NovelToon NovelToon

My Power Of Math Fantasies

PROLOG

Chapter 1

Matematika, salah satu pelajaran yang banyak orang tak sukai. Pelajaran satu ini adalah pelajaran yang benar-benar mengasah logika, butuh pemahaman untuk mendapatkan jawaban antara ya atau tidak, salah atau benar. Belum lagi jika orang yang mengajarkan pelajaran ini tidak kreatif, dan terlalu banyak menekankan, bagaimana mungkin bisa paham.

Memangnya matematika bisa di hapal? Tidak, itu sangat mustahil untuk mendapatkan jawaban pasti ke depannya. Ya, bagaimana pun, kudu belajar memahami saja, ikuti alurnya dengan santai, semua akan terasa enjoi, hehehe. Yang penting sih, menurutku yang penting tidak terpengaruh dengan para haters matematika. Karena jika terpengaruh, yakin gak yakin, kita bisa ikut saja dengan kaum besar haters matematika ini. Jangan gampang menyerah aja deh.

Ya, gitulah, imajinasiku saat ini. Aku adalah salah satu orang yang tidak terlalu menyukai matematika. Namun dalam garis besar, aku merasa rasa tidak sukaku ini bukan karena tak ingin memahaminya, bukan juga karena guru matematikaku yang galak—suka memberikan kenangan suka duka. Hanya saja yang kurasakan lebih gelapnya lagi. Otakku benar-benar dah ngeblank.

Ya masa, lihat angka saja aku dah ngantuk berat. Belum masuk ke simbol-simbol lainnya, aku dah ngeluarin air terjun duluan dari mulutku, mana rambutku jadi acakadut gitu gara-gara kugaruk-garuk. Dan yang paling gak masuk akal, aku malah merasa mual.

Gejala-gejala seperti mabuk kendaraan. Entahlah, sepertinya aku punya kelainan tersendiri. Aku bahkan lupa sejak kapan aku merasakan hal ini, karena anehnya nilaiku tetap di atas rata-rata sampai aku berada di bangku smp. Sekarang pun aku juga sudah lulus smp. Sisa masuk pendaftaran SMA.

Di SMA ini aku ingin semuanya berjalan dengan damai. Membaca novel, manga, webtoon, menonton film, anime, drakor. Rasanya begitu damai membayangkannya.

“Shi, bangun shi!.”

Tubuhku rasanya sedang digoyang-goyangkan. Ah, terjadi lagi ya.

“Katanya mau belajar matematika biar bisa lulus pendaftaran SMA-nya.”

Aku berusaha keras untuk kembali bangkit, duduk. Badanku terasa penat sekali. Ibuku yang juga adalah guruku di SMP kini membantuku untuk belajar matematika. Ibu sebenarnya sudah tahu sekali bagaimana aku dengan matematika. Sampai-sampai ibu sendiri menghembuskan napasnya begitu berat.

“Shi, semua orang memiliki kemampuannya masing-masing, tidak usah terlalu dipaksa jika memang kamu sangat tidak menyukainya.” Wajah ibuku terlihat cemas.

“Aku bukannya membencinya bu, aku juga bukannya tidak menyukainya. Hanya saja, aku merasa benar-benar tidak mengerti. Aku tiba-tiba tidur plonk begitu saja.” Aku menghela napas yang begitu berat kemudian menghembuskannya.

“Nyerah aku, bu,” kataku setelah kembali melihat buku matematika bertuliskan ‘Matematika kelas 1 SD, Ayo Menghitung’ tak lupa pula dengan gambar angka dan simbolnya.

Aku benar-benar menahan rasa kantuk melihat buku tersebut, pening, napasku sulit untuk kuatur.

Ibuku tertawa kecil melihat anaknya ini yang kemudian kembali tengkurap di atas meja.

“Ya udah, karena Dayshi nyerah, ibu juga bkal nyerah. Tapi, kalau nanti ada orang ke sini, kamu harus dengarkan apa yang dia katakan ya Shi. Oke,” ucap ibuku yang menekankan kata ‘oke’ di bagian akhirnya—agar didengar baik-baik—sambil memegang pundakku.

Aku tertawa kecil menanggapi perkataan ibuku. Sungguh kalimat yang tak jarang aku dengar. Pasti nanti ada saja orang-orang unik yang menemuiku, orang yang menanyakan tentang keadaanku, orang yang berusaha keras mengajariku, dan orang yang terus berusaha memotivasiku. Seolah aku menjadi murid dan pasien.

“Oke bu, oke. Kalau itu nantinya matematika pasti aku bakal tidur,” sahut aku yang perlahan-lahan akhirnya mulai kehilangan kesadaran dengan mata yang sedari tadi memang sudah tertutup.

Benar-benar rasa kantuk yang berat.

Sedikit terlihat samar-samar ibu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum cemas memperhatikanku. Ibu akhirnya beranjak pergi dari kamarku dan akupun tak sadarkan diri, tertidur lelap.

....

Kepalaku masih terasa pusing, aku mengucek-ngucek mataku—masih buram untuk melihat dengan jelas. Dari siluetmya sepertinya orang yang berada di hadapanku adalah orang yang berusia paruh baya, aku merasa tak nyaman dengan kehadirannya.

Penglihatanku sudah jelas. Ah, dia orang teraneh yang pernah aku lihat. Dia serba hitam. Pakaian berjubah sampai menutupi kepala, badan besar dan bongsor—sepertinya tinggiku hanya sebatas dadanya saja, juga yang terlihat darinya hanyalah bola mata dan giginya saja yang tampak—dikarenakan jubahnya yang sangat menutupi seluruh bagian tubuhnya. Aku bukannya memandang fisik, hanya saja aura yang terpancar darinya sangatlah mencurigakan.

“A-anu.... "

Ada apa ini? Ke-kenapa ada orang aneh di kamarku. Ah bisa-bisanya aku terkaget dua kali.

Be-beliau... Beliau ini, apa-apaan dengan tatapan dan ekspresinya itu. Senyuman sinisnya menampilkan deretan gigi putih yang seakan siap menyantapku sebagai hidungan. Pak jangan pak, aku masih kecil.

Eh, apa yang dilakukan dengan bapak ini.

Aku menelan ludah ketika bapak tersebut mengambil gelas berisikan air yang tiba-tiba ada di meja hadapanku ini. Beliau menatapku sejenak lalu mulutnya mulai berkomat-kamit entah apa yang ia katakan.

Ya tuhanku, ampunilah dosa-dosa hamba dan kumohon berikanlah aku kekuatan untuk bersabar. Lindungi aku dari perbuatan orang-orang random. Aku bingung melihat tingkah beliau ini ya Tuhan.

“Eh, eh. Pak, bapak mau apa?”

Astaga, bu. Kenapa sekarang ibu malah mendatangkan dukun sih. Masih baguslah kalau guru privat, motivator, ataupun dokter psikolog. Lah ini, ini dukun mau apa coba. Mana ada aku diganggu makhluk halus.

Beliau kemudian menyodorkan aku segelas air putih yang telah ia baca-bacai.

Aku memberanikan diri menatap orang tersebut kemudian tersenyum paksa—berniat tersenyum untuk tanda terima kasih. Aku memperhatikan air di dalam gelas tersebut cukup lama—berancang-ancang, untuk apa yang terjadi ke depannya.

Beliau sama sekali tak berbicara sepatah kata pun. Wajah tak tampak—karena tudung jubah—mengamatiku dalam-dalam, tampaknya aku tak bisa menolak pemberian airnya itu.

Sekali lagi aku mengambil napas yang kuat, lalu mengembuskannya juga tak kalah kuatnya.

Kenapa sih harus orang seperti ini yang ibu panggil. Apa ibu sudah kehabisan akal untuk mencari orang yang bisa mengajariku belajar matematika. Lagian sebenarnya, aku pernah melakukan apa sih sampai-sampai ibu selalu mengkhawatirkanku akhir-akhir ini. Ah, sial, sepertinya aku harus meminum air itu. Lagi pula aku sudah berjanji kepada ibu tadi untuk mendengarkan orang yang akan menemuiku.

Setelah aku meminum air itu. orang aneh itu lantas segara bergegas keluar dari kamarku tanpa berkata apa-apa. Aku mengamatnya dengan penuh keheranan. Dasar orang gila. Kasarku kepadanya dalam hati.

Aku kembali memperhatikan buku matematika yang ada di hadapanku. Berharap bakala ada perubahan yang terjadi setelah meminum air dari orang aneh tadi.

Tak ada yang berubah. Setelah aku membuka lembar halaman dari buku matematika ini, aku lantas kembali pusing dan merasa mual.

Ada tekanan batin yang sangat terasa. Aku berteriak paksa namun pelan untuk melepaskan perasaan kesalku. Mengusap wajah dengan kedua tangan lalu membantingkan badan ke arah kasur tepat di samping meja tempatku belajar.

“Ya elahhhh, apa siiihh. Dah lah, mending tidur aja.”.

Tak ada lagi harapan dan aku sudah menyerah di atas segalanya. Jika memang aku tidak memiliki kemampuan di bidang ini, kenapa pula aku harus mengusahakannya untuk bisa. Masih banyak hal lain yang bisa aku pelajari, masih banyak hal lain yang bisa aku kembangkan, kenapa pula aku harus menekan diriku ini. Bodo ah.

....

Lagi dan lagi aku tak sadar telah tertidur. Kali ini dalam tidurku rasanya berbeda dari biasanya. Kalau yang biasanya aku mengikuti alur mimpiku, sekarang aku merasa benar-benar memiliki kesadaran dalam mimpiku ini. Perasaan ringan dan seakan terjatuh dalam tempat tinggi yang biasanya membangunkanku, kini malah terasa mengalir begitu saja. Aku merasa seolah terbang dan terjun menerobos awan-awan yang terasa seperti kapas.

Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Cukup sulit juga membukanya. Terpaan angin ini terasa begitu nyata, suara bising udara yang menerpa pendengaranku juga begitu nyata. Dadaku sesak, sulit untuk bernapas.

"Uuuuuuuaaaaaakkkkhhh.. TIIIIDAAAAAAAKKKK."

Gila, Aku sangat terkejut ketika penglihatanku telah kembali. Apa yang aku rasakan dan apa yang aku duga ternyata tepat sasaran, padahal aku gak mau dugaan ku itu tepat.

Aku sedang terjatuh dari atas langit menembus lapisan-lapisan awan. Terlebih lagi ketika aku melalui daratan-daratan yang juga melayang seperti awan.

Dunia macam apa yang aku mimpikan ini. Ini terasa begitu nyata.

"Nyataaaaa sekaliiiii...... Aaaaaaaakh"

20 menit kemudian ....

“Aaaaaaakhhhh, kapan aku berhenti jatuhnya?”

1. AWAL DARI KEKUATAN FANTASI MATEMATIKA

Akhirnya setelah sekian lama aku menunggu, aku telah menemukan titik gelapnya. Sebuah lingkaran hitam nan besar tepat berada di bawahku dan aku pun memasuki lingkaran tersebut. Pandanganku seluruhnya menjadi gelap. Bahkan kupikir diriku telah buta.

Akan tetapi, ketika aku kembali menutup mata lalu mencoba untuk melihat kembali. Seberkas cahaya yang begitu silau, memutihkan seluruh pandanganku. Aku tak tahan melihatnya, perih mata yang kurasakan, terpaksa kembali mengernyit lalu tertutup.

Ah, sudahlah. Aku sebenarnya sudah capek membuka tutup mataku ini. Andai hanya berkedip, itu lebih baik.

Lagi-lagi dengan pasrah aku kembali melihat. Kali ini aku merasa lega dan sedikit takjub.

Gelap gulita malam tak segelap hitam pekat tak bercahaya. Aku kini berada di hamparan rumput stepa yang luas dan membukit.

Bintang yang berhamburan di langit berwarni-warni, bulan yang begitu bulat dengan besarnya tiga kali lipat dari bulan purnama yang biasa aku lihat. Bulan tersebut seolah terus mendekati planet ini.

Aku dapat merasakannya. Angin dingin di malam hari. Napasku yang hangat saat kutiup ke telapak tangan.

Aku juga dapat mendengar desiran rumput yang terawai oleh angin. Aku beroikir bahwwa ini adalah mimpi, tapi yang kurasakan ini terasa begitu nyata.

Setelah mengamati semua pemandangan ini, aku kembali berpikir dan pikiranku mulai terfokus kepada orang aneh yang tadi memberiku air hasil komat-kamitnya. Apakah ini gara-gara beliau?

Saat aku berpikir lebih dalam, tiba-tiba datang seseorang yang mengejutkanku. Orang itu datang dari arah belakangku, karenanya pikiranku menjadi buyar.

"Bah, bertanyalah, aku akan menjawab semua pertanyaanmu."

Sejenak aku terdiam. Bingung akan apa yang barusan ia katakan. Mana dadaku berdegup begitu kencang. Aah, Apa-apaan ini.

Aku menghela napas, menenangkan diri lalu kemudian bertanya.

"Aku dimana?"

Pertanyaan yang sederhana, tetapi poin yang paling penting yang harus aku ketahui terlebih dahulu.

"Bah, kamu ada di dalam dunia mimpi, meski begitu dunia ini bukanlah sekedar dunia mimpi belaka. Tetapi, dunia ini adalah dunia yang bisa kamu rasakan seperti dunia nyatamu. Mungkin kamu akan lebih paham jika aku menyebut dunia ini adalah dunia lain."

Aku tertawa—merasa sedih—mendengar apa yang orang tersebut katakan.

"Ja-jadi aku sudah mati ya. Hahahahahaha.... "

"Bah, tidak-tidak-tidak-tidak. kamu tidak mati. Seperti yang kubilang sebelumnya. Kamu sedang berada di dalam mimpi yang tak biasa. Di dalam mimpi ini kau bisa merasakan segalanya seperti di dunia nyata. Ya, yang kamu alami ini mirip seperti lucid dream, mimpi yang bisa kamu kendalikan. Bedanya dengan lucid dream, tempat ini lebih realistis."

Aku tertegun menelan ludah, masih merasa tak percaya akan ucapannya. Lebih tepatnya aku tak ingin terima dengan kenyataan itu.

Orang itu kemudian mendekatiku. Sosoknya hampir serupa dengan beliau, bedanya orang ini mengenakan jubah yang cerah berwarnakan kuning. Wajahnya masih sulit untuk aku lihat keseluruhan akibat tudung kepalanya itu. Ia kemudian memegang pundakku. Memberitahu lebih jelas akan kenyataan indra perasaku.

"La-lalu, kenapa aku bisa sampai disini? Apakah ini gara-gara air yang kuminum dari bapak-bapak dukun aneh itu."

"Bah, Dukun, bah-bah-bah. Ya, itu benar. Kamu bisa sampai di sini karena meminum air tersebut. Meski begitu, bukan sembarang orang juga yang bisa meminum air pengantar kamu ke sini."

"Maksudnya?"

"Bah, Itu artinya kau adalah salah satu orang yang terpilih untuk bisa meraih apa yang kamu impikan di duniamu di dalam dunia ini."

"Meraih impian di dalam mimpi? Heh, bukankah itu sama saja dari bentuk dari pelarian dari kenyataan yang ada."

"Bah, Sepertinya kamu belum paham. Baiklah aku akan memberitahumu sekali lagi. Kamu sekarang tidak tidur, hanya fisikmu yang sedang tidur di tempat asalmu itu."

Kata-kata yang terucap darinya semakin tajam—tegas dan jelas. Aku terduduk lalu memandang langit yang penuh dengan ribuan cahaya kecil yang berkerlap-kerlip.

"Impian ya. Aku tak pernah berpikir akan masa depanku nantinya. Hidup sederhana dan menjalani kegiatan seperti biasa—membaca buku random, novel, dan komik—pun sudah cukup puas bagiku."

Aku tersenyum masam. Orang berjubah kuning itu tampaknya menatapku lamat-lamat.

"Bah, Impian itu tidak selamanya harus setinggi langit yang menunggu waktu dan umur untuk bisa meraihnya. Mendapatkan Impian itu bukan berarti kamu harus dewasa. Impian itu adalah harapan, apa yang kamu inginkan sekarang juga merupakan impian.

" Hidup sederhana yang membuatmu puaspun itu merupakan salah satu dari impianmu, itu artinya kamu harus bisa terus mempertahankan kehidupan sederhana tersebut untuk terus mendapatkan apa yang kamu impikan. Dan impian itu bukan berarti juga hanya bisa satu, kamu bisa memiliki banyak impian tetapi hanya satu impian yang paling ingin diraih itulah yang dinamakan cita-cita.

"Jika kamu ingin meraih cita-cita tersebut maka bermimpilah sebanyak mungkin akan bagaimana cara untuk menggapainya. Perjalananmu itulah yang membuat impianmu semakin menyenangkan dan suatu hari nanti kamu dapat menceritakannya dengan bangga."

Aku melirik orang tersebut. Tersenyum meresapi akan kata-kata yang ia berikan. Selama ini apa yang sudah aku lakukan. Apakah di umurku yang 15 tahun ini masih dalam masa pencarian jati diri. Melihat sebagaimana luasnya dunia ini, mencari apa yang menjadi kesenanganku. Minat dan bakat merupakan faktor terpenting dalam masa depanku.

"Apa yang sedang aku kejar?" tanyaku kepadanya.

"Bah, itu tergantung dari dirimu sendiri. Kamu tak boleh memutuskan sesuatu berdasarkan persepsi orang lain. Kamu adalah kamu, biarkan dirimu sendiri yang memutuskan apa yang terbaik untuk masa depanmu."

"Keinginanku saat ini .... Mungkin hanya ingin memahami apa itu matematika. Aku ingin mengetahui mengapa aku sangat takut dengan angka dan simbol dari matematika. Mana mungkin aku takut tanpa alasan. Aku ingin mengingat, ingatan macam apa yang sudah hilang dan membuatku ketakutan akan matematika. "

Orang itu tersenyum kepadaku, ia lebih tampak seperti menyembunyikan sesuatu.

"Sebenarnya, kamu itu siapa?"

"Aku? Bah, Aku adalah pengujimu. Aku yang akan menentukan bagaimana bentuk kekuatan dari harapan yang kamu inginkan. Aku akan membimbingmu sampai kau merasa pantas dan terbiasa dengan dunia ini. Ya, sekarang ini kamu bebas untuk bertanya apa saja kepadaku sampai kamu merasa puas."

"Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang."

"Bah, yang harus kamu lakukan sekarang hanyalah bertanya apa yang kamu ingin ketahui. Aku akan menjawab sebatas pengetahuanku."

Orang ini adalah pengujiku. Dia mengujiku untuk menentukan kekuatanku? Dia Memberikan ku kekuatan untuk mengejar Impian ku.

"Apa yang terjadi jika aku memiliki impian yang hanya bisa didapatkan di dunia asliku? Seperti membahagiakan orang tua."

"Bah-bah-bah, pertanyaan yang bagus. Perlu kamu ketahui, kami telah memilih orang-orang tertentu untuk dapat masuk ke dalam dunia ini. Kami hanya memberikan bekal akan bagaimana yang akan kamu jalani jika kamu telah keluar dari dunia ini."

"Huhh, jadi apakah aku ini merupakan makhluk yang tak peduli dengan orang sekitar."

"Bah, Jangan khawatir akan dunia nyatamu. Jika kamu telah menuntaskan segalanya, kamu akan dapat kembali ke dunia nyatamu. Kamu akan bangun sepeti biasa, dan tak ada waktu yang sudah hilang. Sama halnya seperti kamu bangun tidur seperti biasa.

"Bah-bah-bah, tapi perlu kamu ingat tak ada permainan yang tak memiliki konsekuensi. Tanpa konsekuensi, permainan takkan memiliki keseruan, tak ada tantangan, takkan mungkin memiliki hasrat mencapai kemenangan.

" Ingat, jika kamu tak bisa mencapai kemenangan di sini. Kamu takkan pernah bisa kembali ke duniamu. Semakin banyak kegagalan yang kamu dapatkan maka kamu akan semakin menjadi penduduk asli dunia ini."

Angin malam yang berhembus terasa begitu dingin menembus seragamku yang belum sempat aku ganti. Pikiranku masih berusaha untuk menerima kenyataan tersebut.

Baiklah, tak masalah, ini cukup menyenangkan kok.

Aku berusaha menenangkan diri.

"Jadi, setelah sesi pertanyaan ini selesai, apa yang selanjutnya harus aku lakukan?"

1.1 : Penguji

Penguji itu menjulurkan tangannya ke arahku. Seketika sebuah cahaya yang tampak seperti monitor komputer muncul di hadapanku. Lebih tepatnya aku seperti melihat sebuah VR (Virtual Reaility), namun ini lebih tampak realistis.

Ukh, rasa mual seketika menjulur di seluruh tubuhku. Aku merasa gentar, mataku seolah menghindar apa yang membentuk dalam monitor tersebut.

"Bah, tampaknya kamu memiliki trauma besar dengan ini."

"Yah, tapi aku merasa ini tak separah di dunia nyata ku. Meski aku merasa sesak, tapi rasa kantuk yang biasa kudapat kan, kini tak ada. Aku tak tahu mengapa hal ini terjadi, alam bawah sadarku pun sadar akan keganjilan ini."

"Bah, jadi apakah kau ingin lanjut."

"Bukannya tak ada pilihan lain lagi kan."

"Bah, bagus-bagus,kalau begitu kita mulai dari tahap termudah dulu. Silahkan sebutkan dan tulis ulang apa yang ada di hadapanmu itu. Bukankah kau sudah sering mempelajarinya."

Aku menarik napas. Sejak aku memasuki kelas 3 SMP, aku merasa ingatanku telah hilang sebagian. Sejak saat itu juga aku sudah tak pernah melihat lama angka maupun simbol. Aku hanya sering mendengar saja akan angka-angka itu, itupun jika tubuhku bertahan untuk tidur, itu bukan hal normal lagi yang kurasakan waktu itu.

Tatapan orang-orang selalu memandangku dengan kasihan. Entah mengapa aku juga sudah sering bertanya alasan mereka menatapku begitu, tetapi setiap jawaban yang aku dengar selalu tak bisa aku ingat kembali, dan ketika aku menanyakan lagi tentang alasan mereka, mereka tak mau menjawabnya lagi. Mereka berkata, "lebih baik kau tak mengetahuinya."

Di dunia ini, meski tak ada orang yang akan memberitahukanku. Aku cukup mengingat kembali ingatanku yang hilang.

Aku menatap tajam monitor yang ada di hadapanku. Lagi-lagi aku merasa gentar, tetapi aku memaksa pandanganku untuk terus memperhatikannya. Yang di hadapanku hanyalah sebuah angka dari nol sampai sembilan. Meski angka, namun pikiranku yang mengamat objek tersebut seolah melihat jauh.

Itu hanyalah angka, tapi yang kulihat seolah ada gambaran-gambaran tak menyenangkan. Perasaanku seolah meluap-luap, air mataku mengucur begitu saja. Aku terengah-engah, tak bisa bernapas dengan baik.

"Aku tak ingin mengingatnya, aku tak ingin mengingatnya, aku tak ingin mengingatnya..."

Aku tak sadar kata-kata tersebut terucap dalam mulutku. Rintihanku bergemetar. Aku menutup kembali mataku, mengalihkan pandangan dari objek tersebut. Pikiranku kemana-mana.

Aku berusaha kembali fokus akan tujuanku. Ketika pikiranku sudah tenang, aku kembali melihat objek angka tersebut. Aku fokus dengan tatapanku yang tajam, tak sekalipun aku berkedip menatap angka-angka tersebut.

Aku masih tak tahu akan ingatan sama-samar yang menyakitkan itu. Yang perlu kuperhatikan hanyalah fokus dengan apa yang ada di hadapanku sekarang.

"Bah, apakah kamu sudah mengetahui angka-angka yang ada di hadapanmu,."

Aku mengangguk. Jelaa sekali, angka-angka tersebut sudah lama sekali aku tahu.

"Bah, kalau begitu, sekarang tulislah angka tersebut menggunakan jarimu."

"Jariku?"

"Bah, iya."

Sebuah monitor cahaya muncul lagi melintang datar di hadapanku. Monitor tersebut memiliki tampilan yang khusus untuk menulis di dalam bidang tersebut.

Aku pun kemudian menulis di atas bidang tersebut menggunakan jariku. Dadaku berdegup kencang dan tak kalah hebatnya dengan keringatku yang mengucur padahal angin malam ini sangatlah begitu sejuk.

0, 'nol;, aku Menulisnya dengan begitu lancar.

1, 'satu' , tulisan awal yang membayangkanku terhadap kulit yang ditekan.

2, 'dua'' aku terbayang akan warna merah. Caraku menulis semakin pelan.

3, 'tiga' , aku menggigit bibirku.

4, 'empat', aku menarik napas.

5, 'lima', aku menutup mata terbayang dengan wajah seseorang yang dekat denganku.

6, 'enam', aku seperti mendengar suara teriakan.

7, 'tujuh', aku bergemetar dengan hebat. Terdiam begitu lama.

"Bah, apakah kamu masih bisa melanjutkannya."

Aku menoleh kepada penguji tersebut. Wajahku pastinya sudah begitu pucat. Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan air mata yang masih terus mengucur di wajahku.

"Bah, apa kamu masih ingat dengan konsekuensi jika kamu gagal."

Mataku melotot panik. Aku kembali menatap angka-angka yang ada di hadapanku. Beberapa kali aku melihat monitor tempatku menulis. Berlinang air mata menembus monitor tersebut.

"Bah, jika kamu tak ingin terus-terusan merasa sakit, lebih baik kau segera menghadapinya."

Aku memiliki penyesalan dan rasa tak berdaya. Aku memiliki seorang teman dan dia takkan pernah bisa aku temui lagi karena aku yang meninggalkannya.

8, 'delapan', aku mulai bisa menenangkan diri.

9, 'sembilan', tiba-tiba aku berteriak kencang. Aku mengingat wajah yang paling aku benci sekaligus aku memiliki ketakutan besar terhadap wajah tersebut.

Aku terjatuh, terduduk dan menggeliat mundur berusaha menjauhi monitor yang menampilkan objek angka di hadapanku meski usaha itu sia-sia karena monitor tersebut tetap menyesuaikan tampilan pandangan di penglihatanku.

"Bah, tampaknya hari ini kita cukup sampai di sini saja."

Penguji tersebut menatapku lamat-lamat. Dia menghela napasnya.

"Sampai jumpa, kita bertemu lagi besok."

Penguji tersebut meninggalkanku, yang mana aku masih dalam kondisi tidak sadarkan diri, aku hanya terus menggeliat ketakutan dan berteriak histeris.

Ingatan samar-samar terus membayangi. Aku tak bisa menghilangkan ingatan ini, ya aku sudah bertekad untuk menghadapi rasa sakit tersebut. Aku merintih dal kondisi akhir dimana sebelum aku tertidur aku berkata dengan rasa yang teramat sakit dalam hati "Aku tak bisa mengingatnya."

****

"Simbol. Sekarang apa yang kamu ketahui dengan simbol-simbol tersebut."

mataku kosong, memperhatikan apa yang ada di hadapanku. Aku pun menjelaskan dengan asal dan sebatas pengetahuan yang telah aku ingat kembali.

"➕, 'tambah', apa yang diberikan akan semakin banyak. Seperti kamu punya satu apel, lalu aku beri kamu satu apel lagi maka kamu punya dua apel. 1 + 1 \= 2.

"➖, 'kurang', apa yang diberikan akan semakin sedikit. Contohnya dua apel yang kamu punya tadi kamu kembalikan satu apel ke aku, maka sisa apel yang kamu punya sisa satu. 2 - 1 \= 1.

"✖️, 'kali', seperti halnya kita melipatgandakan sesuatu. Mungkin seperti menghitung keseluruhan baris dengan kolom .... Huh. Aku kurang pandai menjelaskannya bagaimana, yang jelas contohnya 2 x 3 itu sama aja kayak 2 + 2 + 2 atau 3 + 3, yang mana hasilnya sama-sama 6."

"➗, 'bagi', hmmmm, 6 / 2 \= 3, artinya berapa jumlah angka yang diberikan agar sama rata. Seperti ada enam apel di depan kita, biar aku sama kamu ini adil mau ambil apel tersebut maka aku sama kamu sama-sama punya tiga apel. "

Sulit untuk dijelaskan agar orang lain dapat memahaminya dengan mudah.

" Bah, ya yang penting kamu sudah paham. Sampai di sini aku juga yakin kamu bisa menghadapi masalahmu sendiri ke depannya. Baiklah, aku anggap kamu sudah lulus di pengujian ini. Aku takkan berkomentar banyak lagi.

"Sekarang perhatikan monitor yang ada di hadapanmu. Monitor atau layar yang mengambang di hadapanmu itu bisa kamu hilangkan dan bisa kamu lihat kembali dengan menyebutkan kata-kata kunci tertentu. Seperti kata 'status' coba kamu sebut."

"Status."

"Tampilan monitor yang ada di hadapanku terganti."

"Status, akan menampilkan stat-stat yang kamu miliki."

"Stat?"

"Stat, statistik keseluruhan dari keadaanmu, baik fisik maupun mental. Statistik yang terbaca diantaranya ialah Strength, kekuatan atau tenaga fisik kamu.

"Agility, kelincahan atau kecepatan bergerak. Intelligence, kecerdasan atau seberapa cepat kamu memahami sesuatu. Vitality, ketahanan. Dan, Dexterity, ketangkasan atau refleks kamu dengan keadaan sekitar."

Yah, layaknya seorang pemandu. Penguji ini memberitahukan segala fitur yang nanti aku miliki. Mirip sekali dengan game dengan tema petualangan maupun pertarungan. Hahaha, benar-banar seperti survival yang nanti akan aku jalani.

" Satu lagi yang perlu kamu perhatikan. Kekuatanmu itu berlandaskan dari apa yang kamu inginkan. Ia akan menyokong perkembanganmu. Karena keinginan kamu di dalam dunia ini lebih banyak berharap untuk mendapatkan ingatanmu, maka kekuatan yang kamu peroleh adalah matematika, faktor utama yang ada dalam masalahmu."

"Close!"

Tak ada lagi layar monitor yang menghalangi pandanganku.

"Bah, kalau begitu selamat berjuang. Semoga kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan."

Aku terus saja diam menyimak kata demi kata dari penguji tersebut. Hingga pada akhirnya penguji tersebut melambaikan tangannya padaku. Penglihatanku menjadi pudar. Aku tak pusing, namun semuanya menjadi gelap. Aku menutup mata dan seketika pandanganku sudah berada di tempat yang lain.

Tempat yang begitu gelap, derisan daun yang begitu berisik, suara-suara hewan kecil ikut bergabung. Yah suara yang tidak asing, mungkin itu jangkrik, belalang, dan kodok.

"Huh, kenapa ya, aku berpindah selalu di malam hari."

...Dukung terus yah dengan...

...Like, Vote, dan rate bintang limanya...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!