Wisnu melangkah pelan mengitari ruangan demi ruangan rumah yang dulu sangat akrab dengannya. Tidak banyak yang berubah. Yang sangat terlihat perubahannya adalah Yunia... Ditandai oleh foto-foto yang terpajang di dinding. Mulai dari sosok bocah kecil lucu hingga berubah menjelma menjadi seorang gadis yang cantik.
Tanpa sadar Wisnu senyum tertahan. Matanya menatap sebuah foto tiga orang anak yang sedang asik bermain Lego. Anak yang paling besar itu dirinya, anak laki-laki yang satunya adalah adiknya Bayu, dan anak perempuan satu-satunya itu adalah Yunia.
Dia ingat, selepas berfoto, Yunia menangis sampai berguling-guling, karena Lego mainannya tidak sengaja terinjak Wisnu hingga pecah.
Ah, kejadian itu seperti baru beberapa hari berlalu.... Sekarang Yunia sudah mau Lulus SMA, Bayu sudah akan menyelesaikan S1 dan dirinya sudah bisa mengelola perusahaan milik ayahnya.
Ya, ayah sudah harus istirahat sekarang. Sudah waktunya, dia, sebagai anak sulung mengambil alih tanggung jawab ayah atas keluarganya. Dan kini, bapak, begitu dia biasa memanggil ayahnya Yunia memberi tanggung jawab tambahan padanya. Wisnu diminta menikahi Yunia.
Mengingat permintaan bapak, membuat Wisnu harus menarik nafas panjang. Sungguh permintaan yang rumit.
"Assalamualaikum...." Salam seseorang dari arah depan. Walaupun belum melihat orangnya, tapi Wisnu masih hapal dengan suara itu. Itu suara Yunia. Dia sudah pulang dari sekolahnya.
Terdengar jawaban salam dari beberapa orang yang duduk di ruang depan.
"Wah... Sedang banyak orang ya... Maaf salamannya nanti aja ya... Aku mau pipis dulu..." Terdengar suara Yunia dengan nada yang heboh, disusul suara derap langkah cepat mendekat ke arah Wisnu.
"Hai, mas... Sorry. Salamannya nanti aja..." Kata Yunia sambil nyengir, saat melihat Wisnu. Setelah itu dia bergegas ke kamar mandi di bagian belakang rumah. Wisnu sampai melongo tidak sempat berkata apa-apa saking cepatnya Yunia berlari.
Tak lama kemudian, Yunia kembali. Masih memakai seragamnya. Tapi tas sekolah sudah dia lempar ke bangku panjang di depan kamar mandi.
"Sudah lama, mas?" Sapa Yunia sambil mengulurkan tangannya hendak menyalami Wisnu. Sesaat Wisnu menatap tangan Yunia yang terulur.
"Udah cuci tangan, belum?" Tanyanya yang seketika membuat Yunia mendelik kesal.
"Sembarangan! Mas pikir aku orang yang jorok apa! Udah aku cuci bersih, pakai sabun wangi! Enak aja...." Omel Yunia ketus, Wisnu tertawa melihat kemarahan Yunia.
"Dah, ah!" Ujar Yunia kesal, dia engga jadi salaman dengan Wisnu, ditinggalkannya Wisnu yang masih tertawa untuk menemui orang-orang yang tadi ia lalui di ruang depan.
Di sana ada orang tua Wisnu bersama adiknya. Ada juga tetangga yang tinggal di kanan, kiri, depan dan belakang rumah Yunia...
"Eh?! Ada apa ini. Kok rame amet ya...?" Pikir Yunia. Apa mereka ini hendak menyalami keluarga Wisnu? Ya, keluarga Wisnu kan dulu pernah tinggal di depan rumah Yunia. Malah beberapa tahun, Wisnu dan Bayu menjadi anak angkat orang tua Yunia, sebelum Yunia lahir.
"Kok engga ganti baju, Yun?" Tanya Bik Sumi, adik ibu Yunia. Rumah Bik Sumi selang dua rumah ke kanan dari rumah Yunia, tapi sejak ibu Yunia meninggal saat gadis itu berusia delapan tahun, Bik Sumi lebih sering berada di rumah Yunia. Membantu bapak mengurus Yunia dan keperluan rumah.
"Sebentar, Bik." Jawab Yunia. Ia lalu menyalami para tetangga dan mencium tangan semua orang yang lebih tua.
"Sama aku engga cium tangan, Yun?" Tanya Wisnu yang ternyata mengikuti Yunia ke ruang depan. Bibirnya bergerak-gerak menahan tawa. Melihat ekspresi Wisnu membuat Yunia urung menyalami.
"Enggak!" Sahutnya ketus sambil membuang muka. Wisnu kembali tertawa. Orang-orang yang melihat Wisnu menggoda Yunia jadi ikutan tertawa. Bibir Yunia mengerucut. Ia membanting tubuhnya ke kursi di samping bapak.
Bapak membelai puncak kepala Yunia penuh sayang.
"Yun.... Ada yang mau bapak sampaikan ..." Ujar bapak saat keadaan sudah mulai tenang.
"Ada apa, pak?" Tanya Yunia sambil menatap bapak penuh perhatian. Dari nada bicara bapak tadi, Yunia bisa menebak kalau yang mau bapaknya sampaikan itu adalah sesuatu yang penting.
"Kamu masih ingat yang bapak sampaikan kemarin malam?" Tanya bapak sebelum menjawab pertanyaan Yunia. Yunia terdiam sejenak. Pandangan matanya menyapu semua orang yang hadir di ruangan itu.
Yunia ingat, kemarin malam bapak bilang, kalau bapak berniat menjodohkan Yunia segera, karena kesehatan bapak yang kurang baik beberapa bulan terakhir. Sebenarnya bukan cuma kemarin malam bapak menyinggung masalah itu. Tapi sejak berbulan-bulan yang lalu. Justru karena kelamaan, Yunia sampai lupa soal itu, hingga kemarin malam bapak kembali menyinggungnya.
"Soal itu..." Yunia mendadak grogi karenanya. Pandangan matanya kembali menyapu orang-orang di sekitarnya. Di sini ada banyak sekali orang. Bahkan para tetangga dekat juga ada. Masa mau ngebahas soal itu sekarang? Kan malu...
Bapak tersenyum lembut memahami perasaan anak gadisnya.
"Yang bapak mau tanyakan... Apakah jawaban mu tetap? Tidak berubah?" Tanya bapak sambil kembali membelai kepala Yunia. Sesaat Yunia menatap wajah bapak. Wajah orang yang begitu mengasihinya.
Bapak dalam sakitnya, masih terus memikirkan keselamatan Yunia. Kemarin malam bapak bilang, kalau sebelum bapak pergi, bapak akan mencari orang yang bisa melanjutkan tanggung jawabnya mengurus Yunia. Karena itu bapak bertanya, maukah dirinya di jodohkan? Saat itu Yunia berkata, kalau bapak hanya merasa terlalu khawatir.
"Bapak pasti sembuh..." Katanya berulang kali. Tapi bapak bersikukuh.
"Umur orang engga ada yang tahu, sayang.... Bapak hanya tidak ingin meninggalkanmu sendiri tanpa ada menemani...." Jawaban bapak seketika membobol bendungan air di mata Yunia.
"Yunia manut (\=nurut) apa kata bapak..." Jawab Yunia akhirnya. Bapak tersenyum.
"Sekarang.... " Ujar bapak kemudian sambil memandang keluarga Wisnu bergantian. " ... Di sini ada keluarga Pak Winoto. Keluarganya juga sudah kau kenal dengan baik..."
Sampai sini perasaan Yunia langsung engga nyaman. Pandangan matanya terarah pada Bayu dan Wisnu bergantian. Jangan-jangan ....
DAR!
"... Bapak mau kau menikah dengan Wisnu..." Kalimat bapak bagai petir disiang hari.
Kan?! Bener kan, dugaan Yunia?! Dia mau dijodohkan dengan salah satu dari anak pak Winoto. Seketika pandangan Yunia terkunci pada mata Wisnu yang juga sedang menatapnya.
"... bagaimana? Ada yang akan kamu sampaikan?" Tanya bapak. Tapi kali ini terasa begitu jauh di telinga Yunia. Seluruh nalarnya mendadak macet. Dia sibuk berfikir sendiri ... Ini beneran?
"... Wisnu.... Kau sudah mendengar ucapan Yunia... Apa ada yang ingin kau sampaikan?" Tanya bapak lagi kini tertuju pada Wisnu.
"Tidak ada, Pak." Jawab Wisnu sambil memutuskan kontak mata dengan Yunia, dia beralih menghadap bapak.
"Kalau begitu, mumpung disini sudah cukup banyak yang bisa menjadi saksi, mari kita selesaikan sekarang..." Ujar bapak.
Mendengar perkataan bapak, seperti suatu komando untuk mereka yang duduk di sana. Segera saja mereka bangkit mengambil posisi.
Paman duduk di samping bapak. Wisnu duduk dihadapan bapak diapit oleh ayah dan adiknya. Beberapa tamu pria lain duduk agak menepi tak jauh dari mereka. Bik Sumi bangkit mendekati Yunia dan membimbingnya untuk masuk ke dalam kamar disertai ibu Wisnu dan beberapa tetangga perempuan lain. Sisanya mundur kebelakang.
Yunia masih belum konek dengan apa yang terjadi. Dia dijodohkan dengan Wisnu? Oke sampai sini dia masih bisa mengikuti. Tapi perubahan formasi duduk itu mencurigakan....
Mendadak perut Yunia terasa mules tanpa sebab pasti, sementara keringat dingin mulai keluar dari tengkuk dan telapak tangannya......
Yunia menatap ibu-ibu yang mengikutinya sampai ke kamar.
"Bik, Yunia mau ganti baju..." Kata Yunia. Maksudnya kode, supaya ibu-ibu itu berhenti mengikuti. Tapi Bik Sumi malah tertawa kecil..
"Iya, karena itu bibi mau bantu kamu untuk berdandan..." Jawabnya yang langsung membuat kening Yunia berkerut.
"Berdandan...?" Seketika pikirannya kembali pada pemandangan di ruang depan tadi.
"Bik...." Yunia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Berbagai macam bayangan dan dugaan bercampur baur dalam otaknya.
"Ayo, nduk..." Bu Tini, salah satu tetangga yang hadir akhirnya mendekat. Beliau sedikit mendorong bahu Yunia untuk bergerak masuk ke dalam kamar.
"Bu.... Kita mau ngapain?" Akhirnya Yunia bertanya juga. Dia sudah lelah menebak-nebak dan berfikir sendiri.
"Ya... Seperti yang bapakmu bilang tadi..." Ujar Bik Sumi menggantung.
"Emang bapak tadi bilang apa sih?" Tanya Yunia belum mengerti. Iya, dia tadi dengar kalau dirinya dijodohkan dengan Wisnu, tapi Yunia merasa ada yang engga 'klik' dengan kalimat itu.
"Udah... Ayo cepetan..." Ujar Bik Sumi sambil menggiring Yunia untuk masuk kamar.
"Tapi aku lapar, bi...." Sela Yunia berusaha mengulur waktu. Yunia punya firasat, kalau saat ini dia tidak hanya sekedar dijodohkan.... Melihat gelagat orang-orang yang duduk di depan tadi rasanya dia mau di nikahkan. Tapi .... Masa sih bisa secepat itu? Dia ingin bertanya memastikan, tapi dia malu. Jangan-jangan itu cuma perasaannya saja yang ke PeDe-an....
"... Ini ibu bawakan makan siang mu..." Ujar Bu Yam, tetangga depan rumah sambil membawa sepiring nasi soto yang masih mengepulkan asap.
"Wih... Soto. Makasih Bu Yam... Ibu memang baik deh... Makasih." Sambut Yunia menerima piring itu. Soto merupakan salah satu menu 'wajib' untuk acara perjamuan di daerahnya. Mungkin karena ada acara perjodohan ini, bibi membuat soto.
"Ayo, makan... Setelah itu ganti baju..." Perintah Bik Sumi. Lalu mereka membiarkan Yunia menikmati makan siangnya, sementara Bik Sumi dan ibu-ibu yang ada di kamar itu menyiapkan seperangkat pakaian dan makeup sederhana di pembaringan Yunia.
Yunia memperhatikan kesibukan mereka sambil berusaha menelan makan siangnya. Setelah menyiapkan entah apa saja di atas pembaringan, ibu-ibu yang lain ke luar kamar. Tinggal Bik Sumi dan Bu Tini yang tinggal menunggu Yunia selesai makan. Deuh! Nasi soto ini kok sulit sekali untuk ditelan sih?!
Akhirnya, karena merasa tidak nyaman dengan tatapan menunggu Bik Sumi dan Bu Tini, ditambah lagi perasaan Yunia sendiri yang kacau balau, akhirnya Yunia menghentikan sesi makan siangnya. Tanpa banyak bicara lagi kedua orang tua itu mendandani Yunia.
Samar-samar Yunia mendengar suara orang memimpin doa, lalu beberapa percakapan yang engga bisa dia tangkap dengan jelas tentang apa, hingga tiba-tiba....
"Sah!"
Koor itu menyadarkan Yunia pada suatu realita baru. Seketika ia menatap Bik Sumi meminta penjelasan. Bik Sumi mengangguk dan tersenyum penuh kasih. Dia merentangkan tangannya lalu memeluk Yunia erat.
"Kamu sudah jadi milik orang sekarang, nduk..." ujarnya dengan suara tersekat. Setetes air mata jatuh di pundak Yunia. Yunia hanyut dengan suasana yang mendadak terasa sendu. Air matanya ikutan menetes.
Bapak sudah mengalihkan tanggung jawab atas dirinya pada Wisnu. Laki-laki yang selama ini dia anggap sebagai seorang kakak yang tidak pernah dia miliki.
"Ehem..."
Bik Sumi melepaskan pelukannya... di pintu Wisnu sudah berdiri untuk menjemput pengantinnya.
"Masuklah, Wis...." Ujar Bik Sumi mempersilahkan. "Bibi tinggal dulu ya..." Lanjut Bik Sumi pada Yunia. Yunia mengangguk. Sementara Wisnu berjalan mendekat pada Yunia.
"Bibi titip Yunia, yo Le ..." Kata Bik Sumi pada Wisnu saat mereka berpapasan jalan. Wisnu mengangguk. Bik Sumi menepuk pipi Wisnu sekilas sebelum pergi meninggalkan pasangan pengantin itu berdua.
Sesaat mereka saling pandang berusaha membaca pikiran masing-masing.
"Apa...?" Tanya Wisnu membuka percakapan. Dia tahu ada yang ingin Yunia tanyakan padanya. Yunia masih menatap Wisnu penuh selidik.
"Kenapa?" Tanya Yunia akhirnya.
"Kenapa apanya?" Wisnu balik bertanya.
"Kenapa mas Wisnu mau menikah denganku?"
Wisnu menarik nafas panjang lalu menarik tangan Yunia pelan untuk mengikutinya duduk di tepi pembaringan.
"Ada beberapa alasan kenapa aku mau menikah denganmu...." Wisnu mengambil jeda.
"Bukan karena mas Wisnu cinta sama aku kan?" Tebak Yunia membuat Wisnu seketika tertawa kecil. Yunia mendelik melihat ekspresi wajah Wisnu yang menahan geli itu. Untuknya tawa Wisnu itu terasa seperti pelecehan. Memangnya dia tidak layak dicintai?!
Wisnu menyadari arti pandangan Yunia, karena itu dia lalu berusaha menahan tawa dan berusaha bersikap serius.
".... Kalau dibilang cinta seperti yang kamu bayangkan mungkin engga, Yun. Tapi kamu tahu, mas sayang sama kamu...." Jawab Wisnu. Yunia diam tertunduk.
Sungguh, bukan pernikahan seperti ini yang ada dalam bayangannya. Walaupun belum pernah pacaran - karena bapak selalu melarangnya untuk pacaran - tapi dia punya bayangan, kalau suatu hari nanti, dia akan melangsungkan pernikahan dengan pria yang ia cintai dan mencintainya. Memakai gaun pengantin putih yang indah, menggelar resepsi meriah dihadiri oleh semua keluarga, kerabat dan teman-temannya.
".... Kadang kita musti berkompromi dengan keadaan yang ada, Yunia...." Kata Wisnu lagi sambil meraih dagu Yunia mengarahkan untuk menatapnya.
"Sayang... ada beberapa alasan mengapa bapak mengambil tindakan ini, dan mas juga punya alasan mengapa menerima kamu jadi istri mas...."
"Apa alasan itu, mas? Terus... kenapa harus secepat ini... kenapa engga ditunda dulu... sampai aku selesai SMA, gitu..."
Wisnu kembali menghela nafas....
"Sudah mas bilang, kan... ada beberapa alasan untuk kami ... walaupun sebenarnya mas juga engga kepikiran buat nikahin kamu sekarang juga... tapi sudahlah. Sekarang kamu udah jadi istri mas Wisnu... Masalah alasannya kita bicarakan nanti... sekarang orang-orang sedang menunggu kita di depan..." Ujar Wisnu.Lalu tangannya meraih lengan Yunia mengajaknya untuk bangkit dan menemui keluarga dan kerabat yang masih menunggu mereka di ruang depan. Yunia bangkit mengikuti ajakan Wisnu.
Baru saja satu langkah berjalan, tiba-tiba Wisnu mendadak menghentikan langkahnya membuat Kapala Yunia seketika membentur bahu Wisnu yang berjalan agak di depannya.
"Aduh!" Yunia spontan mengelus keningnya yang tadi terbentur. Engga sakit sih, cuma refleks aja, tapi sempat mengagetkan Wisnu.
"Eh?! Maaf, sakit?" Tanyanya sambil ikutan mengelus kening Yunia.
"Engga... engga apa-apa.... kenapa berhenti mendadak?"
Wisnu meringis sambil mengusap-usap tengkuknya sendiri.
"Aku lupa tanya... Emmm kamu engga menyesal kan, nikah sama mas Wisnu?" Tanya Wisnu dengan hati berdebar. Yunia menatap wajah Wisnu sampai melongo mendengar pertanyaan itu. Ih...! Pertanyaan apa itu? Situasi sudah seperti ini masih tanya soal itu...?🤦
" Ya.... Semoga engga akan pernah menyesal ..." Jawab Yunia kemudian dengan nada sedikit ketus untuk menggoda Wisnu. Wisnu tersenyum paham.
"Terima kasih sayang.... Mas janji, akan berusaha menjaga dan menyayangi kamu seumur hidup, mas."
"Terima kasih...." Sahut Yunia sambil menunduk menyembunyikan senyumnya. Ada rasa bahagia, geli bercampur haru melihat sikap Wisnu saat itu.
Wisnu dan Yunia masuk ke ruang depan. Di sana, Wisnu langsung membimbing Yunia berjongkok di depan bapak, sungkeman. Bergantian dengan bapak dan ibu Winoto.
Usai sungkeman, semua yang hadir menyalami Wisnu dan Yunia.
"Wah, aku jadi musti panggil mbak nih..." Goda Bayu saat menyalami Yunia. Yunia tersipu.
"Enggalah mas Bayu, tetap panggil Yunia aja." Ujar Yunia menghindari kecanggungan.
"Boleh, mas?" Tanya Bayu pada Wisnu.
"Terserah..." Jawab Wisnu.
"Tapi kamu engga boleh iseng sama Yunia seperti biasa..." sambung ayah Winoto tiba-tiba.
"Kenapa?" Tanya Bayu sambil menatap ayahnya yang duduk tak jauh dari mereka. Pertanyaan Bayu mewakili pertanyaan Yunia juga. Tidak menjawab, ayah malah menatap Wisnu menyuruhnya menjawab pertanyaan Bayu.
"... Karena tingkat kenyamanan istriku berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan uang sakumu. .." Jawab Wisnu asal.
"Waduh...!" Keluh Bayu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membuat orang yang mendengar di dekat mereka tertawa.
Karena memang tidak ada upacara adat apapun, mereka yang hadir lalu dipersilahkan menikmati hidangan yang sudah disiapkan di ruang tengah.
"Monggo, bapak... ibu diaturi lenggah ten ndalem. Monggo dicicipi sawontenipun..." Ujar Bik Sumi mempersilahkan para tamu.
"Monggo, pak... Bu...." Lanjut Bik Sumi pada bapak dan ibu Winoto.
"Nggeh... Monggo, mas..." Sambut Bu Winoto sambil berdiri dan mengajak bapak, lelaki yang sudah menjadi besannya itu untuk ikut makan bersama.
"Nggeh... Monggo sekeca aken..." Sahut bapak mempersilahkan.
Sambil menunggu giliran, Yunia duduk di samping bapak.
"Yunia... itu mas mu engga diambilkan makan?" Tanya bapak.
Yunia menoleh ke arah Wisnu. Walau sebelum menjadi suami, kalau pas Wisnu dan Bayu datang berkunjung, dia selalu disuruh mengambilkan makan untuk mereka.
"Nanti saja, Yun... " Tolak Wisnu. Yunia menggedikkan bahu sambil menatap bapak, seakan hendak mengatakan... "dia nya yang engga mau..."
"Ya sudah... Yunia, dengar kata-kata bapak ini baik-baik... " Ujar bapak kini serius sambil menatap anaknya. Tangan Yunia digenggamnya dengan erat. Yunia langsung serius memperhatikan bapak.
"Sekarang Wisnu yang akan bertanggung jawab atas dirimu. Bertanggungjawab untuk semuanya. Kebutuhanmu, juga keselamatanmu. karena itu..." bapak mengambil jeda.
"Patuhi dan layani dia dengan baik... jika kemudian nanti ada masalah di antara kalian, bicarakan baik-baik. Yunia... semua orang punya masa lalu... Mungkin banyak yang kamu tidak tahu tentang Wisnu. Begitu juga dengan Wisnu, banyak yang tidak diketahuinya tentang kamu... Saling terbukalah. Bapak percaya, anak-anak bapak ini sudah cukup dewasa dan mampu mengatasi masalah kalian... Saling bantu, saling percaya.... Yo, nduk?" Nasehat bapak, yang langsung di iya kan oleh Yunia dan Wisnu.
Usai menasehati, bapak lalu izin masuk ke kamar, katanya mau sholat ashar sekalian ngaso sebentar.
Wisnu dan Yunia masih sibuk melayani tamu yang masih bertahan duduk mengobrol dengan orang tua Wisnu.
Ashar sudah lewat, hari sudah mau Maghrib. Bik Sumi menyuruh Yunia memanggil bapak yang sedari siang tidak Dilihatnya makan.
"Gugahen bapak mu nduk... sudah mau Maghrib..." Perintah Bik Sumi. Yunia lalu masuk ke kamar bapak. Dilihatnya bapak terbaring di kasurnya. Yunia mendekat.
"Pak.... Pak.... bangun, sudah mau Maghrib..." Panggil Yunia. Tapi bapak masih tidak bergerak.
"Pak... pak..." panggil Yunia lagi. Kali ini sambil menggoyang-goyangkan lengan bapak. Bapak masih juga tidak bereaksi, tapi sentuhan tangan Yunia merasakan hal yang lain. Lengan bapak rasanya tidak sehangat biasanya ... Seketika pikiran buruk menyerangnya. Jangan-jangan bapak sakit lagi...
"Pak...!Pak...!" Panggil Yunia lebih keras, guncangan di lengan bapak juga lebih keras, tapi bapak tetap tidak bereaksi. Segera saja Yunia berlari ke luar kamar dan memanggil Bik Sumi.
"Bibi! ... Bibi!..."
"Ada apa, Yun?" Tanya Bayu yang sedang duduk di ruang tengah sambil minum kopi. Yunia menoleh ke arah Bayu sebentar sebelum kembali celingukan mencari Bik Sumi.
"Bibi mana?" Tanyanya panik.
"Tadi ke belakang... ada apa?" Bayu bertanya lagi.
"Bapak... bapak..." Jawab Yunia masih panik. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan bapak. Melihat kepanikan Yunia, Bayu langsung menerobos masuk ke kamar bapak. Sementara Wisnu dan orang-orang yang semula duduk di ruang depan, yang mendengar suara panik Yunia langsung mendekat.
"Ada apa, Yun?" Tanya mereka. Yunia masih tergagu tidak tahu apa yang harus dia katakan. Hanya matanya menatap cemas ke arah kamar bapak. Yang melihat arah tatapan Yunia segera bergegas masuk ke kamar.
"Ada apa, Yun?" Tanya Bik Sumi kemudian yang baru masuk ke ruang tengah.
"Bibi... bapak..." Adu Yunia saat melihat orang yang dicarinya. Seketika Yunia memeluk Bik Sumi dan menangis. Sambil memeluk Yunia, Bik Sumi melangkah masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, sudah cukup banyak orang yang datang. Paman -suaminya Bik Sumi- Wisnu dan Bayu yang paling dekat dengan bapak. Wisnu malah sudah duduk di samping bapak. Bik Sumi bertukar pandang dengan suaminya itu. Samar paman menggeleng. Membuat Bik Sumi pucat seketika.
"Astaghfirullah..." Bisiknya lemah, tapi sanggup membuat Yunia tersentak dan seketika menoleh ke arah paman.
"Bapak kenapa, paman?" Tanyanya sambil mendekat. Wisnu langsung menyambut dan memeluk istrinya itu erat.
"Bapak sudah pergi, Yun..." ujar Wisnu lirih.
"Pergi...?" Butuh beberapa detik untuk Yunia mengerti arti kata sederhana itu. "Eh?! Engga! Engga mungkin!... Bapak!... Bapak...!" Panggil Yunia sambil langsung melepas pelukan Wisnu lalu mendekati tubuh bapak dan mengguncang-guncangnya. Air mata tiba-tiba sudah mengalir deras tanpa tertahan.
"Istighfar, Yun..." Bisik Wisnu sambil kembali memeluk Yunia.
"Bapak cuma tidur... bapak engga pergi ke mana-mana..." kata Yunia disela tangisnya.
Wisnu tergagu... ibu Winoto yang sudah ada di sana lalu mendekat, mengambil alih memeluk Yunia untuk menenangkannya, Sementara semua orang yang lain segera melakukan persiapan untuk mengurus jenazah bapak.
Ditatapnya wajah bapak yang begitu tenang, layaknya orang sedang tidur lelap. Yunia masih tidak percaya kalau bapak benar-benar sudah pergi. Kembali didekatinya bapak. Menaruh telapak tangan di depan hidung bapak. Tidak terasa apapun. Jangan-jangan hanya karena tangannya yang tidak sensitif, tidak bisa merasakan hembusan nafas bapak.
Kemudian dia berlari mengambil cermin, juga menaruhnya di depan hidung bapak, berharap akan melihat embun dari sana. Masih juga tidak ada hasil.
Bapak tidak pergi.... bapak cuma tidur... Begitu Yunia bolak balik berpikir. Tapi sampai orang-orang siap dengan semua prosesi pemandian, bapak tidak juga terbangun. Bahkan, saat kucuran deras air mengalir menyiram tubuhnya, bapak tetap tidak bergeming. Hingga akhirnya bapak dikenakan pakaian terakhirnya, Yunia hanya bisa menatap pasrah... Rupanya bapak benar-benar sudah pergi....
_____________________________
Monggo, bapak... ibu diaturi lenggah ten ndalem. Monggo dicicipi sawontenipun..." \= Silahkan, bapak... ibu dipersilahkan duduk di dalam. Silahkan dicicipi seadanya..."
Nggeh... Monggo sekeca aken.. \= Iya... silahkan dinikmati...
Gugahen \= bangunkan
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!