NovelToon NovelToon

The Ragen: Escape From Zombie Apocalypse

Episode 1. Chaos

Beberapa hari ini Ignis menghabiskan waktunya hanya bersantai setelah pemerintah memberikan pengumuman resmi untuk meliburkan semua

penduduknya dari berbagai macam aktivitas menyusul munculnya kepanikan massa

setelah ditemukannya sebuah virus yang mematikan. Virus Ragen yang awalnya

ditemukan di sebuah desa terpencil hampir dua minggu yang lalu kini telah menyebar dengan cepat kesegala pelosok daerah. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus tersebut belum membuahkan hasil.

Beberapa tempat yang telah terjangkit segera diisolasi oleh pihak pemerintah namun keganasan virus itu tidak terbendung. Bahkan pihak militer pun ikut turun langsung untuk menghambat penyebaran virus tersebut.

Ignis tengah duduk melamun bersama kedua temannya Tony dan Jimmydi ruang keluarga, ia tidak begitu memperhatikan siaran berita di televisi. Tony yang sama bosannya hanya terus mengganti chanel televisi untuk mencari hiburan

selain berita tentang virus Ragen. Hampir semua acara tv diisi dengan berita

penyebaran virus tersebut.

“Berhentilah memain-mainkan remote tv, kau membuatku pusing,” sungut Jimmy menyenggol bahu Tony.

Menyerah Tony akhirnya meletakkan remote ke meja membiarkan tv tetap menyala, “ini membosankan,” erangnya.

“…pihak militer yang diturunkan untuk menangani krisis di kota Nibelhim akhirnya menyerah dan

perlahan mundur, keadaan kota tersebut telah mengalami kehancuran total. Beberapa penduduk yang selamat segera diungsikan menuju luar kota…”

Satu lagi kota yang hancur dengan begitu hampir lima puluh persen Negara Namrej lumpuh total. Jimmy yang menyimak berita langsung bergidik

ngeri melihat video amatir yang ditayangkan acara berita tersebut. Dalam video tersebut orang-orang tengah berlarian ke segala arah karena dikejar-kejar oleh sesuatu, karena penasaran Jimmy terus memperhatikannya. Semakin lama video itu pun tampak jelas menampilan makhluk-makhluk yang tengah menyerang orang-orang itu.

“Oh shittt!!!” umpat Jimmy sambil melototi tv.

Tony dan Ignis pun terpancing memperhatikan tv melihat reaksi Jimmy, keduanya sama terperangah melihat video yang baru kali ini

menampilkan secara langsung keganasan virus Ragen.

“A..apa itu manusia?” Tony tak percaya.

Virus Ragen menjadikan manusia sebagai inangnya untuk bertahan hidup, orang yang terjangkit berubah menjadi liar menyerang orang lain dan memakannya meski tak sampai habis sehingga orang yang telah tergigit berubah menjadi Ragen. Pada akhirnya para ragen itu memiliki penampakan yang mengerikan yaitu sesosok manusia yang tidak utuh lagi dengan lendir yang menetes dari mulut mereka dan mata memutih.

“Sepertinya aku mau muntah.” Tony langsung berlari kekamar mandi meninggalkan kedua temannya yang terus memperhatikan berita di tv.

“Menurutmu virus itu akan menyebar hingga ke kota ini?” Tanya Jimmy pada Ignis.

“Dengan keganasan mereka yang seperti itu aku rasa itu mungkin terjadi,” jawab Ignis.

“Menghibur sekali jawabanmu,” sahut Jimmy ketus.

“Dalam dua minggu hampir separuh negara lumpuh, militer kualahan menghadapi serangan. Jika pemerintah tidak menemukan solusi bencana ini kemungkinan negara ini akan hancur.” Ignis mencoba berlogika.

“Kalau begitu sebaiknya kita keluar negeri saja.” usul Jimmy.

“Bandara telah lumpuh sejak berhari-hari yang lalu,” beritahu Ignis.

“Bagus, kita terjebak disini,” komentar Jimmy menyandarkan tubuhnya.

Tony tampak pucat sekembalinya dari kamar mandi, sepertinya dia benar-benar muntah melihat berita di tv. “Hai apa kalian melihat Sania?” Tanyanya sedikit cemas.

“Dia tadi pamit ke toko seberang,” jawab Jimmy.

“Apa sudah lama?” tanya Tony duduk di sofa.

“Seharusnya dia telah kembali” sahut Jimmy.

Ignis yang baru saja tersadar dengan ketidak adanya Sania segera bangkit dari sofa. “aku akan keluar mencarinya”

*****

Disebuah toko tak jauh dari apartemen termewah kota itu, Sania tengah mengantri di kasir untuk membayar barang belanjaannya. Kota itu masih cukup kondusif mengingat banyak tempat telah terjadi kericuhan akibat penjarahan. Tidak menunggu lama ia telah keluar toko, dari kejauhan Sania melihat hiruk pikuk orang-orang yang tengah berlarian kalang kabut. Beberapa orang disekitarnya pun tampak mengawasi dengan terheran-heran dan penasaran dengan apa yang tengah terjadi. Salah seorang yang tidak jauh dari Sania berusaha menghentikan salah seorang yang tengah berlari untuk mengetahui apa yang terjadi.

“Hei..hei… tunggu ada apa?” Tanya Pria itu gusar.

“lari…selamatkan diri kalian. Para ragen menyerang,” jawab orang itu gugup kembali berlari menjauh menyelamatkan diri.

Butuh beberapa detik bagi pria itu, Sania dan beberapa orang yang mendengar jawaban orang tadi untuk mencernanya, saat menyadari apa yang

terjadi mereka telah disuguhkan pemandangan yang mengerikan. Telah banyak orang

bergelimpangan bersimbah darah dengan Ragen yang menggerogoti bagian-bagian tubuh mereka. Melihat hal itu Sania berteriak histeris, tanpa mempedulikan apa-apa lagi ia berlari sekuat tenaga menuju apartemennya.

Gedung Apartemen yang berjarak dua ratus meter dari tempatnya berdiri menjadi terasa sangat jauh dimatanya, belum lagi para Ragen yang mengejar-ngejarnya. Beberapa kali ia sempat terjatuh dan menabrak orang lain sebelum akhirnya mencapai gedung apartemen dan masuk ke lift tanpa mempedulikan tatapan aneh orang-orang di dalamnya. Dengan nafas

tersengal-sengal, Sania menuju ke apartemen. Sesampainya di dalam Sania segera mengunci pintu dan menyeret sebuah meja di dekat pintu untuk memastikan tak ada yang bisa menerobos ke dalam.

“Ada apa denganmu?”

Tanya seseorang di belakang Sania membuatnya terlonjak kaget, ia mendapati Ignis tengah menatapnya bingung. Sania yang ketakutan

setengah mati langsung berhambur kedalam pelukan pria itu sambil menangis

sejadi-jadinya. Ignis yang masih bingung membawa Sania keruang keluarga untuk

menenangkannya. Gadis itu benar-benar sangat pucat dan berantakan. Tony dan Jimmy sama terkejutnya melihat keadaan Sania.

“Ki…kita harus segera pergi dari sini,” ujar Sania disela-sela isakan tangisnya.

“Tenangkan dirimu dulu,” pinta Ignis menyodorkan air putih.

Setelah minum Sania sedikit tenang, “virus itu, virus itu telah sampai kota ini. Keadaan diluar telah kacau,” ceritanya.

Mendengar penjelasan Sania mau tak mau ketiga pria itu saling berpandangan dan berlari menuju balkon untuk melihat situasi di bawah sana. Dalam sekejap kota telah porak-poranda, kecelakaan lau lintas di mana-mana,

orang-orang berlarian menyelamatkan diri dan sirine mobil polisi di sela-sela tembakan untuk menghalau para ragen.

“Oh astaga.” Tony merosot terduduk lemas melihat pemandangan mengerikan dibawah sana.

“Di mana Leo?” tanya Ignis.

“Masih tidur,” jawab Jimmy tak melepas pandangannya ke bawah.

Dengan geram Ignis kembali masuk dan bergegas menuju kamar Leo di lantai dua. Di dalam kamar, ia melihat Leo masih meringkuk dengan nyaman

di bawah selimutnya. Saat dunia tengah menggila Leo masih enak-enakan tidur.

“Leo bangun,” kata Ignis menggoyangkan pundak Leo.

Leo hanya mengerang dan membalikkan tubuh kembali tidur.

“Cepatlah bangun!” perintah Ignis mencoba sabar.

“Keluarlah, jangan ganggu aku,” gerutu Leo.

Dengan tidak sabar, Ignis menyibakkan selimut Leo membuat pria itu mengerang kesal. “kau harus bangun, tengah terjadi kericuhan saat ini!”

Masih malas Leo memaksakan diri untuk bangun, ia terlihat kesal saat Ignis menyeretnya ke balkon untuk melihat keadaan di luar. Leo sangat terkejut melihat keadaan yang telah kacau balau selama ia tidur.

Beberapa gedung telah terbakar, orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri semakin lama semakin sedikit terkalahkan oleh keganasan Ragen yang menyerang mereka.

“Apa yang terjadi?” tanya Leo linglung.

“Virus ragen telah menyebar dikota kita,” jawab Ignis, “kita harus pergi dari sini.”

“Ini sudah senja, ke mana kita akan pergi?” Jimmy menyusul Ignis menuju ruang keluarga.

Mereka pun berkumpul di ruang keluarga, Sania yang sejak tadi tidak beranjak dari sana pun mulai membaik tidak sepucat saat dia kembali

ke apartemen. Tony merangkul adiknya itu agar lebih tenang meski dia sendiri sama takutnya melihat pemandangan mengerikan di luar sana.

“Sania, kau satu-satunya yang di luar saat kekacauan terjadi. Saat kamu kembali apa para ragen telah berada didalam apartemen?” Tanya Ignis.

“Belum, orang-orang bahkan melihatku dengan tatapan aneh saat aku masuk jadi aku memberitahu mereka apa yang terjadi di luar. Aku rasa petugas keamanan sempat mengaktifkan system keamanan gedung setelah mengetahui

kekacauan di luar,” terang Sania.

“Kalau begitu kita masih memiliki waktu paling tidak hingga besok pagi di sini. Malam ini kita persiapkan segalanya untuk bekal perjalanan.” Ignis menyusun rencana.

“Kemana akan kita pergi?” tanya Leo membuat bungkam semua.

Keheningan menyelimuti mereka, tak ada tujuan yang terlintas di kepala mereka saat ini. Bandara telah lumpuh, tak mungkin mereka bisa

melarikan diri keluar negeri dalam keadaan seperti ini.

“Kita ke Ruwanda, satu-satunya Negara terdekat dari Namrej dan kita masih bisa melakukan perjalanan ke sana dengan mobil,” kata Ignis memecah keheningan.

“Jarak Ruwanda beribu-ribu mil jauhnya, apa kita bisa sampai sana dengan selamat?” sahut Tony histeris.

“Kita harus mencobanya. Selain itu kita bisa mencari informasi tempat yang aman selama perjalanan,” kata Leo menimpali.

“Baiklah, malam ini persiapkan semuanya. Kita berangkat besok pagi,” putus Ignis.

Malamnya semua sibuk mempersiapkan perbekalan untuk perjalanan mereka menuju Ruwanda tidak lupa mereka menyiapkan bekal senjata andalan mereka masing-masing yang tidak pernah mereka gunakan sebelumnya. Tidak

seperti lainnya yang mengkhawatirkan situasi gawat saat ini, Leo yang telah selesai mengemasi barang-barangnya kembali meringkuk ditempat tidurnya tanpa mempedulikan keadaan diluar.

“Not care the world…” komentar Ignis yang menyerah memintanya tetap terjaga mengantisipasi bahaya yang datang.

“Yap…dia pangeran tidur kau tahu itu,” timpal Jimmy.

Sepanjang malam hanya Leo dan Sania yang tidur, Tony terlalu tegang hingga tidak bisa memejamkan mata sedangkan Ignis dan Jimmy berjaga dan mengawasi situasi di luar. Kedua pria itu menghabiskan waktu di balkon sambil

mengamati tingkah laku para Ragen yang semakin ganas dibandingkan sore tadi.

Tidak ada lagi sirine polisi hanya beberapa tembakan yang kadang masih terdengar atau teriakan-teriakan pilu orang-orang yang gagal menyelamatkan diri. Suasana mencekam itu berangsur memudar menjelang fajar tiba.

Suara deru helicopter dipagi hari membangunkan Ignis dan Jimmy di ruang keluarga. Buru-buru Ignis keluar menuju balkon melihat kemana

helicopter itu pergi, setidaknya ada empat helicopter yang terbang rendah bahkan salah satunya mendarat digedung apartemen mewah lainnya yang berjarak tak jauh dari tempat mereka berada. Rasa penasaran Ignis mendorong pria itu

meraih teropongnya untuk melihat apa yang terjadi.

“Apa itu pihak militer, mereka melakukan penjemputan?” tanya Jimmy penasaran.

“Bukan, lambang di helicopter itu berbeda,” jawab Ignis masih terus mengawasi. “mereka hanya membawa CEO Mediastar dan meninggalkan

yang lainnya,” lanjutnya, ia kemudian mengawasi helicopter-helikopter lainnya yang terjangkau teropongnya. Semuanya memiliki lambang sama yang belum pernah dia lihat sebelumnya.

“Aku rasa mereka hanya menjemput orang-orang tertentu,” Kata Ignis menjauhkan teropongnya.

“Orang-orang berduit tentunya,” ujar Jimmy sinis.

“Kita juga orang berduit kenapa tak ada yang menjemput?” sahut Tony yang baru bergabung.

“Aku rasa lebih dari berduit,” jawab Ignis.

“Mereka membayar untuk mendapat perlindungan,” kata Leo yang tiba-tiba muncul masih terlihat mengantuk.

“Dari mana kamu tahu?” tanya Tony penasaran.

Leo menggaruk kepalanya sambil meringis, ada hal yang lupa ia katakan pada teman-temannya. “Karena beberapa tahun yang lalu aku mendapat

undangan untuk menghadiri sebuah jamuan untuk menawarkan sebuah tempat perlindungan.”

“Kenapa kamu tidak memberitahu kita?” erang Jimmy.

“Aku lupa dan aku juga tidak menghadiri perjamuan itu,” ucap Leo merasa bersalah. Jika saat itu ia datang berapa pun saham yang harus

dikeluarkan atas namanya dan juga teman-temannya ia mampu membayarnya. Namun ia terlalu sibuk memikirkan hal lain sehingga melupakan undangan itu dan dia baru mengingatnya sekarang.

“Bagus!!!” sahut Tony ketus.

“Maafkan aku,” sesal Leo.

“Sudahlah itu tidak penting sekarang. Sebaiknya kita mulai berkemas, aku tidak melihat Ragen yang berkeliaran dijalan ini kesempatan kita untuk pergi,” lerai Ignis.

Matahari memang telah cukup tinggi menampakkan diri membuat para Ragen mencari perlindungan di balik kegelapan. Mereka pun mulai berkemas dan menyiapkan senjata mereka masing-masing. Gedung apartemen mereka masih memiliki cadangan energy mempermudah mereka untuk mencapai basement tempat

mobil mereka terparkir. Hanya satu mobil yang bisa mereka pakai bersama dan mereka menggunakan mobil Leo yang lebih besar dari pada mobil milik teman-temannya yang lain.

“Cepatlah, aku sudah tidak betah di sini,” rengek Tony sambil mengawasi sekitarnya.

Suasana sedikit mencekam di tempat parkir yang memiliki penerangan minim itu. Suara-suara aneh mulai terdengar di telinga mereka.

“Apa kalian mendengar sesuatu?” bisik Jimmy.

“Aku dengar, ayo cepat masuk mobil.” Ignis memberi komando teman-temannya untuk segera masuk mobil.

Mereka masuk tepat waktu karena sedetik kemudian terlihat sesosok Ragen yang tengah berjalan tertatih-tatih di antara mobil-mobil yang terparkir di sana.

“Cepat pergi dari sini,” kata Tony melihat Ragen yang semakin mendekati mereka.

Ignis segera menyalakan mobil, begitu deru mesin mobil terdengar Ragen itu langsung bereaksi dan berlari ke arah mereka. Dengan sigap Ignis menginjak pedal gas dan melarikan mobil itu ke luar gedung. Disepanjang lorong pintu keluar mereka juga berpapasan dengan para Ragen yang terusik suara deru mesin mobil, beberapa Ragen tertabrak mobil dan yang lainnya berlarian

mengejar mobil mereka.

Sepanjang perjalanan mereka masih menemukan beberapa Ragen yang terusik suara deru mobil mereka hingga membuat Ragen itu berlarian

mengejar mereka. Barulah setelah di luar kota yang jauh dari bangunan mereka bebas melaju tanpa hambatan meski pemandangan yang mereka dapatkan tak jauh beda dengan di pusat kota. Tujuan mereka hanya satu mencapai Negara Ruwanda berharap di sana keadaan lebih aman dari pada tempat mereka sekarang.

--- TBC ---

Episode 2. New Friend

Sudah beberapa hari semenjak kejadian penyerangan di kota tempat mereka tinggal, Ignis dan kawan-kawannya masih terluntang-lantung

berjalan tanpa memiliki tujuan yang pasti. Beberapa tempat telah mereka lewati,

semuanya berakhir sama. Para Ragen terus menyebar tanpa terkendali, semakin sedikit kota yang masih bertahan dari bencana kehancuran. Namun tidak sedikit yang gagal mempertahankan kota, meski pihak militer berusaha membantu dengan cara mengisolasi kota-kota yang masih aman. Sedangkan kota yang telah dikuasai Ragen,

pihak militer berusaha menumpasnya sehingga terlihat seperti medan perang.

Tidak hanya sekali dua kali Ignis dan kawan-kawannya terjebak dalam kerusuhan, baik kerusuhan akibat penjarahan maupun akibat

serangan Ragen. Dan saat ini mereka tengah berjuang meloloskan diri dari serangan Ragen, di tengah kota Uata bersama para survivor yang lainnya. Mobil mereka melaju sedikit tersendat akibat banyaknya orang yang berlarian panik

tanpa arah, para Army terlihat berusaha menolong sebisa mereka yang masih bisa diselamatkan.

Rentetan bunyi peluru terdengar tiada habisnya, para survivor yang memiliki mobil memilih melarikan diri keluar kota. Menjauhi hiruk-pikuk massa yang tengah kacau balau. Sedangkan orang-orang yang berlarian segera dikumpulkan ke suatu tempat tertutup oleh para Army, menjauhkan mereka dari terkaman para Ragen yang terus mendesak.

Ignis mencoba berkonsentrasi penuh menyetir mobil agar bisa meloloskan diri menuju luar kota. Tony sebagai orang yang ahli dalam IT, duduk

di samping Ignis untuk mengarahkan rute pelarian tercepat dan teraman. Mereka kini terjebak di tengah kota, di antara kemacetan lalu lintas yang kacau. Sedangkan jauh di belakang mereka para Army semakin terdesak, karena jumlah para Ragen semakin bertambah. Leo yang mengawasi sekeliling mobil, tanpa sengaja melihat seorang pria tengah berjuang menyelamatkan temannya yang terjebak di dalam himpitan mobil.

“Ignis berhenti, kita harus menolong mereka.” Leo menunjuk orang yang dilihatnya.

“Apa kau gila,” sergah Ignis mengetahui situasi semakin genting.

“Cepatlah, kita tidak punya waktu,” desak Leo.

Mau tidak mau Ignis menuruti permintaan Leo. Ia menghentikan mobilnya dan membiarkan Leo turun membantu pria itu diikuti Jimmy. Mereka

menghampirinya setengah berlari.

“Mari kubantu.” Leo mulai memposisikan diri bersiap mendorong mobil yang menjepit teman pria itu di dalam mobil.

Pria itu menoleh, “terima kasih”

Dibantu Jimmy dan Leo, mereka mulai mendorongnya. Posisi mobil yang tidak begitu menguntungkan, membuat mereka kesulitan mendorong mobil itu agar terlepas dari jepitan mobil lainnya.

“Cepat!” teriak Ignis dari dalam mobil.

Desingan peluru terdengar semakin dekat, para Ragen mulai lolos dari pengawasan para Army. Jimmy yang melihat beberapa Ragen mendekati

mereka segera melepaskan pedangnya dan memasang kuda-kuda, untuk melindungi Leo

dan kedua pria yang berusaha ditolongnya. Perlahan-lahan mobil itu pun mulai bergeser, tetapi para Ragen yang datang semakin banyak membuat Jimmy semakin kualahan. Tony yang melindungi mereka dari dalam mobil dengan pistolnya, tidak begitu banyak membantu. Tepat disaat mereka mulai terjepit, seseorang dengan

balutan baju zirah datang membantu.

“Apa yang kalian lakukan?” tanya orang dibalik helm zirahnya dingin.

“Mengeluarkan dia,” jawab Leo masih berusaha mendorong mobil.

“Minggir,” kata orang itu pada Leo dan temannya.

Meski sedikit ragu, ke dua orang yang tengah berusaha menyingkirkan mobil yang tengah menjepit seorang pria itu segera minggir. Tanpa

menunggu lama, orang berzirah itu menendang mobil rongsokan itu hingga terpental jauh dan melindas para Ragen yang semakin mendekat.

“Cepat keluarkan dia dan segeralah pergi dari sini!” perintah orang itu kemudian memberikan perlindungan pada mereka.

Leo dan pria yang dibantunya berhasil mengeluarkan orang yang di dalam mobil, meski tampaknya orang itu mengalami luka akibat benturan. Mereka pun membawanya ke dalam mobil Leo. Belum sempat pria pirang yang dibantu

Leo tadi memasuki mobil, kembali orang berbaju zirah itu mendekatinya.

“Kau membutuhkan ini,” kata orang itu sambil menyerahkan sebuah handgun pada pria pirang itu. “take care,” lanjutnya kemudian berbalik

pergi sebelum menerima jawaban.

Pria pirang itu tampak bingung, meskipun demikian ia segera menyimpan handgun itu lalu masuk ke mobil Leo. Melihat semua sudah masuk mobil, Ignis kembali menjalankan mobilnya menjauhi tempat itu yang semakin kacau

balau. Diam-diam Leo masih mengamati orang berbaju zirah yang kini tengah berjuang bersama para Army memberantas Ragen.

“Terima kasih sudah menolongku,” ucap orang yang tadi terjepit di dalam mobil memecah kebisuan.

“Bukan masalah” jawab pria pirang itu.

“Aku, Austin. Siapa nama kalian?” tanya pria itu.

“Matthew,” jawab Si pirang memperkenalkan diri.

“Leo dan ini teman-temanku. Jimmy, Tony, Sania dan Ignis.” Leo menunjukkan satu per satu teman-temannya.

Leo kembali menoleh ke belakang saat mendengar ledakan dari tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Matthew yang sama penasarannya ikut memperhatikan apa yang tengah terjadi. Ia bisa melihat orang berzirah yang baru saja memberikan handgun padanya tengah menghadang gelombang besar Ragen, dari

kedua tangannya muncul cahaya putih yang semakin membesar yang dalam hitungan

detik cahaya itu telah dilemparkan pada para Ragen. Cahaya itu pun meledak hingga menghanguskan sebagian besar Ragen yang terkena ledakan. Matthew sedikit terkejut melihat orang itu roboh setelahnya, entah kenapa hatinya menjadi cemas. Dan kecemasannya bertambah melihat gelombang kedua para Ragen kembali

berlarian kearahnya, dengan memaksakan diri oring itu kembali melontarkan cahaya putih itu lagi, lebih besar dari sebelumnya. Meski hanya dengan tangan kirinya semua Ragen yang berada di depannya lenyap tidak bersisa.

“Guardians…” gumam Jimmy yang ternyata juga memperhatikan.

“Kita beruntung hari ini,” desah Tony yang berada di depan.

“Apa kamu mengenalnya?” Tanya Leo pada Matthew.

“Tidak, aku tidak mengenalnya,” jawab Matthew bingung.

“Dia memberikan handgun padamu kan,” desak Leo.

“Ya…” Matthew memang tidak mengenal seorang pun dari unit Guardians, jadi ia pun sedikit bingung ketika orang itu memberinya senjata tadi. Matthew mengalihkan pandangannya pada Tony yang duduk di sampingnya. “Apa kau terluka?”

“Hanya kaki ku yang terasa sakit,” jawab Austin.

“Biar ku periksa.” Matthew menyuruh Tony menaikkan celana yang dikenakannya, “tenanglah, aku dokter,” lanjutnya melihat keraguan Tony.

Mendengar pengakuan Matthew, senyum sumringah Austin berkembang. Segera saja ia menuruti perkataan Matthew untuk mendapatkan

pengobatan.

“Sepertinya kau harus tetap bersama kami, Matt. Agar kita punya dokter pribadi,” sahut Tony dengan riang.

“Ke mana tujuan kalian?” tanya Matthew di tengah

kesibukannya mengobati luka Austin.

“Ke tempat yang aman,” jawab Ignis.

“Baiklah, sepertinya kita satu tujuan,” kata Matthew tidak menolak permintaan tadi.

“Yah… sepertinya aku pun juga searah dengan kalian,” sahut Austin disambut tawa yang lainnya.

***

Seorang kapten yang bertugas di kota Uata terlihat sedang berjalan mendekati orang berzirah yang baru saja membantunya. Orang itu tengah

melepas helm zirahnya, memperlihatkan sesosok wajah cantik nan dingin, dengan rambut pinknya yang langsung tergerai di pundaknya. Anak buahnya sedang menyisir lokasi terdekat untuk mencari orang yang  selamat, membuatnya memiliki waktu untuk berbicara dengan gadis itu.

“Terima kasih, Angel. Sepertinya aku sangat beruntung hari ini,” kata Kapten itu sambil berdiri di depan gadis yang dipanggilnya Angel itu.

“Simpan saja ucapan terima kasihmu, aku ke sini bukan untuk menolongmu atau pun pasukanmu.” Angel menonaktifkan baju zirahnya.

“Kau masih sama dinginnya sejak aku mengenalmu,” kata kapten itu sambil tergelak.

“Aku sedang mengejar target ku dan sekarang dia lolos lagi,” ucap Angel mendengus kesal memandangi jalanan yang kini lengang, kemudian

memeriksa layar hologram di jam tangannya. Beruntung ia sempat bertemu dengan targetnya, sekarang ia bisa melacaknya berkat pelacak yang diberikannya secara diam-diam.

“Sudah kuduga, apa itu yang kau lakukan di Nibelhim juga?” tanya Sang Kapten mengetahui beberapa hari yang lalu pasukan yang bertugas di

Nibelhim, mendapat bantuan gratis saat mereka dilanda kehancuran.

“Ya,” jawab Angel pendek, dilepasnya sarung tangan kirinya untuk memeriksa telapak tangannya yang terasa nyeri. Luka bakar yang lumayan parah akibat memaksakan diri menggunakan kekuatannya, terlihat di telapak

tangan.

“Kau harus mengobati lukamu.” kapten itu yang nampaknya juga memperhatikan luka itu.

“No time. Aku harus pergi sebelum kehilangan jejak targetku,” tolak Angel berjalan meninggalkan Sang Kapten.

“Hai Angel, kakakmu mencarimu!” teriak kapten itu sebelum Angel menghilang.

“Katakan aku baik-baik saja,” ujar Angel sambil melambaikan tangan.

Kapten itu hanya bisa memandangi Angel hingga masuk ke dalam mobilnya, sebelum meluncur meninggalkan kota Uata melanjutkan misinya.

***

Senja menjelang, Ignis dan teman-temannya telah jauh meninggalkan kota Uata. Kini mereka menyusuri kota kecil yang sunyi tak berpenduduk. Mereka mengawasi sekelilingnya dengan teliti untuk mencari tempat bermalam, karena melanjutkan perjalanan di malam hari sangat berbahaya. Para Ragen bisa muncul di mana saja, terlebih lagi mereka semakin gesit saat matahari

tidak bersinar.

Perlahan-lahan Ignis membawa mobilnya merapat kesebuah rumah bertingkat yang terlihat kosong. Satu persatu mereka turun dari mobil, sambil

mengendap-endap mereka berjalan memasuki gedung itu. Diperiksanya setiap ruangan, tapi yang mereka temukan hanyalah barang-barang yang berserakan di lantai dan beberapa perabotan yang hancur. Tak lupa mereka segera memblokade setiap jendela dengan peralatan seadanya, yang mereka temukan di dalam rumah.

Malam harinya mereka berkumpul di lantai dua dengan pencahayaan minim, agar tidak mengundang perhatian para Ragen yang kini sudah mulai berkeliaran di jalanan. Suara Ragen pun terdengar hingga ke tempat mereka

berkumpul. Matthew duduk di tepian jendela sesekali mengamati tingkah para Ragen,

cahaya bulan purnama cukup memberinya penglihatan yang jelas untuk mengawasi

jalanan. Ia kemudian teringat handgun barunya dan mengambilnya dari dalam tasnya.

Dengan hati-hati Matthew menggenggam handgun silver itu dan mulai menelitinya. Jujur ia sangat kagum melihat handgun itu berbalut ukiran

yang futuristic, seakan senjata itu dibuat khusus oleh pembuatnya. Perlahan Matthew mengusap setiap ukiran itu dengan tangannya. Namun hatinya mencelus mendapati sebuah ukiran di ujung handgun itu. Sebuah nama terukir di sana, yang membuatnya teringat akan sebuah peristiwa berbulan-bulan yang telah lalu.

“Angel…” gumam Matthew pelan membaca nama pemilik handgun itu, tanpa terasa handgunnya merosot dari tangannya hingga terjatuh di dekat

kaki.

Jantungnya terasa berdegup semakin cepat. Matthew ingat.betul saat ia ditodong oleh seorang gadis di tengah malam, di rumahnya sendiri

dengan senjata yang sama yang kini diberikan padanya. Ingatan itu memang hanya sepenggal seakan ada bagian memori lainnya yang dipaksa keluar dari kepalanya hingga menghilang. Namun Matthew memiliki ingatan itu meski hanya sedikit. Ia tidak ingat wajah gadis itu, ia tidak ingat alasan kenapa ia akan dibunuh, tapi ia ingat nama gadis itu dan mata tajamnya.

“Nice gun,” tegur seseorang yang membuat lamunan Matthew buyar.

Dipandanginya handgun yang masih tergeletak didekat kakinya..“Ya sepertinya aku beruntung mendapatkan handgun sebagus ini secara gratis,”

kata Matthew tersenyum kecut, ia pun memungut kembali handgun itu.

“Dia sepertinya mengenalmu,” kata Ignis yang kini duduk di dekat Matthew.

“Mungkin, tapi dia baik hati sekali memberikan ini padaku..Kuharap bisa bertemu lagi untuk mengucapkan terima kasih,”  kata Matthew. Atau penjelasan, batinnya.

“Itu akan menjadi hal yang sedikit mustahil, mengingat para.Guardians hanya datang atas kemauan mereka sendiri. Atau dengan bayaran yang tinggi,” sahut Ignis.

“Yah, ku harap yang ini akan berbeda,” kata Matthew penuh harap.

Kedua pria itu hanyut dalam percakapan hingga larut malam, sesekali mereka terlihat berkeliling untuk memastikan semua dalam keadaan aman.

Ignis dan Matthew pun langsung terlihat akrab, masing-masing dari mereka bercerita tentang pengalamannya selama bencana terjadi. Tidak lupa mereka menceritakan kehidupan masing-masing selama ini. Sudah lama Ignis tidak bertemu teman baru yang bisa langsung akrab seperti sekarang ini, selama ini ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama teman satu gengnya, yang lebih banyak membuatnya kesal karena tingkah kekanak-kanakkan mereka dibandingkan Matthew yang lebih dewasa. Namun tetap menyenangkan diajak bercerita.

Kini teman perjalanan mereka bertambah dua orang, Matthew dan Austin, yang bertemu saat kekacauan terjadi di Uata. Perjalanan mereka pun

semakin menyenangkan, setidaknya bertambah bala bantuan untuk saling menjaga, menghadapi bencana wabah Ragen yang telah meluluh lantakkan sebagian besar Negara Namrej.

--- TBC ---

Episode 3. Another Time Another Place

Selena menatap rindu kotanya yang telah lama ia tinggalkan, lebih tepatnya sejak enam bulan

yang lalu ia pergi dan baru sekarang kembali ke kotanya. Tidak banyak perubahan sama sekali di sana. Kendaraan yang lalu lalang terbilang cukup sedikit, para penduduk di kotanya lebih menyukai berjalan kaki dari pada menaiki mobil sehingga kota itu terlihat lebih asri. Selena sengaja memilih tinggal di kota kecil yang membuatnya bisa hidup lebih nyaman, jauh dari hiruk pikuk keramaian

kota yang bising.

Diparkirkannya mobil sportnya di depan sebuah café sebelum pulang. Tak hanya rindu dengan kotanya, tapi juga merindukan masakan dicafe yang sekarang menjadi tujuannya. Selena

melepaskan kacamatanya dan tersenyum melihat sambutan dari pemilik café tersebut. Bob dan istrinya terlihat gembira melihat kedatangan Selena, mereka memang telah menganggap Selena seperti anak mereka sendiri, begitu pun dengan Selena yang bisa merasakan kehangatan mereka sebagai pengganti orang tuanya yang telah tiada.

“Hai, Selena. Kemana saja kamu selama ini?” sapa Bob yang langsung membuatkan secangkir latte

kesukaannya.

“Bekerja, Bob,” jawab Selena.

“Sampai lupa untuk pulang?” canda Bob dengan tawanya.

“Ya begitulah. Aku baru saja sampai dan langsung ke sini,” jawab Selena.

“You miss us?” tanya Istri Bob ikut bergabung.

“I miss your cheese burger.” Selena menunjuk seporsi burger di tangan wanita setengah baya

itu.

Ketiganya bercanda bersama melepaskan rasa rindu. Bob tahu pekerjaan Selena sering

memakan waktu lama, meski heran karena gadisnya itu mengatakan ia bekerja sebagai porter. Namun kenyataannya gadis itu sering pergi berbulan-bulan dengan peralatan canggih di sekelilingnya. Dan Bob pernah melihat Selena membawa bermacam-macam senjata saat pergi.

Suasana café yang lengang karena bukan jam makan siang, membuat Selena leluasa

berbincang-bincang dengan Bob dan Istrinya. Banyak cerita mengalir di antara mereka seperti kekhawatiran Bob tentang virus baru yang tengah hangat diperbincangkan di media massa. Selena yang baru kembali dari luar negeri, juga baru mendapatkan informasi saat mendarat di negaranya tadi pagi. Banyak televisi yang menyiarkan berita tersebut, tapi informasi yang mereka dapatkan terlalu minim. Tidak ada informasi bagaimana penyebaran virus itu yang mereka dapatkan, hanya berita kehancuran total setiap virus itu ditemukan di suatu daerah.

“Ini sudah satu minggu sejak virus itu ditemukan, banyak kota yang telah diisolir untuk

menanggulangi penyebaran virus Ragen” cerita Bob.

“Tenanglah, Bob. Pemerintah pasti akan cepat menagani krisis ini,” ujar Selena menghibur.

“Kita berada jauh dari pusat pemerintahan, bagaimana jika kota kita yang hancur selanjutnya?” kata Istri Bob kalut.

“Itu tak akan terjadi,” sergah Selena menenangkan dua orang tua itu.

Walau pun itu mungkin terjadi, tapi Selena tidak akan membiarkan orang-orang yang dikasihi

celaka. Cellphone Selena bergetar, ada pesan yang baru saja masuk. Misi baru dari bosnya yang harus segera dikerjakannya. Yang membuat Selena kesal, misi itu ternyata untuk menjemput seseorang. Sialnya orang tersebutlah yang membuatnya menderita enam bulan terakhir ini. Suka tidak suka ia harus mengerjakannya, menunda bukan keputusan yang tepat saat ini.

“Jika terjadi sesuatu di sini, cepatlah kalian pergi ke apatemen milikku. Seseorang akan menjemput kalian dan membawa ke tempat yang aman.” Selena menyerahkan kunci apartemen miliknya.

Bob menerimanya sedikit ragu. Ia tahu di mana apartemen Selena, tapi belum pernah ke sana.

“Dan berikan ini pada orang yang menjemput kalian,” lanjut Selena memberikan sebuah kartu

bergambar burung elang.

“Bagaimana denganmu?” tanya istri Bob.

“Well, aku harus pergi sekarang. Ada paket yang harus kuantar,” jawab Selena merapikan

bawaannya dan berdiri.

“Tidak ada libur?” tanya Bob heran, “kau bahkan baru saja sampai disini”

“Tidak ada libur untukku, Bob.” Selena tergelak, “jaga diri kalian”

Selena memberikan pelukan perpisahan sebelum beranjak keluar dari café. Ia memasuki mobilnya sebelum meluncur ke apartemennya untuk mengambil peralatannya dan beberapa senjata tambahan. Situasi sedang tidak bagus untuk menjalankan misi dengan peralatan standar yang biasa ia bawa.

Sesampainya di apartemen ia langsung memeriksa semuanya, memastikan tidak ada seorang pun yang memasuki apartemen tanpa seizinnya. Selena langsung memasukkan senjatanya dan gadgednya ke dalam ransel. Ia mungkin tidak akan punya kesempatan kembali lagi, jadi dia tidak akan menyisakan apa-apa selain dua shotgun untuk Bob dan istrinya. Tidak

sampai satu jam, Selena telah meluncur keluar kota menuju Nibelhim untuk menjemput paketnya.

Membutuhkan waktu dua hari untuk sampai di Nibelhim, meski Selena telah memacu mobilnya

dengan kecepatan tinggi. Banyak kota yang telah hancur sepanjang perjalanannya menuju kota itu, dan itu membuat Selena semakin gusar jika sampai terlambat. Semuanya akan menjadi kacau terlebih lagi, jika paketnya telah menghilang dari

Nibelhim. Ia benar-benar dalam masalah besar.

Misi yang diemban Selena bukanlah misi yang biasa ia kerjakan. Sebagai seorang Assassins

dari Shadow Hunter, menculik seseorang untuk melakukan perlindungan bukanlah bidangnya. Yang biasa ia kerjakan adalah membunuh target, dan kali ini targetnya adalah seseorang yang telah membuatnya sengsara secara tidak langsung.

Namun ia tetap harus memberikan perlindungan padanya.

Sepanjang perjalanan Selena bertanya-tanya mungkinkah pria itu akan mengenalinya saat bertemu? Pertemuan terakhir dengan pria yang dicarinya terbilang bukan pertemuan yang menyenangkan, di mana dia harus mengeksekusi mati pria itu. Meski Selena sempat ragu untuk

melakukannya, perintah bosnya tidak bisa diabaikan. Jika ia membangkang, maka

ia sendiri yang akan dianggap pengkhianat. Sebagai ganjarannya nyawanya sendiri

yang dipertaruhkan. Selena bukannya takut mati, tapi mati dalam keadaan bimbang sama saja mati konyol. Malam itu Raines datang menghentikannya, sebuah kesalahan terjadi dan itu dilakukan oleh pihak lain. Kelegaan Selena tidak berlangsung lama setelah pembatalan eksekusi, karena ia harus menerima hukuman

konyol yang membuatnya frustasi selama menjalaninya. Tentu saja Raines telah berbuat sesuatu pada pria itu, sehingga kemungkinan ia dikenali pria itu adalah nol persen.

Selena hanya bisa tersenyum kecut, mata biru es pria itu mengingatkannya pada seseorang yang

telah tiada. Ironisnya mungkin hanya dialah satu-satunya yang masih memikirkan peristiwa itu. Kebersamaan mereka pastilah hanya sekejap mata, mengingat Selena memiliki pekerjaan yang tidak pernah ada liburnya. Setelah pria itu di tangan Raines, ia mungkin tidak akan bertemu lagi dengannya dalam waktu yang sangat lama. Selena menjadi tidak yakin dengan pekerjaan yang dia jalani sekarang, sulit baginya menjalani kehidupan normalnya terutama tentang cinta. Dulu ia tidak mempermasalahkan pekerjaan karena kekasihnya adalah partnernya, tapi sekarang kekasihnya telah tiada dan ia masih belum bisa merelakan kepergiannya. Namun pria bermata biru es itu perlahan memasuki pikirannya. Ia menyumpah pelan merutuki khayalannya sendiri, bagi Selena memiliki kekasih hanya akan

menyulitkan geraknya sebagai pembunuh bayaran. Sebagai orang yang professional

dia memilih untuk tidak memikirkan hal remeh itu.

Sedikit terlambat Selena mencapai Nibelhim, kota itu tengah dilanda kehancuran. Kota yang biasanya damai itu kini berubah menjadi medan perang, para Army tengah berjuang menyelamatkan sisa kota. Tanpa mempedulikan kekacauan yang tengah terjadi, Selena melajukan mobilnya membelah kota untuk mencapai sebuah rumah di pinggiran kota. Wajahnya menjadi masam melihat keadaan rumah yang dituju,

kerumunan Ragen tengah berusaha merangsek masuk, beberapa yang menyadari kedatangannya segera menghambur menyerbu mobilnya. Kini ia sendiri yang terjebak di dalam mobil. Hal itu tidak membuatnya gentar. Memang baru kali ini

Selena berhadapan dengan makhluk-makhluk menjijikkan itu, tapi insting.pembunuhnya membuat gairah untuk menebas kepala-kepala Ragen itu membuncah.

Dengan lincah ia keluar dari mobil, seakan mendapat kesenangan baru Selena mulai membabat para Ragen yang menyerangnya dengan mudah. Ia tidak mempedulikan lagi

pakaiannya yang terciprat darah hitam, atau pun bau busuk dari tubuh Ragen setiap ia berhasil mencincang mereka. Setelah ia bersenang-senang cukup lama, akhirnya halaman rumah itu bersih dari para Ragen. Selena mencoba membuka pintu

rumah dan menggedor-gedor pintu untuk memancing sang pemilik, tetapi usahanya

tidak membuahkan hasil. Dengan geram Selena menendang pintu itu hingga terbuka, tidak ada seorang pun yang ia temui di dalam rumah itu membuat darahnya mendidih. Orang yang dicarinya telah pergi.

Erangan kesal berhasil meluncur dari mulut Selena, dengan langkah tidak sabar ia keluar

menuju mobilnya. Pekerjaannya menjadi lebih sulit, melacak orang yang bisa berada di mana saja di negara yang luas, membuat Selena frustasi. Kembali ia melajukan mobilnya menuju pusat kota, dari balik kemudi Selena bisa melihat para Army yang tengah berusaha membasmi Ragen semakin terdesak. Sepertinya justru hal itu

membuat waktunya tepat, Selena masih berusaha memadamkan kekesalannya dan kini ia bisa melampiaskan kemarahannya dengan ikut membasmi Ragen. Ia jarang memamerkan keahliannya pada orang lain tapi sepertinya kali ini boleh juga, memamerkan sedikit aksinya di depan para Army itu.

Selena mengaktifkan senapan serbu yang terdapat di mobil, sekarang di atas kap mesin

mobilnya bertengger dua senapan serbu yang secara otomatis menembaki para Ragen.

Para Army yang mendengar desingan peluru dari arah berbeda, sontak menoleh penasaran. Setidaknya bantuan kecil cukup membuat wajah mereka sedikit cerah meski masih penasaran dengan siapa pemilik mobil yang tengah membantu mereka. Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama ketika Selena keluar dari mobilnya.dengan balutan baju zirah, konsentrasi mereka terpecah antara menghadapi para Ragen

dan Selena.

“Sir…?” teriak salah seorang Army pada kaptennya.

“Abaikan dia dan fokus pada Ragen!” perintah Sang Kapten.

“But, Sir…” cemas Army itu mengetahui Assassins itu mulai berjalan mendekat ke arah mereka, bisa saja Assassins itu mencincang mereka seperti mencincang para Ragen itu.

“Lihatlah, dia hanya membunuh para Ragen,” ucap Sang Kapten meyakinkan para anak buahnya.

Meski ada sedikit ragu para Army akhirnya mengabaikan Assassins itu, dan berfokus pada Ragen. Beberapa ledakan kecil susul menyusul menguar dipendengaran mereka, Assassins

itu semakin brutal mengabisi para Ragen hingga celah di antara mereka semakin.kecil. Bagi Army kelas satu bertemu seorang Assassins membuat mereka gentar,.apalagi kalau bukan karena reputasi Assassins yang terkenal kejam dan sadis,

yang tidak akan ragu menghabisi nyawa orang-orang yang menghalanginya. Melawannya seperti hal yang mustahil meski jumlah mereka satu kompi melihat keahliannya membunuh di atas rata-rata, bahkan para Ragen yang tadinya

mengepung mereka, berkurang secara drastis hanya dalam hitungan menit.

Selena mendapatkan hujanan mata yang menatapnya horror dari para Army setelah berhasil memenggal kepala Ragen terakhir di tempat itu. Baginya itu hal yang wajar dan

membuatnya senang, setidaknya aksi pamernya berhasil membuat para Army itu memegang senjata mereka defensive saat ia berjalan mendekat. Senyum miringnya mengembang mengetahui tak ada satupun Army yang bertindak sembrono dengan menembaknya, meski semua senapan di tangan mereka mengarah padanya.

“Apakah para Army sekarang sangat tidak tahu sopan santun dengan menodongkan senjata pada

penolongnya?” tanya Selena menelengkan kepala.

Tidak ada Army yang berani berkomentar bahkan Sang Kapten terlalu terpaku dengan sosok wajah

cantik, yang terlihat setelah helm zirahnya terbuka. Selena berdecak kesal melihatnya.

“Aku rasa terima kasih sudah cukup,” lanjut Selena.

Sang Kapten yang tersadar pertama akhirnya membuka suara, “terima kasih, Nona”

“Bagus, aku sedang tidak menerima bayaran todongan senjata saat ini,” sindir Selena.

Menyadari anak buahnya masih menodongkan senjata mereka, Sang Kapten berdehem memberi isyarat untuk segera menurunkan senjatanya. Ia juga baru melihat bahwa sejak tadi Selena tidak membawa senjata apa pun di tangan.

“Bagaimana kami harus membayar anda atas pertolongannya, Nona?” tanya kapten dengan hati-hati.

“Heeh, aku rasa kalian bahkan pimpinan kalian tak akan sanggup membayarnya,” cemooh Selena

membuat sang kapten tersinggung. Namun tidak berani berbuat apa-apa, ia merasa hari ini hari paling sial sepanjang hidupnya. Mendapat tugas di kota yang hancur melawan Ragen yang hampir memangsa mereka, kini ditambah pertemuannya

dengan seorang Assassins. “tapi bukan berarti aku tidak meminta imbalan atas pertolongan yang kuberikan,” lanjut Selena.

“Jadi apa yang bisa kami berikan untukmu, Nona?” tanya Sang Kapten mencelos.

“Call me, Angel. Aku butuh tenaga ahli telekomunikasi kalian.”

Sang Kapten melirik ragu pada seorang anak buahnya, yang langsung lemas mendengarnya. Pria yang masih cukup muda itu hanya terdiam, berharap kaptennya tidak menyerahkan pada pembunuh berdarah dingin. Sialnya Army hanya manusia biasa yang juga takut mati dan pemuda itu menampakkannya di wajahnya yang terlihat putus asa. Selena yang terlatih meneliti sekitarnya langsung bisa menebak mana orang yang

diinginkannya, berkat lirikan Sang Kapten.

“Oh Boy… kemarilah!” perintah Selena pada pemuda yang telah berusaha bersembunyi, dengan lemas ia melangkah maju. “buka tabletmu dan segera hubungkan dengan satelit militer”

“Tapi itu melanggar aturan, Nona….” Kata-kata pemuda itu langsung lenyap melihat sebuah

pedang tiba-tiba berada tepat didepan wajahnya, susah payah ia menelan saliva.

“Jadi…” kata Selena mengintimidasi.

“Ba..baik.”

Dengan cepat pemuda itu membuka laptop untuk menghubungkannya ke satelit militer, meski sebenarnya hal itu illegal dilakukan di depan orang di luar pasukan Army.

Selena memperhatikan dengan seksama kerja pemuda itu, dalam hatinya ia tertawa senang

bisa bermain-main dengan para Army tingkat satu yang kebanyakan mentalnya belum terasah dengan baik. Mungkin pemuda itu masih dalam masa pendidikan, jika saja virus Ragen tidak mewabah yang memaksa militer menurunkan semua lini pasukannya mengingat sumber daya mereka yang terbatas. Meski teknologi yang dimiliki cukup mumpuni, tetapi tetap tidak sebanding dengan jumlah Ragen yang terus meningkat.

Selena mengambil alih pekerjaan pemuda itu, setelah mengetahui tablet itu telah tersambung dengan satelit militer. Setelah mengutak-atik sebentar, dalam layar tablet muncul banyak foto yang diambil dari CCTV kota itu. Dengan cepat ia

memilah gambar yang menangkap wajah orang yang dicarinya, sedikit kesal orang yang dicarinya telah pergi jauh meninggalkan kota. Pemuda yang sedari tadi memegangi tablet yang dibajak Selena tidak begitu peduli dengan apa yang dikerjakan gadis itu, ia lebih tertarik mengamati pedang yang masih berada dekat dengan kepalanya. Sang Empu masih sibuk menatap layar tablet, tapi pedang itu tetap tidak bergeming mengambang di udara tanpa ada yang memeganginya.

“Kota bagian utara mana yang paling dekat dengan Nibelhim?” tanya Selena.

Rasa takjub dan takut yang menguasai pemuda itu membuatnya tergagap mendengar pertanyaan

Selena, “eee…. Kota Uata,” jawabnya sambil mengangguk cepat.

“Good!” kata Selena dengan senyum cemerlang, mungkin ia bisa mengejar targetnya sebelum

memasuki kota Uata. Ia mengembalikan tablet itu pada pemuda di depannya yang masih melongo. “Well Boy, aku akan memberimu hadiah karena telah membantuku,” lanjut Selena.

Terkejut pemuda itu mengerang pelan sambil meringis merasakan sengatan perih di pipi kanannya, sebuah benda tajam telah berhasil meninggalkan jejak sayatan dan darah yang

mengalir perlahan keluar dari luka itu. Tentu saja ia melihat sekilas pedang yang dikagumi itu bergerak. Namun ia tidak punya kesempatan untuk mengelak dan sekarang pedang itu telah menghilang. Teman-temannya yang masih berdiri di sekelilingnya ikut terjengit karena terkejut, kaptennya pun hanya bisa membuka mulut tanpa

mengeluarkan sepatah kata.

“Ingat itu Boy,” kata Selena sambil menyentuh pipinya sebagai isyarat luka yang ditorehkan pada

pemuda itu. “Kita akan bertemu lagi nanti,” lanjutnya sambil meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Army muda itu yang masih gemetar mendengar kata terakhir Selena.

Bertemu. Ia berharap tidak bertemu dengan gadis psiko itu lagi. Ia begitu lega saat gadis

bernama Angel itu terlihat manis mengotak-atik tabletnya. Namun ia tidak menyangka akhirnya akan sama dengan torehan luka yang kini mengalirkan darah di pipinya.

Selena tersenyum senang berhasil menemukan targetnya, setidaknya ia kehilangan jejak tapi lebih dari itu ia senang melihat pemuda tadi. Dengan hanya melihat bagaimana pemuda itu bekerja dengan tabletnya yang cekatan, ia bisa menilai

kualitas dari pemuda itu. Meski masih terbilang penakut menurut standar milik Selena, ia yakin jika pemuda itu mendapat pelatihan yang tepat pemuda itu menjadi asset yang berharga. Selena akan meminta seseorang untuk menculiknya

nanti untuk merekrutnya menjadi bagian Shadow Hunter. Sebagai salah satu agen terbaik, Selena memang punya wewenang untuk merekrut anggota baik dengan cara halus maupun paksaan. Toh akhirnya semua yang telah bergabung cukup setia tetap bekerja menjadi agen Shadow Hunter hingga kini.

Mobil putih itu meluncur cepat meninggalkan kota Nibelhim menuju kota Uata, Selena tidak sabar

untuk segera menculik targetnya dan menyerahkannya pada Raines. Lebih cepat ia

menyelesaikan misinya, semakin cepat ia bisa mengerjakan hal lainnya. Bertemu kakak dan adik angkatnya mungkin. Ia begitu merindukan mereka, sudah lebih dari setengah tahun ia tidak bertemu dengan mereka dan rindunya semakin menjadi

setiap harinya. Ia hanya harus sedikit bersabar lagi agar bisa segera bertemu mereka. Sedikit lagi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!