Semburat orange terlihat memancar indah dari arah barat. menandakan siang akan berganti malam. seorang gadis tengah duduk menikamati senja di bakon kamarnya. menatap teduh pemandangan di hadapanya. sebuah mentari yang berwarna orange. tidak menyakati mata namun malah memanjakan mata. senyuman manis penuh kehangatan tersunging di bibir tipisnya.
"Ratna, Ada Nak Rega cepat turun, Sayang," sahut seorang wanita dari lantai satu.
"Iya, Bu. Ratna akan turun." Sekilas matanya kembali menatap teduh Mentari yang akan terlelap semantar itu.
Ada apa lagi, Dia datang kemari? bukanya ia sudah bahagia dengan kekasihnya! batin Ratna.
tak lama helaan nafas keluar begitu saja.
"Nih, sekalian bawa," ucap Sri - ibu Ratna- sebari memberikanya nampan yang sudah berisi air dan juga cemilan kering. Mata Ratna mengerjab.
"Sudahlah, Bu. tidak usah. Tuan Rega pasti tidak akan makan makanan seperti ini."
"Suust, Sayang. kamu jangan seperti itu. ingat kita harus selalu menjamu tamu dengan baik. bukankah dalam islam juga mengajarkan hal seperti itu?" Ratna kembali menghela nafas rendah. ia tidak bisa mengelak kembali. hanya mengagguk menyetujui pernyataan Ibunya.
Kaki itu berjalan menuju ruang tamu tempat Tuannya, otw eh Mantan Tuannya duduk menunggu kehadirannya. Ratna kembali lagi menghela nafas.
Ratna kamu kuat, kamu pasti kuat, tenang! kamu harus tenang! wahai hati diam lah dan tenanglah. Ratna membatin.
sebuah gorden menbatasi antara ruang tamu dengan ruang tv. Ratna segera menyibak gorden untuk menemui Rega disana. matanya membulat. saat sepasang mata keduanya bertemu. seketika itu juga wajah Ratna memanas dan rona merah terlihat merona di sana. cepat-cepat ia menundukan kepala untuk menormalkan detak jantungnya, dan juga wajah yang memanas itu.
"Maaf, Tuan Rega. kami hanya memiliki cemilan ini, mungkin Tuan akan enggan memakannya tapi saya harap Tuan tidak membenci jamuan di rumah saya," ucap Ratna setegah mati berusaha normal di depan Laki-laki bernama Rega itu. senyuman hangat tersunging di sana. meski Ratna tidak melihatnya namun helaan nafasnya seakan menandakan jika dirinya merasa lega, entah karna apa.
"Saya akan menikmati jamuan istimewa ini," ucapnya dengan nada suara yang rendah. dan hangat saat memasuki gendang telinga gadis itu. seakan itu membantu memompa hatinya agar lebih cepat lagi berdetak.
Blus!
Wajah Ratna merona kembali, membuat dirinya harus menundukan kepala agar tidak terlihat oleh laki-laki didepannya.
"A-ada apa Tuan datang kerumah saya?" tutur Ratna gugup. hatinya sulit di normalkan. tapi dirinya masih bisa sedikit mengatur nada suaranya. agar terlihat wajar.
"Angkatlah kepalamu, aku ingin melihat wajah mu!" gadis itu mengeleng cepat. tanganya mengepal kuat di atas pahanya. membuat dahi Rega mengkerut tak mengerti.
"Apakah aku bukan muhrimu? jadi engkau tak berkenan untuk kupandang lama-lama?" tubuh Ratna seakan membeku seketika. getaran yang entah dari mana seakan mengelitik tubuhnya. desiran bahagia yang entah sejak kapan memenuhi hatinya namun tiba-tiba semua itu runtuh tatkala bayangan wanita itu muncul di benaknya.
"Benar, Tuan. saya tidak bisa membiarkan siapapun memandang saya kecuali muhrim saya."
"Lantas apa yang harus saya lakukan? apakah perlu saya menghalalkan mu agar dapat memandang wajah mu?"
Gadis berhijab biru itu terdiam sesaat. tersenyum getir saat mendengar kalimat dari Rega yang entah sejak kapan menohok hatinya.
"Apakah anda mengatakan itu secara sungguh-sungguh?" Rega mengangguk cepat, seakan menyakinkan jika dirinya seratus persen yakin.
"Maaf, Tuan. jika anda menghalalkan saya hanya karana tubuh saya, mohon maaf saya tidak bisa." Mata Rega menbulat ia tidak menyangka kalimatanya akan di artikan seperti itu.
"Tidak, Bukan seperti itu?"
"Lalu?"
"Saya ingin menjadikanmu istri saya."
“Pak Nizar!,” sentakku kaget mudur beberapa langkah kebelakang. Pak Nizar tersenyum menatap balik gadis bermata biru dihadapanya.
“Kamu kenapah belum pulang? “ tanya Pak Nizar memajukan tubuhnya. Menatapku begitu lembut namun, membuatku semakin tidak nyaman.
“Heheh, iya pak, tadi … keasikan di perpustakaan,” tukasku mengalihkan pandangan. Pak Nizar segera menarik tubuhnya dan berdiri tegak didepan ku. Ia mengangguk mengerti.
“Yaudah, mau bareng bapak ga pulangnya?” tawar Pak Nizar
“Eeh, gak usah pak soalnya …,” ucap ku terpotong karna motor besar tiba tiba terparkir didepan kami. Laki laki itu
berhenti dan melepas helmny. Lalu melirik kearah kami dengan senyuman lebar. Aku membelalkan mata tak percaya dengan sosok didepanku.
“Rendi!!!” ucapku terkejut.
Bukanya dia sudah pulang.Gumam ku dalam hati menatap tak percaya pemuda diatas motor itu. pak Nizar tersnyum menyapa senyuman Rendi barusan.
“Ratna, aku cariin kamu dari tadi, kamu kemana aja? Katanya mau pulang bareng?” cerocos Rendi turun dari motor dan menghampiri ku.
Eeeh, sejak kapan aku ngajak pulang bareng ma dia. Iiih, apaan si ni anak. Grutuku dalam hati.
“Rendi ….” Belum sempat aku bicara,Rendi sudah menarik tangan ku lebih dulu dan menyuruhku naik kemotornya. Aku pun naik dengan kebingungan, meninggalkan Pak Nizar yang masih berdiri disana. Aku tersenyum dan melambai kearah laki laki bermata hitam itu .
“aku pamit ya pak, assalamualaikum ...,” sahut ku saat motor Rendi sudah mulai melaju.
“Rendi! Kok Kamu Ada di sekolah si? Bukannya kamu udah pulang ?” teriakku diatara suara angin dan bising jalan raya. Meninggikan suara agar terdengar oleh Rendi di depan. Rendi tersenyum dari balik helmnya.
“Emang gak boleh ya?” Tanya Rendi membuatku semakin bingung. Dahiku seketika berkerut mendengar pertanyaan dari Rendi.
“Bukan gitu, aku kan cuman nanya!?” ucapku lantang. Rendi diam beberapa saat membuat suasana seketika canggung.
“Heheheh, aku cuman lewat aja tadi, soalnya ada yang ketinggalan, eeh tiba tiba liat kamu berdiri sama Pak Nizar jadi, aku ajak kamu, toh rumah kita kan searah,” tutur Rendi lantang. Suara angin mendesau kencang dan bising jalan juga terdengar sangat memekikan telinga. Namun, suara Rendi masih dapat dipahami oleh ku. Aku menganggukan kepala tanda mengerti maksud perkataan Rendi.
“Oh, git …,” ucapku terpotong kaget mendengar sirine mobil ambulan yang melesat cepat ditengah keramaian jalan. Semua mobil terbelah begitu saja saat sirine terdengar dari jarak 10m, membuat jalanan kosong bagian tengah. Aku menatap dua ambulan yang berjalan beriringan itu. Seketika rasa khawatir menyerbu ulu hati ku kembali. Aku spontan memengang dada ku dan meremasnya kuat.
Ya Allah, ada apa ini? Kenpah perasaan ku sangat gelisah?Gumamku dalam hati. Rendi merasakan sesuatu yang tidak beres dengan gadis dibelakangnya, segera ia mengarahkan spion motor agar terpantul wajah gadis itu. Dahi Rendi seketika mengkerut saat melihat wajah gadis pemilik mata biru itu pucat pasi.
“Kamu tidak apa apa, Ratna??” Tanya rrendi khawatir.
“Iya, aku baik baik saja ko,” tukas ku kembali menatap langit. Beursaha menikmati suasana jalan.
Rendi menghembuskan nafas kasar lalu, kembali fokus pada jalan raya.
**
Ratusan orang mengerumuni rumah putih disana. Beberapa reporter dan juga polisi turut hadir dalam kerumunan itu. Aku menatap bingung. Rendi menurunkan kecepatnya menatap Tanya pemandangan didepannya.
“Rendi mereka sedang apa? kenpah ada polisi? Kok ada reporter juga? Ini kan rumah ku?” cerocosku masih belum mengerti situasinya. Rendi hanya diam menghentikan motornya tepat di depan kerumanan masa disana. Aku turun dan bertanya kewarga yang berada disitu.
“Bu, ini ada apa ya? Kok rame banget? kenapa ada polisi ma reporter juga?” Tanya ku beruntun. Perasaan ku
semakin tak karuan. Rasa takut, gelisah, sedih seketika menyeruak keseluruh nadi ku. ibu itu menanggis lantas
memelukku erat. Rendi berdiri disamping ku menatap kami Tanpa eksperesi.
“Kanapa bu? Ada apa sabenarnya?” Tanya ku tak sabaran. Melepas pelukanya menatap manik mata wanita paruh baya didepan ku. Ibu itu menyeka air matanya menatapku penuh kasihan.
“Ada pembuhan dirumah kamu, dan seluruh keluarga kamu meninggal disan…!” jelas Ibu itu terpotong karna aku
segera lari meninggalkannya. Membelah kerumunan diikuti Rendi dari belakang.
Mata ku seketika berair melihat plastic kuning polisi meliringkari rumahku. aku berusaha masuk namun tak diizin kan oleh polisi. Rendi spontan memelukku sangat erat.
“Pak! Aku mohon izin kan aku masuk! Aku ingin melihat kedua orang tua ku, sekarang, mereka pasti baik baik saja kan!” teriak ku ditengah isak tangis. Berusaha berontak dan melepaskan pelukan Rendi yang sangat kuat.
“Sabar, Rat, “ teriak Rendi berusaha menenangkan ku.
“Apaan si kamu Rend, orang tua ku gak mungkin mati!” teriak ku tak terrima dengan ucapan Rendi. Rendi
kembali mengeratkan pelukanya. Air mataku tak henti mengelir. Orang orang turut menangis menatapku penuh kasian.
“Apaan si kalian! Jangan menatapku seprti itu! orang tua ku tidak akan mati! aku percaya itu!” teriak ku kembali kencang kearah penonton disana. Mereka hanya diam melihat ku.
Tiba tiba polisi dan beberapa staf mendis keluar dari dalam rumah menenggotong pelastik kuning besar, yang biasa dipakai untuk menganggut mayat. Kaki ku seketika lemas. Mata ku sudah tak bisa menahan tangis. Rendi melepaskan pelukannya. Aku terduduk tak percaya melihat 5 plastik jenzah diangut beriringan dari dalam rumah. aku hanya bisa menutup mulut dan menangis sejadi jadinya.
Rendi jongkok didepan ku, ia kembali memeluk ku. Kali ini pelukannya jauh lembut lembut dari sebelumnya.
“Aku janji akan selalu ada untuk mu, Ratna!” bisik Rendi ditelinga ku. Aku kembali menangis kencang. Menangis begitu parau. Hingga mampu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Orang-orang menagis ikut merasakan kepiluan gadis didepan mereka. Rendi terus menepuk punggung ku dan mengelus pucuk kepalaku.
“Maaa ... paaa ....”suara ku parau berdiri perlahan mendekati mobil jenzah itu. Menatap tak pecaya dengan plastic kuning disana. Rasanya baru tadi pagi mereka tersenyum lembut dan berbincang hangat di meja makan. Namun seketika semua menjadi kenangan yang sangat memilukan. Rendi berdiri melihat ku dari belakang.
“Anda keluarga dari mereka?” tanya salah seorang staf medis disana. Aku hanya diam dan trus berjalan mendekati plastik kuning disana. Rendi segera mewakili suaraku.
“Iya pak, dia adalah anak dari keluarga korban,” tutur rendi menjelaskan. Staf medis itu mengangguk dan membiarkan ku mendekati jenzah itu.
Perlahan aku membuka seleting plastic itu, memasatikan kebenaran dari kematian orang tua ku.
Tubuh ku seketika membeku. Hatiku terasa tertusuk. Air mata ku seperti hujan. Kesedihan sudah tak bisa dibendung. Aku penangis penuh isak. Menangis sejadi jadinya memeluk jenazah disana. Berkali - kali ku memanggil nama mereka berharap mereka tengah tertidur lantas bangun kembali menyapa ku.
“MAAAA! PAAAA! ! Kalian pasti tidur kan! Benar kan! Kalian gak akan tinggalkan aku sendiri kan,” teriak ku parau. Semua orang hanya menunduk diam mendengar suara pilu gadis disana. Rendi berjalan menghampiri ku dan berdiri dibelakang ku.
“DE ..., kamu juga lagi tidur kan?? Kaka kangen ih …, ayo bangun fa …! Main bareng lagi ma kaka! Bangun de! Bangun de!! Kaka mohon bangu …hiks hiks hiks,” teriak ku mengoyang tubuh gadis kecil yang masih lengkap dengan seragam sekolah. berharap ia bangun dan memelukku kembali. Namun tubuhnya sangat dingin, wajahnya sudah mulai membiru. Aku menaggis tersedu-sedu berusaha menyangkal kenyataan yang ada saat ini. Rendi memgang pundak ku perlahan. Mengisyaratkan ku untuk tenang.
Aku berdiri menatap pak polisi.
“Pak …! Siapa yang malakukan ini??? si siapa yang menembak mereka? si siapa yang berani berbuat keji seperti
ini! dasar biad … dap …,”tuturku ditengah tangis pilu. Tubuhku seketika terhuyung jatuh kebelakang. Tubuhku lemas dan kesadaranku seketika hilang. Rendi dengan cepat menopang tubuhku dan membopongnya menjauhi masa disana. Menidurkan gadis malang itu di sebuah pohon di depan rumahnya.
Wajah gadis itu masih basah oleh air mata. Rendi mengeluarkan tisu dan mengusap bersih air yang turun dari mata
itu. mengusap pucuk kepala lantas mencium lebut pelipis wanita didepannya.
“Menikah lah dengan ku, Ratna!!” tutur Rendi menatap sendu gadis malang didepannya.
“Maa … pah ... fi …,” lirih Ratna tanpa sadar mengigau. Rendi kembali menatap iba gadis pemalu itu. Rendi segera
mengeluarkan benda pipih disaku celananya. Memainkanya dan segera menelpon pelayan rumah untuk menjemputnya dengan mobil.
Tak berselang lama. Mobil hitam terparkir cepat didepan Rendi. Gadis manis yang ada dipangkuanya masih terus
mengigau menyebut satu persatu nama keluarganya. Rendi terus mengelus kepala gadis itu. menatapnya penuh simpati.
Pelahan Rendi merebahkan tubuh gadis itu diatas kasur. Melepasakan tas dan sepatunya. Segera ia menyelimuti tubuh gadis itu dengan selimut. Menepuk perlahan lalu pergi meninggalakn gadis itu.
“Ketika kamu sadar nanti, aku harap kamu mau menerima ku sebagai suami mu, Ratna!”
.
.
.
.
Hallo pembaca yang budiman, saya harap kalian tinggalkan like dan coment untuk mendukung ceria Ratna, Rega dan Rendi. (aku menemukanmu wahai imamku)
jangan lupa, tinggalkan jejak ya kaka-kakaku setelah membaca...
love love deh, muaaah
“Aku dimana?” lirih ku menatap langit kamar. Seseorang telihat tengah tertidur disamping ranjang ku. aku menoleh dan mentapnya lekat-lekat.
“Rendi?” tuturku tak sengaja membangunkanya. Rendi merengangkan badan lantas tersenyum kearah ku.
“Syukurlah kamu sudah bangun,” ucap Rendi mengelus pucuk kepala ku. aku hanya diam membiarkan Rendi mengacak rambutku.
“Aku dimana?” Tanya ku balik. Seutas kejadian terekam ulang membuat air mataku mengalir tanpa diminta. Rendi yang melihat perubahan eksperesiku langsung memelukku lembut.
“Tenang Ratna, ada aku,” sahut Rendi berusaha menenangkanku. Aku mengagguk pelan dalam dekapanya.
“Aku gak punya siapa siapa Rend,” ucapku lirih setengah menangis. Rendi spontan mengelengkan kepala, berusaha menyangkal pernyataan ku.
“Kata siapa kamu tidak punya siapa siapa ? “ Tanya Rendi lembut melepas pelukanya berganti dengan memengang dua bahu ku. Ia menatapku begitu lekat, seolah tak peduli dengan wajah sembab dan ingus ku. aku segera memalingkan pandanganku.
“Kamu lihat Rendi!! orang tua ku sudah tidak ada, adikku pun pergi bersama mereka lalu tingal aku sendiri,” ucapku setengah meninggi. Melampiaskan emosiku tanpa sadar. Rendi yang mengerti hanya diam membiarkan ku berteriak dihadapanya.
“Dasar bodoh!!! kamu masih punya aku!” ucap rendi tegas menatap bola mata biru milik gadis itu. Aku terkejut melihat tatapan Rendi yang begitu tajam. Aku mengedarkan pandangan ku kesekitar ruangan. Menghindari tatapan Rendi.
“Apa maksud mu? Jelas-jelas kamu bukan siapa siapa dalam hidupku? “ tukas ku menatap jendela kamar. Rendi memejamkan mata. bersiap bicara.
“Menikahlah dengan ku, ratna!” ucap Rendi dalam satu tarikan nafas. Spontan aku menoleh meanatapnya terkejut. Rendi masih menundukan kepala menunggu jawaban dari ku. aku menatapnya tanpa suara. Kepalanya mendongkak keatas membuat kami tak sengaja beradu pandang.
Tangan Rendi perlahan terangkat dan mengusap sisa air mataku. Membuatku terdiam kikuk dibuatnya.
“Bagaimana, Ratna? Apakah kamu terima lamaran ku?” Tanya Rendi balik. Aku berpikir sebentar mencoba mencerna semua ucapan Rendi barusan.
“Baiklah, aku mau menjadi istri mu.” Wajah Rendi seketika berbinar saat mendengar jawabanku. ia spontan memelukku erat.
“Terimakasih ... aku akan urus semuanya, tenang saja aku pasti akan membahagiakanmu, Ratna,” jelasnya yang masih memeluk ku. Aku membalas pelukannya. Tubuh Rendi seketika bergetar membuatku mengeryiitkan dahi.
“Ada apa, Rend?” Tanya ku khawatir. Rendi tersenyum dan kembali memelukku.
“Heheh, aku hanya syok … karna kamu mau membalas pelukan ku,” cengir Rendi. Aku terkekeh mendengar penjelasanya.
Brukkkkk
Pintu seketika terbuka membuat kami terkejut. Segera Rendi melepasakan pelukanya dan menatap kearah pintu begitu pun dengan ku. Orang - orang datang membawa senjata masuk kekamar kami. Jumlahnya sekitar 5 orang yang terlihat dihadapan ku.
Aku segera menatap Rendi begitu pun Rendi segera menatapku balik. Kami saling bertanya dalam tatapan.
“Kalian siapa?” Tanya Rendi berdiri. Memutuskan tatapan kami.
“Kami ingin gadis itu,” tutur nya menunjuk gadis diatas kasur. Rendi mendecak kesal menatap tajam orang -
orang bersenjata itu.
“Langkahi dulu mayat ku seblum menyentuh gadis itu,” ucap Rendi tegas menantang pemuda bayaran didepanya.
“Rendi! jangan gila deh?!” teriakku panic.
Ya allah apa lagi ini. Gumam ku dalam hati. Menatap panic situasi saat ini.
“Berani ya … baiklah kami akan turuti keinginan mu,” ketusnya menatap tajam manik mata Rendi.
Rendi berbalik menatap mereka tak kalah tajam. Atsmosfir ruangan seketika mencekam. Membuatku bingung harus melakukan apa.
Sejurus kemudian serangan muncul pertama dari Rendi. Mereka pun segera menyerang Rendi bersamaan. Membuatnya kalah jumlah.beberapa tinju terus menghantap perut Rendi. Membuat darah segar keluar dari mulutnya. aku hanya bisa teriak histeris melihat kondisi Rendi saat ini. ia terlihat sangat kepayahan.
“CUKUP!!!” teriak ku membuat gerakan mereka terhenti. Rendi melirik ku patah patah. Wajahnya lebam, membuatku makin tak tega melihat nya.
“Kami akan menghentikan ini, asalkan nona bersedia ikut dengan kami,” pinta salah satu pemuda yang mengkeroyok Rendi. Tanpa banyak pikir aku mengangguk menyetujui keinginan mereka. karna aku tak ingin membuat Rendi semakin terluka karna aku.
“Ratna … jangan !” ucap Rendi, tak lama pukulan terhantam dari belakang lehernya. membuatnya sekektika terhuyung jatuh mencium lantai. Aku membelalakan mata menatap laki laki yang memukul Rendi.
“Apa yang kamu lakukan? aku mohon jangan sakiti dia,” pinta ku.
“Aku hanya membuatnya pingsan, nona tenang saja. dia akan baik baik saa ko,” jelasnya santai dan penuh pembawaan.
Aku mengela nafas berat lantas berjalan pergi meningalkan Rendi disana. Mereka segera menuntunku menuju mobil hitam panjang di halaman rumah Rendi.
aku tidak pecaya mobil panjang seperti ini benar benar ada, aku kira hanya ada di sponsbob. Ternyata didunia nyata juga ada. Sangat mengejutkan. ucapku dalam hati. Kagum melihat keunikan mobil ini.
Orang itu segera membukakan pintu mobil dan menyuruh ku masuk. Aku menoleh sebentar kerumah Rendi.
Rendi … maafkan aku
Aku segera menurutinya dan masuk kedalam mobil. Menghembuskan nafas kasar. masih belum menyadari kehadiran seseorang didalam mobil.
“Oh …, gadis seperti ini, sangat tidak menarik,” ketus pemuda disamping pojok ku. tubuhku seketika membeku mendengar suara berat di ujung bangku ini. perlahan aku menoleh, rasa takut menyeruak hati tak karuan. Membuatku spontan menalan salaviaku.
“Si-siapa kamu?” Tanya ku terbata. Menatap terkejut pemuda tampan diponjok bangku ini. asap rokok mengepul disana. Membuatku semakin takut dan panic.
“Hmmm, paman mu telah menjualmu kepadaku,” jelasnya singkat. aku terkejut mendengar penjelasannya.
Ya Allah ... cobaan apa lagi ini ….
Batin kumulai berguncang. Cobaaan entah mengapa datang silih berganti tanpa jeda.rasanya begitu sesak.
Air mataku seketika merembas. Aku menangis sejadi jadinya meratapi takdir yang ada saat ini. pemuda itu sama sekali tak bergeming masih duduk diam disana, seolah tak peduli dengan raunganku saat ini.
Kenapah semua terjadi begitu saja dalam hidup ku … , ku kira semua ini akan selesai saat Rendi menikahiku… ,tapi… hiks hiks hiks," ucap batin ku tak terima kenyataan.
“Kenapah ...! KENAPAH …! KENAPAH harus aku! Hiks hiks,” teriak ku ditengah isak tangis. Berusaha meluapkan semuanya tanpa peduli apapun disekitarku. Suaraku mengema disetiap sudut mobil. Begitu parau dan pilu hingga mampu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Kecuali laki laki di pojok sana.
Pemuda itu menoleh acuh kearah gadis yang tengah kacau saat ini.
Dasar situa Bangka itu! bisa bisa nya dia menjual gadis cengeng seperti ini … , saut batin Rega. Tak lama seseorang berbisik dari kursi depan dekat pengemudi. Memberitahukan kondisi singkat tentang gadis yang meraung disana.
“ Rega, Nona Ratna baru kehilangan seluruh keluarganya makanya dia sangat terpukul saat ini …,” jelas Roni asisten pribadi Rega. Ia Mendecak kesal lantas menoleh malas kearah gadis diujung bangku sana.
“EH! Cengeng banget si jadi cewe …, cuman gara gara hal sepele, apa gunanya juga ada keluarga! Gak guna!” ucap Rega ketus. memalingkan wajah kearah kaca jendela. Aku tersentak terkejut mendengar pernyataan dari pemuda itu. seolah dia tidak memiliki keluarga saja.
Apa yang dia katakana?! Keluarga tidak berguna!! Tutur batin ku tak percaya dengan ungkapan bodoh laki-laki so keren disana. Seketika tatapan tajamku terarah pada mata coklat terang itu. Mata kami bertempur dengan tatapan elang membuat listris mengalir bertubrukan disana. Meski tidak terlihat oleh mata tapi dapat dirasakan melalui atsmosfir yang seketika mencekam.
“Dasar laki - laki tak berperasaan! Apa seperti itu kamu memandang keluarga mu? Malang sekali nasib mu, laki - laki bod…,” ucap ku terpotong karna kesadaran ku seketika hilang. Aku tersungkur kedepan kursi membuat kepala ku sedikit terbentur dikursi depan.
Apa! dia mengataiku bodoh? malang? Tak berperasaaan?!! Emang dia tau apa sih? Bukan dia yang sangat ini malang, bodoh, ! dasar cewe aneh!gumam Rega mendengar ocehan gadis dengan mata sembab. Mengerutkan alis tak terima dengan ucapan hinaan dari gadis itu. Baru saja ia hendak membalas ucapan gadis diujung bangku tiba tiba ia tersungkur begitu saja. Rega hanya diam mengerutkan dahi tanpa khawatir sedikit pun.
“Roni … ada apa dengan gadis itu?” tukas Rega tenang dan acuh menunjuk kearah perempuan di ujung bangkunya. Roni menoleh lantas kaget. Perempuan itu pingsan diantara bangku mobil.
“Rega, sepertinya Nona Ratna sedang pingsan” jelas Roni mengernyitkan dahi khawatir. Rega mengangguk datar. Ia sama sekali tak peduli dengan kondisi perempuan itu.
“Oh, yaudah, biarin aja dia seperti itu” ucap Rega tanpa dosa. Ia segera mengambil benda pipih disaku jas nya. tak lama ia menoleh kearah roni.
“Ron, tolong berikan handset,” tutur Rega tak memperdulikan kondisi wanita malang disana. Roni diam wajahnya terilihat gusar.
“Oke, Ga, Rega tapi sebaiknya kita bawa Nona Ratna kerumah sakit dulu sebentar ... , gimana?” ucap Roni memberikan handset. Rega memngambilnya dan langsung memasangkan dikedua telinganya.
“Terserah ...,”sahut Rega mulai memutar music di handponenya. Saut saut melodi bermain merdu di kedua telinganya. Menikmati setiap untaian syair dan melodi yang beriringan penuh penghayatan. Rega sudah tengelam dalam kegiatannya. Roni mengengguk paham segera memberitahu supir untuk menuju rumah sakit terlebih
dahulu. Sopir itu mengagguk segera melajukan karah yang diminta.
Tak lama sekitar 10 menit. Mobil Rega terparkir rapih di parkiran rumah sakit. Roni turun dan segera membopong Ratna masuk keruang UGD. Rega masih asik dengan handphonenya tak peduli dengan asistennya yang tengah sibuk mengurusi gadis yang ia beli.
“Merepotkan!!” ucap Rega melepaskan kedua hansetnya. Perlahan turun dari mobil menuju ruang UGD.
Ronimenoleh dan tersenyum mendapati majikanya datang menjenguk gadis belianya.
“Ada apa Rega? Apa kamu ingin melihat Nona Ratna?” Tanya roni sopan. Rega spontan mengeleng lalu pergi meninggalkan Roni tanpa sedikit pun menjawab pertanyaanya. Roni menarik nafas dalam lalu menghembuskannya kasar.
Dasar si Rega … bisa bisa nya dia jahat sama wanita cantik kaya gini. ucap batin Roni menatap kepergian Rega.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!