NovelToon NovelToon

My Cold Husband

Bab 1 Awal Kehancuran

Riuh tepuk tangan menjadi akhir dari sebuah proses syuting di Hotel Ocean Blue. Medisya Laluna, sebagai perwakilan dari divisi pemasaran Sagara Company menunduk hormat pada setiap kru yang sudah bekerja keras untuk membantunya. Tangannya terjulur untuk menjabat tangan Pak Anugrah selaku pimpinan dari Bintang Media.

"Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk bekerja sama dengan Sagara Company, pak," ucapnya sopan.

"Tidak perlu, seharusnya saya yang berterima kasih karena telah mempercayakan pemasaran properti kalian di media kami," balas Pak Anugrah.

Senyum Medisya tersungging lebar. Perempuan itu mengangguk sekali lagi kemudian pamit undur diri. Ia menemui rekan kerjanya yang dengan setia menunggunya sejak tadi.

"Huh!" Helaan nafas itu terdengar dari mulut Medisya. "Capek banget aku. Gara-gara kamu nih, nggak jaga kesehatan! Jadi aku kan yang kena imbasnya!"

Ayunda hanya terkekeh mendengarnya. Tadinya memang ia yang ditugaskan untuk melakukan syuting iklan hotel baru perusahaannya. Namun karena kondisi tubuhnya yang tidak stabil membuatnya memaksa Medisya untuk menggantikan posisinya.

"Harusnya tuh kamu berterima kasih sama aku, Sya! Kalau aku nggak sakit, kapan coba kamu bakalan ikut pengiklanan besar-besaran kek gini? Dari dulu 'kan kamu cuma kebagian sebar poster," cibir Ayunda berhasil mengundang decakan sebal temannya.

"Sialan!" Umpat Medisya pelan.

Netranya melirik jam yang melingkar manis di tangannya. Kemudian menatap Ayunda malas.

"Kerjaan aku udah selesai 'kan?" Tanyanya. Ia sungguh berharap Ayunda mengangguk agar dirinya bisa segera pulang.

Tapi Ayunda justru berdecak kecil. "Enak aja! Kamu harus mengantar surat kontrak kita dengan Bintang Media pada Pak Alvian," cetus Ayunda.

Medisya melotot mendengarnya. Tidak tidak! Ia tidak bisa melakukan hal itu. Alvian adalah anak dari Abraham, sang pemilik perusahaan. Pria itu adalah pewaris utama Sagara Company.

Banyak yang mengatakan bahwa Alvian berhati dingin. Pria itu tidak akan segan membentak karyawan yang melakukan kesalahan di depan umum. Ya, meskipun Medisya belum pernah melihat hal itu langsung, tetap saja ia merasa takut.

"Ayuuu," rengek Medisya kesal. "Nggak mau, ah! Kamu 'kan bisa antar sendiri. Udah sembuh juga!"

"Bukan nggak mau, Sya. Tapi di surat kontrak itu tertera nama kamu sebagai perwakilan dari divisi kita. Ya kamu lah yang harus kasih surat itu," balas Ayunda menjelaskan.

"Jahat banget," keluh Medisya. Meski enggan, ia tetap meraih kertas penting di meja mereka dan menyimpan itu di tas kerjanya.

"Harus sekarang?"

Ayunda mengangguk mengiyakan. Kemudian beranjak berdiri dan berpamitan. "Aku pulang duluan, ya? Setauku jadwal Pak Alvian hari ini sampai malam. Kalau kamu mau, kamu bisa temui dia nanti. Sekarang istirahat aja dulu."

Medisya bergumam pelan. Ia membiarkan Ayunda pergi karena tugas perempuan itu hanya memantaunya melakukan syuting iklan. Ayunda memiliki anak yang menunggunya di rumah. Jadi Medisya bisa memaklumi kondisi Ayunda.

Mau tidak mau Medisya menghubungi Jihan, sekretaris Alvian, untuk membuat janji temu dengan CEO muda itu.

"Hallo, Bu Jihan," sapanya ketika panggilannya tersambung.

Ia menghela nafas berat ketika Jihan membalasnya dan menanyakan alasan Medisya menelponnya.

"Saya ingin bertemu Pak Alvian untuk menyerahkan surat kontrak kerja sama kita dengan Bintang Media. Apa saya bisa menemuinya hari ini juga, Bu?"

Medisya menunggu Jihan berbicara dengan seseorang melalui interkom. Mungkin dengan Alvian. Yang jelas Jihan menanyakan kesibukan orang itu.

"Anda bisa bertemu dengan beliau jam 7 malam nanti, Bu Medisya. Tapi jika anda keberatan, saya akan membuatkan janji temu untuk besok pagi. Bagaimana?"

Yang benar saja! Jam 7 malam itu di luar jam kerjanya. Malas sekali jika harus menemui Alvian di jam itu.

Tapi jika dipikirkan lagi, akan lebih bagus menemui Alvian malam ini juga. Selain karena Medisya ingin pekerjaannya selesai hari ini juga, ia juga bisa menghindari rasa malu jika Alvian mengoreksi kesalahannya di depan rekan kerja Medisya. Di jam itu pasti seluruh rekan kerjanya sudah pulang. Kecuali yang masih punya kepentingan lain.

"Tidak, bu. Saya akan menemuinya malam ini juga," putus Medisya.

###

Medisya mematut dirinya di kaca besar yang terdapat di lobi perusahaannya. Malam ini ia memakai kemeja putih lengan pendek dan kerah berbentuk V neck yang dipadukan dengan rok span motif kotak yang pendeknya di atas lutut serta di percantik dengan belahan rok itu di paha kirinya.

Setelah begitu percaya diri, ia segera masuk ke dalam lift untuk menuju ke ruangan Alvian. Sialnya, Jihan menghubunginya sejam yang lalu. Mengatakan bahwa perempuan itu tidak bisa mengantarnya ke ruangan Alvian karena ada kepentingan keluarga. Jadi Medisya harus benar-benar menyiapkan mentalnya untuk menghadapi Alvian seorang diri.

Jika di lobi tadi masih ada beberapa orang yang berlalu lalang, berbeda dengan di lantai atas. Koridor di sini sangat sepi. Membuat kulit tubuh Medisya meremang seketika.

Berbekal doa dan keyakinannya, ia tetap melangkah menuju satu ruangan yang sangat megah. Terdapat satu set meja dan kursi di samping pintu berwarna coklat. Jelas sekali bahwa itu adalah meja kerja Jihan.

Tidak mau berlama-lama di sana, Medisya langsung menghampiri pintu coklat yang kokoh itu dan mengetuknya pelan.

Hampir tiga kali ia melakukan hal itu, sampai akhirnya ia mendengar intruksi masuk dari dalam sana. Dengan berat hati ia masuk ke dalamnya.

Medisya mengernyit bingung ketika mendapati bau alkohol yang sangat menyengat. Belum sampai di situ, kebingungannya bertambah ketika pintu coklat tadi mengeluarkan bunyi bip.

Untungnya ia segera sadar dan tetap menjaga keprofesionalannya dalam bekerja. Medisya menatap ragu pada Alvian yang tengah memandangnya dengan mata yang memerah.

"Permisi, Pak Alvian. Saya ke sini untuk mengantarkan--"

"Duduk," sela Alvian dingin.

Benar apa kata orang, Alvian terlihat sangat menakutkan. Entah kenapa rasa percaya diri Medisya menguap seketika.

Medisya mengikuti perkataan Alvian. Ia duduk sesopan mungkin di kursi empuk khusus tamu itu.

"Pak Alvian, saya--"

Lagi-lagi perkataan Medisya terpotong oleh Alvian. Namun kali ini pertanyaan Alvian membuatnya kebingungan.

"Setelah menghancurkan semuanya, kamu masih berani datang ke hadapanku?" Tanya Alvian.

Jelas sekali Alvian sedang menahan rasa marahnya. Terbukti dengan kedua tangan pria itu yang saling bertautan sangat kuat di atas meja.

Berbeda dengan Medisya yang mengangkat kedua alisnya dengan bibir sedikit terbuka. Ia benar-benar tidak mengerti dengan pertanyaan Alvian.

"Maksudnya, pak?" Tanya Medisya meminta penjelasan.

"Jangan pura-pura lugu! Aku sudah muak dengan kepalsuanmu itu!"

Alvian menatap Medisya sangat tajam. Sampai Medisya sendiri salah tingkah di tempatnya.

Sampai kemudian netranya terpaku pada tiga botol wiski di samping tangan kiri Alvian. Bodoh! Medisya merutuki dirinya sendiri karena kelemotannya dalam berpikir.

Sudah jelas ia mencium bau alkohol sejak pertama kali melangkahkan kakinya di ruangan ini, tapi baru sekarang ia sadar bahwa Alvian sedang mabuk!

Medisya bergegas merapikan tasnya dan beranjak berdiri. Segera mungkin ia menghindari kemungkinan buruk yang bisa membahayakan dirinya.

"Maaf, pak. Tapi sepertinya saya akan menemui Pak Alvian besok pagi. Saya permisi," pamit Medisya dibalas kekehan kecil dari Alvian. Namun percayalah, Alvian justru terlihat sangat mengerikan saat ini.

"Hebat sekali. Datang seenaknya terus pergi begitu saja. Apa sekarang itu menjadi hobimu, Clara?"

Medisya mengabaikan racauan Alvian. Ia sadar, Alvian sedang merasa marah pada seseorang. Mungkin dengan perempuan yang pria itu sebut tadi.

Mata Medisya melebar ketika pintu coklat tadi terkunci. Ia mencoba menaik-turunkan engsel pintu itu. Namun tidak ada pergerakan yang terjadi.

Tubuhnya menegang ketika Alvian ikut beranjak. Meski mabuk, tapi pria itu masih cukup tenaga untuk melangkah dengan tenang. Mendekati Medisya.

"Waktumu bermain-main sudah selesai. Sekarang giliranku untuk menghancurkanmu, Clara," lirih Alvian pelan namun mampu membuat Medisya hampir menangis di sana.

###

Bab 2 Kehancuran Medisya

Tubuh Medisya bergetar hebat saat jarak antara dirinya dengan Alvian semakin menipis. Ia sudah tidak bisa menghindar lagi karena punggungnya sekarang sudah menabrak dinding.

"Pak Alvian, anda membuat saya takut," ucap Medisya dengan suara seraknya. Sungguh, sekarang ini ia sedang menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Kamu pikir aku akan peduli?" Sarkas Alvian.

Pria itu sudah berdiri tepat di hadapannya. Membuat Medisya semakin beringsut. Ia ingin berlari namun lengannya langsung dicekal oleh Alvian.

"Tolong, pak. Saya ingin pulang." Medisya mencoba menepis tangan Alvian. Namun gagal, kekuatannya tidak sebanding dengan pria itu.

"Clara--"

"Saya bukan Clara! Saya Medisya, pak! Karyawan anda dari divisi pemasaran! Tolong jangan berbuat semena-mena atau saya laporkan anda ke polisi!" Seru Medisya mengancam.

Mendengarnya membuat Alvian tertawa meremehkan. "Sebelum kamu melapor polisi, saya akan menghancurkan kamu terlebih dulu."

Medisya menggeleng kuat ketika jemari Alvian mengusap pipinya. "Ah ya, dimana calon suami kamu itu, Clara? Apa dia tau kamu menemuiku? Aku penasaran, bagaimana reaksinya ketika aku menyentuhmu seperti ini."

"AKU BUKAN CLARA!" Seru Medisya sembari terisak. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Ia benar-benar takut sekarang ini.

"Ssst! Tidak perlu takut. Aku hanya akan memberi balasan kecil atas segala kelakuanmu, Clara. Kamu bisa saja menikah dengan kekasihmu itu. Tapi aku tidak akan membiarkannya menikmati tubuhmu, sebelum aku tentunya," ucap Alvian pelan.

Medisya sudah berusaha untuk melepaskan diri. Namun semua itu sia-sia. Tenaganya justru habis karena terus memberontak.

Tapi ia tidak mau menyerah. Hidupnya bukan untuk diperlakukan seperti ini. Medisya hanya berharap ia sedang bermimpi buruk. Ia ingin bangun dari mimpinya ini!

Kesadaran Medisya kembali ketika Alvian bergerak ingin menciumnya. Ia terus menghindar. Namun Alvian menahan tengkuknya dengan kuat.

"Tolong lepaskan aku," kata Medisya memohon. Ia tidak ingin menjadi pelampiasan amarah Alvian.

Medisya mungkin akan menerimanya jika Alvian hanya membentak atau mengusirnya. Tapi tidak dengan merenggut kehormatannya.

Dengan sisa tenaga Medisya mengangkat tangannya, dan--

Plak!!

--tamparan keras itu mendarat sempurna di pipi Alvian.

"*******!" Umpatan kecil itu keluar dari mulut Alvian.

Pria itu menatap Medisya tajam. Bahkan Medisya sendiri semakin bergetar karenanya.

"Mau bermain kasar, eh?" Tanya Alvian pelan sembari mengusap sudut bibirnya yang sedikit terluka. "Tidak masalah, aku turuti kemauanmu."

Alvian menjambak rambut panjang Medisya dan menyeret perempuan itu ke sebuah ruangan yang berisi ranjang serta meja dan sofa kecil di sudut ruangan itu.

"Lepaskan aku, Al. Kumohon, aku bukan Clara!" Lirih Medisya disela-sela isakannya.

Namun Alvian mengabaikannya. Laki-laki itu justru melepaskan jasnya serta dua kancing atas kemejanya.

Tubuh Medisya terhempas ke ranjang berukuran king size itu. Kemudian Alvian merangkak naik ke atasnya.

"Alvian sadarlah! Aku bukan Clara, hiks." Medisya memukul tubuh Alvian dengan kuat. Berharap pria itu melepaskannya. Tapi Alvian justru menarik kemeja Medisya hingga beberapa kancingnya terlepas.

"Aku akan membuatmu merasakan kehancuranmu, Clara. Salahkan dirimu yang mempermainkan diriku," ucap Alvian kemudian memulai permainannya.

Ia tidak memperdulikan isakan Medisya. Hatinya tidak luluh dan matanya semakin menggelap. Yang ada di pikirannya sekarang adalah membuat wanita di bawahnya merintih kesakitan. Alvian menikmati raut terluka Medisya ketika ia merenggut paksa kesucian gadis itu.

###

"Arghhh, brengsek!"

Alvian mengacak-acak rambutnya kasar. Sejak tadi ia terus mengumpat dan menendang apapun yang ada di dekatnya.

Ia merasa marah pada dirinya sendiri ketika bangun tidur di samping seorang gadis. Parahnya lagi ia dan gadis itu tidak mengenakan sehelai benangpun. Dari wajah sembab gadis itu, jelas sekali membuktikan bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.

Netranya terus memandang sebuah kartu nama yang ia dapatkan dari tas kerja gadis itu yang tergeletak di dekat pintu masuk ruangannya.

Medisya Laluna. Gadis itu adalah salah satu bawahannya di perusahaan ini.

Sekali lagi Alvian mengumpat. Ini semua salahnya karena tidak bisa mengendalikan diri ketika mendapat kabar bahwa Clara, wanita yang berstatus sebagai tunangannya, akan menikah dengan pria lain.

Bodohnya, Alvian melampiaskan kemarahannya dengan meminum berapa gelas wiski. Di kantornya pula! Untung saja bukan Jihan yang menjadi korbannya. Karena wanita itu sudah memiliki suami.

Meskipun begitu ia tetap merasa bersalah pada Medisya. Gadis itu jelas sekali terluka. Terlebih Alvian mendapati bercak darah di sprei putih ranjangnya. Tidak perlu dipertanyakan lagi, Alvian telah memperkosa seorang gadis!

Sedikitnya Alvian bersyukur karena bangun di pukul 4 pagi. Keadaan kantornya masih sepi. Tentu saja! Tidak ada orang yang bekerja di jam sepagi ini. Alvian sempat meminta satpam perusahaannya untuk mematikan seluruh cctv di kantor ini. Ia akan membawa Medisya ke apartemennya sebelum gadis itu membuka mata. Alvian tidak mau semua karyawannya mengetahui hal bejatnya ini.

Tok tok tok...

Alvian menghela nafasnya lega kemudian bergegas membuka pintu ruang kerjanya. Di sana orang kepercayaan Alvian berdiri dengan wajah bantalnya. Gio memukul pelan bahu Alvian dengan tangannya yang menenteng sebuah papper bag.

"Lo ngebuat gue kayak orang gila, ****!" Kesal Gio.

Pasalnya Alvian menelponnya dan menyuruhnya untuk mencarikan baju tidur wanita beserta pakaian dalamnya. Gio tentu saja dibuat kalang kabut. Beruntung karena kekasihnya mau menemani Gio mencarikan keperluan bosnya itu.

Alvian yang tidak memiliki waktu untuk menanggapi lebih memilih marampas papper bag itu dan menyerahkan kartu nama Medisya pada Gio.

"Cari tau tentang wanita itu. Gue butuh informasinya hari ini juga!" Titahnya tak terbantahkan.

"Siapa di--"

Brakk!!

Alvian menutup kembali pintunya. Membiarkan Gio berteriak kesetanan di luar sana. Waktunya akan percuma untuk sekedar menanggapi Gio.

Sejenak ia menetralkan deru nafasnya. Sejak tadi Alvian susah untuk mengatur ketenangannya.

Tidak ingin membuang waktu lagi, Alvian segera masuk ke dalam kamar. Ia menatap lekat gadis yang masih terlelap di dalam selimut tebalnya. Terlihat tenang. Namun Alvian yakin gadis itu akan berteriak histeris ketika bangun dari tidurnya.

Kepala Alvian sangat berat sekarang. Selain karena efek alkohol yang belum hilang. Ia juga terus terbayang-bayang oleh ingatannya tentang penolakan Medisya semalam. Meskipun samar, tapi Alvian masih merasakan beberapa sakit di tubuhnya yang disebabkan oleh pukulan serta cakaran Medisya di punggungnya.

Alvian bisa saja membangunkan Medisya. Memberikan setumpuk uang untuk tutup mulut serta menyuruh Medisya melupakan kejadian semalam. Namun ia merasa bahwa tanggung jawabnya lebih dari itu.

Setelah sekian lama menimbang, Alvian mengeluarkan baju yang dibawa Gio tadi. Mau tidak mau ia harus memakaikan baju itu pada Medisya. Tidak mungkin 'kan ia membawa Medisya dalam keadaan telanjang ke apartemennya?

###

Bab 3 Trauma

"Jadi dia tinggal bersama orang tua angkatnya?"

Pertanyaan itu keluar dari mulut Alvian setelah Gio menceritakan latar belakang gadis itu. Tidak banyak yang penting. Gio hanya mengatakan bahwa orang tua kandung Medisya sudah tidak ada. Perempuan itu dibesarkan oleh orang tua angkatnya di bagian ujung kota.

Gio membenarkan pertanyaan Alvian. Sekarang ia menatap sahabatnya serius.

"Tugas gue udah selesai. Sekarang giliran lo cerita ke gue," ucap Gio menagih janji Alvian untuk menceritakan mengapa pria itu ingin tau informasi tentang Medisya. "Gue harap yang ada di pikiran gue sekarang nggak benar," lanjut Gio.

Alvian tersenyum masam. "Tapi sepertinya apa yang lo pikirkan sekarang adalah kenyataan. Lo pikir buat apa gue nyuruh lo beli baju wanita, hah?"

"Al--"

"Gue memperkosa Medisya. Di ruangan gue sendiri, Gi," sela Alvian membuat Gio mematung di tempatnya.

"Al, lo bukan tipe orang yang sembarangan nyentuh wanita--"

"Tapi nyatanya gue nyentuh Medisya, Gi! Gue udah merenggut masa depannya!" Seru Alvian menghentikan Gio yang mencoba menyangkal kenyataan itu.

"Ini semua karena Clara?"

Gio tertawa meremehkan saat Alvian mengusap wajahnya kasar. Seakan mengiyakan pertanyaannya. "Gue benar, kan? Gara-gara wanita sialan itu, lo sampai menodai gadis itu, Al!"

Alvian menjambak rambutnya kesal. Gio memang sudah berulang kali mengatakan bahwa Clara tidak serius menjalin hubungan dengan Alvian. Wanita itu hanya mengincar hartanya. Namun Alvian terus menutup mata dan telinganya.

"Udahlah! Semuanya udah terjadi, Gi! Lagian--"

Prang!!!

Suara benda pecah itu berhasil mengalihkan konsentrasi mereka. Alvian bergegas berdiri, tapi netranya melihat Gio melakukan hal yang sama. Bahkan pria itu hendak berlari ke kamar Alvian. Untungnya tangan Alvian berhasil menghentikannya.

"Keluar, Gi!" Usir Alvian. Ia tidak ingin Gio ikut campur terlalu dalam.

"Urus dulu cewek itu, brengsek!" Sentak Gio sampai Alvian hampir terjatuh. Ia segera berlari, tapi suara Alvian kembali menghentikannya.

"Gue bisa sendiri, Gi! Gue akan tanggung jawab atas Medisya. Jadi tolong, keluar dari apartemen ini sekarang juga. Beri gue privasi."

Sejenak Gio menatap Alvian. Laki-laki itu sedikit ragu. Ia takut sahabatnya akan salah mengambil langkah. Namun ia juga sadar akan posisinya. Sahabatnya itu memang perlu privasi. Apalagi hal ini menyangkut masa depan mereka.

Dengan berat hati Gio mengangguk pelan. Ia meraih jaketnya. Lalu sedikit menoleh ke pintu kamar Alvian ketika suara benda berjatuhan terdengar dari dalamnya.

"Jangan sampai lo salah langkah," pesan Gio sembari menepuk bahu Alvian.

Setelah Gio benar-benar pergi. Alvian bergegas membuka pintu kamarnya. Ia terbelalak melihat kondisi kamarnya sangat berantakan. Terlebih ketika netranya menangkap sosok Medisya yang menatapnya ketakutan di pojok kamar.

"Medisya," panggilnya hampir tanpa suara. Alvian berjalan pelan menghampiri wanita itu.

"PERGI!" Seru Medisya dengan suara bergetar. Wanita itu semakin mengeratkan kedua tangannya yang memeluk lututnya sendiri.

"BERHENTI DI SANA! AKU BILANG PERGI! JANGAN MENDEKAT!"

Tidak memperdulikan teriakan Medisya, Alvian tetap mendekati perempuan itu. Ia menekuk kakinya, mencoba mensejajarkan dirinya dengan tubuh Medisya.

"Hey, tenanglah," ucap Alvian sembari berusaha menyentuh wajah Medisya. "Aku tidak akan menyakitimu," lanjutnya.

"TAPI KAMU SUDAH MENYAKITIKU, BRENGSEK!"

Tangan Medisya terangkat guna memukul Alvian. Membuat Alvian mengeraskan rahangnya. Bukan, bukan karena Medisya memukulnya. Tapi karena ia melihat darah yang mengalir dari genggaman tangan perempuan itu.

Tanpa berlama-lama Alvian langsung mencekal tangan itu dan berusaha melepaskan pecahan kaca yang digenggam Medisya.

"Lepaskan, bodoh! Kamu bisa mati karena ini!" Bentaknya keras sampai Medisya terlonjak kaget.

"Itu bagus! Lebih baik aku mati dari pada hidup dengan hina seperti ini!" Seru Medisya.

Alvian mengabaikannya. Setelah berhasil membuang pecahan kaca itu, ia langsung membopong tubuh Medisya. Membawanya ke kamar tamu yang kondisinya masih rapi.

Ia segera menelfon dokter pribadinya untuk datang. Karena Alvian tidak bisa mengobati luka itu sendiri. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mengikat luka itu dengan dasinya agar darah Medisya berhenti mengalir.

"Maaf," cetusnya singkat.

"Maafmu tidak bisa merubah keadaan!" Balas Medisya di sela-sela isakannya. "Apa salahku sampai-sampai kamu melampiaskan segalanya padaku!"

Alvian tidak menolak pukulan-pukulan yang diberikan Medisya untuknya. Ia hanya diam sampai Medisya berhenti dengan sendirinya.

"Aku benar-benar minta maaf, Medisya. Semuanya terjadi di luar kesadaranku!"

"Sudahku bilang maafmu tidak ada gunanya untukku!"

Medisya menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia sudah lelah menangis. Tapi air matanya tidak juga berhenti. Tidak ada yang mengerti rasanya menjadi dirinya. Kejadian semalam benar-benar menghancurkan hidupnya. Apalagi sekarang ia tertahan di tempat asing ini.

"Aku akan menikahimu," ucap Alvian lantang.

Medisya menegang di tempatnya. Ia menggeleng cepat. Menikah bukanlah hal sepele. Apalagi Alvian menikahinya hanya karena rasa tanggung jawab. Medisya tidak mau rumah tangganya nanti hancur karena tidak ada cinta di dalamnya.

###

Medisya memeluk tubuhnya sendiri. Angin malam dari balkon apartemen Alvian sedikit membuatnya kedinginan. Namun ia enggan beranjak dari sana.

Seharian ini Medisya terlalu banyak menangis. Ia lelah. Matanya juga sakit. Jadi ia memaksa air matanya untuk berhenti. Percuma juga, menangispun tidak akan merubah apa yang sudah terjadi.

Tentang Alvian, pria itu entah kemana. Setelah mengatakan akan menikahi Medisya, dokter pribadi Alvian datang untuk mengobati lukanya. Alvian mengatakan akan mengantar dokter itu ke depan. Tapi sampai sekarang pria itu belum kembali.

Sejujurnya Medisya tidak memperdulikan kepergian Alvian. Namun keberadaannya di sini tidaklah benar. Ia ingin pulang. Pria itu mengurungnya di sini.

Tanpa di suruh memorinya memutar ulang kejadian ketika Alvian menyentuhnya. Hal itu membuat rasa takutnya kembali. Ia tidak bisa menikah dengan pria monster itu.

Sialnya di saat ketakutannya kembali, Alvian justru datang. Pria itu membuka pintu balkonnya. Dapat Medisya lihat sebuah kelegaan di netra Alvian ketika mendapati dirinya di sana.

"Masuklah, aku membawa makanan untukmu. Kamu pasti lapar, kan?"

Medisya menggeleng pelan. Membuat Alvian mendesah kecil dan mendekatinya. Tidakkah Alvian mengerti bahwa Medisya merasa tidak aman sekarang?

"Jangan mendekat!" Serunya. Medisya menegang ketika punggungnya menabrak besi pembatas balkon. Apalagi melihat jarak mereka semakin menipis.

"Berhenti di sana! Menjauhlah dariku."

"Medisya--"

"Berhenti atau aku akan melompat dari sini!" Ancam Medisya sembari mengangkat jari telunjuknya.

"Jangan macam-macam! Ayolah, aku tidak akan menyakitimu!"

"Tidak! Aku ingin pulang!"

"Aku akan mengantarmu. Tapi nanti setelah kamu makan."

Tidak ingin membuang-buang waktu untuk berdebat, Alvian memilih untuk mencekal lengan Medisya dan memaksa perempuan itu untuk masuk ke dalam.

"Lepaskan aku, kumohon!"

Alvian menulikan telinganya. Ia menghempaskan tubuh Medisya ke sofa dan menyodorkan sepiring nasi goreng sea food pada perempuan itu.

"Aku akan mengantarmu setelah makanan itu habis!"

###

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!