" Saya bersumpah/berjanji bahwa : Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya; Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran; Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai Dokter; Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan; Dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita; saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial; Saya akan memberikan kepada Guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya; Teman-sejawat saya akan saya perlakukan sebagai saudara kandung; Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan; Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan Kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan; Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya". – Lafal Sumpah Kedokteran.
Begitulah bunyi lafal sumpah yang kami ucapkan sebelum menerima tanggung jawab ini, kami bersumpah di bawah naungan kitab suci, begitu mulia, begitu penuh kesempurnaan, bahkan hingga sekarang, sumpah itu masih membuat kami terkagum, kami pernah mengucapkan sumpah yang begitu sakral.
Bagi sebagian masyarakat kami adalah penolong, sebagian bahkan menganggap kami malaikat. Dengan jas putih yang sangat bangga kami gunakan dan menjadi identitas kami. Sama putihnya dengan jas itu, sesuci itulah kami di anggap, seanggung itulah kami di perlakukan, sesempurna itulah hidup kami dikira.
Tapi, percayalah, hidup kami tak sesempurna yang terlukiskan, kami pun dituntut mengabdi, terkadang menahan seluruh keinginan dan emosi untuk melayani, terkadang kami harus tersenyum walaupun seharusnya kami menangis, kami tetap bertahan walaupun jauh dari peradapan, kami tetap bahagia walaupun sebenarnya memupuk begitu banyak rindu karena terpisah jarak dan waktu dari keluarga. Kami terkadang disalahkan walaupun sebenarnya Tuhan yang berkehendak demikian. Bahkan terkadang ingin berteriak karna hasil pengorbanan tak dianggap layak, kadang tak bergaji karna alasan mengabdi, bahkan sudah siap diadili secara langsung ataupun tak langsung, tapi percayalah tangis, lelah, keringat dan air mata yang terkadang bercampur darah dan nanah, kami ikhlas bertaruh kehormatan dan terkadang kebebasan, karena kami tahu dipikiran dan tangan kami lah nyawa itu dipertaruhkan.
Dibalik jas putih yang kami gunakan, kami adalah manusia biasa, yang punya banyak dosa dan noda, kami manusia biasa yang dapat berbuat salah, kami manusia biasa yang punya sisi kelam yang harus disimpan, kami pun manusia yang penuh dengan celaan dan makian.
Terkadang kami bisa lupa apa yang sudah kami sumpahkan hanya demi uang dan jabatan, bahkan kami bisa jadi malaikat pencabut nyawa. Gilanya! kami pun bisa gila, melakukan hal yang bahkan kalian tidak duga.
Dibalik malaikat berjas putih, kami hanya manusia biasa, yang punya banyak cerita, punya pula lika-liku kehidupan yang kadang indah atau penuh air mata.
Kamilah malaikat berjas putih, dan percayalah kami hanya manusia biasa.
Pernyataan : Bahwa Novel ini ditulis tidak untuk menyudutkan, menjelekkan, atau memojokkan seseorang, kalangan tertentu atau pun profesi tertentu. Semua hanya untuk pengetahuan dan hiburan semata, cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
"Setelah menjadi dokter dan mengabdi, aku akan datang kepada orang tuamu untuk melamarmu," kata Rayhan dengan sendu pada Sandra. Menatap bola mata polos wanita yang mengangguk senang, wajah pria itu tampak mantap mengatakannya, membuat hati siapapun yang mendengarnya seolah akan percaya.
"Baiklah, berjanji ya, awas diingkari!" kata Sandra dengan senyum sumringah dan wajah yang bersemu merah, sejenak langsung memeluk pinggang pria yang menggunakan jas putih kebanggaan profesinya.
"Ya, aku berjanji," kata Rayhan berbisik lembut ke telinga Sandra yang tampak terbuai wangi lembut yang bercampur sedikit bau disinfektan yang menyeruak di sekitar mereka.
___***___
Tubuh Sandra diguncang dengan keras, membuatny asegera bangun dari mimpi buruknya dan terduduk, sebuah bakat yang memang diberikan Tuhan, dimana dia bisa langsung terbangun bahkan hanya dengan sedikit saja guncangan ataupun suara, matanya yang sudah memakai kacamata dari kelas 5 SD itu langsung awas melihat ke sekelilingnya, sudah sangat siaga untuk segera bekerja, menemukan sosok kak Natali yang ternyata membangunkannya.
"Ada apa?" tanya Sandra yang bahkan tidak seperti orang yang baru bangun tidur.
"Pasien kiriman dari Puskesmas, Dok, Kecelakaan tunggal naik motor menambrak belakang truk!" kata kak Natali membeberkan.
"Ok," kata Sandra langsung keluar dari ruang dokternya dan berjalan dengan langkah sangat cepat menuju ke IGD, dia memang selalu bergerak cepat, bahkan walaupun tidak ada pasien, dia bisa berjalan cepatnya bahkan tak ada sedikit pun sisi feminimnya. kak Natali mengikutinya, kamar dokter memang tidak terlalu jauh dari IGD, hanya di belakangnya, namunt terpisah. Sandra membuka pintunya, rambutnya yang masih awut-awutan pun sudah tidak dihiraukannya.
Dia melihat begitu ramai orang ada di sana, sekitar 6 orang yang mengantar pasien itu dan dengan cekatan dia langsung memeriksa pasien yang tergeletak dengan napas yang sudah tak tampak lagi, lemah dan lunglai, infus sudah terpasang dari puskesmas.
Seorang bapak tampak menangis terus memeluk anaknya, menguncang-guncang tubuh anaknya seakan anaknya hanya mengalami sakit demam.
"Bisa menunggu di luar?" Tanya dan perintah Kak Rahman menghalau beberapa pengantar agar sandra dapat melakukan pengecekan.
Sandra langsung melakukan pemeriksaan fisik, tanpa dia menyentuhnya, patah tulang leher yang tampak jelas, vertebra cervicalis II dan III (ruas tulang belakang)nya sangat tampak terpisah, menonjol di kulitnya yang hitam legam terbakar matahari. Sandra menghela napas, menyiapkan diri untuk menyusun kata-kata agar memberitahukan kematian anak muda ini pada ayahnya yang terus memeluknya.
Seharusnya cedera leher sepeti ini lebih baik tidak memindahkan pasien dari tempatnya dan langsung menelepon tempat kesehatan terdekat karena lehernya harus di fiksasi atau bahasa awamnya tidak boleh sampai bergerak.
Namun pengetahuan seperti itu di tempat terpencil seperti ini tidak akan ada yang tahu, mereka langsung saja membawanya, kadang bahkan dengan kepala yang menjuntai ke bawah dan membuat kematian datang menjemput dengan cepat.
Sandra memastikan tanda-tanda kematian di depan ayah anak muda ini, hanya sekedar formalitas karena sebenarnya Sandra yakin dia sudah meninggal bahkan sebelum sampai di sana.
Dia memeriksa arterinya, berpura-pura mendengarkan detak jantungnya yang sudah pasti tak lagi berdenyut, meminta senter kepada Kak Rahman, menyorotkan cahayanya pada matanya, dan ya! tak ada refleks pupil sama sekali.
"Pukul 2.45 malam, " katanya pada Kak Rahman dan Kak Natali yang terlihat begitu santai, mereka sudah biasa mendapatkan pasien begini, Kak Rahman menuliskan waktu kematiannya.
Bapak itu menatap Sandra dengan nanar, tangisnya menjadi bahkan sebelum Sandra mengabarkan padanya bagaimana keadaan anaknya. Ini tugas paling berat bagi Sandra, dia sudah berkali-kali mengatakan hal ini, tapi tetap saja dia tidak pernah terbiasa dengan suasanannya.
"Bapak, Kami sudah berusaha, namun putra bapak tidak bisa diselamatkan. Kami sangat menyesal, semoga Bapak dapat tabah menerimannya," kata Sandra menepuk bahu Bapak itu yang terus menjadi, beberapa orang yang mengantar tadi masuk.
"Dokter, Jaya sudah meninggal?" kata seorang pria yang lebih tua dari pasien itu.
"Maaf, kami sudah berusaha, namun bahkan sebelum tiba, pasien sudah tidak ada," kata Sandra.
Pria itu yang awalnya tampak tegar, namun langsung memeluk punggung bapak yang masih memeluk tubuh yang sudah terbujur kaku itu, dia menangis memanggil-manggil nama pasien.
Sandra melihat anak muda itu, umurnya masih sangat muda, terlalu menikmati darah mudanya hingga melakukan hal konyol yang menurutnya hebat, berlomba dengan memutar gas kendaraannya hingga habis, lalu merasa paling hebat dan sesaat kemudian kehilangan kontrol, sejenak tubuhnya terhempas, membentur keras bagian belakamg truk yang bahkan diam di sana, tak bergerak. Dia lalu terkulai lemah menyambut ajalnya sendiri di aspal dingin dan keras.
Sandra berjalan ke mejanya, Kak Natali tampak menguap, Sandra menyengolnya dengan siku, setidaknya harus tetap menunjukkan simpatinya walaupun mereka sudah terlalu terbiasa, Kak Rahman tertawa namun disembunyikannya, Kak Natali menyerahkan status yang harus diisi oleh Sandra.
Sebenarnya dia malas mengisi status pasien seperti ini karena karangannya akan sangat panjang, dan pasien seperti ini akan lama berada di sana, menunggu hingga mereka membawa jenazahnya baru Sandra bisa kembali tidur. Saat mereka membawa jenazah itu, sudah cukup pagi untuk kembali tidur lagi, bahkan mata sandra sudah melek dengan sangat sempurna.
"Makan yuk Dok, laper liat begituan," kata Kak Rahman.
"Jam segini makan di mana?" Tanya Sandra menatap Kak Rahman.
"Ada tuh dok, warkop di depan rumah sakit itu loh, masih jual mie jam segini," kata Kak Natali.
"Wah, enak tuh makan mie pagi-pagi yang pedes ya," kata Sandra mengeluarkan uang seratus ribuan dari jas dokter yang bahkan dibawanya tidur.
"Haha, ok Dok, pake telur enggak?" tanya Kak Rahman yang segera mengambil helmnya yang dengan tenang dia taruh di ranjang pasien yang entah apa saja sudah terjadi di sana.
"Pake dong, mata sapi yah, Kak Rahman, hati-hati loh, aku males nulis status kayak begini pagi-pagi," kata Sandra bercanda.
"Ah, Dokter ini, jangan begitu dong, aku pake helm nih," kata Kak Rahman yang tertawa dan segera keluar. Sandra memperhatikan Kak Natali yang melihat ke arah ponselnya dengan serius.
"Kak, gimana kabar anak kakak?" kata Sandra.
"Masih demam Dok, ini saya sedang tanya kabar sama ibu," kata Kak Natali tampak cemas dan masih fokus dengan ponselnya.
"Pulang aja, aku yang tanggung jawab deh, kasihan anak kakak di rumah, demamnya tinggi kan?" kata Sandra.
"Iya Dok, sampai 38, 4 kemarin malam, saya udah minta gantiin, tapi pada gak bisa, ini beneran aku boleh pulang sekarang?" tanya Kak Natali berbinar.
"Iya, beneran, tenang aja, sudah sana gih, samperin Kak rahman dulu, bilang mie kakak di bungkus," kata Sandra.
"Ok Dok, terima kasaih banyak ya," kata Kak Natali bergegas membereskan barangnya, tidak banyak hanya sebuah tas dan helm yang sering di pakainya. Tak lama dia langsung saja buru-buru pergi setelah melempar senyum manis pada Sandra.
Sandra tinggal sendiri di IGD itu, suasananya hening dan sedikit membuat bulu kuduk merinding apalagi lampu IGD itu juga tidak dinyalakan semua.
Tapi bagi Sandra, hal itu sudah lumrah, untuk soal Hantu dan lain, dia sudah terbiasa, bahkan saat koas dia pernah melihat seseorang dengan wajah terikat kain putih, hidung tersumpal kapas sedang berdiri di samping mobilnya, yang lain, wanita-wanita berambut panjang berantakan yang berkeliaran, ah, sudah biasa baginya, bahkan dulu saat praktek anatomi dia pernah di suru mencium tengkorak oleh seniornya. Namun selama mereka tidak memunculkan wujudnya di depan Sandra, dia tidak akan lari.
Sandra lebih sedih melihat kisah Kak Natali seorang perawat honorer yang sudah bekerja 5 tahun di sana, dengan perawakan sedikit gendut, anaknya sudah 3, tahun lalu dia di tinggal suaminya demi wanita lain, padahal dari dulu dia yang banting tulang untuk menafkahi anak dan suaminya, laki-laki seperti itu masih saja bisa pergi dengan wanita lain, benar-benar bajingan bukan? Sekarang anak terakhirnya sedang sakit demam, takut akan ancaman potongan gaji jika tidak masuk, dia harus menahan cemas pada anaknya, padahal di sini dia dengan tulus menjaga anak orang lain, tiap jam harus menganti infus anak-anak yang juga demam, Sandra tidak tahu betapa tegar perasaan kak Natali.
Sandra sedang asik bermain di ponselnya sebelum tiba-tiba beberapa orang masuk dengan sangat buru-buru, pemandangan yang sangat biasa di IGD, Sandra langsung berdiri.
"Dokter, tolong pemuda ini, dia tidak sadarkan diri di dalam mobil," kata seorang bapak dengan nada yang begitu cemas.
Sandra langsung melihat ke arah pria yang di tidurkan oleh bapak-bapak ini, ada sekitar 4 orang yang mengantarnya, Sandra segera memberikan oksigen kepada pria itu, memeriksa tensinya, lalu juga memeriksa fisiknya, sambil bertanya pada yang mengantarkannya.
"Dia tidak sadar diri di dalam mobil? Mobilnya menyala?" Tanya Sandra.
"Iya Dokter, mobilnya menyala, terus semua kacanya di tutup, kita awalnya mengira dia cuma lagi ngadem di dalam, tapi kita curiga karena pas kita lewat lagi, ternyata mobilnya masih nyala, lalu kita panggil-panggil dia nya seperti orang tidur, lalu kita pecahin kacanya, dan ternyata dia sudah tidak sadar begini Dok," kata Bapak itu menjelaskan dengan antusias.
Sandra tak menjawab, hanya langsung mengambil beberapa alat untuk memasang infus, oksigen murni pun segera diberikan. Sandra baru mengeluarkan alat-alat infus sat Kak Rahman datang dengan makanan yang ada di tangannya dan dia buru-buru masuk ke dalam kamar tidur perawat meletakkannya lalu dengan cepat keluar membantu Sandra untuk memasangkan infus.
"Kenapa dok?" tanya Kak Rahman tanpa tampak gugup sama sekali.
"Suspek keracunan karbonmonoksida," kata Sandra lagi.
"Perlu menelepon ICU gak dok?" kata Kak Rahman.
"Iya, ini harus terus dipantau kadar oksigennya, harus secepatnya, tolong telepon, takut ada kerusakan otak," kata Sandra sibuk bahkan tak menatap lagi Kak Rahman yang ada di belakangnya.
"Ok, Dok," kata Kak Rahman langsung bertindak menelepon interkom, setelah beberapa saat petugas ICU segera datang, pria itu langsung dipindahkan dari sana.
"Hah, Sandra, pagi-pagi kau sudah mengirim pasien untukku," kata Dokter Harris menatap Sandra dengan senyum kecut.
"Pagi yang berat Kak, sepertinya keracunan karbonmonoksida," kata Sandra.
"Siap Dik, di pantau intensif," kata Dokter Harris pergi dari sana.
"Pak, ini yang bertanggung jawab siapa?" kata Kak Rahman pada bapak-bapak yang mengantarkan pria itu.
"Wah, saya cuma mengantar, tidak kenal dia siapa?" kata Bapak itu langsung panik ketika ditanya siapa bertanggung jawab. Kak Rahman melihat ke 3 orang yang lain dan semua menggeleng serempak.
"Lah, gimana nih, Dok? Sudah masuk ICU lagi?" tanya Kak Rahman juga kebingungan.
"Ya, tapi kalau di sini terus, dia bisa mati," kata Sandra tampak santai.
"Dok, kita bisa di tegur sama direktur kalau begini," kata Kak Rahman lagi sambil menggaruk-garuk belakang telinganya yang sama sekali tak gatal.
"Ya sudah, sini aku saja yang tangung jawab dengan gajiku yang tidak seberapa itu," kata Sandra menandatangi statusnya.
"Si Dokter, gimana mau kaya kayak gini Dok, hahaha, saya lupa Anda kan anak konglomerat, Direktur juga paman Anda," kata Kak Rahman tersenyum antara menggoda dan mengejek Sandra, namun Sandra hanya meliriknya dengan senyuman tipis dan menandatangani surat pertanggungjawaban itu.
"Konglomerat apaan?" kata Sandra tertawa.
"Eh, Dok, mie kita udah kayak cacing deh pastinya, kuahnya udah nyerap semua," kata Kak Rahman baru ingat dengan makanan mereka.
"Iya yah, ya udah ayo makan," kata Sandra berdiri lalu masuk ke dalam kamar tidur perawat.
Benar saja, mie mereka sudah menjadi mie gemuk yang tadinya berkuah sudah kering, mengumpal dan terasa dingin.
"Haha, benarkan Dok."
"Iya, sudah biasa kalau makan mie begini, tapi geli," kata Sandra mulai mencoba melerai mienya yang berubah menjadi spaghetti.
"Iya, dari saya sekolah, sampe sekarang, sering banget makan mie begini, jarang abis beli langsung makan."
"Wah, ini mah pedesnya level mampus ya Kak, pedes amat."
"Kan dokter minta pedes, biasanya dokter mengeluh terus enggak pedes, ya mungkin si Mbaknya kesel kali sama dokter, langsung di kasih cabe 1 kg gitu."
"Haha, ini kalau pasien saya yang sakit lambung tahu saya makan mie dan makan cabe segini banyak, pasti pada protes sama saya," kata Sandra tertawa, menarik ingusnya yang segera mengalir karena pedas makanan yang dia makan.
"Bilang aja dok, kalau mereka sakit harus cari dokter atau apotik, iya kalau buka, kalau dokternya yang sakitkan obatnya udah tersedia, tinggal ambil aja, tenang apotik kita buka 24 jam," kata Kak Rahman menyerumput mienya yang sudah sangat mengembang, tapi dia makan seolah-olah makanannya itu sangat nikmat.
"Hahaha, benar juga, habis ini saya mau bersih-bersih dulu, pasien saya hari ini gawat-gawat," kata Sandra.
"Makanya jangan pakai baju merah kalau jaga Dok, yang dateng kalau gak exit, ya hampir exit," kata Kak Rahman.
Exit adalah istilah mereka untuk mengatakan pasien yang meninggal.
"Iya yah, ya udah, saya mau bersih-bersih dulu, habis ini apel pagi, trus saya mau lanjutin tidur di rumah," kata Sandra.
"Sama dok, dok ini makasih loh mienya, lain kali makan martabak ya Dok," goda Kak Rahman.
"Kalo ada martabak buka jam 5 subuh gini, saya beliin 1 lusin untuk Kak Rahman deh," kata Sandra.
"Hahaha, Bener juga ya Dok," kata Kak Rahman melanjutkan makan mienya, Sandra hanya makan sedikit, tidak begitu suka dengan mie yang sudah mengembang begitu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!