NovelToon NovelToon

Bukan Pernikahan Impian

Pernikahan

Sebelumnya nama pemeran di cerita ini adalah Hana dan Ken, tapi karena karya author yang satunya juga namanya Ken, jadi author bingung. Untuk mengantisipasi hal tersebut, author ubah Hana jadi Hani, dan Ken jadi Naoki. Maaf kalo masih ada yang kelewat belum sempet author ganti namanya. Mohon dimaklumi 🙏

Selamat membaca,

Hanazawa Easzy

...****************...

Berikut author cantumkan visual dalam cerita ini.

Hani Sakurada. Gadis campuran Indonesia-Jepang yang berusia 22 tahun. (pict : Melodi Nuramdani Laksani)

Yamada Naoki. Seorang kreator manga/komik Jepang berusia 28 tahun. Hobi memasak. (pict : Dori Sakurada)

...****************...

Siang yang terik di kota Tokyo, Jepang

"Mempelai laki-laki, silakan mencium mempelai perempuan. Sekarang kalian resmi menjadi pasangan suami istri," ucap seorang penghulu pada sepasang muda mudi di depannya.

Kedua manusia berlawanan jenis itu bergeming, tak ada yang bergerak dari posisinya. Seperti sebongkah batu yang tetap ditempatnya walau bumi terbelah jadi dua sekalipun.

"Hani, cium tangan suamimu," perintah ayah yang duduk di depannya, terhalang oleh meja kecil berwarna coklat itu.

Hani mengulurkan tangannya dan segera mendapat uluran tangan dari suaminya, Yamada Naoki yang akrab disapa Naoki. Keduanya tampak canggung, sampai akhirnya Naoki memberanikan diri mencium kening istrinya yang baru ia temui kemarin. Sebenarnya mereka pernah bertemu sebelumnya, beberapa tahun yang lalu.

Lalu, bagaimana bisa pernikahan tiba-tiba terjadi?

Awalnya ayah Hani berencana menikahkan putri sulungnya yang bernama Maruko, tapi dia kabur dari rumah. Dia tidak ingin dijodohkan dan memilih karirnya sebagai model. Jadilah Hani menggantikan kakaknya, berangkat ke Jepang kemarin dini hari. Acara berlangsung sederhana dan hanya dihadiri kerabat dekat kedua keluarga.

Setelah perceraian kedua orang tuanya, Hani memilih pulang ke Indonesia bersama ibunya. Status Hani sekarang adalah warga negara Indonesia, tapi ia juga tidak bisa menolak permintaan ayah kandungnya. Ini pertama kalinya ia datang lagi ke Jepang setelah ayah dan ibunya berpisah.

Ibunya adalah seorang pekerja asal Indonesia yang menikah dengan pria Jepang, rekan kerjanya kala itu. Setelah 25 tahun membina mahligai rumah tangga, akhirnya mereka berpisah. Mereka dikarunia dua orang anak yaitu Maruko dan Hani. Ibu memilih kembali ke tanah kelahirannya bersama Hani, sementara Maruko memilih tinggal bersama ayahnya di Tokyo.

"Hani-chan," panggil Kotaro, ayah Hani.

"Hmm," jawab Hani sekenanya. Pikirannya masih bercabang, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi padanya. Ia seperti gadis linglung. Ingin menangis tapi tak bisa mengeluarkan air mata sama sekali. Ingin berteriak, tapi tidak mungkin melakukannya di tempat ini. Ada begitu banyak orang di sini.

Hani menyesal. Ibu sempat melarangnya sesaat sebelum ia naik pesawat. Jika saja Hani menuruti beliau, pasti ia tidak akan terjebak di situasi tak diinginkan seperti ini.

"Ayo kita ambil foto. Kemari sayang," ajak Kotaro pada putri dan menantunya.

Hani masih terduduk di tempatnya, tak ada tanda-tanda ingin beranjak. Ia masih belum menemukan alasan kenapa ayahnya berbohong. Ia begitu panik saat mendengar ayahnya kecelakaan parah dan mengabaikan ibunya. Dengan penerbangan terakhir, Hani memilih pergi ke negeri sakura ini sendirian. Tapi begitu sampai, ternyata ayahnya baik-baik saja. Beliau meminta Hani menggantikan Maruko menikah. Sungguh tidak masuk akal.

"Huffhh...." Hani mengembuskan napasnya dengan kesal.

"Naoki, ajak istrimu kemari," pinta seorang wanita yang memakai yukata warna lavnder, warna kesukaan Hani. Itu ibu mertuanya, orang yang sedari awal selalu tersenyum hangat padanya.

"Daijoubu?" Naoki berbisik pelan di dekat telinga Hani, membuat wajah gadis itu merona. Ia terkejut karena jarak mereka yang terlalu dekat.

(Kamu baik-baik saja?)

DEG

Hani segera bangkit dan berjalan menuju ayahnya yang ada di depan backdrop bunga-bunga sakura, siap untuk berfoto. Naoki terkejut dengan reaksi istrinya dan hanya mengekor tanpa suara. Dia tersenyum menyadari sikap gugup gadis berjilbab itu.

*backdrop : latar belakang foto

Srett srett

"Awas...," teriak ayah saat melihat Hani tersandung gaun yang ia pakai. Putrinya itu tampak kehilangan keseimbangan dan hanya menunggu hitungan detik sebelum ia jatuh ke lantai.

"Hati-hati!" Naoki meraih tangan Hani. Tubuh mungilnya urung mendarat di lantai berlapis karpet bulu angsa itu. Kejadian tak terduga ini memaksa Hani menempel ke pelukan suaminya detik itu juga.

Deg

Jantung Hani kembali berhenti berdetak satu waktu. Ia tertegun di tempatnya berdiri, menatap wajah tampan pria yang kini berstatus sebagai suaminya.

"Syukurlah kamu baik-baik saja." Naoki tersenyum seraya mempererat tangan kirinya yang berada di perut Hani.

Klik

Hani menoleh ke arah fotografer saat mendengar suara kamera. Ia menautkan alisnya tampak tidak suka. Sementara sang fotografer tersenyum puas sembari melihat hasil jepretannya.

"Sempurna," gumamnya melihat foto pengantin baru yang tampak sangat natural itu. Naoki melingkarkan tangannya di perut semetara tangan lainnya memegang lengan mungil Hani. Di saat yang sama, Hani terlihat sedang menatap ke wajah Naoki dengan ekspresi terkejutnya.

Gadis berjilbab itu segera melepaskan pegangan tangan Naoki dan berjalan menjauhinya dengan wajah memerah. Orang-orang di sekitarnya tersenyum melihat tingkah imut Hani yang malu-malu kucing. Sesi foto berjalan dengan lancar meskipun ayah harus berkali-kali memaksa Hani untuk tersenyum.

*********

Mentari mulai kembali ke peraduannya. Meninggalkan semburat merah yang melukis cakrawala. Kini mereka telah ada di kediaman Kotaro. Apartemen minimalis bergaya eropa, dekorasi kesukaan Maruko.

"Apa kamu lapar? Mau kubuatkan sesuatu?" tanya Naoki di depan pintu.

Hani bergelung di atas kasurnya yang berwarna ungu dengan motif bunga sakura. Ya, sejak datang ke rumah ini 2 jam yang lalu, Hani memilih bersembunyi di balik selimut tebal di kamarnya. Ia marah, sedih, dan kecewa. Ayah membohonginya dan bahkan tidak mengucapkan maaf padanya. Sekarang beliau pergi, berpura-pura sibuk dan meninggalkannya dengan orang asing ini.

Naoki mendekat dan mendapati suara isak tangis dari balik selimut. Sejak tadi ia membiarkan istrinya istirahat di kamar, dia berpikir mungkin Hani lelah. Tapi sedetik lalu ia mendengar isak tangis dari gadis di depannya. Beberapa kali tubuhnya tampak berguncang, masih sesenggukan mengatur napasnya.

Perlahan Naoki mendekat dan membuka selimut yang mulai basah itu. Terlihatlah gadis yang beberapa jam lalu ia nikahi sedang berurai air mata. Hani yang terkejut berusaha menarik selimutnya lagi, ingin bersembunyi. Tapi tangan Naoki sigap menangkapnya.

"Apa ini begitu menyakitkan untukmu?" Naoki mengulurkan tangannya menghapus air mata di pipi Hani.

Hangat

Itu yang pertama kali Hani rasakan saat tangan Naoki mendarat di pipi basahnya. Seketika tangisnya berhenti, perasaannya yang kacau menguap seketika.

Kini Naoki duduk membelakanginya, wajah mereka sejajar. Hani bisa melihat rambut hitam suaminya yang sedang menatap keluar jendela. Langit di atas sana mulai gelap.

"Maaf.." ucapnya pelan tanpa menoleh.

Hening.

Keduanya larut dengan pemikirannya masing-masing.

"Maaf karena tidak bisa melindungimu." Naoki menundukkan kepalanya. "Aku tahu kamu dibodohi, tapi aku egois tetap memaksakan pernikahan ini berlangsung. Kamu boleh membenciku, tapi jangan benci ayahmu," ucap Naoki.

Suara tangis Hani tak lagi terdengar. Naoki menatap ke langit-langit, menyandarkan kepalanya di tepi ranjang. Tak jauh dari jemari Hani.

"Sebelum kakek buyut meninggal, beliau memberikan surat perjanjian yang menuliskan tentang perjodohan putra putri mereka. Tapi ternyata mereka hanya memiliki anak laki-laki. Jadi perjanjian itu jatuh pada kita. Seharusnya kakakmu, yang menjadi pengantinnya. Tapi.... Sudahlah. Semua berlalu tanpa bisa kita cegah."

Hani mengulurkan tangannya untuk menyentuh beberapa helai surai hitam suaminya. Naoki tersenyum dan langsung berbalik memandang wajah Hani di belakangnya.

*surai : rambut kepala

"Kita berdua adalah korban yang tersakiti. Bagaimana kalau kita saling menyembuhkan luka satu sama lain?" goda Naoki.

"Ehh?" Hani terpaku, belum paham apa maksud pria di depannya. Alarm tanda bahaya telah menyala. Senyum pria ini terlihat tidak biasa dan Hani tidak tau bahaya apa yang akan ia hadapi detik berikutnya.

Tiba-tiba saja Naoki bangkit dan mencium bibir Hani sekilas. Membuat pemiliknya kehilangan kendali tentang apa yang sebenarnya terjadi. Wajahnya tiba-tiba memanas dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

'Ini... Ini ciuman pertamaku..' bisik Hani dalam hati.

*********************

Arigatou mina-san...

See you soon

Hanazawa easzy 💜

Ciuman Kedua?

"Kita berdua adalah korban yang tersakiti. Bagaimana kalau kita saling menyembuhkan luka satu sama lain?" goda Naoki.

"Ehh?" Hani terpaku, belum paham apa maksud pria di depannya. Alarm tanda bahaya telah menyala. Senyumnya terlihat tidak biasa dan Hani tidak tau bahaya apa yang akan ia hadapi detik berikutnya.

Tiba-tiba saja Naoki bangkit dan mencium bibir Hani sekilas. Membuat pemiliknya kehilangan kendali tentang apa yang sebenarnya terjadi. Wajahnya tiba-tiba memanas dan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Deg

'Ini... Ini ciuman pertamaku' bisiknya dalam hati.

Naoki melepas ciumannya dan menatap manik coklat di depannya. Gadis itu sangat imut dan membuatnya ingin terus tersenyum. Sementara Hani masih belum sadar sepenuhnya, terdiam dengan tatapan kosong membuat Naoki terhenyak.

'Apakah... Mungkinkah ini...'

Naoki melepaskan tangannya yang sedari tadi menangkup pipi Hani dan membuat jarak diantara mereka, "Apa ini yang pertama kali untukmu (berciuman)?" tanya Naoki hati-hati.

Hani tak bisa bersuara, ia hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Memandang Naoki dengan tatapan yang sulit diartikan. Tapi sedetik kemudian dia beranjak dari tidurnya dan bersandar pada kepala ranjang di belakangnya. Memejamkan mata mencoba merangkai akal sehatnya kembali. Beberapa saat lalu ia merasa seperti tak bisa berpikir dengan jelas.

'Tenang Han, semua baik-baik saja...' ucapnya dalam hati.

"Maaf.." lirih Naoki sambil berdiri bersiap pergi.

"Mari bicarakan ini dengan jelas," Hani membuka matanya dan menatap suaminya dengan tatapan serius, berbeda dari tatapan bodohnya beberapa saat lalu.

Naoki lagi-lagi terkejut melihat ekspresi istrinya. Dia terlihat serius dengan tatapan dingin yang mengerikan. Bukan lagi Hani yang lucu dan menggemaskan tadi.

Kruukk krukk...

"Aku lapar." ucap Hani kemudian dan berlalu ke dapur meninggalkan Naoki yang terheran-heran. Bibirnya merekah mendapati istrinya yang tengah menahan malu karena perutnya berbunyi di saat yang tidak tepat.

*******

Keduanya sudah menyelesaikan makan malam yang dimasak oleh Naoki. Hanya menu sederhana, nasi goreng ala Jepang. Kini mereka duduk di balkon apartemen yang menghadap ke laut.

"Kamu marah?" Naoki memulai pembicaraan setelah keduanya diam beberapa saat.

"Hmm?" Hani menoleh ke samping kirinya tanpa ekspresi "Aku tidak berhak marah padamu. Mari bicarakan hal lain yang lebih penting" ucapnya seraya berdiri. Mendekatkan dirinya ke pagar balkon, membelakangi Naoki, "Aku akan kembali ke Indonesia besok"

"Ehh? Secepat itu?"

Hani diam, menata hatinya agar berpikir dengan jernih. Menahan emosinya yang ingin meledak, ia terpaksa menyimpan sumpah serapah yang bermunculan di kepalanya atas semua kejadian hari ini. Dan orang itu bertanya kenapa? Hani memejamkan matanya, cara paling ampuh untuknya meredam marah.

"Mondai wa arimasuka?" Naoki bertanya memastikan karena wanita di depannya hanya mematung sambil menutup matanya, seolah menikmati angin yang berhembus perlahan.

(Apa ada masalah?)

"Aku harus minta maaf pada ibu karena tidak mempercayai ucapannya" jawabnya lirih tapi Naoki masih bisa mendengarnya.

"Aku ikut." pinta Naoki, berdiri di sebelah Hani. "Pernikahan ini bukan keinginanmu, aku yang akan menjelaskan pada ibu"

"Aku bisa sendiri. Bukankah kamu bilang bahwa kita berdua hanya korban?"

Naoki menatap istrinya penasaran, apa yang akan wanita ini sampaikan padanya. Ada maksud lain dari ekspresi wajahnya. Ia merasa gadis di depannya berbeda, bukan gadis polos yang akan menuruti ayahnya.

"Aku harus menjernihkan pikiranku dulu. Kita tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, aku akan bicarakan ini dengan ayah dan kakak. Kamu hanya perlu berpura-pura menjadi suami yang baik beberapa hari saja. Aku akan membebaskanmu." Hani menatap Naoki dengan sedikit mengangkat kepalanya karena perbedaan fisik mereka yang cukup jauh.

"Aku tidak mau. Aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu." Naoki mengelak seraya menahan lengan mungil Hani, yang pasti longgar di tangannya yang besar.

"Apa? Itu tidak mungkin." sela Hani spontan, menatap wajah suaminya. Ia tidak bisa mempercayai kata-kata itu. Mereka baru bertemu pagi ini jadi bagaimana bisa orang itu jatuh cinta padanya?

"Mau bukti?" Naoki mendekati Hani perlahan. Ia mencium bibir istrinya dengan lembut, menyalurkan seluruh cintanya yang mulai tumbuh dan berkembang memenuhi hatinya. Sesekali ia ********** perlahan, mengajari Hani caranya menikmati benda kenyal itu.

'Ciuman keduaku...' batin Hani.

Duk....

"Aww..." Naoki menatap istrinya yang tiba-tiba menendang tulang keringnya, tangan kirinya terlepas dari pinggang Hani dan segera mengusap kaki kiri yang terasa nyeri. 'Gadis ini....' pikirnya mulai kemana-mana.

Wajah Hani nampak tegang seperti orang ketakutan. Ia mundur menjauhi Naoki beberapa langkah. Hembusan nafasnya mulai teratur setelah hampir tak bisa bernafas beberapa saat lalu karena terkejut.

"Ada apa?" Naoki melihat Hani dengan pandangan penasaran. Dia merasa ada hal yang ingin Hani sampaikan. Sikapnya yang refleks menendang tulang kering, bukan sikap yang ditunjukkan gadis lain pada umumnya. Matanya yang tajam seolah berjaga-jaga akan kejadian yang tak terduga.

"Tidak apa-apa." ucapnya sambil berlalu masuk ke dalam kamar setelah 10 detik kemudian tak ada yang terjadi. Ia segera membaringkan badan dan menutupinya dengan selimut sebatas dada.

"Hani-chan, kita belum selesai bicara. Kenapa kamu kembali secepat itu?" Naoki menuntut penjelasannya. Jemarinya menyentuh jilbab saat Hana beranjak dari tempat tidur.

"Aku akan tidur di luar," ucapnya sambil berlalu membawa selimut dan bantal yang beberapa saat lalu ia pakai.

Naoki hanya bisa melihat punggung mungil itu menghilang di balik pintu yang telah tertutup.

"Baka!" Naoki menatap sekelilingnya.

(Bodoh)

"Aaghhh.... Baka baka baka !!" ucapnya sambil menutup wajahnya. Menyadari kesalahannya. Seharusnya ia bisa menahan diri dan tidak melewati batas seperti tadi.

Hani terduduk di kursi panjang di depan televisi, memeluk bantal dan selimut yang asal ia bawa tadi saat buru-buru keluar kamar. Lampu yang telah padam ia biarkan saja. Sementara Naoki kembali ke balkon dan mencengkeram pagar balkon dengan erat, melampiaskan penyesalannya.

30 menit berlalu tapi Hani masih ada di posisinya. Tak bergeser se inchi pun. Rasa kantuknya mulai datang tapi ia ingin tetap terjaga, menunggu ayahnya pulang dan meminta penjelasan.

Ceklek

Naoki keluar dari kamar dengan canggung dan duduk di ujung sofa, membuat Hani bergeser ke ujung lainnya. Mereka duduk berdua dalam kegelapan. Hanya cahaya lampu temaram di balkon luar yang menyinari mereka berdua.

"Maaf, aku tidak bermaksud..."

"Berhenti merasa bersalah, aku tidak membencimu. Hanya saja jangan melakukannya secara tiba-tiba," ucapnya seraya menundukkan kepala, malu. Wajahnya memerah. Tapi sedetik kemudian dia menetralkan wajahnya lagi.

"Jelaskan padaku, kenapa kamu menikahiku walaupun tahu pasti aku hanya korban?" Hani mencoba mengganti topik pembicaraan.

"Karena kesehatan kakek memburuk. Jika sesuatu terjadi, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri," jawabnya seraya menerawang jauh ke angkasa yang mulai gelap, terlihat dari jendela yang masih terbuka.

"Hanya itu?" Hani menatap pria di sampingnya dengan heran, "Jika kakak tidak kabur, kamu akan tetap menikahinya dan jatuh cinta padanya?" senyum miring menghiasi wajah bulat itu, mempertanyakan keputusan Naoki.

"Itu..." Naoki kehilangan kata-kata. Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya, "Bandara, 5 tahun lalu" ucapnya lirih.

"Apa?" Hani memastikan orang di sampingnya berbicara dengan jelas agar ia tak salah paham.

"Aku mengantarmu dan ibumu ke bandara. Kamu lupa?" Naoki memberanikan diri menatap lawan bicaranya yang tampak sangat tenang.

Glek

Naoki menelan ludahnya, gadis di depannya membuatnya gentar. Entah kenapa rasanya Hani seperti bisa membunuhnya melalui tatapan tajamnya. Berbeda dengan Hani yang beberapa saat lalu ia curi kecupannya. Naoki menatap bibir berwarna peach itu lagi, ia menginginkannya.

'Manis... Shit! Kenapa aku bisa jadi begini' umpatnya dalam hati dan langsung mengalihkan pandangannya ke televisi yang terlihat gelap, mengalihkan pikiran kotor dari istrinya sendiri.

Hani mengingat-ingat saat ia dan ibu hendak pulang ke Indonesia, ia ingat beberapa orang mengantarnya tapi tidak ingat seperti apa wajahnya.

"Kamu cemberut sepanjang jalan, terus mendengarkan musik lewat headphone & tak berbicara sepatah katapun. Di bandara, kamu bahkan menjauh saat kakek ingin mengelus kepalamu," jelas Naoki singkat.

Hani ingat sekarang. Apa yang Naoki ucapkan sama persis seperti yang terjadi waktu itu. Seorang kakek hendak mengusap kepalanya tapi ia menepi dan berpaling, memilih pergi melenggang ke arah petugas check in dan meninggalkan ibunya yang masih berpamitan pada para tetua disana.

"Aku jatuh hati padamu saat itu juga," jelas Naoki dengan senyum merekah terukir di wajahnya.

Hani terdiam, sedikit syok dengan pengakuan dari pria yang berstatus sebagai suaminya itu. Rasa kantuknya menguap dan menjelma jadi penasaran, "Ekhmm... Aku tidak ingin mendengar apapun lagi," Hani menetralisir keterkejutannya, "Aku tetap akan pulang besok"

Ting ting ting

Hiasan pintu dari logam berbunyi, membuat Naoki dan Hani otomatis mengarahkan pandangannya ke sumber suara. Pintu terbuka dan menampilkan ayah dan Maruko yang terlihat kacau. Sepertinya ia mabuk, ayah membawanya ke kamar dan menyelimutinya setelah melepas sepatu 17cm itu.

Klik

Ayah menghidupkan lampu dan terkejut melihat menantu dan putrinya terpaku di sofa, "Ka... kalian belum tidur? Ini... Ini sudah larut" Kotaro mengelus tengkuknya, mengalihkan rasa gugupnya. Ya, ia tahu putri bungsunya marah.

"Ayah, mari bicarakan ini dengan jelas." ajak Hani, menyingkirkan selimut dan bantal berwarna putih itu, "Kenapa ayah berbohong padaku?"

Kotaro terdiam, berusaha memilih kata yang tepat agar tak salah ucap di depan putrinya.

"Ayah tahu aku baru saja bekerja belum genap setahun ini. Aku tak bisa menikah dengan sembarang orang. Kenapa ayah memaksaku menikah dengan Naoki?"

"Itu karena Naoki mencintaimu," jawabnya menatap Hani dengan gusar "Jangan memaksakan diri. Tinggallah disini dan hidup dengan baik,"

Hani menaikkan sebelah alisnya dan menyunggingkan sebuah smirk khasnya.

"Ayah berpikir hidupku di Indonesia tidak baik?" tanya Hani seraya berdiri, "Apakah mabuk-mabukan seperti kakak membuat ayah tenang? Ayah tahu persis seperti apa sifat dan tabiatku. Sekali seseorang berkhianat, aku tidak akan memandangnya lagi." ucapnya dingin.

Kotaro terdiam kehabisan kata-kata.

"Aku akan kembali esok pagi. Arigatou & Sayonara," ucapnya dingin, beranjak kembali ke kamarnya.

(Terima kasih & selamat tinggal)

"Kakakmu hamil..." ucap Kotaro dengan suara bergetar.

*******

Sampai jumpa di episode selanjutnya. Big love buat temen-temen yg mau baca karya amatiran ini 😘😘😘

Jaa nee...

Kembali

"Aku akan kembali esok pagi. Arigatou & Sayonara," ucap Hani dingin, beranjak kembali ke kamarnya.

(Terima kasih & selamat tinggal)

"Kakakmu hamil..." ucap Kotaro dengan suara bergetar.

Hani menghentikan langkahnya tepat di depan pintu, tangannya terulur meraih handle pintu yang akhirnya terhenti di udara.

"Dia hamil, makanya dia menolak pernikahan ini karena merasa tidak pantas. Dia tidak mau mengkhianati kalian. Tolong mengertilah, dia juga bersedih"

Hani berbalik dan melihat Naoki yang tampak terkejut, sama halnya dengan dirinya. Itu artinya Naoki sama sekali tidak tahu tentang hal ini. Hani sedikit bimbang, tetap mempertahankan egonya atau mendampingi kakaknya yang sedang dalam kondisi mental yang tidak baik.

"Itu bukan urusanku" ucapnya acuh. Hani tetap masuk ke kamarnya. Mengabaikan bisikan malaikat yang memintanya peduli pada gadis yang hanya selisih setahun darinya.

Hani masih ingat sikap Maruko saat ia dan teman sekelasnya, Takuto Inoue pergi ke taman bermain.

FLASHBACK

Hani sedang membidik kaleng di depannya dengan serius, Inoue dengan sengaja mengacaukan konsentrasinya dengan meniup-niup telinga Hani yang saat itu belum berjilbab. Hani merasa risih dan akhirnya tembakannya meleset. Inoue tertawa terpingkal-pingkal karena tidak ada satu kalengpun yang tumbang oleh peluru karet yang Hani arahkan.

"Aku akan tunjukkan seperti apa snipper sejati bekerja," celotehnya usai ia mengakhiri tawanya.

Hani mengerucutkan bibirnya pertanda marah, ia bersedekap tak jauh dari posisi Inoue berdiri.

"Jika aku bisa menjatuhkan semua kalengnya, kamu harus jadi pacarku," pintanya sambil mengerlingkan mata.

Hani diam saja, bagaimanapun ia juga menyukai Inoue.

Klang klang klang

Inoue berhasil menjatuhkan semua kalengnya dan mendapatkan sebuah boneka beruang sebagai hadiahnya. Hani tersenyum bahagia karena sebentar lagi boneka itu akan jadi miliknya, dan jika Inoue serius dengan perkataannya, mereka akan berkencan, menjadi sepasang kekasih.

Hani membayangkan akan menjalani hari-hari yang indah di SMA bersama Inoue tahun depan.

"Untukmu," ucapnya seraya menyodorkannya pada Hani.

Hap

"Arigatou, Inoue-kun" ucap Maruko menyambar boneka yang belum sempat Hani ambil itu. Tangan Hani berhenti di udara. Detik berikutnya Maruko menggandeng lengan Inoue dan menyunggingkan senyum termanisnya.

Hani dan Inoue terpaku dan saling pandang, tidak mengerti keadaan yang tiba-tiba ini. Inoue berusaha melepas pegangan Maruko tapi gagal karena gadis berambut coklat itu memegangnya dengan sangat erat.

"Inoue-kun, aku menyukaimu. Ayo kita berkencan," ucapnya manja.

"Mm... Maaf aku tidak..." Inoue masih berusaha melepaskan diri.

"Aah, Hani-chan apa kamu belum mengatakannya pada Inoue? Kamu bahkan meninggalkan surat cintaku begitu saja" Maruko mulai merajuk.

"Nani?" Hani tak mengerti maksud ucapan kakaknya.

(Apa?)

"Inoue-kun, aku meminta Hani memberikan ini untukmu. Aku menuliskannya semalaman tapi ia mengabaikanku dan meninggalkan surat ini begitu saja," Maruko mengadu dengan wajah memelasnya, menunjukkan surat berwarna merah jambu di tangan kirinya.

"Surat? Kakak tidak..." Hani coba membela diri bahwa yang dikatakan kakaknya tidak benar.

"Hani-chan, kamu mencoba mengkhianatiku?" Maruko memotong pertanyaan Hani, "Kamu tahu aku menyukai Inoue sejak lama tapi kamu justru berusaha mendekatinya? Bukankah kamu bilang akan membantuku, kenapa jadi begini? Aku tidak masalah jika harus bersaing denganmu tapi bukan dengan cara berkhianat seperti ini," Maruko pura-pura marah.

"Apa?" Hani benar-benar tak mengerti situasi ini. Maruko tidak pernah mengatakan apapun soal Inoue, jadi kenapa hari ini ia bersikap seolah-olah dikhianati oleh Hani?

Maruko mengerlingkan sebelah matanya, meminta Hani mengikuti sandiwaranya. Hani terdiam di tempatnya, tak percaya sikap menjijikkan Maruko. Maruko rela menjatuhkannya demi mendapat perhatian Inoue.

"Hani-chan," panggil Inoue.

Hani mundur dan berbalik pergi. Berlari sekuat tenaga meninggalkan keduanya. Kembali ke rumah dengan mengayuh sepedanya sambil menangis.

FLASHBACK END

Sejak saat itu Hani mengabaikan Inoue dan selalu menghindarinya. Bahkan sampai kelulusan sekolah ia tak pernah membalas pesan dari Inoue. Karena kejadian itu sikap Hani berubah, ia jadi pendiam dan tak pernah mau berbicara dengan Maruko. Lebih menutup diri dan tak mudah percaya pada siapapun.

Tak disangka, masalah terjadi dengan ayah dan ibunya yang membuat mereka harus berpisah. Diam-diam ayah 'bermain' di luar dan membuat ibu kecewa. Ibu memilih berpisah dan membawa Hani kembali ke Indonesia.

Ibu meminta Hani tidak kembali ke Jepang, tapi Maruko membodohinya malam itu. Ia mengatakan ayah kritis di rumah sakit, Hani yang panik langsung memesan tiket pesawat malam itu juga dan baru menghubungi ibunya sesaat sebelum check in. Ibu mencegahnya tapi Hani bersikeras tetap pergi.

Kembali ke ruang tengah, Kotaro duduk di sebelah Naoki dengan wajah penuh penyesalan.

"Dia dulu tidak begitu," ucapnya lirih, "Dia gadis yang periang dan penuh senyum. Aku dan Maruko mengkhianati kepercayaannya. Dia menutup diri karena kebodohan dan keegoisan kami," ungkapnya.

Naoki terdiam menyimak. Kotaro menceritakan kejadian yang membuat Hani berubah, juga sebab ia berpisah dengan ibu Hani.

"Tolong jaga Haniku," ucapnya di akhir pengakuannya.

Naoki mengangguk sebelum menyusul Hani masuk ke kamar. Meninggalkan pria 50 tahun yang tengah menyesali masa lalunya itu.

Beberapa baju tertata di atas ranjang. Hani sedang mengambil koper yang ada di atas lemari dengan bantuan kursi. Tangannya yang mungil tak terlihat kesulitan meski mengangkat koper yang cukup besar itu. Naoki mendekat, langsung meraih koper itu dan meletakkannya di lantai. Menyembunyikannya di belakang tubuhnya.

"Aku ikut," ucapnya menahan tangan Hani yang hendak meraih koper di belakang Naoki. Hani menatapnya tajam penuh kemarahan.

"Tidak," tolak Hani, tangannya tetap berusaha menggapai koper warna hitam itu. Naoki masih berusaha menghalanginya dengan segala cara. Hani memaksakan diri dan membuatnya semakin dekat dengan badan Naoki.

Cup

Naoki mencium pipi Hani untuk mengalihkan perhatiannya, dan ternyata cara itu berhasil. Tubuh Hani menegang seketika, ia tidak bergerak selama beberapa detik. Ia sangat terkejut karena perlakuan Naoki yang tidak ia duga barusan. Memanfaatkan keadaan itu, Naoki menarik tangan Hani dan mendudukkannya di ranjang, berhadapan dengannya.

"Dengarkan aku," ucapnya pelan, menatap wajah chubby istrinya.

Hani terdiam, mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Lihat aku." pintanya kemudian.

Hani tidak menggubris dan tetap berpaling tak ingin menatap lawan bicaranya. Dia grogi, bagaimanapun mereka masih orang asing yang baru bertemu kemarin. Terlebih Naoki yang tadi mencium pipinya membuatnya salah tingkah dan malu.

"Istriku, lihat aku," pinta Naoki dengan sabar.

Hani semakin salah tingkah mendengar panggilan Naoki padanya. Hani menarik tangannya dari genggaman Naoki dan berbalik memunggunginya.

"Lihat aku atau mau kucium lagi?" Naoki mulai menggodanya dan berhasil membuat Hani menatapnya detik itu juga. Raut wajahnya tak seperti tadi, ia terlihat lebih tenang meski rona merah masih nampak di wajahnya. Naoki tersenyum menyadari Hani gagal memasang wajah seramnya kali ini.

"Masih marah?" Naoki semakin melebarkan senyum menampakkan deretan gigi putihnya, Hani menunduk malu karena Naoki memandangnya terus menerus.

Beberapa menit berlalu tanpa ada aktivitas apapun. Naoki menikmati pemandangan di depannya dengan senang hati, sementara Hani merasa gondok sendiri karena Naoki mendiamkannya dan terus tersenyum. Perlahan Hani mengangkat kepalanya dan memberanikan diri menatap mata Naoki.

"Sudah?" Ken mendekatkan wajahnya ke depan wajah Hani, hanya berjarak beberapa centimeter saja, "Dengarkan aku,"

Nafas Hani tercekat, wajahnya memanas tanpa sebab, "Jangan terlalu dekat," pintanya lirih.

Naoki tersenyum dan menarik kepalanya ke belakang, masih dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.

"Hani-chan... Semua orang pernah melakukan kesalahan. Kita tidak bisa mengambil keputusan yang tidak merugikan siapapun, bahkan terkadang kita merugikan diri kita sendiri,"

"Intinya saja," sela Hani yang membuat Naoki memegang kedua pundak Hani.

"Baiklah. Aku mengakuinya. Aku juga bersalah dalam hal ini. Aku membiarkanmu dijebak oleh Maruko. Tapi bagaimanapun juga itu bukan sepenuhnya salahku karena kamu juga bodoh dengan menuruti perintahnya,"

Hani tampak sebal mendengar Naoki mengatainya bodoh, tapi hal itu benar adanya. Kalau saja ia mendengarkan ibunya malam itu, tapi sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur.

"Apa kamu tahu apa hukuman terberat untuk para pengkhianat?" Naoki mengisyaratkan tanda kutip dengan kedua jarinya saat mengucapkan pengkhianat, "Mereka menghabiskan seluruh waktunya untuk menyesali perbuatan jahatnya. Setiap hela nafas yang ia ambil penuh dengan harapan bahwa ia tidak akan melakukan kebodohan itu lagi di masa depan. Dan setiap hela nafas yang ia keluarkan, ia berharap waktu kembali agar ia bisa memperbaikinya. Tapi itu hal yang tak mungkin kan?"

Hani terdiam mendengar penjelasan Naoki, mencoba menerima alasan yang akan diberikan Naoki atas nama ayah dan kakaknya.

"Aku tidak akan memintamu memaafkan paman dan Maruko. Aku memintamu untuk memaafkan dirimu sendiri. Kamu berhak melepaskan luka itu agar kamu bisa bebas bahagia dengan masa depanmu. Apa yang terjadi, semua kehendak Allah. Apa kamu akan menentangNya?"

Lagi-lagi Hani hanya bisa membenarkan pernyataan Naoki, ia selama ini menganggap Maruko merebut Inoue darinya. Padahal ia amat sangat tahu bahwa mereka hanya teman, sebatas orang yang bertemu setiap hari. Bahkan tanpa Maruko kacaukan pun, mereka akhirnya akan berpisah karena keputusan ibu untuk kembali ke Indonesia.

Entah kenapa alasan Naoki kali ini bisa masuk ke dalam hatinya. Apalagi Naoki menyebut nama Allah, yang membuatnya ingat bahwa semua yang terjadi tak mungkin luput dari penglihatanNya.

"Maaf," gumam Hani pada akhirnya.

"Jangan meminta maaf padaku. Minta maaflah pada dirimu sendiri. Kamu berhak bahagia dengan caramu sendiri,"

Hani mengangguk, "Terima kasih," ucapnya lirih seraya menatap mata Naoki yang hanya dibalas dengan senyuman.

"Hmm... Ini tidak gratis," goda Naoki sambil memajukan wajahnya.

"Apa?" Hani memundurkan wajahnya mencoba menghindari suaminya.

Naoki melepaskan tangannya yang sedari tadi berada di pundak Hani dan beranjak mengambil koper yang sempat mereka perebutkan tadi. Ia dengan cekatan memasukkan baju-baju Hani ke dalam koper, "Besok pagi kita mampir ke rumah ambil bajuku. Aku ingin bertemu ibumu," ucapnya serius.

Hani masih terdiam di tempatnya, menyaksikan Naoki yang menggantikan tugasnya mengemas baju.

"Sudah pesan tiketnya?" tanya Naoki sambil meraih ponselnya di atas nakas.

"Belum," jawab Hani.

"Berikan kartu identitasmu, aku pesan sekarang," pintanya tanpa mengalihkan pandangan dari smartphone nya.

5 menit berlalu, Hani duduk di depan Naoki yang sedang asyik berselancar di dunia maya.

"Sudah beres, penerbangannya jam 11 siang,"

"Terima kasih," lagi-lagi hanya itu yang bisa Hani katakan.

"Hey..." Naoki mengangkat sebelah alisnya, "Bukankah sudah ku bilang ini tidak gratis? Kamu tahu kan apa maksudnya?" Naoki mencoba memancing Hani.

"Itu... Aku tidak tahu," jawabnya lirih mulai salah tingah.

"Benar tidak tahu? Aku suamimu dan kamu istriku," Naoki semakin semangat menggoda Hani yang mulai memerah wajahnya. Ia mendekatkan tubuhnya ke arah Hani yang semakin kalang kabut dibuatnya.

"Itu... Aku..."

*******

Aduh apa yang bakal terjadi nih?

Kok author baper sendiri yaa 😂😂

Jangan lupa dukung author dengan like, komen and favorit yaa 🤗

Hanazawa easzy ♡

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!