Seperti biasa, Bunga berangkat kerja naik angkutan umum. Pagi ini ia sengaja berangkat pagi-pagi sekali karena ada yang harus ia selesaikan di kantornya. Bunga bekerja sebagai staf administrasi di sebuah supermarket terbesar di kotanya.
Pagi itu angkot yang Bunga naiki masih lengang, sampai angkot itu berhenti di sebuah halte, Serombongan cowok berseragam putih abu-abu berebut naik dengan suara berisik mereka. Salah seorang dari cowok-cowok itu duduk di sebelah Bunga. Seperti kebiasaan angkot-angkot pada umumnya, meski sudah penuh masih saja menaikan penumpang. Akhirnya mereka duduk berhimpitan. Saat penumpang lain mendesak untuk mendapatkan tempat duduk, Faldi, nama cowok yang ada di sebelah Bunga ikutan tergeser. Tubuhnya menghimpit Bunga yang memang duduknya di pojok.
Faldi menoleh. "Maaf!" kata Faldi karena kepalanya berbenturan dengan kepala Bunga. Bunga tersenyum. Tanpa ia sadari, senyumnya itu sangat membekas dalam ingatan Faldi. Di pertigaan, Bunga turun. Faldi terus menatap kepergian gadis yang senyumnya sangat berkesan di hatinya itu.
Keesokan harinya, Faldi berangkat lebih awal. Tiap angkot yang berhenti di halte, ia amati. Ia mencari Bunga di antara para penumpang. Namun hingga jam menunjukkan pukul 06.45, Faldi tidak menemukan Bunga. Karena tidak ingin terlambat masuk sekolah, akhirnya ia naik juga ke angkot berikutnya.
"Pak Min, jangan tutup gerbangnya!" Faldi berlari saat melihat penjaga sekolahnya akan menutup gerbang.
"Tumben siangan, Den?"
"Angkot nya penuh terus pak," kata Faldi dan ia segera berlari ke ruang kelasnya.
Pak Min, sang penjaga sekolah itu geleng geleng kepala.
Kenapa harus naik angkot, bukankah Den Faldi anak orang kaya.
Selama tiga hari, Faldi mencoba menemukan Bunga di setiap angkot yang lewat halte, namun tak kunjung berjumpa. Ia sangat ingin melihat gadis itu lagi.
"Bro, besok bantuin aku ya! Buatkan surat ijin!" kata Faldi kepada Rian teman sekelasnya.
"Emang kau mau kemana?"
"Aku ada misi penting."
"Misi apaan? Paling balapan motor kan?"
"Nggak. Kali ini lebih mengasikkan daripada balapan."
Keesokan harinya, Faldi dengan sepeda motornya sengaja menunggu Bunga di gang tempat Bunga turun beberapa waktu yang lalu. Ia menunggu dengan penuh harap. Tepat pukul delapan, sebuah angkot berhenti. Mata Faldi berbinar saat ia melihat siapa yang turun dari angkot. Bunga.
"Pantas aku tidak pernah menjumpainya di angkot kalau pagi, ternyata dia naik angkot siang. "
Bunga menyeberang jalan lalu menyusuri trotoar. Diam diam Faldi mengikutinya. Ia melihat Bunga berbelok ke halaman sebuah supermarket dan masuk lewat pintu yang bertuliskan hanya untuk karyawan.
"Dia berkerja di sini rupanya," batin Faldi. Ia lalu menjalankan motornya meninggalkan tempat itu.
Siang harinya, Faldi sengaja ke supermarket itu. Ia berkeliling di area yang menjual barang-barang kebutuhan sehari hari yang ada di lantai satu. Ia mencari-cari keberadaan Bunga. Karena tak menemukannya, ia kemudian naik ke lantai dua.
Faldi berkeliling dan matanya masih terus mencari-cari. Akhirnya pencarian Faldi membuahkan hasil. Ia melihat Bunga sedang berbincang dengan penjaga counter kemeja pria.
"Kebetulan," batin Faldi.
Ia mendekat ke arah mereka. Berpura-pura memilih kemeja. Faldi memasang telinga mendengarkan percakapan mereka.
"Tolong kau pilih barang barang dari suplier C. Pilih barang yang masih terisi lebih dari limapuluh persen dan yang masih utuh belum terjual. Lihat sejak lima bulan lalu. Kalau itu barang baru, jangan kau ikutkan. "
"Baik, mbak Bunga!"
Setelah memberi instruksi, Bunga berpindah ke counter kaos. Ia melakukan hal yang sama, memberi instruksi ke penjaga.
"Maaf, ini size M ada nggak?" Faldi mendekat ke Bunga sambil menyodorkan sebuah kaos.
"Mbak Yati, ini masnya nyari yang size M."
"Mbak, kenapa mbak manggil pelayan lain. Kenapa bukan mbak aja yang cariin!"
"Maaf mas, itu bukan tugas saya."
"Terus tugas mbak apa?"
Bunga memandang cowok yang ada di depannya. Ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Bunga berusaha mengingat dimana pernah bertemu dengannya.
Dia cowok putih abu-abu yang di angkot waktu itu.
"Tugas saya di bagian administrasi mas. Mbak Yati ini yang memahami tentang barang barang di counter ini. Ia bisa melayani mas dengan baik kok."
"Tapi aku maunya dilayani sama mbak Bunga, gimana donk?" Faldi menatap Bunga dengan tersenyum.
Walaupun bukan tugasnya, namun menjaga nama baik supermarket adalah kewajibannya. Akhirnya Bunga mengalah.
"Baiklah, mas tadi mau size M ya. Tunggu bentar! Saya carikan. "
Bunga meninggalkan Faldi dan berjalan ke arah Yati yang sedang melayani customer yang lain. Yati menunjuk ke tumpukan kaos dan Bunga mencari di tumpukan tersebut. Ia kembali ke Faldi dengan membawa tiga kaos size M dengan warna berbeda.
"Ini mas, silahkan di pilih."
"Mbak saja yang pilihkan buat saya!"
Bunga kaget mendengar jawaban Faldi. Baru kali ini ada customer minta dipilihkan baju.
"Tapi kan saya tidak tahu selera mas."
"Selera saya ya seperti mbak ini!" Faldi mulai menggoda Bunga.
Bunga menghela nafas. Ia mulai merasa kesal dengan sikap cowok ini. Ia tahu usia cowok ini lebih muda darinya. Ia memanggilnya mas untuk menghormatinya. Siapa sangka nih cowok malah menggodanya.
"Mas, kalau nggak niat beli, nggak papa kok!"
Bunga lalu pergi meninggalkan Faldi. Faldi cepat mencegah kepergian gadis itu dengan menarik tangannya.
"Jangan marah mbak. Nanti cantiknya hilang." Faldi tersenyum. Kesabaran Bunga habis. Ia menatap cowok itu.
"Mau anda apa!"
"Aku maunya kenalan sama mbak. Namaku Faldi. Tolong mbak rekam ya! Faldi!!" Ia mencengkram tangan Bunga saat mengucapkan kata itu. Wajahnya sangat serius. Matanya tajam mengintimidasi Bunga.
Bunga terkesima. Jika ia tidak ingat bahwa cowok di depannya ini adalah cowok putih abu-abu. Ia akan mengira dia seorang pemuda yang matang. Karena sikap yang ditunjukkan Faldi barusan tidak seperti sikap anak remaja seusianya.
Lama mereka saling menatap.
"Mbak, ini jadi yang mana yang diambil?"
Bunga langsung mengalihkan pandangannya dari Faldi.
"Tanya padanya saja!" Ia kembali akan pergi. Namun lagi-lagi Faldi mencegahnya.
"Pilihkan untukku dan jangan menolak!" suaranya tegas berwibawa.
Nih anak kenapa bisa bersikap sangat mengintimidasi begini.
'Yang biru saja!"
Faldi tersenyum.
"Thanks cantik," bisiknya ke telinga Bunga. Ia lalu melepaskan tangan Bunga.
Bunga cepat-cepat kabur meninggalkan tempat itu. Jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas.
Gila. Dasar bocah gila.
Sementara itu Faldi masih berada di counter kaos.
Ia berusaha mencari informasi tentang Bunga pada pelayan yang bernama Yati.
"Mbak, kalau bagian administrasi itu jam kerjanya sampai jam berapa?"
"Sampai jam lima sore. Kecuali yang bagian lembur."
"Mbak, nama saya Faldi. Mbak mau nggak menolong saya? Nanti saya kasih imbalan deh!"
"Menolong apa mas? Kalau itu kejahatan, maaf saya tidak mau!"
"Bukan mbak. Masak tampang cakep kayak saya ini seorang penjahat. Saya ingin mbak cari info tentang mbak Bunga. Tapi jangan sampai ia tahu. Bisa nggak?"
"Mas Faldi menyukai mbak Bunga. "
"Tertarik, lebih tepatnya." kata Faldi.
"Tapi saingan mas akan banyak sekali lho!"
"Oh ya! Tapi saya yakin saya akan menang."
"Iya sih. Karena mas Faldi sangat tampan."
Faldi tersenyum dipuji tampan.
"Mas Faldi mau tahu tentang apa?"
"Tentang rutinitas mbak Bunga. Kapan ia pulang dan jadwal lemburnya."
"Setahu saya, mbak Bunga selalu pulang jam tiga sore. Sabtu ia lembur. Dan hari Minggu ke empat tiap bulan jadwalnya jaga malam."
Faldi mengangguk tanda paham.
"Mas kalau mau dekatin mbak Bunga, hati-hati ya!"
"Memang kenapa?"
"Saya dengar saat ini juga ada seorang polisi yang juga sedang berusaha mendekatinya. Ia sering menjemput mbak Bunga. Mereka sudah jadian apa belum, kami nggak tahu. "
"Makasih mbak," Faldi lalu menuju kasir dan membayar belanjaannya.
...🌹🌹🌹...
Sore hari Bunga keluar dari tempatnya bekerja. Ia berdiri di pinggir jalan depan supermarket untuk mencari angkot. Selama 15 menit lebih, namun tak ada satu angkot pun yang lewat.
"Percuma, Mbak! Meski sampai malam juga nggak akan ada angkot yang lewat. " Faldi yang tiba tiba sudah berdiri di samping Bunga mengagetkan gadis itu.
"Dari mana kau tahu?"
"Mereka lagi mogok mulai tadi siang mbak. Jadi sore ini nggak akan ada angkot yang jalan. "
Bunga semakin gelisah.
Gimana nih. Hari ini ada kuis di kampus. Kalau begini aku bisa terlambat.
Bunga melirik ke sampingnya,
Kemana anak itu.
Bunga mencari cari keberadaan Faldi namun ia tak menemukannya. Ia kembali fokus mencari kendaraan umum yang bisa mengantarkannya ke kampus.
Seorang pengendara sepeda motor tiba-tiba berhenti di depan Bunga. Ia membuka helmnya
"Mau kuantar, Mbak?" Faldi menawarkan diri.
Bunga ragu ragu. Ia baru kenal dengan cowok ini, masak sudah mau dibonceng.
Ah sudahlah, anggap saja ojol. Daripada telat.
"Baik, tapi ini karena terpaksa ya!" Bunga menegaskan.
"Iya, Mbak."
Setelah Bunga naik, Faldi lalu memacu sepeda motornya.
"Cepetan dikit nanti telat aku. Ke kampus x ya!"
Serta merta Faldi memutar gas motornya membuat tubuh Bunga yang ia bonceng tersentak ke belakang. Spontan Bunga memeluk pinggang Faldi mencari pegangan agar tidak jatuh.
"Sengaja ya!" Bunga memukul pundak Faldi.
Faldi senyum penuh kemenangan.
Sesampainya di kampus.
"Pulang jam berapa?" tanya Faldi.
"Untuk apa tanya-tanya?"
"Ya untuk jemput lah! Kan dah kubilang nggak ada angkot. Mbak mau pulang naik apa?"
"Terima kasih. Tapi nanti sudah ada yang jemput kok!"
Bunga lalu meninggalkan Faldi.
Sudah ada yang jemput. Jangan-jangan polisi itu.
Faldi lalu memutar motor dan melarikannya menuju rumah
Malam hari, pukul 19.30, Faldi sudah standby di depan kampus Bunga. Ia penasaran tentang siapa orang yang akan menjemput Bunga. Matanya menyapu ke arah cowok cowok yang sedang menjemput juga. Pandangannya terhenti pada sosok cowok bertubuh atletis dan berambut cepak.
Apakah dia orangnya.
Mendekati jam delapan malam, satu dua mahasiswa maupun mahasiswi keluar dari kampus. Makin lama makin banyak. Faldi mencari Bunga dari puluhan mahasiswi yang keluar dari kampus itu.
Ah itu dia. Kalau benar dugaanku, maka ia akan berjalan ke arah cowok itu.
Bunga keluar dari kampus. Ia clingukan mencari seseorang. Kemudian ia tersenyum dan berjalan ke arah orang tersebut.
Ternyata benar, cowok itu. batin Faldi.
Bunga lalu naik ke boncengan cowok tadi dan pergi meninggalkan kampus. Faldi mengikutinya.
Mereka berhenti di warung bakso. Faldi menghentikan motornya agak jauh. Ia lalu menunggu sampai kedua orang itu keluar lagi dari warung bakso dan kembali mengikutinya.
Bunga dan cowok itu berhenti di depan supermarket tempat Bunga bekerja. Bunga turun dan berbicara sebentar dengan cowok itu. Lalu ia melambaikan tangan dan kembali masuk ke supermarket melalui pintu khusus karyawan.
Faldi memarkir motornya. Ia masuk ke supermarket dan langsung ke lantai dua menemui informannya, Yati. Ia mencari Yati tapi tidak menemukannya.
"Mbak, mbak Yatinya kemana ya?"
"Mbak Yati sudah pulang mas. Ia hari ini masuk shif pagi. Ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu ramah.
Faldi menggeleng. Faldi kemudian keluar dari supermarket. Saat menuruni eskalator, ia melihat Bunga. Faldi mempercepat langkahnya.
Bunga sudah akan pergi dari tempatnya saat tangannya ditarik.
"Mbak!" Faldi menarik tangan Bunga. "Tadi dibonceng siapa?"
Bunga kaget. Ia menarik tangannya hingga lepas dari genggaman Faldi.
"Kau! Kenapa ingin tahu aku dibonceng siapa?"
"Karena aku nggak suka mbak dibonceng cowok!"
"Eh, ada urusan apa denganmu!?!"
"Karena aku suka sama Mbak."
Bagai disambar petir Bunga mendengar pernyataan suka dari cowok putih abu abu yang berdiri di depannya. Bagaimana mungkin anak ini menyukainya. Bertemu juga baru dua kali. Begitu pikir Bunga.
"Kau jangan ngelantur deh. Aku lebih tua darimu., dan kau masih cowok putih abu abu. Masih anak kecil."
Faldi mendekatkan kepalanya dan ia berbisik di telinga Bunga.
"Usiaku memang masih muda mbak. Tapi aku juga seorang pria. Nanti malam aku jemput. Jangan menolak!" Faldi laku pergi meninggalkan Bunga.
Bunga terpaku tak percaya. Ia memikirkan bagaimana anak itu bisa mengeluarkan perkataan dengan nada yang mengintimidasinya. Perkataan yang nggak mampu ditolak.
Sesuai janjinya, Bunga melihat Faldi sudah menunggunya di depan supermarket.
"Diantar kemana Mbak?"
"Ke kosanku saja di jalan y!"
Tapi Faldi tidak mengarahkan motornya ke alamat yang disebutkan Bunga.
"Eh jalannya bukan ke arah sini. "
"Aku tahu. Aku hanya ingin mengajakmu makan dulu."
"Tapi aku nggak lapar. "
"Aku yang lapar. Temani aku makan!"
Mereka sampai di sebuah rumah makan yang suasananya sangat romantis.
Bunga sangat canggung saat akan masuk. Ia melihat banyak pasangan yang sedang makan di situ.
Faldi menarik tangan Bunga dan menggandengnya menuju sebuah gazebo.
"Kau mau pesan apa?" Faldi tidak lagi memanggil Bunga dengan mbak.
"Kan sudah ku bilang, aku tidak lapar."
"Kalau gitu aku pesanan minuman saja. "
Faldi menuliskan pesanan mereka dan menyerahkannya kepada pelayan.
Faldi lalu mengambil sesuatu dari balik jaketnya dan menyerahkannya kepada Bunga.
"Ini untukmu!"
"Ini apa?"
"Buka saja!"
Bunga membukanya. Ia kaget karena bingkisan yang ia terima adalah sebuah ponsel keluaran terbaru.
"Ini untuk apa? Aku sudah punya ponsel."
"Biar aku gampang menghubungimu. Disini sudah aku isi kartu. Jadi ponsel ini khusus untuk ngobrol denganku."
Bunga menghela nafas. Anak ini semakin tidak masuk akal menurut Bunga.
"Maaf, aku tidak bisa menerimanya. "
"Kenapa?"
"Ya pokoknya nggak bisa. "
Faldi lalu menggeser duduknya mendekati Bunga. Bunga juga ikutan bergeser sampai ia berada di pokok gazebo. Faldi lalu meletakkan lengannya mengungkung tubuh Bunga. Matanya memandang tajam ke arah Bunga. Bunga jadi sedikit takut dengan sikap anak itu. Usia anak itu memang masih muda. Namun tubuhnya sudah seperti pria dewasa. Kalau sedang tidak pakai seragam, ia nampak seperti pemuda seumuran Bunga, bukan anak SMA.
"Terima atau.. ?"
"Atau apa?!" Bunga mendelik berharap anak itu menjauh.
Namun yang terjadi di luar dugaan Bunga. Faldi malah mengecup keningnya.
"Kau!"
"Kalau nggak kau terima, bukan kening yang akan kucium. Jadi bagaimana? Diterima?"
"Iya iya aku terima!"
Faldi memindahkan tangannya. Ia kembali duduk seperti semula.
"Berati mulai hari ini kita resmi jadian. "
"Eh! Mana bisa begitu."
"Bisa! Kau sendiri barusan bilang sudah menerima. Ponsel itu tanda cintaku padamu. Kau terima ponsel itu sama artinya menerima cintaku. "
Bunga terdiam. Dalam hati ia mengutuk kebodohannya karena bisa dikerjai oleh seorang cowok putih abu abu
Faldi menurunkan Bunga tepat di depan kosannya.
"Terima kasih!" Bunga turun dan bermaksud meninggalkan Faldi. Faldi menghentikan Bunga dengan memegang tangannya.
"Ingat! Jangan dekat-dekat dengan cowok lain!"
"Iya!" Bunga mengiyakan, berharap Faldi akan cepat pergi, namun Faldi masih duduk di atas motornya tanpa tandanya tanda akan pergi dari tempat itu.
"Pulanglah! Dah malam juga. Nanti orang tuamu marah!"
Faldi tiba-tiba menarik tubuh Bunga dan cup
Ia mencium bibir Bunga.
"Sudah kukatakan, usiaku memang muda. Tapi aku tetap seorang pria. Jangan selalu menganggapku anak kecil!" Faldi melepaskan tangan Bunga dan berlalu dari tempat itu.
Bunga terpaku di tempatnya berdiri. Ia masih terkejut dengan apa ya g dilakukan Faldi.
Anak kecil itu, menciumku? Dia mencuri ciuman pertamaku.
Bunga kesal. Ia menghentakkan kakinya beberapa kali saking kesalnya. Kemudian ia masuk ke kosannya.
Bunga sedang membersihkan wajahnya di depan cermin. Saat ia membersihkan lipstik di bibirnya, ia ingat ciuman Faldi. Mukanya merah. Jantungnya berdebar.
Aduh, kenapa jantungku berdebar saat menginggat anak ingusan itu. Tidak, tidak, tidak. Aku tidak boleh menyukainya. Memiliki perasaan terjadinya hanya akan membawa penderitaan.
drt drt drt
Ponsel Bunga berdering.
"Assalamualakkun!" salam orang di seberang.
"Waalaikumsalam, Dik. "
"Mbak, Mbak Bunga harus pulang. Ibu sakit mbak!"
"Iya, Dik. Besok mbak akan pulang. Apa penyakit ibu kambuh, Dik?"
"Iya Mbak."
Pembicaraan Bunga dan adiknya berakhir. Bunga cemas dengan kondisi ibunya.
Bunga mengirim pesan kepada teman sekantornya agar besok membuatkan surat ijin karena dia harus pulang kampung menjenguk ibunya.
Keesokan harinya, sepulang sekolah Faldi bermaksud menemui Bunga karena gadis itu tidak bisa ia hubungi.
"Mbak Yati. Bisa panggilkan Bunga?" Faldi berkata pada Yati.
"Tunggu ya, Mas!" Yati menuju telepon yang ada di meja kasir.
"Mas, Mbak Bunganya ijin. Ia tidak masuk hari ini. Kata temannya, ia pulang kampung. Ibunya sakit. " Yati kembali ke counternya dan memberikan info kepada Faldi.
"Makasih, Mbak!" Faldi lalu mengambil beberapa kaos dan memberikan kepada Yati. Faldi selalu membeli kaos tiap meminta bantuan Yati. Itu ia lakukan sebagai imbalan karena Yati tidak mau diberi imbalan lain.
...🍃🍃🍃🍃...
Bunga sudah tiba di kampungnya. Ia melangkah menuju rumahnya. Sebuah rumah yang sangat sederhana.
"Assalamu'alaikum." Salam Bunga.
"Waalaikumsalam!" Adik Bunga keluar. "Mbak sudah datang. Masuklah Mbak, temui ibu di kamar!"
Bunga langsung masuk ke kamar ibunya. Dilihatnya wanita itu terbaring lemah di ranjangnya.
"Bu!" Bunga memanggil ibunya lalu mencium tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Hatinya sangat sedih melihat ibunya dalam kondisi seperti itu.
"Kau pulang. Bagaimana perkerjaanmu?"
"Alhamdulillah, baik Bu."
"Sekolahmu?"
"Juga baik, Bu."
Wanita itu tersenyum, dibelainya rambut putrinya.
"Bu, ke rumah sakit ya! Biar ibu dapat perawatan yang baik." Bunga membujuk ibunya.
"Nggak usah nak. Kerumah sakit butuh biaya banyak. Ibu nggak papa. Hanya butuh istirahat. Nanti juga akan membaik."
Itulah ibunya. Wanita itu selalu saja menganggap remeh jika itu menyangkut dirinya sendiri. Tapi dia akan sangat peduli jika itu menyangkut suami atau anak-anaknya.
"Bu, jangan pikirkan soal biaya. Bunga ada tabungan buat biaya ibu berobat ke rumah sakit."
"Gunakan uangmu untuk kuliahmu, Nak. Ibu nggak bisa membantumu. Jadi ibu juga tidak mau membebanimu. "
"Bu...Ibu bukan beban bagi Bunga. Ijinkan Bunga membalas jasa ibu. Kita ke rumah sakit ya, Bu!" Bunga terus membujuk ibunya. Namun wanita itu tetap kekeh pada pendiriannya.
Gadis itu akhirnya menghentikan usahanya. Ia memeluk ibunya.
"Maafin Bunga, Bu. Bunga belum bisa jadi anak yang berguna."
Bunga merasakan kepalanya diusap lembut oleh ibunya.
"Kamu sudah membanggakan kami, Nak. Itu sudah cukup buat kami."
...🍃🍃🍃🍃...
Sudah tiga hari, Bunga tidak bekerja. Itu artinya sudah tiga hari juga Faldi tidak bertemu dengan gadis pujaannya itu. Sore itu Faldi mendatangi tempat kos Bunga. Ia mencari info alamat Bunga di kampung pada ibu kosnya.
"Pak Ali. Apa Bapak tahu alamat ini?" Faldi menunjukkan alamat yang ia dapatkan dari ibu kota Bunga pada supir pribadinya.
"Tahu, Den! Saya punya saudara di kampung itu. "
"Bagus, besok antar aku ke kampung ini ya Pak!"
Faldi berbinar. Ia senang karena sebentar lagi ia akan bisa bertemu Bunga.
"Baik, Den!"
Hari Minggu pagi. Faldi berangkat ke kampung Bunga dengan diantar Pak Ali.
"Masih Jauh, Pak?"
"Nggak begitu, Den. Setengah jam lagi sudah sampai."
Mobil yang dikendarai Faldi memasuki kampung Bunga. Pak Ali sepertinya sangat mengenal daerah itu. Dengan sedikit bertanya pada penduduk sekitar, akhirnya mereka sampai di depan rumah Bunga.
Pada saat itu kondisi ibu Bunga sedang drop. Keluarga Bunga panik melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Bunga lari keluar rumah bermaksud mencari bantuan. Ia menghentikan larinya saat di depan rumahnya berdiri sosok yang sangat ia kenal, Faldi.
Bunga segera menghampiri Faldi.
"Tolong. Tolong antar ibu ke rumah sakit!" Bunga berkata sambil menangis. Ia memegang lengan Faldi dan menariknya masuk rumah. Faldi mengangkat tubuh ibu Bunga dengan di bantu Pak Ali. Ia mendudukan wanita itu di kursi belakang bersebelahan dengan Bunga. Lalu ia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang ada di kota.
Bunga dan Faldi menunggu di luar saat ibu Bunga mendapat perawatan.
Bunga masih menangis. Faldi memeluknya.
"Jangan takut. Beliau akan baik-baik saja!"
Bunga membenamkan wajahnya di dada bidang Faldi. Faldi mengelus kepala gadis itu lembut. Ia mencium pucuk kepala Bunga.
"Keluarga Bu Reta?" panggil perawat.
"Kami suster" jawab Faldi dan Bunga.
"Silahkan ikut saya!"
Faldi dan Bunga mengikuti perawat ke ruang dokter.
"Ibu saudara harus segera menjalani operasi. Apendiks nya sudah meradang. Jika ditunda akan sangat berbahaya. Karena infeksi nya akan menyebar."
Bunga terkejut. Separah itukah kondisi ibunya. Saking syok nya Bunga tidak segera menjawab perkataan dokter itu.
"Lakukan yang terbaik dok!" Faldi mewakili Bunga.
"Baiklah. Kalian pergilah ke bagian administrasi untuk menyelesaikan prosedur operasi."
"Baik dok. " Faldi berdiri. Ia manarik tangan Bunga. Gadis itu masih bingung. Jika harus operasi pasti ibunya membutuhkan dana yang besar. Apakah tabungannya cukup?
"Kau kenapa?" Faldi mengagetkan Bunga.
"Bagaimana aku bisa mendapatkan biayanya.?" gumam Bunga antara sadar dan tidak.
Faldi mengusap bahu Bunga.
"Ada aku. Jangan khawatir."
Dan benar, sesuai perkataannya, Faldi melunasi biaya rumah sakit ibu Bunga.
Selama beberapa hari Bu Reta dirawat., Faldi selalu setia menemani Bunga menjaga ibunya. Lama kelamaan tumbuh perasaan di hati Bunga.
Hari ini adalah hari terakhir Bu Reta dirawat. Bunga sudah membulatkan tekadnya untuk memberitahu Faldi tentang perasaanya. Tapi sampai tengah hari bahkan sampai ia membawa ibunya pulang, Faldi tidak muncul di rumah sakit. Bunga mencoba menghubunginya namun ponsel Faldi off. Bunga merasa kehilangan. Ia bingung harus mencari Faldi kemana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!