"Astaga. Jika dia tersenyum manis seperti itu setiap hari, aku bisa diabetes."
"Siapa?" Wanda mengikuti pandangan sahabatnya dari bangku dimana mereka sedang duduk. Lalu pandangannya jatuh pada salah satu senior yang pernah menjadi ketua OSPEK saat mereka menjadi mahasiswa baru sebulan lalu. "Ah Senior itu?"
Flo sang sahabat menoleh menatap sahabatnya aneh. Lalu kedua tangannya mengguncang bahu Wanda dengan gemas. "Ku tebak, kau pasti tidak ingat namanya."
"Memang tidak." Wanda terkekeh. Lalu berusaha melepaskan guncangan Flo dengan jari-jemari mungilnya. "Lagipula aku tidak akan berurusan dengannya."
"Huh, lucu sekali. Aku penasaran bagaimana selera mu akan cowok. Aku mengenalmu sejak SMA tapi tidak pernah melihatmu berkencan sama sekali. Atau...." Flo mendekatkan wajahnya kepada Wanda seakan meneliti wajah Wanda baik-baik.
"Apa?"
"Kau Lesbi?" Flo bergeser menjauh dari Wanda dan mendekap dadanya dengan kedua tangan.
"HAH?!" Lalu Wanda tertawa geli sambil mendekap perutnya. Lucu sekali, bagaimana sahabatnya mengira dia lesbi karena tidak pernah berkencan selama 19 tahun ini.
"Tapi serius, kau tidak tertarik sama sekali dengan Kak Yuzen?"
"Kak Yuzen?"
"Ketua OSPEK itu, Wanda ku sayang!"
"Oh." Wanda menoleh ke arah di mana Yuzen tadi berdiri sambil berbincang dengan salah satu dosen. Pria itu masih disana. Tampak mempesona dengan senyum yang terus diuraikannya. "Dia tampan."
"Nah kan!"
Wanda masih memandang pria itu. Pria itu jangkung. Mungkin tingginya 180cm. Wajahnya dipahat sangat sempurna. Dan Wanda dengar dia mahasiswa berprestasi dengan status terpandang. Tipe pria yang sangat Wanda hindari. Karena biasanya pria sesempurna itu pasti memiliki kekurangan yang tersembunyi.
"Tapi terlihat brengsek." Wanda melanjutkan. Yah, mana ada pria sempurna nan kaya raya yang tidak brengsek.
Flo melotot kan matanya kearah Wanda dan kembali mengguncang bahu sahabatnya. "Hei, kau tahu. Hidupnya itu se-flat hidupmu. Sama-sama tidak pernah berkencan."
Kini gantian Wanda yang melotot. "Tidak mungkin. Yah lagipula kau tidak mengenalnya kan."
Wanda penasaran, lalu kembali menatap pria itu. Bagaimana bisa pria sesempurna itu tidak pernah berkencan? Tapi kemudian tatapan mereka bertemu. Awalnya pria itu menatapnya datar, lalu senyuman manis dilemparkan padanya sebelum kemudian pria itu memilih berbalik dan berlalu pergi. Sepertinya pria itu memang suka tersenyum kepada siapa saja tanpa alasan.
"Lihat. Dia tersenyum pada kita! Bukankah dia sangat ramah?"
Ramah?
Wanda tidak merasa seperti itu. Setelah diteliti, Justru senyum itu terasa memiliki banyak arti dan mengintimidasi. Seakan pria itu ingin menyampaikan sesuatu lewat senyuman.
Mungkin hanya perasaan Wanda saja.
...✾n-o-t✾...
Wanda perjalan menyusuri koridor. Koridor terlihat ramai tapi dia sangat merasa ketakutan saat ini. Dia mencoba untuk melawan rasa takutnya. Dia takut akan orang asing. Dia takut berada di keramaian. Selama ini dia hanya bersahabat dengan Flo. Flo selalu menjaganya, menenangkannya, dan selalu membantunya membuat pertemanan dengan orang lain. Meski berhasil menjalani pertemanan dengan teman-teman sekolahnya, Wanda selalu merasa ketakutan saat terlalu dekat dengan mereka tanpa Flo.
Kini, karena tak ingin terlalu membebani Flo, Wanda memilih jurusan yang berbeda dengan Flo. Bahkan mereka berbeda gedung dan hanya bertemu sesekali seperti tadi pagi.
Flo juga butuh kehidupan pribadinya. Berteman dengan orang lain, berbelanja tanpa perlu menenangkannya, berkaraoke beramai-ramai bahkan ke Club tanpa perlu mencemaskan nya, terlebih berkencan dengan orang yang dicintainya. Wanda tak ingin merusak kehidupan percintaan Flo. Sudah cukup Flo mengorbankan hidupnya.
Wanda berhenti saat mencapai lokernya yang berada di barisan paling ujung. Gadis itu membuka lokernya dan mendesah saat mendapati banyak surat dan coklat didalam sana.
"Hei Wanda, penggemarmu sepertinya bertambah banyak." Seorang teman sekelasnya di beberapa mata kuliah menyapanya sambil lalu sebelum kemudian fokus dengan lokernya sendiri yang berada 2 loker dari milik Wanda. Wanda hanya menyapanya sekilas lalu fokus kembali pada lokernya.
"Kenapa di jaman secanggih ini masih banyak yang mengirim surat?" Wanda mendesah. Dia merasa semakin gelisah karena surat - surat yang diterimanya kini bertambah 2 kali lipat. Dan dapat dipastikan dari orang yang berbeda-beda. Ada 7 surat didalam sana dan 2 kotak coklat serta 1 boneka.
"Hei, kau mau coklat? Aku alergi coklat." Wanda memanggil gadis yang tadi menyapanya. Gadis itu masih sibuk membereskan lokernya sendiri. Dan jujur, Wanda tak ingat namanya.
"Huh apa?"
Wanda kembali mengulang, "Mau coklat? Aku alergi coklat."
Gadis itu tersenyum senang. "Serius? Aku suka coklat. Tapi kau yakin memberikannya padaku? Itu kan dari penggemarmu."
"Ambil saja."
"Oke, thanks ya." gadis itu memasukkan coklat kedalam tasnya serta mengambil buku dari dalam loker dan dimasukkan kedalam tas. Lalu menutup lokernya. "Wanda, kupikir kau harus menerima salah satu dari mereka. Bukankah tidak nyaman menerima banyak surat seperti itu? Terasa seperti diteror. Bukankah begitu?"
Wanda mengangguk. "Kau benar. Aku sedikit merasa ketakutan."
Gadis itu sedikit terkekeh. "Yah, bisa saja diantara mereka ada yang sedikit psiko. Jika kau punya pacar, dia akan bisa melindungimu." Gadis itu tersenyum. "Aku tidak berusaha menakut-nakutimu. Jangan dianggap serius. Hei, aku pergi dulu. Sampai jumpa di kelas."
Dan gadis itu berlalu pergi.
Wanda kembali menatap lokernya. Gadis itu benar. Bagaimana jika ada yang berbuat berlebihan?
Wanda menutup lokernya sangat keras. Lalu kemudian bergegas dari sana. Lebih baik dia berada di keramaian. Meski ketakutan tapi tidak akan ada yang menyakitinya.
Tanpa disadarinya seorang pria berdiri di sudut loker yang sedikit agak gelap. Mendengar semua percakapan tadi dan melihat semua gerak gerik Wanda. Topi yang tadi dipakainya dilemparkannya kasar. Dan sebuah tinju keras terarah ke pintu loker dengan serampangan.
Dia tidak suka.
Dia tidak suka saat ada banyak mata tertarik pada gadisnya bahkan hendak menarik perhatian gadisnya. Dia sangat tidak suka.
Barisan loker itu terlihat sepi tanpa orang. Lalu pria itu berjalan kearah loker milik Wanda. Membukanya secara paksa dan merenggut semua surat disana.
"Lihat, apa yang bisa kulakukan pada kalian semua. Berani sekali bajingan kotor seperti kalian mencoba menarik perhatian gadisku."
...✾n-o-t✾...
"Kau sudah dengar kabar? 7 mahasiswa senior kita dari berbagai jurusan diserang oleh orang tak dikenal kemarin. Dan parahnya semuanya dalam kondisi kritis."
Wanda mengangkat sebelah alisnya. Tapi kemudian dia kembali menyendokkan nasi soto yang tinggal setengah di mangkoknya. Lagipula itu bukan urusannya. Untuk apa dia peduli. Flo yang melihat betapa tidak pedulinya Wanda merasa gemas dengan gadis itu.
"Ayolah Wanda, simpati sedikit dong."
Wanda mendongak dari mangkoknya dan menatap Flo jengah. "Aku lapar Flo. Dan itu urusan mereka. Paling-paling mereka sedang konflik biasa."
Flo menatap sekitar, kantin sangat sepi kini apalagi di jam 4 sore saat akhir pekan seperti ini. Flo menyeruput jus jeruknya sejenak sebelum mendekatkan wajahnya pada Wanda. "2 dari mereka pernah menembakmu didepan umum dan satu lainnya pernah memberimu bunga."
Wanda tersentak. Sebelum sesaat kemudian ekspresinya kembali normal. "Lalu?"
"Tidakkah kau merasa aneh?"
Wanda menggeleng. Lalu kembali melanjutkan makan hingga soto dalam mangkuknya habis tak bersisa. Ayolah seharian ini dia belum memakan apapun.
Flo sendiri mengecek jam tangannya sebelum kemudian berdiri. "Hari ini aku yang bayar, ok. Aku harus segera pergi."
"Kemana?"
Flo tersenyum lebar, sebelum kemudian memekik, "Kencan dong!"
"Huh, kencan?" Wanda ikut berdiri, mengikuti Flo kearah kasir. "Kau punya pacar?"
Flo mengangguk.
"Siapa?"
"Ra-ha-si-a." Flo menekankan setiap katanya, membuat Wanda menjadi penasaran. Wanda pun kemudian cemberut dan memilih bersedekap menatap Flo yang membayar dengan raut kesal.
"Mbak, pesan Siomay. Masukin ke dalam tagihan dia." Lalu Wanda berlalu kembali ke mejanya. Memilih pura-pura tidak mendengar saat Flo berteriak padanya.
"Astaga, 1 mangkuk soto dan nasi kurang untukmu?!" Teriak Flo dari kasir. Tapi gadis itu kemudian tersenyum dan memilih berlalu pergi setelah membayar semuanya.
Wanda yang ditinggalkan hanya duduk termenung. Tidak ada orang di kantin. Bahkan mungkin hanya segelintir orang yang ada di kampus seluas itu. Hari sudah menunjukkan pukul setengah 5. Tapi Wanda suka suasana itu. Sepi dan sunyi. Dia tidak merasa tertekan.
Rambutnya yang menyentuh punggung tertiup angin lembut, membuat setiap helai menjadi berantakan. Hidungnya mancung dengan mata bulat yang tampak polos. Tubuh gadis itu mungil, tingginya hanya mencapai 155 cm. Dan tubuhnya cenderung kurus, karena dia selalu setia melewati Jam makan jika tak diingatkan sahabatnya. Meski begitu, semua orang berkata Wanda sangat cantik. Yah, walau dengan baju buluk dan rambut yang lebih sering disisir oleh tangan.
Dia bahkan masuk ke sekolah ini karena biaya siswa. Maklum saja. Hidupnya serba kekurangan. Makan saja sering Flo yang membayar. Menjadi sebatang kara benar-benar menyedihkan.
"Ini Siomay-mu."
Wanda mendongak dan mendapati seorang pria jangkung berdiri di samping mejanya dengan seporsi siomay.
"Oh, terimakasih." Wanda menerima siomay itu. Meraih sendoknya dan mulai menyuap siomay yang tampak menggiurkan di piringnya.
Wanda berusaha tidak mendongak. Tapi gadis itu sadar bahwa orang asing itu duduk tepat didepannya, tepatnya orang yang mengantar siomay - nya tadi.
Wanda tak ingin menegur. Teguran hanya akan memulai percakapan. Dan dia merasa tertekan dengan orang asing. Sial. Dia sudah menyukai kesunyian ini tapi kenapa pria didepannya harus duduk disana? Bukankah masih banyak bangku kosong? Dan tampaknya pria itu bahkan tak membawa makanan apapun. Hanya terduduk didepannya dengan pandangan kearah.... Wanda.
Wanda semakin merasa takut.
"Kurasa dulu kau tak sediam ini."
Deg.
Siapa pria itu? Seolah-olah mengenalnya saja!
Tapi Wanda tetap bungkam. Dia memilih memakan dengan cepat. Tepat saat sendok terakhir siomay nya masuk ke dalam mulut, Wanda langsung berdiri. Meraih tasnya dan segera pergi dengan langkah cepat.
"Dan seingatku kau selalu pemberani. Kenapa kau berakting seolah-olah polos?"
Wanda terus berjalan. Langkah kaki dibelakangnya terasa berat. Pria itu mengikutinya. Gadis itu bisa melihat bayangan pria itu dan gadis itu menjadi semakin kalut. Tanpa berpikir lagi Wanda berlari sangat kencang. Berbelok kearah taman dan terus berlari hendak kearah gerbang universitas. Namun dalam waktu kurang dari 1 menit, pria itu menangkapnya.
Wanda bergetar, pria itu mendekap nya erat. Dan gadis itu benci di sentuh seintim itu oleh orang asing.
Wanda mulai meracau. Kesadarannya seakan perlahan-lahan hilang dan gadis itu memberontak minta dilepaskan. Namun pria itu justru menyeringai. Dia suka menyentuh gadis itu, gadisnya. Hanya dirinya yang boleh menyentuh gadis itu.
"LEPASKAN, KAU SIAPA?!"
"***, tenanglah. Aku kekasihmu." pria itu tersenyum lebar setelah berhasil mengatakan kalimat yang selalu diidamkan nya. "Sudah 2 tahun dan sesuai perjanjian aku boleh mengejarmu lagi setelah kau lulus SMA. Kau harus menerimaku lagi."
"LEPAS... LEPAS... LEPHHHAS..... HIKS. IBU, TOLONG HIKS... IBU ADA ORANG JAHAT. LEPAAHSS."
"Sayang tenanglah. Lihat aku."
Wanda semakin tak terkendali. Dengan kalap dipukulnya tubuh pria itu dengan tangan mungilnya yang mungkin takkan terasa sakit bagi pria itu. Tapi Wanda ingin mencoba. Namun kemudian pria itu mencengkram kedua lengannya dengan satu genggaman tangan besarnya. Lalu tangan satunya mencengkram pipi Wanda dan memaksa gadis itu untuk menatapnya.
Wanda membelalakkan matanya. Dia kenal pria itu.
"Kak... Yuzen?" Suara parau keluar dari bibir Wanda. Gadis itu ketakutan tapi juga bingung. Bagaimana bisa pria itu disini? Wanda tak kenal Yuzen, hanya sekedar tahu bahwa dia ketua OSPEK sebulan yang lalu. apakah pria itu salah orang hingga menyebutnya kekasih? "Lepaskan... Aku." Wanda merasa tenggorokannya kering, berteriak-teriak membuatnya lelah.
"Ya sayang?" Yuzen menguraikan senyumannya dengan sangat menawan.
Deg.
Tapi....
Senyum itu kembali terasa aneh. Wanda kini sadar, senyuman itu seakan sedang berusaha menarik perhatian, seakan sedang merindu, dan penuh obsesif.
"Aku ingin pulang. Tolong lepaskan aku."
Wanda sadar sejak menjadi mahasiswa baru sebulan yang lalu, dia kerap merasa dikuntit. Tapi Wanda kira itu hanya orang-orang iseng yang menyukainya dan tidak berbahaya. Tapi setelah melihat Yuzen. Entah kenapa ia yakin pria itulah yang sepertinya mengikutinya selama ini.
Pria itu.... Aneh. Bahkan caranya tersenyum. Flo bilang senyum pria itu manis. Tapi bagi Wanda, terlalu manis hingga terkesan mengerikan.
"Ayo kita pulang." Yuzen melepaskan Wanda, sebagai gantinya pria itu menggenggam tangan gadis itu erat.
"Aku ingin pulang sendiri. Lepaskan aku."
Yuzen berhenti. Menatap Wanda intens sebelum kemudian mendekatkan bibirnya dan mengecup dahi Wanda.
"Aku sudah sangat bersabar selama sebulan ini."
"AKU BAHKAN TIDAK MENGENALMU!"
Yuzen kembali mendekap Wanda. Memeluk gadis itu sangat erat. "Kau gadisku. Kekasihku. Jangan bilang kau tidak mengenalku." Entah Wanda salah dengar atau tidak, tapi pria itu terdengar putus asa. "Apa perlu aku melukai sahabatmu agar kau tak punya tempat pulang lagi? Seperti 7 pria sialan yang berani menggodamu itu?! KAU BILANG AKAN MEMPERTIMBANGKAN AKU SETELAH KAU LULUS SMA SAAT AKU MENDATANGIMU LAGI! JANGAN MENCOBA MEMBOHONGIKU!"
Ketakutan Wanda memuncak. Mendengar bentakan itu membuatnya semakin kehilangan fokus. Keringat dingin mengucur dari dahi dan telapak tangannya. Air mata pun mengalir dengan deras. Hal kedua yang ditakutinya selain orang asing adalah bentakan. Dan jika kedua hal itu digabungkan bisa saja membuat Wanda kehilangan kesadaran.
Seperti kini, beberapa detik setelah bentakan itu, Wanda terhuyung dan jatuh pingsan.
"Sayang, kau selamanya milikku."
...✾n-o-t✾...
Pria itu terduduk di sebuah sofa, tepat di samping jendela besar yang kini menampakkan langit malam. Segelas Wine mahal berada di tangannya, tampak enggan dia minum. Pria itu menunduk, menatap gelas di tangannya lalu beralih kearah sosok yang terbaring tak sadarkan diri di ranjangnya.
Brengsek!
Dibanting nya gelas yang ada di genggamnya pada meja dihadapannya. Lalu gagang gelas yang masih utuh dengan ujung bergerigi tajam akibat bantingan tadi digores nya pada lengannya.
“Sudah 3 jam sayang, kapan kau bangun?” Pria itu menatap lirih pada sosok yang terbaring diranjang dari sudut kamar. Bahkan darah yang mulai menetes deras dari luka yang dibuatnya, tak terasa sama sekali. Pria itu menggores berkali-kali.
Rasa sakit itu seakan mengobati rasa bersalahnya karena membuat gadisnya pingsan.
“Bangun.”
Suaranya semakin tenggelam. Rasa sedih dan bersalah semakin dominan seiring waktu yang terus terlewati. Pria itu bangkit. Menjatuhkan gagang gelas yang di genggamnya dan berjalan kearah ranjang dengan darah yang menetes dari lengan kirinya.
“Bangun sayang, kumohon.” Pria itu bersimpuh dipinggir ranjang. Menggenggam tangan gadis itu dan menatap intens. Menunggu detik demi detik gadis itu tersadar.
Tapi jarum jam terus berputar, semakin lama terasa semakin mengerikan.
Tok.
Tok.
Tok.
Pria itu mengabaikan ketukan di pintu. Namun sebuah suara familiar terdengar dari luar.
“Tuan, makan malam sudah siap.” Pelayan itu terdiam sebentar. “Tuan besar dan nyonya ada di bawah menunggu anda.”
Yuzen mengedipkan matanya cepat mendengar kalimat terakhir. Pria itu bangkit dengan terburu-buru dan segera meraih kotak P3K. Tanpa banyak berpikir di bebatnya perban pada lengannya yang terluka. Di bebatnya dengan tebal namun asal, yang penting luka itu tak meneteskan darah. Lalu diraihnya sebuah kemeja lengan panjang dari lemarinya dan segera berganti pakaian.
Yuzen menoleh kearah gadisnya.
Sejenak ekspresi pria itu berubah kelam. Dia tak akan membiarkan siapapun menghalanginya, termasuk orangtuanya.
Dengan langkah mantap, pria itu berjalan ke arah ranjang. Duduk dipinggir ranjang dan mengelus surai gadis itu.
“Sayang, bangunnya ditunda dulu ya. Jangan buat keributan. Nanti papa dan mama tahu kamu disini.”
Cup!
Dikecup nya dahi gadis itu dan Yuzen segera keluar dari kamar.
Ah… orang tuanya itu kenapa bisa sekali pulang di waktu seperti ini.
Sial.
...✾n-o-t✾...
Wanda mengusap kedua matanya pelan. Kepalanya pusing dan saat membuka matanya terasa berkunang-kunang. Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya gadis itu terpaku. Matanya menjelajahi seluruh kamar dengan dahi yang semakin mengernyit dalam.
Heran.
Gadis itu kembali mengusap matanya.
“Ini kamar siapa?” Bisiknya.
Kamar itu luas sekali dan perabotan nya pun tampak mahal. Cat-nya pun sungguh unik dengan perpaduan warna maroon, abu-abu, dan hitam yang dicat acak hingga memberikan kesan yang mengagumkan. Lalu di sudut ruangan Wanda melihat sebuah meja belajar dengan banyak kertas diatasnya serta rak buku yang memenuhi satu sisi dinding. Tapi matanya terpaku pada pecahan gelas dibawah meja di dekat jendela.
Seseorang duduk disana tadi.
Siapa?
Wanda berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Namun kemudian, segalanya menjadi jelas. Gadis itu tiba-tiba merasa takut. Matanya dengan cepat berkeliling berusaha menemukan jejak pria itu. Apa ini kamarnya?
Tapi kemudian bernafas lega saat tak menemukan tanda-tanda keberadaan pria itu.
Wanda berusaha bangkit. Berjalan perlahan menuju meja belajar itu. Tapi langkahnya terhenti sebelum benar-benar mencapai meja belajar. Gadis itu kembali melangkah mundur. Semakin bergidik ngeri.
Di sana, diatas meja belajar berserakan foto candidnya sangat banyak. Kaos kebesaran berwarna hitam dipadukan jeans putih. Bukankah itu baju yang dikenakannya 2 hari lalu? Sepertinya foto itu baru dicetak. Dan yang semakin bertambah mengerikan adalah 3 frame foto yang terpajang diatas meja belajar.
Foto dirinya dan pria itu.
Wanda ngeri sekaligus heran. Dia tak merasa mengenal seorang Yuzen. Tapi kenapa ada fotonya dan pria itu disana? Tampak saling kenal dan saling mengasihi.
Ini gila.
Siapa pria itu?
Wanda berkeliling mengedarkan pandangannya. Lalu matanya berhenti pada pintu kamar yang tertutup. Gadis itu berjalan tergesa kearah pintu.
Masa bodoh siapa pria itu. Yang pasti dia harus keluar dari sini. Pria itu terlalu aneh bagi Wanda.
Dengan cepat diputarnya kenop pintu, tapi sial, terkunci. Wanda berbalik kearah jendela, dan melihat jendela itu tak berteralis. Gadis itu tersenyum senang. Dihampiri nya jendela itu dan kemudian dibukanya dan melongok kebawah.
Ah hanya 2 lantai. Tidak masalah. Lagipula Wanda jago panjat tebing. Tapi untuk berhati-hati Wanda membuka lemari pria itu. Mengambil 3 lembar seprai dan mengikatnya menjadi 1. Diikatnya salah satu ujung seprai pada kusen jendela dan membiarkan satu ujungnya yang lain jatuh ke tanah. Setelah memastikan terikat kuat, Wanda mulai berpegangan pada seprai. Mulai turun dengan sangat handal. Kakinya berpijak pada dinding luar rumah dan tangannya berpegangan erat pada seprai.
Wanda turun sedikit demi sedikit. Tapi petaka itu datang.
Wanda meneguk ludahnya susah payah. Sial sekali. Ternyata lantai 1 tepat dibawah kamar pria itu adalah ruang makan yang menghadap ke halaman belakang. Dan kini, pria itu menatapnya dengan mata membelalak sesaat sebelum kemudian menjadi panik.
Astaga, Wanda harus cepat kabur!
...✾n-o-t✾...
“Kenapa tidak memberi kabar jika akan pulang?”
Yuzen baru turun dan segera menghampiri orangtuanya yang sudah duduk di meja makan. Tampak menunggunya untuk segera makan bersama.
Pria itu mengecup pipi mama-nya sebelum benar-benar duduk di kursinya.
“Kau tampak tidak senang kami pulang. Apa kau bersenang-senang tanpa kami, hm?” Sang ayah terkekeh. Tentu saja dia tahu betul bagaimana putranya. Tidak. Bukan berarti Yuzen anak liar yang suka clubbing atau melakukan hal buruk saat orangtuanya tidak ada. Hanya saja pria itu suka menyendiri dan mandiri. Tapi sayangnya istrinya itu sungguh suka memanjakan dan memantau Yuzen selaku anak mereka satu - satunya. Jadi, tentu saja Yuzen suka sendirian dirumah.
“Tentu saja aku senang kalian pulang. Ngomong-ngomong urusan bisnisnya sudah selesai?”
Sang mama berpindah tempat dan memilih duduk disebelah putranya. Memeluk putranya dan bersender pada bahu tegap pria itu. Ah anaknya yang mungil ternyata sudah dewasa. “Ah mama merindukanmu.”
“Belum. Kami masih harus menyelesaikan konflik perusahaan di Macau. Kacau sekali disana. Banyak sekali laporan tidak jelas. Papa harus menyelidiki dalang-dalang yang sudah menggelapkan dana disana.”
“Yah mama merengek ingin pulang karena merindukanmu. Dan papa-mu itu tidak mau ditinggalkan mama dan justru ikut pulang.” Rajuk Sang Mama. Suaminya itu benar-benar tidak mau ditinggal. Padahal dia tidak melakukan apapun di Macau, tapi suaminya itu kukuh mengajaknya ikut kesana.
Yuzen sendiri terkekeh dan mengerti bagaimana perasaan Papa-nya. Dia pun seperti itu, merasa sangat merindukan gadisnya saat tak berada disisi gadis itu. Apa ini keturunan? Apa setiap pria di keluarga ini akan jatuh cinta begitu parahnya?
Ah Yuzen tak ambil pusing.
Yang penting gadis itu kini ada dikamarnya, masih terlelap dan bisa dilihatnya sepanjang hari…..
Tapi kemudian matanya membelalak.
Gadis itu….
Disana….
Bergelantungan dengan berpegangan pada kain panjang ditangannya. Tampak handal dan sedang menatapnya tak kalah kaget.
Yuzen cepat-cepat menatap orang tuanya bergantian dan mendesah lega saat kedua orang tuanya tak melihat kejadian itu. Tapi perasaan pria itu dengan cepat berubah dan menjadi panik saat sadar gadis itu sedang mencoba kabur.
Sialan.
Yuzen lupa.
Gadisnya bisa melakukan apapun. Gadis kesayangannya memang sangat liar.
Ekspresi Yuzen menggelap. Dikepalnya kedua tangannya erat. Menahan gejolak rasa marah dan panik yang menghinggapi. Yuzen tak akan melepaskan gadis itu.
“Pa, Ma…. Yuzen sepertinya tidak bisa ikut makan.” Hanya kalimat itu yang bisa Yuzen sampaikan dan pria itu segera melepaskan pelukan Sang Mama. Dengan cepat pria itu berlari ke halaman belakang. Tidak menghiraukan pertanyaan orangtuanya yang merasa heran dengan anak mereka.
Yuzen mengedarkan pandangannya pada halaman belakang yang gelap. Tak banyak cahaya yang menyinari halaman belakang. Hanya sebuah lampu yang terpasang di dinding pagar.
Yuzen meneguk ludahnya. Halaman belakang rumahnya luas. Belum lagi tersambung langsung dengan halaman depan jika melewati sisi samping kanan dan kiri rumah. Dan ada sebuah kolam renang dihalaman samping kanan rumah. Ah sial.
Yuzen meraih ponselnya.
“Sebar para pengawal diam-diam disetiap sisi rumah. Jangan buat keributan dan membuat curiga orangtuaku. Aku ingin kau memastikan tidak ada seorang gadis yang keluar dari rumah ini. Dan pastikan semua pelayan mencari diam-diam di dalam rumah. Ingat, cari gadis yang kubawa pulang tadi. Dia berusaha kabur” Yuzen segera memutuskan telponnya saat mendapatkan jawaban ‘ya’ dari kepala pelayannya.
Tanpa sepengetahuan orangtuanya, seluruh pekerja dirumah ini patuh padanya karena Yuzen memberikan gaji tersendiri bagi pekerja dirumahnya terlepas dari gaji yang diberikan orangtuanya. Dan jumlahnya lebih besar dari yang orangtuanya berikan. Jadi, pekerja di rumahnya mendapatkan gaji yang fantastis karena mendapatkan 2 kali lipat. Yah, asal para pekerja itu tutup mulut dengan apa yang dilakukannya.
Yuzen menyeringai senang. Ini permainan kesukaannya. Di seluruh rumah yang luas ini dia akan mencari gadisnya yang berusaha kabur. Tenang saja sayang, aku akan menangkapmu dan kupastikan kau tidur diranjangku malam ini.
Yuzen ingin melonjak. Oh astaga, dia senang sekali. Rasa panik tadi hilang tak berbekas karena dia sudah memastikan gadis itu takkan bisa keluar dari rumah ini.
...✾n-o-t✾...
Wanda bernafas dengan tersengal-sengal. Sialan sekali. Setelah memutari rumah ini dengan berbekal semak-semak dan cahaya yang minim, dia tidak bisa menemukan celah untuk kabur. Ada setiap penjaga disetiap sudut rumah dan itu menghalangi niat Wanda yang ingin memanjat dinding pagar rumah.
“Perasaan tadi waktu dilihat dari jendela atas tidak ada pengawal sebanyak ini yang menjaga setiap sudut rumah.”
Wanda sudah kehabisan ide. Tak mungkin dia berduel dengan para pengawal berbadan kekar itu. Bisa mati ditonjok dia.
Lalu, Wanda menatap rumah besar yang berdiri kokoh. Satu-satunya jalan adalah bersembunyi didalam rumah sampai pergantian shift para pengawal itu. Dan sepertinya sampai esok hari.
Dia harus sembunyi. Dia tak ingin pria aneh itu menemukannya.
Wanda mengendap-endap masuk kedalam rumah. Sangat hati-hati. Dia sudah seperti pencuri sekarang, jika orang melihatnya dia pasti sudah digiring ke seluruh komplek dan dilempari batu sebelum kemudian dibawa ke kantor polisi karena dituduh hendak mencuri.
Menurutmu dimana tempat teraman untuk bersembunyi?
Wanda yakin sekali pria itu sedang mencarinya. Lihat saja, beberapa pelayan yang tiba-tiba saja mondar-mandir di Koridor dengan tak wajar. Aneh sekali.
Lalu matanya terpaku pada sepasang paruh baya yang masuk kedalam sebuah kamar dilantai 1. Ah, mereka orang tua kak Yuzen?
Wanda mengedikkan bahunya. Hendak berbalik dan kembali mengendap-endap, tapi kemudian sebuah ide muncul tiba-tiba dikepalanya.
Wanda tersenyum senang.
...✾n-o-t✾...
Bruk!
“Yes!” Wanda memekik senang dengan nada tertahan. Gadis itu menoleh ke sekitarnya dan yakin keadaan aman, gadis itu menyeret seorang gadis pelayan yang baru saja dipukul tengkuknya hingga pingsan kedalam kamar mandi didekat sana.
Wanda menatap pelayan itu dengan penuh sesal. Merasa bersalah karena sudah membuatnya pingsan. Tapi dengan cepat dihapuskannya pikiran itu. Ini semua salah pria itu yang membuatnya harus melakukan ini.
Gadis itu segera melepas bajunya dan menukarnya dengan baju pelayan yang dipakai sang pelayan. Gadis itu meringis dan mengucapkan maaf sebelum benar-benar melepaskan baju gadis itu.
Alhasil, baju itu benar-benar kebesaran ditubuh pendek nan kurusnya. Astaga dia tenggelam.
Setelah berhasil bertukar baju. Wanda kembali menyeret gadis pelayan itu dan dengan susah payah dimasukkannya ke dalam bathup. Gadis itu memperbaiki posisi Sang pelayan sebelum kemudian menutup tirai bathup.
Selesai.
Tahap selanjutnya….
Wanda berjalan santai menuju kamar kedua paruh baya tadi. Rambutnya tergerai menutupi sebagian wajahnya. Diketuknya kamar itu dan tak lama kamar itu terbuka.
“Maaf tuan, saya ingin menyampaikan bahwa tuan muda ingin berbicara dengan kedua orangtuanya dihalaman belakang.”
“Yuzen?” pria paruh baya itu menatap istrinya yang sudah berdiri disampingnya. “Tumben sekali anak itu ingin bicara.” Padahal anaknya itu jarang sekali bercerita.
“Maaf tuan, saya tidak tahu. Saya hanya diperintah tuan muda.” Wanda menunduk takut - takut.
Pria itu mendesah kecil. “Baiklah. Kau boleh kembali aku akan menemuinya sebentar lagi.”
“Baik tuan. Saya permisi dulu.” Wanda berbalik. Menyunggingkan senyum kecil meninggalkan kedua paruh baya itu yang saling menatap.
Wanda bersembunyi dibawah tangga. Memperhatikan pasangan paruh baya itu yang mulai berjalan menuju halaman belakang.
Setelah pasangan paruh baya itu tak terlihat lagi, Wanda segera berlari masuk ke dalam kamar. Matanya berkeliling menatap sekitar dan memutuskan bersembunyi dibawah tempat tidur.
Akhirnya….
Pria itu tak akan mencarinya sampai kedalam kamar orangtuanya. Wanda yakin sekali.
...✾n-o-t✾...
Yuzen berjalan tenang menaiki tangga rumahnya. Sepanjang dia berjalan, dia bisa melihat beberapa pelayan berlalu-lalang sambil merapikan beberapa perabotan rumah. Pria itu menaikkan sebelah alisnya, yakin sekali para pelayan itu mencari gadisnya bahkan ditempat bersembunyi sekecil apapun dirumah ini.
Sampai dilantai 2, Yuzen berjalan kearah perpustakaan dirumah itu. Memasukinya dan menghampiri sebuah rak besar yang terdapat dipojok. Dengan sedikit tenaga, Yuzen menggeser rak itu hingga memberikan celah kecil yang bisa memuat tubuhnya. Yuzen melangkah masuk dan membuka sebuah pintu yang berada dibalik rak itu.
Saat masuk, lampu langsung menyala. Hanya penerangan minim, tapi mampu membuat seringaian pria itu terukir saat matanya menangkap 3 buah layar komputer yang kini ikut menyala saat lampu menyala.
“Jadi, dimana kau sayang?”
Yuzen memberikan fokus pada salah satu layar komputer. Mengklik sebuah ikon disana dan muncullah banyak rekaman CCTV dilayar. Ada 20 CCTV. Yah, rumah ini punya 20 CCTV super kecil yang dipasang Yuzen diam-diam tanpa sepengetahuan siapapun, tidak termasuk 4 CCTV dihalaman dan ruang tamu yang dipasang oleh orang tuanya.
Pria itu memperhatikan dengan intens layar komputernya. Pasti gadisnya terekam oleh salah satu CCTV, tapi dimana?
Matanya jeli melihat satu-satu rekaman CCTV.
Pria itu menyeringai saat melihat seorang gadis yang mengendap-endap dibelakang seorang pelayan. Yuzen memperbesar rekaman CCTV itu. Tapi kemudian matanya membelalak saat melihat gadisnya memukul tengkuk pelayan itu dengan pajangan rumah yang cukup berat.
Sial.
Apa yang dilakukan gadisnya?
Yuzen terus memperhatikan. Dan melihat gadisnya menyeret masuk pelayan itu ke kamar mandi terdekat. Lalu… tak ada apapun yang bisa dilihat Yuzen.
Pria itu mengernyit. Mungkin dia akan mulai memasang CCTV dikamar mandi.
Gadis itu tak bisa diprediksi.
Lalu tak lama gadisnya keluar dari kamar mandi dengan seragam pelayan. Yuzen terkekeh melihatnya. Gadis itu ingin menyamar?
Pria itu menyandarkan punggungnya pada kursi. Menaikkan kakinya ke meja dan mulai dengan santai menonton aksi gadisnya.
Mata pria itu terus mengikuti hingga kemudian dia tersentak dan langsung berdiri saat melihat gadisnya mengetuk kamar orangtuanya. Pria itu meneguk ludahnya susah payah. Wanda tidak boleh bertemu orangtuanya. Tidak boleh.
Tapi saat melihat orangtuanya tampak santai dan tak mengenali Wanda, Yuzen bernafas lega. Dia melihat gadisnya berlalu dan bersembunyi dibalik tangga, lalu orangtuanya pergi kearah halaman belakang.
Dan Yuzen tertawa.
Tak menyangka bahwa gadisnya masuk kedalam kamar orangtuanya. Apa yang dilakukannya didalam? Ah sayang sekali Yuzen tak memasang CCTV dikamar orangtuanya. Lagipula itu privasi orangtuanya.
Lalu, tak lama ponselnya berdering.
Dari ayahnya….
“Ya, Pa?”
“Yuzen kau dimana? Katanya ingin berbicara dengan kita berdua dihalaman belakang?”
Yuzen memiringkan kepalanya, sejenak dia berpikir. “Ah… maaf Pa. Aku ketiduran. Aku ngantuk sekali.”
Terdengar ******* diseberang sana. “Yah sudah katakan langsung saja apa yang mau kau katakan. Tidak usah turun menemui kita, kau pasti lelah.”
Yuzen tersenyum dan mulai menyusun kalimat. “itu, Papa dan Mama kan pulang mendadak hari ini. Kamar Papa dan Mama belum sempat dibersihkan. Lebih baik Papa dan Mama tidur dikamar tamu dulu, besok pagi-pagi sekali akan ku suruh pelayan membersihkan.”
“Tapi, Papa pikir cukup bersih…”
Yuzen segera memotong perkataan sang Papa, “Ayolah Pa, daripada kalian gatal-gatal nanti. Apalagi jika sampai Mama sakit. Debu tidak baik untuk kesehatan Mama.”
SKAK MAT.
Yuzen tahu kelemahan sangat Papa. Mama-nya.
“Baiklah.” Yuzen bisa melihat Papa-nya yang berjalan bersama sangat Mama, masuk kembali ke dalam rumah dan menuju salah satu kamar tamu. “Jangan lupa suruh pelayan membersihkan kamar Papa dan Mama sampai bersih. Kau tahu Mama mu punya asma kan. Jangan sampai ada debu.”
“Oke, pa.”
Lalu sambungan itu dimatikan oleh Papanya.
Yuzen memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Pria itu menatap sejak CCTV di dekat kamar orangtuanya sebelum kemudian berbalik keluar dari ruang rahasianya.
Ayo temui gadis kesayangannya.
✾n-o-t✾
Wanda meringkuk dibawah ranjang. Untung ranjang itu cukup tinggi dan sisi-sisi sampingnya ditutupi bed cover yang membentang hingga lantai. Hingga membuat Wanda bisa tidur dengan santai dibawah sana.
Gadis itu mulai menguap. Dia tidak terbiasa tidur diatas jam 10 dan sekarang sudah jam 9 lewat. Meskipun tadi dia sudah pingsan cukup lama, entah kenapa dia tetap saja mengantuk.
CKLEK!
Badan Wanda menjadi kaku saat mendengar pintu itu terbuka. Langkah kaki itu terdengar keras. Orangtua kak Yuzen kah? Tapi yang didengar Wanda hanya ada suara sepasang kaki. Berarti hanya 1 orang.
Wanda terbaring kaku. Bahkan gadis itu berusaha bernafas tanpa suara.
Gadis itu mendengar suara lemari dibuka beberapa kali. Lalu langkah kaki itu terus berjalan dan suara pintu kembali dibuka dan ditutup kembali sesaat kemudian, gadis itu menduga bahwa itu pintu kamar mandi. Terdengar lagi suara langkah kaki yang tampak berkeliling. Lalu ada suara sibakan tirai dan kemudian hening. Tidak ada suara apapun. Gadis itu meneguk ludahnya susah payah. Kenapa terasa janggal sekali?
“Wanda sayang, jika kau tidak keluar aku akan memperkosamu.”
Wanda berkedip cepat mendengar suara itu. Tubuhnya bergetar hebat sekarang, dia ketahuan. Bagaimana bisa pria itu tahu dia disini?
“Kuhitung sampai 3, jika tidak keluar aku benar-benar akan memperkosamu.” Yuzen menyeringai menatap bawah ranjang yang tertutupi bed cover. Dia sudah memeriksa seluruh kamar ini, dan satu-satunya tempat yang tersisa untuk sembunyi hanya dibawah tempat tidur. “Sa… tu.”
Wanda menggigit bibirnya. Tidak tahu harus melakukan apa.
“Dua, tiga….” Yuzen terkekeh saat menghitung angka dua dan tiga dengan sangat cepat. Lalu pria itu berjongkok disisi ranjang dan menyingkap bed cover itu. “Hallo sayang. Sudah selesai main petak umpetnya, bagaimana jika kita ganti main kuda-kudaan karena kau sangat bandel tidak mau menurutiku.”
“AHHHHHHHKKKKKKK.” Reflek Wanda berteriak karena kaget melihat wajah Yuzen yang baginya mengerikan. Lalu tak lama kakinya diseret pria itu dan ditarik keluar dari bawah ranjang.
“Berteriak lah sekeras-kerasnya sayang. Kebetulan kamar ini kedap suara.” Yuzen mengangkat Wanda yang masih terbaring. Merengkuh gadis itu erat dan tak berhenti menciumi sisi samping rambut gadis itu. “Ah, aku merindukan aromamu.”
Wanda kembali meracau. Yuzen merengkuh nya dengan seenak jidat. Wanda takut dengan Yuzen. Pria itu sungguh asing. Gadis itu berteriak-teriak minta dilepaskan dan tangannya tak berhenti memukul bahu pria itu.
“Agresif sekali sayang.” Bisik pria itu. Lalu mengulum telinga kanan Wanda.
“AAARGGHHHHHHHHH.” Wanda tersentak dan berteriak sekuat tenaga. Sebelum kemudian terkulai lemas dibahu Yuzen. Okey, rasanya dia mau pingsan. Dia benar-benar tidak bisa disentuh se intim ini oleh orang asing.
“Jika kau pingsan aku akan memperkosamu sayang. Ah…. Membuatmu hamil sepertinya hal yang bagus.”
“Bajingan…” Bisik Wanda lemah.
“Aku tak peduli menjadi hal terlaknat didunia ini asal bisa memilikimu.” Yuzen menjauhkan wajahnya dan tersenyum sayang kearah Wanda.
Pria itu menjatuhkan gadisnya keatas ranjang dan langsung sigap menindih gadis itu agar tak kabur. Lalu dengan lembut dikecup nya dahi gadisnya. “Kenapa kau tidak mengingatku, hm?”
Wanda tak mendengarkan pertanyaan Yuzen, gadis itu mulai menangis tak karuan dan sesekali berteriak kesetanan. Tubuhnya bergetar hebat dan matanya tak fokus lagi. Tapi gadis itu berusaha menahan kesadarannya tetap ada, dia tak mau diperkosa pria itu. Sungguh tidak mau.
Yuzen menatap Wanda penuh sesal. Dia tak suka melihat gadisnya menangis tapi dia perlu gadis itu berada didekatnya. Yuzen tahu sejak dulu Wanda tak suka orang asing. Dulu Yuzen bahkan perlu waktu sebulan penuh untuk membuat Wanda nyaman dengan sentuhan-sentuhan kecilnya. Hanya sentuhan kecil. Yuzen tak tahu apa yang membuat Wanda melupakannya bahkan sentuhannya. Tapi yang pasti, Yuzen akan membuat Wanda terbiasa dengan sentuhannya lagi. Tapi dengan cara yang sedikit brutal. Dia tak sabar menunggu lagi selama berbulan-bulan untuk kedua kalinya. Yuzen terlalu jatuh cinta dengan gadis itu. Dan dia merindukan sentuhan gadisnya.
Yuzen mengukir senyuman lembut penuh kasih sayang. Dielus nya rambut sang gadis. Mungkin setelah ini dia akan mencambuk dirinya sendiri karena membuat gadis itu menangis.
“Jangan menangis…” Lalu pria itu mendekatkan bibirnya dan mengecup bibir sang gadis.
Wanda sendiri tersentak dan langsung menggeliat seperti cacing kepanasan, minta dilepaskan.
“Lepas… Shhkan….” Isak Wanda. Yuzen melepaskan ciumannya lalu menggeleng.
“Kau milikku.” Bisiknya dan kembali mencium Wanda dengan lebih dalam.
Wanda semakin tenggelam dalam kegelapan. Ciuman itu merenggut kesadarannya. Tubuhnya melemah dan kemudian semuanya gelap.
Dia kembali pingsan.
✾n-o-t✾
Yuzen membuka matanya saat merasakan ada yang mengelus-elus dadanya. Lalu kecupan-kecupan kecil diterimanya di seluruh wajah. Rambutnya pun dielus dengan sayang oleh sebuah tangan. Yuzen membelalakkan matanya, merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Tapi dia tahu apa yang terjadi.
Gadis yang kini duduk diatas perutnya benar-benar berbeda dengan gadis yang tak suka disentuh dan menangis meraung-raung tadi malam. Yuzen melirik jam yang terpasang didinding.
Jam 4 pagi.
Dan mereka masih dikamar orangtuanya.
“Kau mengenaliku?” Suara itu serak khas bangun tidur. Yuzen mengerang kecil saat melihat betapa menggodanya gadis itu di atasnya. Sialan sekali.
Dengan cepat pria itu berbalik dan berganti menindih Gadisnya. Lalu menerjang dengan ciuman panas dibibir gadis itu. Astaga dia merindukan rasa sensual ini.
“Wendy, kaukah itu?” Yuzen melepaskan ciumannya dan menyatukan dahinya dengan gadis di bawahnya. Seringaian muncul dibibir gadis itu. Membuat Yuzen semakin yakin bahwa dia benar-benar Wendy.
“Menurutmu?”
Yuzen terkekeh dan mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi senang. “Wanda tak akan seberani dirimu.”
“Tentu, dia terlalu lemah…” Seringaian gadis itu memudar, lalu ekspresinya berubah dingin. “... Hingga bisa kau tindas seperti itu.” Dan Wendy dengan cepat kembali membalikkan tubuh mereka hingga dia kembali berada diatas pria itu. Sebuah pisau lipat sudah teracung menempel dileher pria itu.
Yuzen sejenak tegang sebelum kemudian berubah santai dan menatap gadisnya dengan tatapan memuja.
“Kau benar-benar melindungi Wanda. Aku senang.”
“Termasuk melindunginya dari bajingan sepertimu.” Wendy menatap Yuzen dingin. Dia mencintai pria itu tapi dia sungguh benci pada orang yang menyakiti Wanda. “Berani sekali kau menyakitinya lagi!”
“Karena aku mencintainya….. Dan juga mencintai dirimu.”
“Pembohong!” Wendy menyentak Yuzen dan membuat pisau yang berada dileher pria itu menggores tipis dan mengeluarkan darah seketika.
“Wanda masih tidak tahu keberadaanmu?” Yuzen bertanya lembut. Tangannya terangkat ingin mengelus rambut gadis itu, tapi gadis itu menepis nya kasar.
Yuzen tahu betapa Wendy menyayangi Wanda. Wendy…. Dia selalu menjaga Wanda. Meskipun sifatnya berbanding terbalik.
“Aku tidak peduli dia tahu apa tidak. Aku tidak Terima kau menyakitinya!”
“Aku hanya menagih janjinya saja. Dia bilang akan menerimaku kembali saat aku mengejarnya setelah dia lulus SMA. Tapi apa, dia tak mengingatku!” Yuzen menarik rambutnya frustasi.
Wendy memutar matanya jengah dan kembali menatap dingin pria idiot dibawahnya. “Kau tahu…. Wanda membencimu. Terlalu benci dan traumatik padamu hingga bisa melupakanmu.” Gadis itu menarik nafasnya kasar. “Asal kau tahu saja, 2 tahun lalu aku berpura-pura menyamar menjadi Wanda dan bersikap seperti gadis itu. Aku yang membuat janji itu padamu. Kau tahu kenapa? Karena keberadaanmu semakin memperburuk keadaan jiwa Wanda. Aku ingin kau menyingkir, tapi tidak tahu caranya selain membuat janji itu.”
Yuzen terdiam. Terlalu terkejut. Tapi kemudian pria itu menyeringai pahit. “Kenapa? Aku hanya melakukan tugasku. Aku melakukan hal yang benar. Kau sebagai kepribadian lain Wanda seharusnya tahu!”
Ya.
Wendy adalah kepribadian lain yang dimiliki gadis itu. Bisa dibilang Wanda memiliki kepribadian ganda, Alter ego. Namun sayangnya, gadis itu tak menyadari keberadaan Wendy didalam dirinya. Hanya Yuzen seorang yang tahu.
“Aku tak bersalah. Dan sekarang aku akan menagih janjiku dan memiliki kalian.”
Wendy terbelalak mendengar ucapan Yuzen. Gadis itu tersenyum sinis. “Aku memang membenci ibuku. Tapi Wanda sungguh menyayanginya. Dan kau menyakiti gadis itu dengan membunuh ibunya sendiri! BAGAIMANA BISA KAU BILANG TIDAK BERSALAH?!”
“Aku hanya membunuh ibu tak bergunanya itu. Wanita tua itu selalu menyakiti kalian.”
Wendy menggeram marah. Sebenarnya dia berterimakasih pada Yuzen karena membunuh wanita itu. Tapi Wanda terlalu terpukul hingga nyaris gila karena ibunya dibunuh kekasihnya sendiri 2 tahun lalu. Membuat Wendy ikut geram dengan Yuzen yang seenaknya membunuh wanita tua itu. Ayolah prioritas utama Wendy adalah Wanda. Jika Wanda mati, dia juga tidak akan ada.
Gadis itu menatap marah Yuzen. Lalu digerakkan nya pisau lipat itu menyusuri leher Yuzen. Dia ingin menyelamatkan Wanda dari pria menyeramkan itu.
“Kau tidak berubah. Selalu membawa pisau lipat didalam saku celanamu. Kau benar-benar ingin membunuh setiap orang yang membuatmu marah ya?”
Yuzen hanya mengangkat alisnya tak peduli. Dia tahu pisau lipat itu didapatkan Wendy dari sakunya. Memangnya darimana lagi. Tidak ada benda tajam didalam kamar ini.
Lalu dalam sekejap….
JLEB!
Yuzen terbelalak tak percaya. Lalu terkekeh kecil dan merasakan sebuah pisau menancap di perutnya. Gadisnya yang ini benar-benar mirip dengannya. Wendy, memang bisa melakukan segala hal nekat. Gadis itu lebih beringas dari Wanda.
“Kita impas.” Desis Wendy tajam. “Kau membunuh ibuku dan aku membunuhmu. Jika kau selamat, akan ku izinkan kau meraih kami lagi. Aku tidak akan menghalangimu mendekati Wanda. Saat Wanda setuju akupun setuju.”
Lalu Wendy bangkit dari ranjang. “Aku ambil ini.” Ucapnya menunjukkan kunci kamar yang didapatkannya dari saku celana Yuzen.
Lalu berlalu keluar dari kamar itu dengan santai.
Pengawal?
Gampang. Tinggal dia pukul saja. Dia berbeda dengan Wanda. Dia jago berkelahi. Dia hanya perlu menjatuhkan satu pengawal disalah satu sisi yang dijaga dan langsung memanjat dinding pagar.
“Selamat tinggal Yuzen.”
...✾n-o-t✾...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!