"Kembalilah San, kumohon kembalilah......" Ucap laki-laki itu dengan matanya yang nampak sembab.
Samar-samar Sani melihat sosok laki-laki yang menatapnya dengan raut wajah yang terlihat sedih. Laki-laki itu sedang bersimpuh dan memeluk hangat tubuhnya.
"Sani.... Tolong jangan meninggalkan aku seperti ini. Kumohon kembalilah.... " Suaranya terdengar bergetar saat mengucapkan kalimat itu.
"Tidaaakkk....!"
.
.
.
Sani mengerjap-ngerjapkan matanya dengan pelan karena silau oleh lampu terang yang terpasang di atasnya. Tubuhnya terbaring di atas kasur berbau alkohol dan obat. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan berada dimana dirinya sekarang?
Sani terduduk di atas ranjang besi yang setiap ranjangnya di tutup tirai putih yang panjang. Di sebelahnya, menggantung sebuah cairan infus yang terhubung di tangannya. Ini pasti di Rumah sakit? Ya, tidak salah lagi!
Pelan, ia sandarkan punggungnya di tepi ranjang besi itu! Kepalanya sedikit pusing, dengan pandangan yang masih berkunang kunang.Sepertinya, tadi ia mendengar suara seseorang menyuruhnya pulang. Antara sadar atau tidak, tapi entah mengapa suaranya terdengar sangat familiar di telinganya?
Sani berusaha mengingat penyebab keberadaannya disini. Samar-samar ia seperti menangkap sebuah kejadian! Ada mobil yang menghantam sisi depan motornya. Tubuhnya terpental jauh di atas trotoar, lalu orang-orang berdatangan, dan nenek? Ia ingat saat membonceng nenek bersamanya.
Secepatnya Sani berusaha bangun dari tempat tidur untuk mencari nenek. Ia tak peduli dengan kepalanya berdenyut tak karuan seperti hampir meledak. Susah payah ia paksa tubuhnya yang masih gemetar untuk turun dari ranjangnya.
Sani lalu memaksa untuk melangkahkan kaki nyeri-nya yang di baluti perban setinggi lutut itu dengan hati-hati. Ia seakan tak menghiraukan pandangan heran pasien lain, yang menatapnya dengan 'aneh' dari bilik mereka masing-masing. Karena sekarang tujuannya hanya satu, yakni mencari nenek!
Sani melangkah sambil bertumpu pada gantungan infus yang di gunakannya sebagai tongkat. Satu per-satu ia buka tirai pada bilik di samping tempatnya di rawat. Namun ia kecewa saat tak bisa menemukan pasien seperti yang di harapkannya. Ia hanya menjumpai dua orang laki-laki yang tidur di ranjang masing-masing dan beberapa pembesuk yang memandanginya sejak tadi.
Hati Sani makin tak karuan memikirkan kemungkinan terburuk yang berkelebat di benak-nya. Apakah nenek tidak bisa di selamatkan? Ataukah karena kondisinya saat ini membutuhkan perawatan khusus? Aah... Entahlah, Sani harus tetap mencari tahu!
Dengan tertatih Sani berhasil menuju pintu. Ia masih berusaha meraih gagangnya, demi mencari tahu keberadaan nenek yang ia maksud. Namun sebelum tangannya sempat memutar gagang itu, Sani hampir terlonjak saat pintunya terbuka secara tiba-tiba. Ia hanya melongo melihat dua orang berpakaian perawat masuk.
"Loh, mbak sudah sadar? Mbak mau kemana?" tegur salah seorang perawat ramah.
"Iya, sus! Saya mau keluar sebentar saja." Sahut Sani singkat.
"Mbak, tolong jangan banyak bergerak dulu ya? Kan, mbak baru sadar?!" bujuk perawat yang lain.
"Tapi sus, "
"Memang, mbak Sani mau kemana?" potong perawat penasaran.
"Ah, saya mau mencari nenek sus!"
"Nenek?" ulang kedua perawat tersebut sambil berpandangan satu sama lain. Jelas sekali mereka sedang menampakkan raut wajah kebingungan.
"Iya, nenek! Nenek yang saya bonceng saat kecelakaan itu loh, sus?"
"Nenek siapa mbak? Mbak Sani ini di bawa kemari seorang diri, lho. Tanpa seorang nenek ataupun kakek. Khik... kikk.. kikk.. " Goda mereka bersahutan dengan sedikit bercanda.
"Loh, tapi sus.... "
"Sudah sudah, mbak ini kan baru siuman? Nah, malah jalan jalan seperti ini. Ayo, kami antar kembali ke ranjang! "
"Tunggu sebentar sus,"
"Ya?"
"Apakah korban kecelakaan itu hanya saya sendiri? "
"Dari yang saya dengar, korban yang terluka adalah pengemudi mobil dan pengendara motor! Tapi tidak ada penumpang lain yang di temukan di tempat kejadian. Baik mobil maupun motor, kalian sama-sama tidak membawa penumpang!" jelas perawat pertama singkat.
"Tapi itu nggak mungkin sus! Karena saya sangat yakin bahwa pada saat kejadian tersebut, posisi saya sedang membonceng seorang nenek." Sangkal Sani yakin.
Namun kedua perawat itu hanya menggeleng pelan sebagai jawaban-nya.
"Begini mbak, kami juga tidak bisa memberi banyak informasi yang mbak butuhkan. Tapi saran saya, mungkin sebaiknya mbak istirahat dulu sementara ini. Nanti kalau kondisi mbak sudah membaik, pihak kepolisian akan datang untuk memberi keterangan yang lebih detail." Sambung perawat kedua yang terlihat iba padanya.
Sani hanya diam tak tahu harus bicara apa?! Pikirannya masih kesana kemari penuh rasa penasaran! Ia merasa belum menemukan jawaban yang ia harapkan. Ini benar-benar sangat aneh?!
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Seorang laki-laki dan perempuan terlihat tengah duduk duduk santai di bawah salah satu pohon yang terlihat rindang. Mereka sedang asyik berbincang dan menikmati makanan berdua. Sesekali terdengar tawa renyah yang bersahutan di antara keduanya.
"San, boleh mas bilang sesuatu?" bisik si laki-laki lembut.
"Boleh!"
"Tapi janji ya? jangan sombong nanti? "
"Ini mas jadi ngomong apa cuma mau tebak-tebakan saja?"
"Hahaha... iya iya, mas ngomong! Emm... Sepertinya makin hari masakan yang kamu buat makin enak saja." Pungkasnya mantap di akhir kalimatnya.
Perempuan yang di panggil 'San' itu langsung tersenyum senang mendengar pujian dari si lelaki. Pipi mulusnya seketika merona karena malu. Aah, manisnya!
"Mas menggoda Sani lagi ya?" rajuk si perempuan manja.
"Nah, kan? Sekarang kau malah menuduh mas menggodamu?"
"Hahaha... Ya, ya... Sani percaya!"
"Kalau menurut penilaian mas, rasa enak masakan kali ini karena racikan bumbu yang kau buat sudah terasa lebih pas dari biasanya." Sambung si lelaki memberi penjelasan.
"Benarkah? Ah, senangnya... " Si perempuan-pun semakin melebarkan senyumnya mendengar pujian dari lelaki itu.
"Sekarang senyum senyum sendiri kamu San? Seneng ya dipuji begitu? "
"Hehehe... Mas kok tahu sih!" Sahut si perempuan makin manja.
Matanya berbinar puas memandangi si lelaki yang makan dengan lahapnya. Sesekali si perempuan tersenyum sendiri melihat si lelaki memenuhi mulutnya dengan makanan sampai membuat kedua pipinya menggelembung.
"Kenapa melihat mas makan sampai senyum senyum begitu? Apa jangan-jangan?"
"Aapp.. Apaan, mas ngganggu orang bahagia aja! " gelagap perempuan itu, saat tertangkap basah sedang mencuri-curi pandang.
"Bahagia? Wah mas hebat dong, bisa membuat orang bahagia hanya dengan makan saja?"
"Eh, bbu... Bukan begitu!" ujar si perempuan semakin gelagapan.
"Lalu?"
"Maksudnya, bahagia karena masakan San sudah cocok saja. Iya, seperti itu.... "
"Ooh... begitu?" sahut si lelaki sambil manggut manggut, seolah paham.
"Eh... Tapi kalau boleh jujur, mas boleh ngomong sesuatu?"
"Boleh, kok! Mas mau ngomong apa?"
"Sebenarnya, mas suka masakanmu bukan karena sekedar rasanya enak saja. Apa kau mau tahu alasannya?" pancing si lelaki mulai menggoda penasaran perempuannya.
"Ya, tentu."
Sambil memandang lurus ke dalam mata si perempuan, laki-laki itu berkata:
"Mas menyukai makanan ini karena yang memasak adalah kau. Selain masakan yang kau buat, semua masakan akan terasa hambar di lidahku."
Bbllush...
Pipi si perempuan langsung merah mendengarnya. Matanya semakin tak bisa lepas, memandangi si lelaki yang hampir menghabiskan makanannya.
Si lelaki terus mengunyah makanan yang di bungkus dalam daun pisang itu. Terkadang sesekali tangannya mengusap keringat yang merembes pada kumis tipisnya. Mengapa bahkan di saat mengunyah makanan seperti itu, bibirnya yang tipis terlihat sangat se....
Wwuuss... Tiba tiba angin bertiup menerbangkan debu-debu di depan mereka.
Si perempuan langsung berdiri mengibas ngibas debu yang menempel pada seluruh tubuhnya. Ia terbatuk batuk, karna banyak debu yang menyapu wajahnya.
Tangannya meraih pipinya yang putih dan mulus untuk membersihkan sisa-sisa debu yang menempel. Namun ia terkejut saat mendapati tangan besar berotot itu sudah di sana. Tangan itu bergerak teratur, mengusapnya lembut untuk membersihkan debu di pipi mulus itu.
Ddrrrt...! Seketika seperti ada aliran listrik yang menjalari seluruh tubuhnya! Hangat dan terbakar!
Si perempuan terus memperhatikan wajah si lelaki yang nampak serius membersihkan debu di pipinya. Wajah mereka menjadi sangat dekat sekali. Sampai-sampai ia bisa merasakan hangat nafas lelaki itu di pipinya.
Ccuppp! Tanpa sadar, ia baru saja mengecup bibir tipis itu.
"Mas, sepertinya aku telah benar-benar menyukaimu..." Bisiknya pelan, hampir tak terdengar.
Awalnya si lelaki terlihat agak kaget saat menerima ciuman yang terkesan tiba-tiba. Namun akhirnya ia pun tersenyum, dan semakin mendekatkan wajahnya
"Aku juga benar benar menyukaimu, San." Balasnya nakal, sambil memainkan lidah di telinga perempuannya!
Ia terus tersenyum, sambil menarik pelan dagu cantik itu mendekat ke arahnya.
Dan mereka pun saling berpagut di antara banyaknya debu yang semakin berterbangan.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Hai...
Perkenalkan ini novel pertamaku!
Jangan lupa untuk memberikan apresiasi kalian ya?
Terimakasih sudah mampir!
Aku tunggu like, komen dan Favoritnya.
Sampai jumpa
Hah, Laki laki itu lagi?
Sani terbangun begitu mendengar pintu kamar terbuka. Seorang petugas wanita yang memakai setelan baju dan celana hijau masuk, dengan mendorong sebuah etalase berukuran kecil. Etalase mini itu di penuhi dengan beberapa makanan yang di bungkus dengan plastik wrap.
Petugas tersebut kemudian mengambil satu per-satu makanan dalam etalase-nya! Ia berjalan ke setiap ranjang pasien, sambil meletakkan rangsuman pada setiap meja di sisi ranjang.
"Terimakasih." Ucap Sani pelan pada si petugas. Lalu petugas itu hanya menjawabnya dengan sebuah senyum, sebelum ia menghilang di balik pintu.
Ini hari ke-tiga di rumah sakit setelah Sani bangun dari koma. Anehnya, selama tiga hari itu ia melihat laki laki yang sama dalam mimpinya. Wajah laki laki ini terasa tak asing baginya. seperti sudah ia kenal sekian lama saja.
Kebersamaanya bersama laki laki dalam mimpi itu seakan benar benar pernah ia alami. Dan itu yang membuatnya bingung. Siapa sebenarnya laki laki yang sering di temui dalam mimpinya?
Dan yang terpenting, tentang ciuman itu. Pipinya terasa panas mengingatnya. Terasa seperti bibirnya benar benar melakukan ciuman itu. Ia masih mengingat lembutnya bibir itu. Kumisnya yang tipis menggesek geli, menciptakan sensasi yang...
"Aduh... Aku ini mikir apa sih? Otakku benar-benar sudah tidak beres!" gumamnya pelan.
Sani melirik rangsuman yang baru saja di letakakan di atas meja. Ada nasi yang di bentuk bulat berukuran sedang di tata di atas piring. Di piring yang lain, ada lauk ayam goreng, perkedel, dan tahu bumbu balado yang menemani. Lalu se-mangkuk kecil sup daging lengkap dengan wortel dan kubis-nya.
Rasa lapar mulai membuatnya meraih baki makanan itu. Sedikit demi sedikit, ia menyendok nasi yang punel dan memasukkan sarapan paginya ke dalam mulut. "Hhm... Lumayan." Bisik-nya lirih.
Separuh porsi makanan sudah berpindah ke perutnya, saat seorang pria dengan setelan baju putih masuk ke biliknya. Pria itu datang bersama dua orang perawat yang mengikutinya di belakang.
"Selamat pagi mbak Sani? Saya dokter yang bertugas menangani anda." Sapa pria di depannya sopan.
"Pagi, dokter! Saya sangat ber-terimakasih karena berkat bantuan dokter-lah, kondisi saya membaik kian hari. " Sahut Sani mencoba berbasa-basi.
"Sama-sama, lagipula itu memang sudah menjadi tanggung jawab saya! Oh ya, Bagaimana kabar anda hari ini?"
"Sudah jauh lebih baik dok."
"Bagus! Menurut data yang saya lihat, sepertinya kondisi anda sudah stabil. Hari ini juga bisa segera pulang."
"Syukurlah...! Terimakasih dokter."
Dokter itu hanya mengangguk!
"Setelah ini, perawat akan segera melepas slang infusnya ya? Mbak Sani boleh bersantai sambil menunggu." Imbuhnya tegas.
"Baik dok!"
"Kalau begitu saya permisi. Mari... "
"Mari..." Balas Sani ramah.
Dokter melangkah pergi mengunjungi bilik pasien yang lain dengan seorang perawat yang menyusul di belakang-nya. Rupanya mereka melakukan hal yang sama pada pasien lain, sedangkan salah seorang perawat tetap Tinggal dan mulai bekerja membereskan slang infus di tangan Sani.
"Oh iya Mbak Sani, apa ada keluarga yang bisa di hubungi untuk mengurus administrasinya?" tanya si perawat memulai perbincangan.
Sani menggeleng.
"Lalu, bagaimana dengan gadis yang biasa menjenguk mbak Sani?"
"Gadis? Siapa sus?" tanya Sani heran.
"Setahu saya, ada seorang gadis cantik yang sering kemari. Meski sebentar, tapi hanya dia yang rutin setiap dua hari sekali menjenguk mbak Sani di sini!" jelas si perawat singkat.
"Hah? Benarkah?"
Perawat itu mengangguk!
"Kalau boleh tahu, bagaimana ciri-cirinya sus?" tanya Sani mulai penasaran.
"Orangnya tidak begitu tinggi, lalu kulitnya kuning langsat dengan rambut yang sepanjang bahu!" jawab si perawat mencoba menyebutkan ciri-cirinya. "Mbak Sani kenal, kan?"
"Ah, iya Sus. Itu Lin, pegawai kepercayaan di butik saya. Sejujurnya saya tidak ada keluarga atau seseorang yang bisa di hubungi." Jawabnya lesu sambil menghela nafas panjang.
"Ups! maaf mbak, saya tidak tahu!" sahut perawat itu terlihat sungkan begitu melihat perubahan ekspresi di wajah Sani.
"Ah, saya baik-baik saja kok, sus! Saya hanya teringat sesuatu, tadi!" jawab Sani datar dengan mata menerawang lurus.
"Sekali lagi saya minta maaf."
Sani mengangguk sambil menyunggingkan senyum kecil.
"Oh ya suster, apakah saya boleh menyelesaikan segala administrasi dan urusan lainnya sendiri?"
"Ya, tentu saja!"
"Tapi untuk itu, saya butuh handphone dan dompet saya." Pungkas Sani tegas.
"Uumm, kalau mengenai hal itu, saya sendiri kurang berwenang mbak. Karena untuk saat ini, semua barang-barang mbak Sani masih di amankan di polres setempat! Bapak-bapak polisi itu membawanya untuk melengkapi data kecelakaan lalu lintas yang terjadi!" jelas si perawat panjang lebar.
"Lalu?"
"Ya, nanti saya usahakan untuk membantu mbak Sani dengan menghubungi pihak kepolisian yang saya maksud. Bagaiamana?"
"Wah, saya jadi merepotkan suster saja?" sahut Sani sungkan.
"Mbak Sani tidak usah sungkan begitu, saya sendiri tidak keberatan, kok! Lalu sementara saya siapkan semuanya, barangkali mbak Sani ingin belajar berjalan pelan-pelan di luar? Yaa... Hitung-hitung sambil menunggu pengurusan surat keluar dari rumah sakit, kan?" Usul si perawat memberi alternatif.
"Baiklah! Lagipula saya juga sudah bosan di dalam kamar terus. Kalau boleh, saya mau coba jalan-jalan sebentar di taman."
"Oh, tentu! Apa perlu saya temani?"
"Tidak perlu, sus! Terimakasih." Tolak-nya sopan.
Perawat itu hanya tersenyum dan mengangguk, sebelum pergi menyusul dokter di bilik lain.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Sani melangkahkan kaki-nya perlahan menyusuri taman rumah sakit yang lumayan luas itu. Jalannya tertatih-tatih di bantu dengan tongkat di kedua sisi tangannya untuk membantu kakinya yang masih lemas. Ia memilih duduk-duduk santai di bangku taman yang panjang setelah dirasa kakinya cukup menerima pemanasan.
"Mbak...! Mbak Sani... "
Sani melihat seorang gadis muda dengan rambutnya yang sepanjang bahu melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum. Lin?
Gadis itu nampak ceria dengan senyum yang terlihat mengembang. Sambil lari-lari kecil ia mulai datang menghampiri Sani.
"Hhh... hhh tadi saya ke kamar mbak Sani, tapi ranjangnya kosong. Hhh... Lalu saya coba tanya pasien yang lain, dan hhh... mereka bilang mbak Sani sedang jalan-jalan di taman. Hhhh... " Omelnya panjang di antara nafas yang memburu.
"Kamu ini, Lin.... Mbok ya pelan-pelan kalau bicara. Sudah ngos-ngosan begitu, kok ya masih bisa ngomel panjang lebar?"
Perempuan yang di panggil Lin itu hanya menampakkan ujung giginya yang rapi, sebagai jawaban.
"Malah nyengir?"
"Hehe... Saya tadi cuma khawatir sama mbak.Tapi syukurlah kalau sekarang mbak sudah baikan!" sahutnya malu.
"Hah... iya, aku bosan di kamar! Oh ya Lin, ngomong-ngomong terimakasih ya... ?"
"Terimakasih untuk apa mbak?"
"Terimakasih karena kamu sudah mau menjenguk-ku selama aku disini!" pungkas Sani dengan mata berbinar.
Lin nampak salah tingkah saat menerima ucapan rasa terimakasih itu dari atasannya.
"Tidak perlu sungkan, mbak. Lagian saya juga cuma datang sebentar-sebentar saja kok." Sahutnya sungkan.
"Ah, kau ini gadis yang baik. Ya, terserah kau saja. Tapi bagiku, perlakuanmu itu sudah sangat berarti, Lin."
Lin hanya manggut-manggut mendengar pujian Sani padanya. Sungguh, ia merasa tesanjung mendengarnya.
"Oh ya mbak. Sebenarnya tiga hari ini saya sangat sibuk mengurus butik sendirian. Jadi, maaf kalau selama itu saya tidak sempat kemari untuk menjenguk." Sahutnya kemudian.
"Aku tahu! Pasti kamu kewalahan dan sangat sibuk mengurus butik sendirian. Kasihan kamu," jawab Sani dengan nada meledek.
"Mbak sih, nggak sembuh-sembuh? Saya jadi sibuk sendiri dan kewalahan dengan para pelanggan yang cerewet itu!"
"Hahaha.... Iya maaf. Tapi kamu tenang saja! Nanti begitu aku keluar dari sini, aku janji bakal kasih bonus ekstra buat kamu!"
"Hah? Beneran? "
"Iya dong."
"Yeaaay...!" seru-nya senang.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Sani merebahkan tubuhnya perlahan di atas ranjang empuk miliknya begitu ia sampai di rumah. Setelah menyelesaikan semua administrasi dan lain-lain, akhirnya Sani bisa pulang dengan jasa driver online yang ia pesan melalui sebuah aplikasi.
Sani lalu merogoh-rogoh saku bajunya, ketika ia teringat akan sesuatu. Pluuk! Sebuah benda seketika terjatuh dari dalam saku-nya. Seuntai kalung yang sangat cantik kini berada di tangannya.
Namun masalahnya, Sani tak bisa mengingat sesuatu dari kepemilikan kalung yang cantik ini! Polisi yang mengembalikan barang-barangnya tadi hanya berkata, bahwa kalung ini di temukan bersama barang barang miliknya yang lain. Hah... Entahlah!
"Tapi ini kalung yang sangat cantik... " Gumamnya sambil tersenyum.
"Baiklah, aku akan mencobanya sebentar saja." Imbuhnya beberapa saat kemudian.
Sani melihat pantulan dirinya di depan cermin setelah memasang kalung itu dengan baik. Dada-nya yang membusung dan kulit putih bersih itu terlihat sangat cocok dengan kalung yang dipakainya.
"Aaw, cantik sekali... "
Setelah puas berpose di depan cermin, ia kembali merebahkan tubuhnya yang masih belum benar-benar pulih di atas ranjang.
"Hhooahhmm....! Astaga, aku ngantuk sekali."
Sani mulai merileks-kan diri dengan memejamkan matanya dengan tangan yang mengusap-usap lembut bed cover di bawah bantalnya. Hhmm..... Sangat nyaman!
1
2
3
4
5
Dan tak beberapa lama kemudian, Sani-pun terlelap!
🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Silau sekali!
Sani memicingkan matanya sedikit dan mengintip dari sela jemarinya. Ia memastikan cahaya apa yang kini membuat matanya terasa silau? "Oh, ternyata cahaya itu berasal dari sinar matahari? Pantas!" gumamnya pelan.
Sani mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ia berada. Di atasnya ia lihat banyak daun bambu menjuntai dari ranting-ranting kecil pohonnya. Cuacanya cerah, langit-pun berwarna biru terang. Suara kicauan burung, terdengar saling bersahutan di sana-sini.
Ia juga mendengar suara air mengalir entah dari mana asalnya? Suara itu membuat suasana di sini menjadi sangat tenang dan damai. Sani juga merasakan permukaan empuk dan nyaman yang kini menahan tubuhnya.
Sepertinya itu bukanlah permukaan kasur ataupun karpet yang nyaman. Ia tahu karena teksturnya sedikit basah dan geli ia merabanya. Sentuhan-nya semakin intens untuk mengenali benda apa itu?
Baru saja ia berniat untuk bangun dari posisinya saat sebuah tangan merangkulnya dari samping. Refleks! Sani menoleh ke arah pemilik tangan yang kini tengah menahannya.
Blussh...! Seketika pipinya terasa hangat saat mendapati sebuah hal di luar dugaan. Karena hanya jarak lima senti saja, hidungnya hampir menabrak hidung seorang lelaki yang pulas di sampingnya.
Deg... Deg... Deg... Suara detak jantungnya yang berdegup kencang sampai terdengar dengan jelas. Sani benar-benar gugup mengahadapi situasi seperti ini. Ini adalah pengalaman pertamanya bisa sedekat ini dengan seorang laki-laki.
Wajah itu terlihat sangat tenang dengan kedua mata yang menutup rapat. Nafasnya keluar-masuk secara teratur, dana terasa hangat memenuhi wajah Sani.
Sangat Harum.
🍀🍀🍀🍀🍀🍀
Sani hafal dengan kumis tipis dan bibir ini.Dia adalah laki laki yang sama. Ya, ini adalah laki-laki yang selalu datang di dalam Mimpinya itu.
''Aah... Benar saja ada laki laki ini, karena ini mimpi kan?'' batin Sani ambil memerhatikan laki laki yang masih pulas itu dengan seksama.
Laki laki itu memakai ikat kepala dari kain jarik berwarna coklat yang di lipat agak kecil. Ia memiliki rambut yang rapi dengan sedikit gelombang unik di ujungnya.
Laki-laki ini mempunyai bentuk hidung yang tidak mancung, juga tidak pendek. Dipadukan dengan kumis tipis yang rapi, membuat laki-laki ini enak di pandang.
Berikutnya, perhatian Sani jatuh pada bibirnya yang terkatup. Bibir itu bulat, dengan sedikit warna merah yang samar. Sebenarnya, warna bibir merah itu nampak kontras dengan kulit sawo matang-nya. Tapi entah kenapa, justru inilah yang memberikan pesona tersendiri di mata Sani.
Tanpa sadar Sani semakin mendekatkan wajahnya supaya ia bisa memandangi laki-laki itu dengan jarak yang lebih dekat.
''Laki-laki yang tampan!" gumamnya dalam hati. "Kenapa mimpi bisa se-'nyata' ini? Ah, andai saja aku punya pacar setampan ini."
Sssrret... Ssret...!
Pelan, tangannya mulai tergoda untuk mengusap pipi lelaki itu dengan lembut dan santai. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati dan menjaga supaya sosok yang masih terlelap itu tidak terbangun karena ulahnya.
"Pakai foam apa sih, kok pipi-nya bisa halus gini? Hehehe...." Ucapnya di tengah kesibukan belaian itu.
Sani suka dengan tekstur wajah laki-laki ini. Rasanya tidak terlalu halus, namun cukup ter-rawat untuk ukuran wajah seorang laki-laki.
Tak berhenti di situ, tangannya yang nakal ternyata mulai berani untuk turun, dan meraba bibir bulat yang sejak tadi sudah menarik perhatiannya. Telunjuknya di arahkan memutar mengikuti garis bibir yang masih mengatup itu.
Di ulang ulang terus gerakannya mengelilingi garis bibir bulat si tampan . Semakin di perhatikan, semakin membuat Sani tergoda untuk menempelkan bibirnya di sana.
"Hah... Sepertinya aku sudah gila!" bisik Sani dengan pipi merah.
Aneh sekali mimpinya kali ini. Sani benar-benar merasa sadar dan seolah terjaga di sana. Bisa sedekat dan se-intens ini dengan laki-laki tampan yang tak dikenal membuat sesuatu dalam dadanya bergejolak tak beraturan.
"Sudah cukup! Aku harus bangun sekarang juga." Gumamnya saat mulai sadar bahwa sejak tadi ia hanya terus mengagumi pesona si lelaki.
Pelan, ia mencoba memindahkan tangan besar si lelaki yang sejak tadi melingkar di pinggangnya. Uuh, tangannya sangat kekar dan berat.
Namun Sani masih belum membenarkan posisinya, saat tiba-tiba ia melihat kepik yang terbang dan hinggap di bibir bulat si tampan. Otaknya langsung berfikir tentang bagaimana cara mengusir hewan kecil yang mengganggu itu tanpa membangunkannya?
"Aku tahu caranya... "
"Ffuuh, Fffuuhh...!"
Dengan hati-hati, Sani mulai meniup kepik yang masih menari-nari di atas bibir si tampan. Sehalus mungkin, ia terus berusaha untuk mengusir si pengganggu kecil itu.
Tanpa sadar, Sani terus mendekatkan wajahnya pada bibir si tampan. Pandangannya tak berpindah, hanya tertuju pada si kepik dan bibir bulat itu.
Tidak, perhatiannya sudah beralih! Sani tak lagi mengincar pengganggunya. Justru kini ia hanya terfokus pada bibir si tampan saja. Aah... Celaka! Sani sedikit membuka bibirnya, bersiap untuk mengecup bibir yang masih terkatup itu!
"Ccupp." Bibir mereka-pun bertemu selama beberapa detik
Tunggu...! Tidak, bukan dirinya yang mengecup bibir itu duluan. Tapi bibir itu sudah menempel terlebih dahulu sebelum Sani sempat menyambarnya.
"Hai, kenapa kaget begitu? Apa kau tidak pernah lihat orang tampan tidur, hmm?"
"Hah?" Sani merasakan suaranya tercekat di tenggorokan.
"Mas sudah bangun dari tadi kok! Hehehe..."
Sani melotot kaget! Apa itu barusan? Jantungnya hampir saja copot karena first kiss yang mendadak itu. Dan sekarang laki-laki itu bilang sudah bangun sejak tadi?
"Mati aku!" batinnya mengutuk.
Sani segera berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba untuk tidak panik menghadapi sesuatu yang di luar dugaannya ini. Haah... Pasti ini hanya mimpi, kan?
"San? Kenapa diam saja?" tanya sosok tampan itu penasaran.
"Aa... Anu.. "
"Oh, ternyata yang tadi masih kurang ya? Eeemm.... Mau mas tambah lagi?"
Hah?
"Tti... Tidak, tunggu.... "
Laki laki itu ******* bibir Sani kembali sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. Tanpa permisi laki-laki itu menyambar bibir Sani begitu saja.
Sementara itu tangannya mulai bereaksi untuk menahan kepala Sani, supaya ia bisa lebih memperdalam ciumannya. Ia memberikan ciuman yang pelan, sekaligus lembut pada Sani. Nampaknya ia sudah sangat lihai memainkannya!
Tidak ada suara yang bisa keluar dari mulut Sani. Sani sendiri juga seperti tersihir dengan permainan saling cumbu itu. Laki-laki itu semakin mendekatkan posisinya dan meraih pinggang Sani. Pinggang yang ramping itu di peluk erat dan menahannya di dalam pelukan tubuhnya yang hangat!
Jeesss!!
Hal itu berhasil membuat sesuatu dalam tubuh Sani mulai terasa panas.Terasa ada percikan kembang api di dalam perutnya.
Tidak...!
Hentikan!
Aku tidak mengenalmu!
Kalimat kalimat itu hanya tercekat di tenggorokan Sani tanpa ada sepatah kata-pun yang keluar.
Ttunggu... Hentikan!
Namun suaranya masih tertahan, tak mau keluar dari tempatnya. !
Akhirnya, tidak ada sesuatu yang bisa terdengar dari mulutnya. Sesekali hanya terdengar suara-suara aneh yang lebih terdengar seperti meracau.
🍀🍀🍀🍀🍀
Jangan lupa tinggalkan like dan coment.
Terimakasih, sudah mampir 😘😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!