut dari Ben, Yhogi adalah salah satu dari Avrora,” kata Rey sedikit pelan.
“Ben sempat memberitahu ada delapan Avrora yang terpilih,” tambah Rey. Inna melihat Rey yang tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Sepertinya apa yang dikatakan Ben berasal dari Yhogi.
“Luna?” tanya Inna.
“Mungkin Luna ini ada hubungannya dengan Avrora,” kata Rey. Inna mengangguk setuju dengan pernyataan Rey. Semenjak Inna mendengar nama Luna, hal-hal aneh terjadi kepadanya.
“Avrora ya,” kata Inna. Rey dan Inna saling bertatapan dan mereka berdua tahu bahwa cerita tersebut adalah omong kosong.
....o.O.W.O.o....
Primrose melihat ibunya yang masih sibuk dengan dokumen-dokumen di mejanya. Glenda Moonlight sangat tidak suka dengan suasana ini pun memulai pembicaraan. “Ini sudah ketiga kalinya kamu berkeliling dengan seragam sekolah,” kata wanita itu.
“Prim, kamu sudah lulus 2 tahun yang lalu,” lanjut Moonlight.
“Dan aku masih 16 tahun,” kata Primrose.
Glenda Moonlight menghela nafas. “Kalau begitu untuk apa kamu lulus secepat ini?” tanyanya. Primrose tidak menjawab pertanyaan itu.
“Aku punya teman baru,” kata Primrose. Moonlight tidak mengatakan apapun ketika mendengar itu. Akhirnya, Primrose keluar dari ruang kepala sekolah ketika ia merasa bahwa Moonlight tidak akan mendengarkannya.
Di luar ada seseorang menunggu Primrose di sana. Laki-laki itu tiga tahun lebih tua darinya. “Bagaimana kabarmu, Primrose?” tanya laki-laki itu sambil mengenggam bingkisan bunga mawar dan diberikannya kepada Primrose. Primrose menerima bunga itu. Laki-laki yang sudah lama tidak Primrose temui.
“Baik,” jawab Primrose, “Dan kamu terlihat kacau sekali Villian,” lanjut Primrose dengan tatapan sinis kepada kakaknya.
Avrora: Water Voice
Chapter 3
\=\=\=\=\=\=\=\=
Semenjak mengetahui tentang Avrora, Inna semakin susah tidur. Inna tidak tahu apa yang dikatakan Rey benar atau tidak. Diliriknya jam dinding biru yang menunjukan pukul 20.16 malam. Inna masih memikirkan tentang Luna. Apa yang Rey katakan mengenai Luna membuat Inna semakin penasaran. Apa benar Luna ada hubungannya dengan Avrora?
Inna bangun dari kasurnya dan berjalan mengarah ke laptopnya. Dia mencari daftar nama siswa Luna di Akademi Tessera. Inna yakin sekali nama Luna ada kaitannya dengan akademi daripada dengan Avrora yang sama sekali tidak jelas. Di laptop itu menampilkan banyak orang dengan nama Luna. Memakan waktu yang lama untuk mencaritahu siapa Luna yang didengar Inna, tetapi ada satu nama yang menarik perhatian Inna.
“Luna Mermaid,”
Inna ketik kembali nama Luna Mermaid dan ada banyak daftar riwayat hidupnya hingga kematiannya yang bermunculan. Ada satu artikel dari majalah jurnal akademi yang menampilkan berita utama mengenai Luna.
“Siswi Akademi Tessera berhasil melindung Peri Putri Duyung,” kata Inna membaca judulnya. Di berita itu tidak hanya memberitakan kabar gembira, melainkan juga kabar sedih. Di hari yang sama ketika Luna Mermaid menyelamatkan Peri Putri Duyung, dia meninggal dunia.
Inna menyentuh lehernya tidak nyaman. Suara yang sebelumnya ia dengar benar-benar seperti suara air. Dan Inna yakin sekali Luna yang dimaksudkan suara itu adalah Luna Mermaid. Luna juga berasal dari asrama 'Alam' air, jadi kemungkinan dialah orang yang disebutkan.
Inna mematikan laptopnya dan segera membaringkan badannya ke kasur putih. Memaksa matanya untuk tidur.
....o.O.W.O.o....
Ketika matahari menjadi sangat panas di luar sana, Inna membaca beberapa buku di perpustakaan utama akademi. Buku-buku itu hampir menutupi Inna dari depan dan terlihat sekali bahwa Inna baru membaca setengah dari mereka.
Sejujurnya Inna merasa belum puas dengan informasi yang dia dapatkan. Inna selesai membaca buku itu dan bersandar sebentar karena lelah. Inna kembali melihat buku hologram dan buku tua di depannya dengan tatapan kesal. Sebenarnya Inna bisa saja mencari dengan teliti di internet, tetapi kebanyakan informasi yang terlihat penting itu tidak dapat diakses dan hanya memberikan nama dan pengarang buku saja.
Di sinilah Inna, di perpustakaan yang cukup sepi karena murid-murid lainnya dapat mengakses internet dengan leluasa, sedangkan dia harus mencarinya di buku.
Sebenarnya Inna sedang mencari tentang Peri Putri Duyung. Di buku menyatakan Peri Putri Duyung terletak di Danau Warna dan Inna tahu jika Peri Putri Duyung pastinya makhluk yang sangat langka. Makhluk langka pastinya memiliki nilai jual yang mahal.
Sepertinya inilah motif utama Sir Carlos untuk mencuri hampir setengah populasi Peri Putri Duyung. Seorang kapten yang tidak diketahui asal usulnya, Sir Carlos, mendaratkan kapalnya dan mendeklarasikan perang dengan kerajaan. Laki-laki yang berhasil mewujudkan keinginannya itu adalah laki-laki yang sama yang dikalahkan oleh Luna Mermaid.
Inna pernah mendengar cerita ini dari ayahnya. Sayangnya Inna sama sekali tidak tertarik karena Inna tahu jika ayahnya sengaja menceritakan hal itu agar dia tertarik masuk akademi.
Inna berdiri dari kursinya dan segera merapikan buku-buku itu. Tiba-tiba seorang hologram muncul di samping Inna. Hologram yang berpostur wanita tua itu tersenyum kepada Inna. Inna membalas senyuman itu dengan raut muka terkejut. Seberapa pun Inna mencoba beradaptasi di akademi, tetap saja hologram-hologram itu terus membuat Inna merasa tidak nyaman. Sebenarnya hologram manusia sudah sering digunakan di beberapa sekolah dan perusahaan. Penggunaan hologram tidaklah sembarangan. Wujud empat dimensi itu digunakan kerajaan untuk mengawasi beberapa lokasi yang penting. Di Kerajaan Timur, beberapa sekolah dan perusahaan diwajibkan memiliki hologram.
Hologram itu melihat Inna dengan tatapan datarnya. Rasanya Inna seperti ketahuan mencuri sesuatu walaupun itu tidak benar adanya. Hologram itu melihat buku-buku yang sempat Inna ambil dengan teliti. Kalau Inna menebak, sepertinya hologram itu sedang memindai buku yang sedang Inna baca. Hologram itu kemudian tersenyum ke Inna dan menyentuh bahu Inna sebelum bertanya. “Apakah kamu pernah ke Danau Warna?”
Inna menggelengkan kepala dan merinding karena hologram itu bisa menyentuhnya. Teknologi ini sudah sangat luar biasa.
Hologram itu melepaskan sentuhannya. Inna sebenarnya merasakan ada keanehan dengan negaranya. Kerajaan Timur terkenal sebagai negara tertutup. Tidak ada yang tahu mengenai sejarah Kerajaan Timur. Ketika ada saja orang yang mencaritahu, maka kerajaan dan pemerintah seolah-olah memberikan jalan berbatu. Hologram itu mengambil buku yang Inna baca dan menaruhkannya kembali ke tempat asal. Walaupun wanita tua itu hanyalah hologram, Inna tetap merasa tidak enak hati melihatnya mengembalikan buku-buku itu dengan tangan keriputnya. Inna pun antusias membantu mengembalikan buku-buku itu.
Inna melihat meja yang sebelumnya bertumpukan oleh buku kini bersih dan menyisahkan sedikit debu. Hologram itu berjalan menjauhi Inna. Inna melihat hologram itu dengan tatapan aneh. Dihiraukan Inna dan berjalan keluar perpustakaan.
Kaki Inna berhenti bergerak ketika ia kembali mendengar suara.
Suara air yang sama.
Kali ini tidak menyebutkan nama Luna. Hanya bisikan saja dan suara itu berasal dari arah hologram itu pergi. Inna berjalan ke arah hologram itu dan suara air semakin terdengar jelas.
Inna berhenti di sebuah lemari kaca yang di dalamnya terdapat beberapa buku-buku tua. Inna memberanikan diri membuka lemari itu. Tangannya mengambil salah satu buku yang cukup besar dengan gambar bunga teratai di tengahnya. Tiba-tiba Inna merasakan seseorang menyentuh bahunya. Inna menoleh ke belakang dan menemukan hologram yang sama itu mendapatkan Inna sedang memegang buku yang barusan diambil.
“Kamu harus tanda tangan dulu sebelum meminjamnya,” kata hologram itu yang terdengar sangat berbeda. Kaku dan dingin. Inna mengangguk dan mengikuti hologram itu ke meja resepsionis. Inna mengucapkan terima kasih dan pergi dari sana.
....o.O.W.O.o....
Kamar itu selalu saja dihiasi dengan vas putih yang berisikan bunga mawar biru. Cahaya matahari yang menerangi ruangan itu berasal dari jendela. Angin musim semi menari bersama gorden putih. Beberapa tumbuhan menghiasi pintu.
Pemilik kamar itu adalah Primrose. Di tangannya memegang beberapa kertas-kertas. Digenggamnya kertas itu dengan kuat, sepertinya Primrose sedang marah.
Pintu itu terbuka dan seorang laki-laki datang bersama minuman di tangannya. Dipanggilnya nama pemilik kamar itu. “Prim,”
Primrose menoleh ke kakaknya, Villian.
“Cobalah bersantai sedikit, Glenda tidak akan suka melihatmu seperti ini,” kata Villian yang melihat adiknya memasang raut muka marah. Primrose tidak bereaksi terkejut ketika nama depan ibunya dipanggil oleh Villian.
Villain memberikan minuman kepada Primrose dan diterimanya. “Terima kasih,”
Arah mata Villian melihat ke kertas-kertas itu dengan curiga. Villain tidak ingin bertanya kepada Primrose karena sepertinya Primrose juga tidak akan menjawabnya.
“Aku harus pergi,” kata Primrose keluar dari kamarnya bersama kertas-kertas itu.
Villian tidak berkata apa-apa dan tidak menyahut perkataan Primrose. Dia masih di sana sambil melihat bunga mawar biru itu yang mulai menjatuhkan kelopaknya.
....o.O.W.O.o....
Mata Inna membaca buku yang baru saja ia dapatkan. Inna berada di atas atap akademi sambil merasakan hembusan angin. Membaca adalah hobi yang sangat disukai Inna. Jiwanya yang haus dengan apa yang tertulis di sana tidak dapat membuat Inna menyadari bahwa seseorang berada di belakangnya.
“Innadellona, kan?” tanya suara berat yang berasal dari belakang Inna. Inna hampir saja terloncat dari tempat duduknya.
Inna melihat Ben yang kini berada di sampingnya. “Sejak kapan kamu di sini?” tanya Inna sambil berdiri dan berusaha menjauhi Ben.
“Ah, benar, kamu sahabatnya Rey,” kata Ben. Ben kemudian duduk dan berkata, “Dari tadi aku sudah di sini,”
Inna kembali duduk bersebelahan dengan Ben. Mata Ben tertarik dengan buku yang dipegang Inna. Inna memegang buku itu dengan erat, tanda bahwa Inna menyadari tatapan Ben. Ben tersenyum kepada Inna. “Aku sudah berbicara dengan Yhogi dan memberitahunya kamu adalah Avrora baru,” katanya.
“Tahu darimana aku Avrora?” tanya Inna. Ben tidak tersenyum dan kini memandang langit biru sebagai lawan bicaranya.
“Yhogi sendiri yang bilang,” kata Ben.
Inna menatap Ben dengan bingung. Yhogi lagi? Siapa laki-laki itu?
“Aku yakin sekali Rey sudah memberitahumu mengenai Avrora,” kata Ben lagi. Inna menjawab dengan anggukkan yang tentu saja Ben tidak akan tahu. Ben kini melihat ke arah Inna dengan tatapan seriusnya. “Kalau begitu kita harus menemukan Avrora lainnya,” lanjut Ben.
Inna membalas Ben dengan tatapan meremehkan. “Kamu yakin? Karena aku tidak peduli dengan Avrora,” kata Inna. Ben melihat Inna dengan tatapan kesal.
“Tetapi kamu peduli dengan Luna, kan?” tanya Ben dengan nada suara yang serius. Inna membalas tatapan kesal Ben dengan raut muka terkejut. Ben tahu mengenai Luna?
Ben cepat-cepat mengatakan sesuatu sebelum Inna bertanya lagi kepadanya. “Ayo berkerja sama Inna,” Ben terlihat memelas.
“Berkerja sama?” tanya Inna.
“Bantu kami menemukan Avrora lainnya, sebagai balasannya kami akan memberitahumu semua hal mengenai Luna dan suara-suara air itu,” kata Ben.
Inna mendekatkan diri ke arah Ben dengan tatapan kesal. “Kami?” tanyanya.
“Sebenarnya ini permintaan dari Yhogi,” jawab Ben risih. “Kamu harus ikut Pertandingan Tessera Clocear bersama aku, Yhogi, dan... Rey,” lanjut Ben.
Inna mengalihkan pandangannya ke arah lain. Pertandingan yang sangat terkenal di Akademi Tessera, Tessera Clocear. Pertandingan yang diselenggarakan empat tahun sekali. Berarti tahun ini pertandingan itu akan diadakan. Pertandingan yang melibatkan setiap pergantian musim. Pemenangnya akan memiliki pintu hijau menuju prajurit khusus yang bertugas melindungi keluarga kerajaan.
“Kita masih kelas satu. Bukannya ini terlalu cepat? Kelas malam saja belum mulai,” kata Inna untuk memastikan bahwa pertandingan Tessera Clocear bukanlah main-main. Inna tidak mau membahayakan dirinya untuk mencari Avrora yang tidak jelas.
“Informasi saja untukmu, kamu ingin mencaritahu lokasi Farre Houses, kan?” tanya Ben.
Inna membelalakkan matanya ketika Ben menyebut Farre Houses atau sebutan lain dari Danau Warna. Tahu darimana Ben mengenai itu? Inna saja baru tahu dari buku ini. “Kamu tahu darimana?” tanya Inna.
“Yhogi.” Balas Ben.
Dia lagi?
“Tentu saja.” Kata Inna dengan senyuman palsu.
....o.O.W.O.o....
Hiasan yang terbuat dari perak di meja kepala sekolah menjadi objek yang bisa mengalihkan pandangan dari remaja muda di depannya. Yhogi berada di ruang kepala sekolah dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak membuat Glenda Moonlight tidak bisa membaca apa yang dipikirkan pemuda itu.
Moonlight memberikan satu data mahasiswa kepada Yhogi dan diterimanya. “Kamu kenal dia?” tanya kepala sekolah itu.
Glenda Moonlight berjalan ke arah deretan piala sekolah yang berhasil membuat Yhogi melirik ke arahnya sebentar dan kembali memasang wajah kaku nan serius. “Ya,” jawab Yhogi.
“Sebenarnya aku meminta Primrose untuk menemuinya, ternyata dia lebih susah dari yang kukira,” kata Moonlight. “Kamu mau menggantikannya?” lanjutnya bertanya kepada Yhogi.
“Tentu saja.” Jawab Yhogi. Glenda Moonlight mempersilahkan Yhogi keluar.
Yhogi segera keluar dari ruangan tersebut tanpa melirik kepada kepala sekolah dan menutup pintu dengan pelan, berusaha terlihat setenang mungkin. Dia berjalan menuju lift dan segera menelepon Ben.
“Halo,” tanya Ben dari sana.
“Ben, apakah kamu bisa mencari anggota yang lainnya untuk pertandingan nanti?” tanya Yhogi langsung ke pokok pembicaraan.
“Kenapa? Maksudku sih bisa, tetapi kenapa?” tanya Ben dengan nada terheran.
“Aku sedang ada urusan,” jawab Yhogi yang tidak ingin terlalu terbuka.
“Kamu ada saran anggota seperti apa yang harus kucari?”tanya Ben.
Yhogi menjawab dengan asal sebelum menutup teleponnya. “Cari 'Alam' api.”
Yhogi sedikit kesal karena rencananya untuk mencari Avrora di pertandingan nanti menjadi sedikit kacau, tetapi ia merasa bahwa ada sesuatu yang memberitahunya bahwa Avrora yang lain akan segera ditemuinya nanti.
....o.O.W.O.o....
Ben menggerutu di Hp-nya yang sudah mati. Inna melihat Ben sambil menaikkan alisnya. “Aku penasaran bagaimana bisa kamu mengenal Yhogi? Dia kelas tiga, kan?” tanya Inna.
Ben melihat ke arah Inna ketika selesai memasukan Hp-nya ke dalam kantong celananya.
“Waktu acara mulut bebek kepala sekolah, Yhogi menjadi pengawas rombonganku,” jawab Ben. Ben segera berdiri dan berpamitan kepada Inna. "Kalau begitu aku harus pergi dulu, Yhogi menyuruhku untuk mencari anggota keempat kita,"
Inna yang mendengar itu merasakan hatinya sedikit senang. “Yhogi tidak ikut?” tanya Inna berharap.
“Tahu darimana?” tanya Ben.
Inna tidak menjawab pertanyaan Ben dan justru berkata. “Aku bantu cari, boleh?” tanya Inna.
“Boleh sih. Yhogi bilang kita membutuhkan anggota yang memiliki 'Alam' api.” Kata Ben yang terheran kenapa Inna bisa senang seperti ini. Inna mengangguk paham, kemudian mereka berdua kembali ke asrama mereka masing-masing.
....o.O.W.O.o....
Besoknya ketika jam makan siang, Inna tidak bertemu dengan Rey karena dia harus menemui guru. Inna bukan tipe penyendiri yang selalu menyendiri, tetapi dia memang tidak bisa bergaul dengan orang lain. Bisa dibilang Inna berhati-hati mencari teman.
Di sana, Inna duduk di pojok sendirian. Inna memilih membaca buku, sayangnya dia tidak bisa konsentrasi membaca. Inna lirik ke arah meja di sampingnya yang berisikan gadis-gadis pesolek. Inna melihat arah mata gadis-gadis itu yang sedang melihat Noah Dracred. Gadis-gadis itu saling berbisik satu sama lain, cekikikan, dan bertukar pandang sama sesamanya.
Inna beralih melihat Noah yang sedang makan sendirian. Tidak sadar menjadi pusat perhatian. Noah sesekali melihat sekitarnya dan kembali lanjut makan.
Sesuatu yang membuat Inna terheran adalah kenapa Noah terkesan sangat susah didekati. Inna kenal sekali dengan keluarga Dracred, salah satu dari lima keluarga bangsawan. Seharusnya dengan marga seperti itu akan ada banyak orang yang mau berkenalan dengan Noah. Atau mungkin justru sebaliknya.
Merasa tidak ada gunanya memikirkan Noah, Inna melanjutkan makannya. Baru saja Inna mau makan, tiba-tiba terdengar suara bantingan tepat di arah meja Noah.
Di meja Noah kini dipenuhi oleh senior kelas dua. Kedatangan senior itu merupakan sesuatu yang mengejutkan karena sekarang adalah jam istirahat siswa kelas satu.
Salah satu senior bermata biru sedingin es memandang Noah. Noah membalas senior itu dengan tatapan yang sama. Sepertinya terjadi sesuatu saat Inna tidak memperhatikan mereka. Inna penasaran apa yang akan terjadi nantinya. Beberapa murid lainnya juga berpikiran sama dengan Inna. Mereka semua memandang kedua laki-laki itu, tetapi Inna menjadi sedikit tidak nyaman karena kantin semakin ramai.
Inna melihat ke kiri dan kanannya, mencari Helper yang bisa menghentikan mereka. Nihil. Tidak ada satupun Helper di sini. Tidak biasanya Helper tidak muncul di saat seperti ini. Inna pun segera pergi dari kantin. Suara ribut dari seluruh siswa membuat Inna menghentikan langkahnya. Inna melihat kejadian dimana Noah dan senior itu saling menyerang satu sama lain.
Senior itu dengan esnya menyerang Noah tanpa memberi Noah celah untuk menyerang balik. Inna yang melihat adegan itu menghentikan niat awalnya untuk kembali ke kelas. Inna sadar jika gerakkan Noah sedikit aneh. Noah bukannya tidak dapat mengeluarkan 'Alam'nya, tetapi dia tidak mau menggunakannya.
Kedua laki-laki itu saling menghajar satu sama lain walaupun hanya senior itu saja yang kerap kali menggunakan 'Alam'nya. Senior itu mengeluarkan ribuan pisau es dan Noah sudah siap dengan perisai apinya. Pertarungan itu berhenti tepat ketika Henna Winter datang bersama Helper di belakangnya.
Pintu yang dibanting dengan kasar itu menampilkan sosok wanita dengan tatapan dinginnya. “Aku suka cara kalian menyambutku,” kata Henna Winter. Wanita itu melihat sekitarnya dimana tempat itu sudah kacau dengan serangan-serangan mereka. Bukan. Lebih tepatnya oleh laki-laki es itu. “Siapa nama kalian berdua?” tanya Winter.
Senior itu melihat ke arah Noah sebentar sebelum menjawab. “Sand Spike.”
“Noah Dracred.” Balas Noah.
“Kalian berdua bersihkan kekacauan ini tanpa bantuan siapa pun,” kata Winter dengan nada tenangnya. Para Helper yang berada di belakang Winter tidak melakukan apa-apa. Mereka justru melihat para kerumunan murid-murid. Ketika menyadari itu, semua murid berlari kembali ke kelas mereka.
Inna masih tetap di tempat karena ia sangat penasaran kenapa kedua laki-laki itu melakukan hal yang sangat dilarang di akademi.
Henna Winter melihat senior itu. “Sand Spike, khusus untukmu setelah selesai membersihkan tempat ini segera menemui wakil kepala sekolah,” kata Winter.
“Kenapa?” tanya senior itu tidak terima.
Winter tetap dengan nadanya yang tenang menjawab. “Dari kalian berdua, sepertinya hanya Anda sendiri yang berniat menghancurkan tempat ini.”
Henna Winter akhirnya pergi dari kantin itu. Winter sempat melihat ke arah Inna, tetapi dianggapnya sebagai angin. Helper yang di sana juga memandang Inna seolah memintanya untuk pergi. Inna akhirnya pergi dari sana daripada mencari masalah.
Inna tahu sekali bahwa Noah sama sekali tidak serius melawan senior itu. Harus Inna akui jika Noah memiliki pertahanan yang bagus. Ketika Inna keluar dari kantin, dia tidak sengaja bertemu dengan Ben dan sepertinya dia juga sempat menonton perkelahian tadi. Dan Inna bisa menebak apa yang dipikirkan Ben saat ini.
....o.O.W.O.o....
Noah tidak menyangka hukumannya akan memakan waktu hingga malam. Dia langsung saja menuju kasurnya dan beristirahat. Belum lama matanya terpejam, Noah terbangun dari kasurnya. Dia merasakan tubuhnya sangat panas.
Noah segera membuka jendela kamarnya karena merasa pendingin ruangan sama sekali tidak membantunya. Noah berkeringat akibat hawa panas yang ia rasakan. Tiba-tiba dia merasa perih. Ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Noah bisa melihat sinar oranye terpancar dari belakang punggungnya. Noah cepat-cepat melihat dirinya di cermin dan membuka bajunya. Di sana dia melihat punggungnya kini terukir gambar api dan hewan Phoenix.
Kini Noah susah bernafas dan membiarkan dirinya tertidur di lantai. Matanya masih mencoba untuk terbuka sayangnya dia tidak bisa. Terakhir yang Noah ingat adalah salah satu kelopak bunga mawar biru jatuh di hadapannya sebelum dia benar-benar telah memasuki dunia mimpi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!