NovelToon NovelToon

Stranger From Nowhere

1. Secangkir Kopi Stres

Dari Penulis :

Dengan membaca cerita ini artinya pembaca telah menyatakan bahwa telah cukup umur untuk menilai isi bacaan.

Novel ini sepenuhnya fiksi. Jika ada kesamaan tempat dan nama tokoh, itu hanya kebetulan semata.

Jangan mengaitkan isi cerita dengan agama, suku atau golongan tertentu.

Terima kasih karena telah mampir ke novel ini.

*****

Shena duduk termangu-mangu menatap air hujan yang memercik ke dinding kaca di sebelahnya. Meja yang bisa diisi dua orang itu menyisakan sebuah kursi kosong seolah ikut kedinginan bersamanya. Kopinya sudah dingin. Bahkan sebelum kopi itu diminum setengahnya.

Pikirannya kembali ke kejadian seminggu yang lalu.

"Aku mau ngajak kamu liburan di Bali. Belakangan ini kita jarang kencan, kan?" Begitulah kata Ramon waktu itu.

"Aku mau...aku mau." Shena tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya atas ajakan liburan dadakan itu.

Ramon memesan vila yang lumayan terpencil. Isinya hanya mereka berdua. Beberapa hari itu Shena seakan jatuh cinta lagi dengan seorang Ramon. Lembutnya, romantisnya, perhatiannya.

"Aku nggak pernah nyesel kenalan sama kamu," ucap Shena di suatu malam saat mereka berbaring berpelukan. Mata Shena mengerjap menatap Ramon. Ketampanan pria itu di hari pertamanya bekerja di perusahaan advertising tidak akan pernah ia lupakan.

Berkenalan sebagai bawahan dan atasan, sampai Ramon memintanya menjadi kekasih.

"Aku juga nggak pernah nyesel kenalan sama kamu." Ramon tersenyum, membelai pipi Shena dan mengecupnya.

Mereka sering melewatkan malam seperti itu di apartemen Shena. Berbaring berpelukan, bercerita dan sesekali berciuman. Cuumbuan seperti itu mewarnai tiga tahun kebersamaan mereka. Tanpa terasa, tiba-tiba Shena sudah menginjak usia 26 tahun dan berpikir kalau sudah sepantasnya Ramon melamarnya.

"Padahal dulu aku males-malesan kuliah di desain grafis. Temenku banyak yang bilang untuk pemula pasti hajiku kecil. Mereka nggak salah, sih. Gajiku di jumlah yang sekarang juga karena kamu yang nambahin. Kerja di perusahaan keluarga pacar ternyata enak juga, ya." Shena terkekeh-kekeh dengan telunjuk berada di dagu Ramon. Pria itu ikut tertawa.

"Kamu memang fresh graduated paling beruntung yang masuk di perusahaanku. Aku masih inget reaksi bagian keuangan waktu aku tanda tangan jumlah gaji kamu." Ramon ikut tertawa.

"Makasih, Pak Ramon." Shena mengecup pipi Ramon.

"With my pleasure ...," bisik Ramon, mengetatkan pelukannya di tubuh Shena.

"Jadi ... apa rencana Pak Ramon di usia tiga puluh satu tahun ini?" Shena agak sengaja memancing percakapan itu.

Ramon terlihat berpikir-pikir. "Rencanaku? Rencanaku banyak. Salah satunya memajukan perusahaan keluarga dan mengelola sebaik-baiknya. Aku mau seperti Papa. Tapi disamping itu ...." Ramon diam memandang Shena.

"Apa?" tanya Shena penasaran. Ia benar-benar penasaran. Apa Ramon sedang merencanakan sesuatu untuknya?

"Aku kasih tau besok, ya. Besok kita dinner." Ramon menutup malam itu dengan menarik selimut dan memeluk Shena erat-erat. Mereka sedang memandang lautan lepas dari balik jendela sambil terkantuk-kantuk.

Shena mengaduk kopinya dengan senyum kecut. Ingatan soal malam terakhir di Bali membuat dadanya kembali sesak. Ingin mengadu pada ibunya, tapi ia merasa tak pantas. Bagaimana mungkin ia membebani ibunya yang janda tentang kisah putus cinta. Sedangkan ayahnya, andai saat itu ia bisa kembali ke kampung halaman di Subang, ia mungkin akan menangis sampai tertidur di makam ayahnya. Sejak usia 17 tahun, itulah yang bisa ia lakukan tiap ia merasa sedih.

Tak bisa ia lupakan bagaimana Ramon menggenggam tangannya. Saking bahagianya, ia sampai mengayunkan tangan itu.

"Kita makan malam di Jimbaran," kata Ramon.

"Wah, aku suka Jimbaran. Makanan enak, kaki main pasir, kena angin pantai, makannya di bawah cahaya kuning lilin." Shena hampir berlari kecil mengikuti langkah kaki Ramon. Pikiran soal berbagai kemungkinan soal makan malam itu mulai memenuhi angannya.

Menu sudah terhampar di meja tapi belum mereka sentuh. Shena melihat Ramon berkali-kali membasahi bibirnya seakan gugup dengan hal yang akan ia ucapkan.

"Shen ... aku mau menikah...."

Nyaris saja Shena terlonjak. Untungnya Shena menyadari kalau perkataan Ramon belum selesai. Ia menggigit bibir bawahnya dengan gugup.

"Shena, maaf .... Mama mau aku nikah dengan anak Tante Di. Aku dijodohin, Shen. Dari kemarin-kemarin aku nggak tau cara yang tepat buat ngasih tau kamu." Sepasang mata Ramon berkaca-kaca. Terlihat jelas apa yang dikatakan pria itu memang hal yang cukup sulit.

Shena diam mematung. Matanya hanya mengerjap sekali karena tiupan angin dari laut. Masih menatap Ramon yang menunggu reaksinya. Ia merasa dirinya mimpi. Tak percaya dengan apa yang baru ia dengar. Pipinya dingin mati rasa. Bahkan taplak meja putih restoran di restoran itu terkibas-kibas seperti hendak memberi tanda padanya untuk segera menyerah saja. Shena lalu bangkit dan pergi. Meninggalkan Ramon yang seketika itu kelimpungan memanggil pelayan untuk membayar tagihan.

"Kamu gimana, Shen? Aku harus apa?" Ramon berhasil mengejar Shena di luar restoran.

Shena bergeming dengan tangan kanan Mash berada di genggaman Ramon. Pria itu kembali membawanya ke mobil. Shena yang belum menjawab apa pun, ikut masuk ke mobil dengan diam seribu bahasa.

Harus apa? Kenapa Ramon tanya aku? Bukannya ini mimpi?

"Sekarang kamu mau ke mana? Please, jangan diam terus. Aku harus gimana? Aku nggak punya tenaga melawan Mama, Shen. Kamu tau sendiri Mama gimana? Aku nggak kuat kalau hidup dengan nol fasilitas kalau melanggar permintaan Mama. Aku juga mau jadi anak berbakti."

Aku mau nangis, Ramon. Aku mau peluk kamu. Please juga ... jangan nikahi perempuan itu. Perjuangkan aku, Ramon. Aku selalu bermimpi jadi istri kamu. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Tiga tahun ini aku nungguin kamu. Aku tau kamu anak baik, tapi please ... aku juga perempuan yang punya perasaan.

Nyatanya semua hal itu hanya terngiang di kepalanya. Ia kenal betul bagaimana ibu Ramon. Ibu Komisaris perusahaan yang hampir tidak pernah bicara atau menyapanya meski tahu ia berpacaran dengan sang anak.

Shena sangat naif. Ia kira bisa meluluhkan hati wanita itu sepanjang menjalin hubungan dengan Ramon yang bisa dibilang tidak sebentar.

"Shena ... please ngomong. Kamu mau gimana?" Ramon mengguncang lengan Shena.

"Aku ... aku mau ke Afrika Selatan, Mon. Aku mau jalan-jalan." Sekalinya bisa bicara yang keluar dari mulut Shena hanyalah sepotong kalimat itu.

Ramon terkejut tapi kemudian ikut diam dan menyalakan mesin mobil. Sepanjang sisa malam itu mereka hanya diam. Shena tidak mau bicara dan Ramon tidak ada usaha mengajaknya bicara. Semua keputusan benar-benar final.

"Besok aku pulang ke Jakarta," ucap Shena saat mereka tiba di vila.

"Kita balik sama-sama," sahut Ramon.

"Aku mau sendiri," balas Shena.

Ramon duduk di tepi ranjang dan memperhatikan Shena yang ke sana kemari membereskan barang-barangnya. Matanya berkaca-kaca tapi ia tidak bisa menangis.

"Shen ... kamu tau aku sayang kamu, kan? Aku jatuh cinta ke kamu karena kamu itu unik. Kamu selalu ceria dan ekspresif. Kamu nggak pernah bisa bohong dan selalu bisa mengungkapkan apa yang kamu rasakan. Aku suka kamu yang selalu rapi dalam bekerja dan sangat mandiri. Juga berani. Aku udah mengatakan itu semua ke Mama dan Mama nggak menggubris aku sedikit pun."

"Aku nggak perlu tau soal apa yang kamu bicarakan ke mama kamu, Mon. Semuanya nggak akan mengubah apa pun." Shena memasukkan dua helai pakaian yang diambilnya dari lemari.

Ramon mengatupkan bibirnya dan mengangguk-angguk. Pertama kali ia jatuh cinta pada mata Shena yang bagus. Sangat ekspresif. Lalu ia melihat Shena tertawa terbahak-bahak di pantry sambil berlindung di balik tubuh temannya. Saat itu ia sampai ikut tertawa melihat Shena meski ia tidak tahu apa yang ditertawakan pegawai barunya itu.

"Aku nggak mau menyakiti kamu. Juga nggak mau menyakiti Mama, Shen .... Kamu tau kalau aku anak laki-laki satu-satunya dan pernikahan dua kakakku juga diatur Mama."

Shena tiba-tiba menegakkan tubuhnya dengan muka garang. "Kalo tau kamu bakal begini juga ngapain pacaran? Aku kira kamu bakal ada usaha! Apa mama kamu membiarkan anaknya menikmati masa pacaran sebelum akhirnya dipaksa menikah? Apa itu sebabnya kamu selalu bertingkah sopan meski kita cuma berdua-duaan di kamar? Kamu takut kebablasan dan aku hamil? Ternyata kamu memang udah tau kalo hubungan kita akan begini akhirnya." Shena ke kamar mandi dan meraup semua kosmetiknya.

Malam itu mereka tidur masih dalam satu kamar meski di tempat yang terpisah. Shena bersikeras tidur di sofa bed. Dan keesokan paginya ia berdandan seadanya dan menyeret koper keluar kamar.

Ramon ... harusnya kamu usaha dikit, kek, buat nahan aku? Besok seisi kantor bakal tau aku adalah Cinderella gagal. Atau jangan-jangan semua orang udah tau kalo Ramon dijodohin?

Kak Shinta ... I need you. Aku mau curhat.

*****

"Kamu benar-benar nggak mau cerita ke Kakak? Kamu putus sama Pak Ramon, ya? Kamu cerita, dong. Meski Kakak sekretaris Pak Ramon, nggak mungkin dia mau cerita. Kamu tega ninggalin Kakak ke Afrika Selatan dengan keadaan penasaran kayak gini?" Kak Shinta yang sedang hamil muda setengah mendesak Shena untuk bicara. Pagi itu ia terkejut dengan sepucuk surat pengunduran diri yang akan disampaikan ke atasan mereka.

"Aku nggak bisa cerita sekarang. Kalau aku cerita sekarang bisa-bisa Kakak bakal benci ke Pak Ramon." Shena terkekeh-kekeh dengan raut wajah yang tidak cocok dengan tawanya. "Kalo Kakak kau bantu aku, tolong urus pengunduran diriku secepat-cepatnya. Aku mau segera berangkat ke Afrika Selatan. Kalau bisa semua urusan administrasiku beres hari ini, ya. Pak Ramon nggak bakal nolak. Kalau dia manggil aku ke ruangannya, bilang aja aku lagi di luar."

Hari itu mungkin Ramon juga tidak ada pilihan lain selain segera menandatangani surat pengunduran diri Shena dan mengeluarkan seluruh 'tabungan' wanita itu selama bekerja di perusahaannya. Ramon malah menambahkan jumlah yang cukup banyak untuk ditransfer ke rekening pribadi Shena. Rasa sakit hati Shena ternyata dibayar cukup mahal.

"Meski nggak ada jumlah uang yang bisa membayar sakit hati karena dicampakkan. Jumlah uang ini setidaknya bisa buat aku bermalas-malasan beberapa tahun." Shena membaca deretan angka ratusan juta yang baru mendarat di rekeningnya.

Kak Shinta hampir setengah menangis ketika menyerahkan dokumen yang dirapikan dalam satu clear holder ke tangan Shena. Ia menebak kalau mungkin Kak Shinta syok karena Ramon menandatangani seluruh dokumen itu tanpa ada pertanyaan.

Kak Shinta memeluk Shena di teras gedung setelah bersikeras ikut mengantarkannya keluar.

"Beneran Afrika Selatan? Kamu kayak nggak ada tujuan lain aja." Mata Kak Shinta berkaca-kaca. "Kalau galaumu masih lama dan perlu istirahat, mending pulang ke kampungnya aja buat menyendiri. Ke Semarang temeni ibuku. Makan tidur di sana. Enggak apa-apa. Biar aku hubungi ibuku."

Shena menggeleng. "Ibunya Kak Shinta nggak akan tahan serumah denganku. Aku juga nggak enak kalau mau bangun siang setiap hari." Shena nyengir.

"Ya, udah .... Kamu hati-hati. Kalo ada apa-apa jangan lupa telepon aku. Atau jangan sungkan untuk nelepon suamiku. Mas Dimas pasti akan bantu kamu. Aku udah wanti-wanti ke dia. Kamu harus peluk aku yang lama." Kak Shinta merentangkan tangannya lebar-lebar. Shena kemudian menyambut pelukan itu dan tak sengaja mereka kembali pecah dalam tangisan.

*****

Kembali ke dinding kaca yang masih dialiri air hujan. Shena mengaduk-aduk kopi di hadapannya yang sudah pasti tak enak lagi. Denyut jantung yang tadi tenang mulai terasa lebih kencang karena kafein. Ia memang tidak pernah tahan minum kopi. Secangkir kopi di sore hari selalu mampu membuatnya terjaga sepanjang malam.

Clear holder dari Kak Shinta tadi masih teronggok di atas tas kerjanya. Seorang wanita pelayan cafe mendekatinya.

"Kak Shena mau tambah kopinya? Kita mau last order," ucap wanita itu.

"Enggak. Aku minta bill aja. Mulai besok kayaknya aku bakal jarang ke sini," ucap Shena.

"Memangnya Kak Shena ke mana?" Wanita itu berhenti menunggu jawaban pelanggan setia yang selalu memberinya tip itu.

"Aku resign dan mau jalan-jalan ke Afrika Selatan." Shena menjejalkan semua dokumen ke dalam tasnya.

"Pak Ramon?" tanya wanita itu.

"Ramon? Siapa Ramon?" Shena tertawa seraya mengangsurkan lembaran seratus ribu. "Ambil semua kembaliannya buat kamu. Sekarang rekeningku lagi gendut-gendutnya.

Shena keluar cafe dan berlari menerobos hujan. Meninggalkan cafe yang sedang memutar lagu 'Say you won't let go' yang tak sanggup didengarnya.

"Afrika ...! I'm coming!" jerit Shena di antara hujan dan air matanya yang mengalir deras.

Bersambung

2. Pengangguran Officially

Dari penulis :

Ini adalah novel bergenre Thriller - Romance 21+ (adult-romance) dan sedang dalam tahap revisi tanda baca.

Dengan membaca novel ini, pembaca harus memastikan dirinya sudah cukup umur dan memahami bahwa cerita ini hanyalah fiksi belaka. Hanya imajinasi yang bertujuan menghibur. Tidak ada pelajaran di dalam novel ini. Jadi, jangan dicari pelajarannya.

Harap bijak berkomentar. Pastikan Anda memilih bacaan yang tepat sebelum melanjutkan. Ingat, jangan salah memilih genre bacaan. Don't forget, our words is our class.

...____________________...

"Kira-kira aku perlu baju yang mana selama di Afrika, ya? Kayaknya perlu celana pendek beberapa. Di sana panas, kan?" Shena bicara pada dirinya sendiri. "Kayaknya perlu pakaian-pakaian tipis juga .... Apa aku sekalian pisahin yang mana buat dibawa dan mana yang mau aku singkirkan. Semua yang dikasih laki-laki itu harus segera disingkirkan. Biar nggak bikin pusing." Shena bergerak cepat mencari kardus cokelat yang pernah ia pakai buat pindahan.

Setelah membereskan bawaannya dalam satu koper yang ringkas, Shena juga menatap puas sebuah kardus yang sudah terisi penuh. "Beres. Afrika Selatan yang selama ini cuma ada dalam wishlist, kayaknya bakal segera bisa jadi tempat healing. Dan untuk baju-baju penuh kenangan ini, udah saatnya aku buang semua." Shena tersenyum kecut.

Afrika Selatan memang terlalu jauh untuk jalan-jalan kalau memang tidak menyukai jalan-jalan. Dan Ramon adalah salah satu manusia yang tidak menyukai jalan-jalan. Bagi Shena selama tiga tahun terakhir, tidak apa tidak traveling ke mana-mana. Bali dan Jogja sudah cukup asal bersama lelaki yang diimpikannya menjadi Ayah anak-anaknya kelak.

Shena merasa, kadang ia tak bisa memungkiri, kalau cinta bisa membuatnya menerima segala ketidakcocokan orang yang ia cintai.

Keputusan Ramon mengakhiri hubungan mereka karena 'dijodohkan' seperti membuat 'singa' dalam diri Shena yang sudah lama tidur bangun kembali. Kenaifannya selama ini pun setiap hari disalahkannya. Tiga tahun yang mereka jalani tak cukup membuat Ramon mempertimbangkan dan memperjuangkan dirinya.

Shena berdiri di jendela dan melemparkan pandangannya keluar. Diam-diam ada bagian dalam dirinya yang bersyukur.

"Gimana kalau aku beneran nikah dengan Ramon? Bisa-bisa rumah tanggaku berada dalam kendali ibunya. Mau ganti tirai jendela pun bisa jadi harus nunggu persetujuan Ibu Komisaris." Shena menghela napas panjang, namun masih berat.

*****

"Yayuk ... ini ada kardus yang isinya penuh pakaian bekas aku. Boleh kamu bawa pulang dan bagi-bagi ke siapa pun yang mau kamu bagiin." Shena menepuk kardus besar di sebelah sofa. Yayuk yang baru tiba di apartemennya termangu-mangu melihat kardus yang katanya berisi pakaian.

"Isinya pakaian semua?" Yayuk mengitari kardus.

"Iya, pakaian semua. Nggak mungkin hewan peliharaan disatuin sama baju-baju. Kamu bisa panggil satpam lobi buat bantu bawain itu. Hari ini aku mau ke embassy buat ngurus visa ke Afrika." Shena meletakkan cangkir tehnya dengan mata yang tak lepas dari ponselnya.

"Afrika Selatan? Ngapain? Bukannya Afrika itu hutan semua ya, Mba?" Yayuk meninggalkan kardus dan mendekati meja tinggi tempat Shena menghabiskan sarapannya. Obrolan soal Afrika mulai menarik perhatian. "Memangnya Mbak Shena nggak kerja lagi? Biasa jam segini udah di kantor. Pasti buru-buru berangkat."

"Statusku sekarang pengangguran dan nggak ada hal yang mau aku kejar sampai harus buru-buru. Aku mau liburan dulu dan nyari kerja santai-santai. Ramon ngasih aku duit banyak sebagai tunjangan putus dan kompensasi keluar dari perusahaan." Shena terkekeh-kekeh karena kata-katanya sendiri.

"Putus? Mbak Shena putus dari Pak Ramon yang cakep itu? Rugi dong ...." Yayuk masih terheran-heran.

Shena menggeleng. "Nggak rugi. Cuma sakit hati karena laki-laki yang dikira bakal ngebela mati-matian tapi malah ngelepeh begitu aja. Untuk sekarang aku nggak mau ngomong soal itu dulu." Shena berdiri dan meraih tas.

"Kenapa harus ke Afrika, toh, Mba .... Masih banyak tujuan lain. Ke Lampung aja, ke kampung halaman saya. Sekalian saya bawa kardus isi pakaian itu ke Lampung." Yayuk mulai menumpuk piring Shena.

"Aku udah lama banget kepengin ke Afrika Selatan. Bahkan dari sebelum aku kenal Ramon." Shena menerawang beberapa detik. "Oh, ya .... Pakaian itu masih bagus-bagus banget. Nggak ada yang rusak. Aku cuma udah nggak kepengin lagi ngeliat apalagi buat make."

"Baju-baju dari Pak Ramon rupanya," ucap Yayuk.

"Semoga suatu hari nanti aku bisa ketawa nginget pernah menyingkirkan sekardus pakaian bagus." Shena nyengir dan menuju pintu untuk memakai sepatunya.

*****

Sudah hampir setengah jam Shena memandangi paspor yang sudah ditempel dengan visa Afrika Selatan yang pembuatannya memakan waktu hampir dua minggu. Besok dia akan berangkat dan malam itu Kak Shinta mengatakan mereka harus mengobrol di telepon karena wanita itu keesokan harinya tidak bisa mengantarkannya ke bandara.

"Kenapa harus Afrika Selatan?"

Pertanyaan itu kembali muncul dalam percakapan bersama Kak Shinta. Saat itu Shena hanya tertawa kecil dan menanggapi setengah serius awalnya.

"Yang pertama adalah karena semboyan Afrika Selatan sama dengan semboyan negara kita yang kalo diartikan itu bermakna, walaupun berbeda-beda tetap satu jua."

"Serius, dong, kamu ...." Kak Shinta berdecak nyaris merajuk di seberang telepon.

"Bukan alasan yang penting banget, sih, Kak. Dulu almarhum ayahku pernah janji kalau suatu hari nanti beliau bakal ngajak aku safari ke Afrika Selatan. Karena dulunya beliau atlet makanya sering pergi-pergi. Ayah suka jalan-jalan ke tempat yang nggak biasa. Aku rasa hobi itu nurun ke aku tapi tiga tahun belakangan aku pacaran sama laki-laki yang kurang tepat."

Usai percakapan di telepon itu, Shena kembali tercenung mengingat almarhum ayahnya. Selaku mantan atlet nasional, ayahnya memang sering bepergian jauh. Yang mana hobi masa muda ayahnya itu tidak bisa lanjut saat sudah menikah karena kehidupan mantan atlet zaman dahulu tidak semudah sekarang. Ayah Shena berakhir menjadi seorang petugas keamanan di sebuah perusahaan BUMN di usianya yang tak lagi muda.

Tapi menurut pengakuan ayahnya, diterima sebagai satpam BUMN bisa dianggap jauh lebih beruntung. Om Yono; sahabat karib ayahnya harus menghabiskan masa tua menjadi penarik becak.

"Akhirnya packing selesai juga." Usai bertelepon bersama Kak Shinta, Shena kembali mengecek bawaan.

Setelah beres, dia menumpuk bawaannya di dekat pintu dan menyambar secangkir cokelat hangat sebelum berdiri di dekat jendela. Tirai ya sengaja belum ditutup karena dia sedang ingin melihat langit malam. Tirai itu sebenarnya memang jarang ditutup. Terutama kalau Ramon datang ke apartemennya dan bermalam di sana. Mereka akan duduk di sofa sambil berpelukan dan mengobrol ngalor-ngidul.

Malam itu hujan kembali turun seolah kembali ingin merayakan kesedihannya. Memaksa mengingat sosok Ramon si pria baik dan romantis. Ramon yang selalu ada saat dia membutuhkan. Pria yang tahan bercumbu sepanjang malam tanpa harus membuatnya kehilangan keperawanan.

"Ternyata kamu niatnya gitu ...," gumam Shena, menyeruput cokelatnya. Shena kemudian menggigit bibir membiarkan kenangannya bergulir jauh. Mumpung belum berangkat sepertinya dia ingin mengingat apa yang biasa mereka lakukan di ranjang saat di luar hujan. "Aku kangen ... tapi aku tau kamu nggak akan punya banyak usaha untuk aku karena kamu pengecut."

Air mata Shena kembali menetes. Walau memang jahat sekali karena menerima perjodohan dari ibunya begitu saja, Shena harus mengakui kalau Ramon adalah pria normal yang baik. Tidak pernah sekali pun Ramon kehilangan kendali untuk menuntaskan hasrat dan keinginannya sebagai seorang pria meski napas mereka sudah sama kasarnya.

Ramon selalu membuatnya merasa sebagai prioritas utama, dan Ramon seperti selalu membiarkannya menang dalam hal apapun.

Begitulah Ramon yang terasa seperti danau. Selama berpacaran dengan Ramon dia juga tak pernah berharap akan datangnya ombak atau derasnya arus. Karena sejatinya danau yang akan tenang menunggu angin untuk meriakkan permukaannya.

Shena melirik ponselnya di mana sudah tertera 13 panggilan tidak terjawab dari Ramon. Malam itu hanya ada satu orang yang menghubunginya. Pesan Ramon pun masuk bertubi-tubi malam itu.

"Shena .... Kamu lagi apa?"

"Jawab telepon aku, Shen. Aku mau ngomong."

"Kamu kecewa ya?"

"Shen...."

"Kamu lagi dimana?"

"Udah makan?"

"Kamu jadi berangkat?"

"Kapan berangkat?"

"Aku mau ketemu."

"Aku mau ngomong."

Shena tersenyum kecut. Sebenarnya bisa saja sekarang ke studionya saat itu. Dengan membawa bunga atau apa saja seperti yang selalu dilakukan Ramon setiap mereka bertengkar. Ramon pasti tahu kalau untuk mengobrol, Shena pasti akan meladeninya sambil memeluk sebuket bunga. Ramon bukan tidak bisa melakukannya, tapi pria itu tidak mau.

Shena mencampakkan ponsel dan merebahkan dirinya di ranjang. Setelah berpikir beberapa detik, dia memadamkan ponselnya dan bergegas tidur. Shena tidak mau kalau ia sampai khilaf membalas pesan Ramon.

Menangis sebentar tidak apa-apa, pikirnya. Hari ini adalah hari terakhir menangisi Ramon. Besok dia akan berangkat ke Afrika Selatan dan bertemu dengan orang-orang baru dalam perjalanan.

Lelah menangis, akhirnya Shena menyerah. Ia jatuh tertidur dengan wajah basah dan mendekap ponsel yang padam. Esok harinya ia tersentak karena alarm bertubi-tubi yang disetelnya kemarin malam.

"Kenapa masih telat, sih? Kayaknya udah bangun pagi tapi kenapa selalu berangkat buru-buru?" Shena memakai sepatunya dengan tergesa-gesa. "Yayuk ... Yayuk ... gue berangkat! Eh, saya berangkat!"

"Nggak apa-apa ngomong pakai gue juga lebih asyik, Mbak." Yayuk muncul terkekeh-kekeh seraya menyodorkan tas Shena. "Hati-hati di jalan, ya Mbak. Saya bakal dateng setiap hari seperti biasa. Dateng pagi pulang sore. Aman pokoknya. Mbak Shena liburan aja."

Bersambung

3. Berangkat ...!

Hari yg dinanti-nantikan Shena akhirnya datang juga. Harga tiket promo yang didapatnya benar-benar lumayan murah. Hanya dengan modal kesabaran dua kali transit via Singapura dan Johannesburg, Shena nantinya akan bisa tiba di Cape Town dengan harga tiket 12 juta untuk pulang-pergi.Hari yg dinanti-nantikan Shena akhirnya datang juga. Harga tiket promo yang didapatnya benar-benar lumayan murah. Hanya dengan modal kesabaran dua kali transit via Singapura dan Johannesburg, Shena nantinya akan bisa tiba di Cape Town dengan harga tiket sangat murah untuk pulang pergi.

“Check In beres … barang-barang udah masuk. Karena perut laper, kayanya mending beli voucher all you can eat di executive lounge.” Shena bergumam sendirian sambil menjentik boarding pass-nya.

Karena sudah cukup sering menunggu waktu terbang di executive lounge, Shena langsung menyeret koper kecilnya ke sana. Saat langkahnya hampir sampai di tempat tujuan, Shena memandang koper kecilnya. Ia nyaris terkekeh karena mengingat koper besarnya yang akan masuk ke bagasi pesawat.

Rencana berkeliling negara Afrika membuat bawaan Shena membengkak. Dari yang penting, sampai yang tak penting. Catokan, rol rambut super besar, bermacam serum wajah sampai setrika mini yang tidak pernah ketinggalan.

Karena pagi tadi hanya meneguk kopi instan yang dibuatnya dengan terburu-buru, Shena merasa menemukan surga saat tiba di depan resepsionis lounge.

“Untuk berapa orang, Mba?” tanya resepsionis lounge.

“Satu orang aja,” kata Shena.

Padahal udah liat aku datang sendiri. Kenapa mesti ditanya berapa orang? Apa dari mukaku keliatan kalau aku baru diputusin? Menyebalkan ….

Setelah membayar untuk satu orang, Shena ke dalam. Matanya sedang menyapu berbagai macam menu saat ponselnya bergetar beberapa kali.

“Si setan,” bisik Shena. Ia benar-benar membaca tulisan Setan di layar ponselnya. Nama Ramon sudah berganti. Tak sudi menjawab telepon itu, Shena kembali memasukkan ponselnya ke tas dan mulai mengambil hidangan.

Makanan lezat menggugah selera yang terhampar di meja ternyata tidak menyurutkan lamunan Shena tentang cerita segar yang mengoyak perasaannya. Sebelum berangkat ia sempat bertelepon dengan Kak Shinta membahas hubungannya yang hancur tak berbentuk. Dengan berurai air mata ia mengatakan banyak hal pada wanita yang dianggap kakak olehnya.

“Aku bayangin kalau aku yang ada di posisi si setan itu, aku pasti akan perjuangin hubungan kami, Kak. Kalau aku yang ada di posisi Ramon mungkin aku akan bawa dia buat dikenalin ke ibu aku. Nggak semudah itu aku campakkan dia. Kami udah lama, Kak. Ramon terlalu cepat menyerah. Berengsek dia itu.” Shena menangis sesenggukan.

“Meski aku nggak tau keadaan Ramon gimana di rumah, aku nggak tau perasaan dia sebenarnya, tapi tetap aja laki-laki yang nggak punya pendirian. Terlalu cepat menyerah. Berengsek. Nggak ada usaha.”

Shena menusuk buah melon di piring kecil. Matanya lalu membelalak menyadari makanan di meja.

Perasaan aku baru ngelamun semenit. Kenapa yang abis udah banyak? Perkara dicampakkan laki-laki sepertinya bakal bisa bikin aku naik berat badan.

Berusaha mengabaikan  apa yang sedang memenuhi pikirannya sejak tadi, Shena membuka media sosialnya dan merekam video singkat yang menunjukkan ruang tunggu di kejauhan. Saat sedang memilih-milih musik yang akan dipasangnya untuk video itu, suara wanita di pengeras suara membuat Shena terlonjak.

“Ah, it's time to fly. Mana syal aku? Syal ini nggak boleh tinggal.” Shena melilitkan syal jadulnya, lalu menyampirkan tas ke bahu. Dengan koper kabin yang diseretnya, panggilan kepada penumpang pesawat tidak bisa menyembunyikan antusiasnya kepada perjalanan yang sudah dinantikannya sejak lama.

Dari kejauhan sudah terlihat penumpang berdiri dan antre menunggu gate dibuka. Sambil mempercepat langkahnya, Shena membetulkan tas di bahu. Ia ingin ikut dalam antrean itu. Ia bisa cepat duduk di pesawat dan menenangkan dirinya sebelum take-off.

Dengan langkah yang terbilang cepat, perhatian Shena benar-benar tertuju pada barisan orang. Ia tidak melihat ketika dari arah berlawanan seorang pria tinggi dengan kemeja putih dan celana jeans menabraknya dengan cukup keras. Walau pria itu terlihat mengangkat tangan karena menahan tubuhnya ke depan, tetap saja tabrakan itu membuat semua benda di tangan mereka jatuh bersamaan.

“Aduh,” pekik Shena. Ia terdiam beberapa detik melihat ponselnya. Ia juga mengingat siapa yang lebih dulu menabrak.

Siapa yang nabrak? Dia atau aku? Aku harus minta maaf? Apa aku yang terlalu bersemangat? Apa dia kesandung koper aku? Aduh … untung aja lantai ruang tunggu ada karpet tebal. Kalau nggak hape ini pasti bisa hancur.

Tapi … kayanya ni cowo juga nggak liat jalan karena sibuk dengan hapenya. Ketimbang kelamaan bengong mending aku duluan yang ambil hape dan buku dia.

Shena lalu membungkuk untuk memungut ponselnya dan buku pria di depannya. Saat menyodorkan buku pada pria di depannya, Shena mendongak untuk melihat pria itu. Buku di tangannya tidak diambil. Pria itu malah sibuk memandang syal yang terlilit di lehernya. Shena ikut memandang syal yang terjuntai di depan dadanya.

Apa syal aku cakep banget? Dia kepengin? Suka?

*****

Firza sampai harus mengerjap karena tubrukan keras dan syal yang tak asing baginya. Wanita yang barusan menabrak dirinya, atau … dia yang menabrak? Wanita di depannya itu menggunakan syal biru-oranye. Ingatannya yang hebat seketika mengingat bahwa itu bukan kali pertama ia melihat syal yang sama. Meski syal yang dikenakan wanita di depannya sudah terlihat berwarna sedikit kusam, ia tahu bahwa motif syal itu tidak banjir di pasaran. Bisa jadi dicetak khusus. Firza tenggelam dalam lamunannya.

Aku pasti nggak salah ingat. Tapi … di mana aku pernah liat syal begini?

Lalu kenangan yang agak sulit dilupakan masuk dalam ingatannya. Terbilang sulit dilupakan karena kejadian itu cukup heboh.

Ingatan seorang gadis remaja menangis meraung-raung di lorong rumah sakit sambil memegang syal yang sekarang terlilit di leher wanita di depannya sudah semakin jelas.

Pasti syal yang sama. Aku pasti nggak salah.

Firza tersenyum. Peristiwa sembilan tahun yang lalu itu memang agak sulit dilupakan. Saat itu dia masih menjadi Dokter Koas. Fase itu membuatnya sering kebagian tugas jaga malam di UGD. Kemampuan begadangnya pun melonjak pesat di masa-masa itu.

Syal yang dilihatnya saat itu sama dengan syal remaja perempuan yang berlarian di sisi seorang pasien pria paruh baya. Dini hari itu Firza terlonjak karena mendapat tanda pasien gawat. Pria baru baya itu masuk ke UGD dengan kondisi tidak sadar. Pemeriksaan awal menunjukkan bahwa pasien mengalami serangan jantung. Dan usaha hampir lima belas menit yang dilakukan tim medis tidak dapat menyelamatkan kehidupan pasien.

Seorang remaja perempuan yang berdiri kebingungan di pojok ruangan pada saat itu cuma setengah ternganga mendengar dokter membacakan waktu kematian pasien.

“Ayah udah meninggal?” pekik remaja perempuan itu. Tidak ada yang menjawab. Gadis manis itu mendekati ayahnya dan mengguncang tubuhnya. “Ayah, Ayah bangun!” pinta gadis itu. Karena tidak ada sahutan remaja itu lalu berbalik dan meninggalkan UGD.

Karena ada dokter yang menangani pasien, Firza memutuskan keluar mengikuti remaja itu. Entahlah. Pada saat itu ia hanya khawatir remaja yang tidak bisa menerima kematian ayahnya bisa saja berbuat nekad. Nyatanya, saat ia keluar, ia malah melihat remaja itu duduk menekuk lutut dan menunduk menyembunyikan wajahnya. Bahunya berguncang hebat. Jelas bahwa gadis itu menahan tangisnya sejak tadi. Firza melirik kain yang sejak tadi digenggam gadis itu. Syal yang sama persis dengan yang dikenakan wanita di depannya.

Atau … syal yang dipakai wanita ini lebih bagus dan lebih cerah warnanya? Atau warnanya lebih muda?

Ah, entahlah ….

“Nih, maaf dan terima kasih.” Shena menjejalkan buku ke tangan Firza.

“Oh, maaf, terima kasih.” Firza tergagap menjawab ucapan ketus yang tidak diprediksinya.

“Lain kali hati-hati,” sambung Shena lagi, kemudian melangkah pergi.

Firza meringis. Ia mengikuti punggung Shena yang berjalan ke depan.

Manis tapi cerewet banget kayanya. Beda dengan Risa yang lemah lembut. 

Firza berdecak. Dengan cepat menyesali apa yang baru dipikirannya. Ia meremat buku yang baru disodorkan ke tangannya.

Ada apa dengan aku? Membandingkan wanita yang baru dilihat sepuluh detik dengan wanita yang sudah kukenal sepuluh tahun?

“Ke Pretoria demi Dokter Risa,” gumam Firza sendirian.

Ya, benar. Perjalanannya kali itu memang demi kekasihnya si dokter spesialis anak. Baru-baru ini ia mengundurkan diri dari rumah sakit di mana ia berperan sebagai dokter spesialis bedah umum. Ia rela meninggalkan rumah sakit swasta yang memberikan gaji fantastis demi mencoba peruntungannya bekerja di UN sebagai Tenaga Kesehatan.

“Semua demi Risa,” ulang Firza lagi.

Tempat yang ditujunya adalah Pretoria, Afrika Selatan. Firza ingin mengikuti ambisi pacarnya yang sekarang sedang mengabdi di pedalaman Afrika Selatan sebagai dokter spesialis anak.

Selain karena ingin menambah pengalamannya dengan bekerja di lingkungan menantang, Firza juga ingin tinggal berdekatan bersama wanita yang telah menjalani hubungan jarak jauh bersamanya hampir tiga tahun.

Firza dan kekasihnya Risa sudah saling mengenal sejak pertama kali berkuliah di Universitas Sumatera Barat. Namun mereka memutuskan untuk berpacaran saat mereka bekerja di rumah sakit yang sama di Jakarta.

Masih mengingat wajah judes wanita yang baru saja mengembalikan ponselnya tadi Firza pun melangkahkan kakinya ke arah gate sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak sadar.

*****

Shena menghitung nomor tiap kursi pesawat yang dilewatinya. Kelas ekonomi tak membuatnya berharap dapat tidur selonjoran. Akhirnya dia menemukan kursinya, pas di sebelah jendela. Setelah membereskan bawaannya ke atas kompartemen, Shena segera mengatur posisi duduknya dengan posisi 'segera tidur'. Itu adalah penerbangan transit ke Singapura.

Seatbelt dan headset sudah di posisi, syalnya menutupi leher dan sedikit dagu, sunglasses terpasang dan tangannya sudah menyilang di dada. Saat take-off dan landing adalah saat paling menyiksa bagi Shena. Shena akan berusaha mengalihkan pikirannya dengan tidur atau membaca.

“Ah … untung aku udah pilih yang di dekat jendela. Harus di dekat jendela pokoknya.” Shena menepuk-nepuk pegangan kursinya. Ia juga menepuk-nepuk sandaran kepala. Mumpung belum ada penumpang lain yang melihat kegilaannya.

Seorang wanita berumur lebih 50 tahun dan berpakaian santai dengan celana panjang hitam dan kemeja longgar berwarna hijau tampak melihat nomor kursi di atas kepalanya sambil tersenyum. Wanita itu tersenyum pada Shena, Shena mengangguk dan tersenyum sambil merentangkan letak safety belt agar si Ibu bisa langsung duduk dengan mudah.

“Terima kasih, Nak,” kata wanita paruh baya di sebelahnya. “Mau langsung tidur?” tanya wanita itu ramah.

“Saya takut terbang, Bu. Saya mual tiap pesawat take-off.” Shena sengaja menambahkan kata mual agar wanita di sebelahnya jijik dan membayangkan bahwa ia bisa muntah sewaktu-waktu. Jadi, ia harus segera tidur.

“Kalau begitu kamu harus segera tidur,” kata wanita itu.

Shena mengangguk bahagia. Ia langsung memejamkan mata. Karena penerbangan ke Singapura tidak lama, Shena memanfaatkan waktu itu untuk tidur secepat mungkin.

Dengan pergi sejauh mungkin dan cepat-cepat memejamkan mata Shena berharap kalau bayangan Ramon yang terasa sesak memenuhi pikirannya bisa bilang begitu saja. Nyatanya … sosok pria itu masih hadir dalam segala terkaannya.

Pikiran Shena melayang pada sosok rapi di balik meja direktur pagi ini. Aroma parfumnya pasti menyeruak saat ia melintas di lorong meja karyawan. Dengan busana necis dan wangi, Ramon pasti tampan sekali hari itu.

Ramon baik. Sopan dan disenangi karyawan. Ramon juga nggak pelit. Nggak ada yang salah dari Ramon kecuali setan itu mencampakkanku.

Ternyata ini yang disebut-sebut orang sebagai belum move on. Dari buka mata sampai tidur lagi, mukanya masih kebayang-bayang. Dasar aku yang terlalu gila.

Seraya menggeser kepalanya untuk menghadap jendela pesawat, Shena juga menyempatkan menghapus sebulir air matanya yang sempat jatuh.

Dalam keadaan setengah tertidur, bayangan jari-jari yang ramping, panjang pipih dengan potongan kuku rapi muncul di benak Shena.

Jari-jari siapa itu?

Shena pun lalu jatuh tertidur dalam perjalanan menuju tempat transit pertama. Singapura.

To be continued

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!