Namaku Aliqa Mardika, sejak kecil aku selalu berusaha untuk menjadi yang tebaik dalam berbagai hal terutama bidang akademik tujuannya adalah untuk membuat kedua orang tua ku bangga.
Aku adalah anak semata wayang dari pasangan suami istri, Ayah Galuh Mardika dan Bunda Arini maka dari itu sebagai anak satu-satunya aku selalu berusaha untuk membahagiakan mereka.
Ku dapati Ayah dan Bunda berada di ruang makan dan sibuk dengan makanan nya masing-masing. Suasana saat ini terasa dingin tak ada obrolan diantara mereka.
Kali ini tak seperti biasanya Bunda menatap ku sendu, seakan ada sesuatu hal yang kini telah mengganggu pikirannya.
Sarapan pagi berlangsung dengan keheningan, hanya terdengar denting sendok dan garpu yang beradu di atas piring. Hingga terdengar suara ayah memecah keheningan.
"Al ..."
"Iya Yah .." dengan makanan masih berada di dalam mulut, aku menoleh ke sumber suara. Ayah menatapku lekat.
"Yah, aku sudah menemukan Universitas yang bagus dan sepertinya aku akan mengambil Jurusan Arsitektur, boleh kan?" tutur ku dengan antusias.
"Boleh jika suami mu mengijinkan."
"Suami?" tanya ku heran, tak ada hujan, tak ada angin tiba-tiba Ayah membicarakan prihal suami.
"Ya, Ayah akan menjodohkan mu dengan Davin putra dari Pak Dimas sahabat Ayah, rencananya satu minggu setelah kamu wisuda."
"Uhuk..uhukk.." aku yang sedang mengunyah makanannya tiba-tiba tersedak. langsung ku raih air di dalam gelas dan meminumnya. "Uhuk..uhukk.." batuk ku masih belum juga berhenti.
"Minum pelan-pelan nak." Bunda menyodorkan segelas air dan menepuk-nepuk tengkuk ku perlahan.
Seketika selera makan pun hilang, apakah ini arti dari tatapan sendu milik Bunda. Rasanya seperti mendapatkan sebuah tamparan sangat keras, yang begitu saja dapat menghancurkan impian dan harapan ku.
Entah perasaan apa yang kini kurasakan, rasanya otak ku pun tak mampu untuk berpikir. Tanpa sadar aku terus mengaduk-aduk makanan yang berada di atas piring hingga berserakan di atas meja makan.
"Ada waktu selama dua minggu untuk saling mengenal sebelum pernikahan itu berlangsung. Bukankah sudah lebih dari cukup untuk saling mengenal!"
"Kenapa Ayah lebih cenderung memberikan pernyataan bukan pertanyaan aku setuju atau tidak, apakah jawabanku tidak di perlukan disini?" nada bicaraku meninggi, bibirku bergetar, tidak pernah sebelumnya aku menentang keinginan kedua orang tua ku.
"Sudah sejak lama Ayah merencanakan perjodohan kalian. Maafkan Ayah, yang membuat Ayah berat untuk menolak karena satu tahun yang lalu, Ayah sudah berjanji kepada mendiang Istri Pak Dimas, beliau menginginkanmu untuk menjadi menantunya, menjadikan mu istri untuk anaknya."
"Kalian egois," teriak ku, berlalu meninggalkan kedua orang ku menuju kamar.
"BRAKKK"
Ku tutup pintu dengan sangat kencang, untuk mengungkapkan rasa kecewa kepada kedua orang tua ku. Ku baringkan tubuhku di ranjang, ku tenggelamkan wajah ku di kasur, kenapa harus tiba-tiba seperti ini. bagaimana dengan cita-citaku untuk menjadi arsitektur dan kuliah di universitas pilihanku, tumpah tangis ku di dalam kamar.
***
tok tok tok
"Nak boleh Bunda masuk," tanya Bunda, membawakan nampan berisi makanan untuk makan malam, karena sejak pertengkaran tadi pagi aku belum juga keluar kamar.
"Ceklek" suara pintu terbuka tanpa menunggu jawaban dari si empunya kamar, Bunda memasuki kamar ku.
"Bangun nak, makan dulu sudah malam," tutur Bunda sambil menggoyangkan tubuh ku.
Ku balik tubuhku, ku tatap Bunda dengan mata yang sembab, ku peluk Bunda untuk melanjutkan tangis ku, Bunda membalas pelukan ku erat.
"Maafkan Ayah dan Bunda nak, telah menjodohkan mu tanpa persetujuan dari mu, tidak seharus nya kami mengatur masa depan mu, harusnya kamu yang menentukan masa depan mu sendiri."
Ku tatap mata wanita paruh baya itu ada kesedihan di dalamnya, entah sedih karena telah menjodohkan ku atau kah sedih karena aku tak mau di jodohkan. Yang pasti aku benci ketika melihat bunda sedih apalagi ketika kesedihannya di perbuat oleh aku sebagai anaknya.
"Maafkan sikap Aliqa tadi pagi Bun, Aliqa hanya merasa kecewa atas keputusan Ayah dan Bunda yang memberi tahuku secara tiba-tiba. Aku siap menerima perjodohan ini. aku tau Ayah dan Bunda pasti menjodohkan ku dengan pria baik dan berasal dari keluarga baik-baik. aku tau pilihan kalian yang terbaik untuk ku." Aku makin mengeratkan pelukannya.
"Terimakasih nak, terimakasih untuk mau menerima perjodohan ini." Bunda membalas pelukan ku tak kalah erat. "Di makan ya nak, habisin makanan nya, Bunda turun dulu untuk menemani Ayah mu, dia merasa sangat bersalah kepada mu!" Bunda keluar dari dalam kamar.
Entah benar atau tidak keputusan yang telah ku ambil, yang pasti aku hanya ingin memberikan kebahagiaan untuk mereka. Sebuah pernikahan tanpa cinta? Apapun yang akan terjadi aku harus mampu bertahan.
***
POV : Davin Aryasatya
Diusiaku yang sudah menginjak 32tahun aku belum juga menikah, bukan karena wajah ku yang kurang tampan ataupun hidup ku yang kurang mapan. Karier ku cukup baik, aku seorang Dokter Spesialis di salah satu Rumah Sakit Swasta di Kota Bandung.
Banyak wanita yang menginginkan ku namum aku mencintai seorang wanita bernama Mila, sejak SMA hingga saat ini aku masih mencintainya, namun Mama tak pernah memberikan restu atas hubungan yang ku jalani dengan Mila.
Ketika aku mengungkapkan keinginan untuk bersanding bersama dengan Mila, selalu saja Mama menolaknya, setiap penolakan yang orang tua ku lakukan semakin membuatku bertekad untuk membuktikan bahwa Mila adalah pilihan tepat.
Setelah Mama berpulangpun aku masih belum bisa bersamanya. Ketika harapan ku semakin besar, lagi kenyataan mematahkan nya!
"Gak bisa begitu dong Pah, bagaimana dengan hubungan ku dengan Mila, yang sudah beberapa tahun ini di jalani. Aku hanya ingin bersama Mila Pah." Sesak rasanya menahan gemuruh di dalam dada mendengar berita perjodohan yang akan di langsungkan tidak lama lagi, kenapa selalu tiba-tiba.
"Cobalah dulu untuk saling mengenal, Aliqa anak yang baik dan berasal dari keluarga baik-baik, Papa dan mendiang Mama mu sangat tahu keluarga mereka"
"Apakah Papa tidak salah, menjodohkan ku dengan anak usia 18th yang baru saja lulus SMA, usia kita terpaut jauh Pah. Bagaimana dia akan mengurus keluarga di usia nya yang masih sangat muda"
"Apakah kamu meragukan pilihan Mama mu?"
Flashback On
Terbaring sosok wanita di ranjang rumah sakit yang menderita leukimia. Ibu Ika merupakan Ibu dari Davin Aryasatya.
"Davin kemarilah nak, ada yang ingin Mama katakan."
"Iya Ma, Davin disini." aku menghampirinya lalu menggenggam erat tangan Mama.
"Nak, menikah lah usia mu sudah 31th, Mama ingin melihatmu menikahi Aliqa. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik, cerdas dan patuh terhadap orang tua, Mama ingin melihat kamu menikahinya. Mama yakin dia akan menjadi istri dan ibu yang baik untuk mu dan anak-anakmu nanti. Kamu masih mengingatnya?"
"Davin ingat Ma, Aliqa kecil dia adalah anak yang imut dan hobby menangis. Anaknya Om Galuh dan Tante Arini kan."
"Berjanjilah nak, kamu akan menikah dengan nya. Mama menginginkan aliqa menjadi menantu Mama."
"Aku tidak bisa berjanji Ma, aku mencintai Mila sejak dari masa putih abu-abu, Mila satu-satunya wanita yang selalu membuat diri ini nyaman. bagaimana mungkin aku menghancurkan hati yang selama ini ku jaga," batin davin.
"Nak, kamu mendengar Mama?"
Davin terlonjak dari lamunanya, "Iya Ma iya," ucap davin.
"Sekarang Mama istirahat ya, biar cepet sembuh dan kita kumpul lagi di rumah. Mama jangan terlalu membebani diri dengan berpikiran yang macam - macam ya, Davin sayang Mama," tutur Davin dengan mencium kening Mama.
Flashback Off
"Jika memang dengan menikahi Aliqa akan membuat Mama tersenyum di surga, aku akan mencobanya Pah. Aku akan menerima perjodohan ini," tutur Davin.
"Terimakasih nak, cobalah membuka sedikit hatimu untuk lebih mengenal Aliqa, bagaimana kamu akan mencintainya jika tidak ada sedikitpun celah untuk dia memasukinya. Terkadang cinta datang karena terbiasa. besok jemput Aliqa di sekolah mulailah untuk saling mengenal," tutur Papa dengan penuh harapan, agar anak laki-lakinya bisa sedikit membuka hati untuk Aliqa.
CRIIINNGG" Satu notifikasi masuk ke dalam ponsel ku, sehingga tak ku hiraukan kata-kata yang di ucapkan papa.
[Sayang.. Dimana? Kamu gak masuk kerja hari ini?]
Senyuman manis terukir ketika mendapat pesan singkat dari sang pujaan hati, segera ku balas pesan singkat tersebut.
[Aku di rumah sayang, sebentar lagi aku jemput, tunggu ya.]
[Ya] jawab pesan singkat dari Mila.
"Yah... aku pergi dulu ya, ada kerjaan dulu sebentar. Assalamualaikum," ucap Davin sambil berlalu mengambil kunci mobil di atas meja.
"Waalaikumsalam, hati - hati nak. kamu dengar kan apa kata Papa barusan?" tutur Papa dengan nada bicara sedikit meninggi agar terdengar oleh ku.
"Iya Pah aku dengar." Davin berlalu keluar rumah menuju garasi, untuk mengambil mobilnya dan berlalu membelah jalanan Kota Bandung di sore hari.
Jam istirahat, segera ku langkahkan kaki menuju keluar ruangan untuk menemui pujaan hati, wanita yang selalu membuatku mengukir senyum kala melihatnya.
Memang benar istilah jodoh tak kemana, aku mendapatinya sedang berjalan di lorong depan ruangan ku. tanpa ragu aku menghampirinya.
"Hai sayang, ke kantin bareng yu," tanyaku, dia menjawab ku dengan sebuah anggukan.
Ku sejajarkan langkah kakiku dengan Mila untuk menuju kantin. Kita berjalan bersisian dr. Davin Aryasatya dan Suster Mila, banyak sepasang mata yang melihat ke arah kami. Aku yang memiliki tubuh tinggi, dada yang bidang dan sorot mata yang tajam. Mila dengan kulit putih bersih, kaki yang jenjang dan tubuh yang ramping.
Banyak yang mengira bahwa kita pasangan sempurna, tapi ternyata kisah cintaku dengan Mila tak sesempurna itu. Harus ku mulai darimana untuk memberi tahu Mila mengenai perjodohan ku dengan putri sahabat Papa. meski aku sedang bersamanya, namun ucapan Papa kemarin terus saja bermain di kepalaku menguras pikiranku.
"Sayang, duduk dulu. biar aku yang pesan makanannya," ucap Mila membuyarkan lamunanku.
"Ya sayang."
"Duduk yaa jangan kemana-mana, matanya di jaga jangan belanja." Mila terkekeh sambil berlalu meninggalkan ku.
Mila selalu saja bisa membuat ku tersenyum, ku pandangi punggung sempit Mila yang berlalu menjauh, tak terasa hubungan ku dengannya telah berjalan selama belasan tahun, aku yang masih belum memastikan pernikahan kita meski dia selalu meminta untuk menikahinya. Mendiang Mama yang selalu tak memberi restunya, membuat ku belum bisa menikahi Mila. Terlebih sekarang aku di jodohkan, tak tega rasanya memberitahu Mila prihal perjodohan ku dengan putri sahabat Papa, hatinya pasti akan nyeri begitupun aku pasti ikut merasakan nyeri yang sama. Selalu saja aku menyakiti hatinya.
Terdengar suara tarikan kursi dan seseorang telah duduk tepat di sebelahku.
"Sayang, makan dulu.. nanti keburu dingin makanannya," disodorkannya jus mangga, sepiring nasi dengan lauk capcay baso dan semur daging. Ya... dia memang selalu tau makanan yang aku sukai.
"Terimakasih sayang," ku mulai sendok makanan masuk kedalam mulut. Hingga makanan pun habis tak tersisa.
Ku kumpulkan keberanian untuk mengungkapkan mengenai perjodohan ku kepada Mila. Sepertinya aku belum bisa mengungkapkan nya, aku tak tega melihat wanita yang aku sayangi terus-menerus mengalami luka hati yang penyebabnya adalah aku. Jika tidak segera aku ungkapkan mungkin dia akan jauh lebih terluka karena terus-menerus di bohongi oleh ku. Setelah makan selesai aku memulai pembicaraan.
"Mila.."
"Ya.." Mila menoleh ke arah ku dengan senyum terukir di wajahnya.
"Papa berencana menjodohkan ku," ku tatap matanya dalam, terlihat kekecewaan didalam sana.
"Terus kamu mau?"
"Sebetulnya tidak, tapi aku tak bisa menolak akan amanat terakhir mendiang Mama."
"Sepertinya aku yang harus menyerah vin, semesta tak pernah berpihak pada hubungan kita. Aku sudah tak sanggup terus menunggu ketidak pastian atas hubungan kita."
"Jangan bicara seperti itu, aku mencintaimu sungguh. jangan pernah berfikir untuk meninggalkan aku. Setelah aku menikahi wanita itu, aku akan menikahi mu, aku berjanji," ku genggam tangannya erat untuk menyakinkan akan ketulusan ini.
"Sungguh? Setelah menikah, kamu akan benar-benar bisa menjaga hatimu untuk tak mencintai wanita itu. Tapi sampai kapan vin? sampai kapan aku harus menunggu," jawab Mila lirih
"Aku berjanji tidak akan mencintai wanita lain selain kamu Mil, percayalah cepat atau lambat aku akan menceraikan wanita itu." dengan mudah aku membuat janji kepada wanita yang sangat aku cintai, ku tatap matanya ada banyak rasa kecewa di dalam sana. Ku tarik Mila kedalam dekapanku, ku peluk dia erat untuk menyalurkan rasa sayangku. Tak peduli beberapa pasang mata sedang menyaksikan aktifitas kami.
"Lega rasanya telah mengungkapkan segala kekhawatiran ku mengenai perjodohan ini kepada Mila. Jika begini aku akan mempermainkan sebuah pernikahan yang sakral. tapi aku mencintai Mila, bukan salahku jika suatu saat nanti aku akan meninggalkan jodoh pilihan papa," batin Davin membenarkan tindakannya.
***
Sepasang insan sedang berdiam di taman, tangan mereka saling bertautan satu sama lain. Melihat anak-anak yang berlarian kesana kemari, melihat keluarga yang sedang bermain dengan anak-anaknya, bahkan ada sepasang kakek dan nenek sedang berjalan-jalan di taman dengan berpegangan tangan. Membuat siapa saja yang melihatnya iri, betapa bahagianya di usia senja nya masih bisa bersama dengan orang yang di cintai. Harapan semua orang bukan, hidup bahagia dan menua bersama orang yang kita cinta.
"Vin.. aku ingin seperti kakek dan nenek itu, hidup menua bersama, tinggal di rumah mewah, memiliki uang yang banyak dan tinggal bersama anak-anak kita nanti. Aku tidak ingin hidup ku dan anak-anak ku kelak akan berkekurangan." tunjuk Mila ke arah kakek dan nenek yang sedang berjalan-jalan.
"Pasti sayang aku akan mengabulkan keinginan mu, selama aku berpacaran dengan mu, apakah pernah aku menolak keinginan mu? Tak pernah bukan, karena aku mencintaimu. aku ingin hidup bersama mu, memiliki anak yang terlahir dari rahim mu," tutur Davin semakin erat menggenggam tangan Mila.
"Aku harap kamu bisa menepati janji mu. Untuk menjadikan ku satu-satunya wanita mu."
"Bersabarlah sedikit lagi, kita akan selalu bersama," ku lepaskan genggaman, lalu memeluk Mila dengan erat.
Tak terasa sudah berapa lama aku dan Mila duduk di taman ini, matahari pun mulai tenggelam.
"Kita pulang sayang, biar aku antar," Davin beranjak dari duduknya dan menggandeng tangan Mila berlalu meninggalkan taman.
***
Hari sudah mulai gelap, aku menginjakan kakiku masuk kedalam rumah dengan hati gembira sehingga membuat ku selalu mengukir senyum.
"Duh yang sudah bertemu Aliqa sampai senyum-senyum begitu, anaknya cantik dan baik kan seperti yang Papa bilang"
Aku menoleh ke arah sumber suara, ku dapati Papa sedang duduk di sofa menonton siaran televisi. "Kenapa aku bisa tidak sadar bahwa Papa sedang berada disana, dan memperhatikan ku," batinku.
"Kok diem aja. coba ceritain ke papa, gimana pertemuan pertamu kamu saat menjemput Aliqa?." tanya Papa penasaran.
"Menjemput? menjemput siapa pah.."
"Kan Papa kemarin menyuruh mu untuk menjemput Aliqa di sekolah, Papa minta kamu untuk sedikit membuka hatimu untuk mengenal Aliqa." jawab Papa menjelaskan.
"Papa gak nyuruh Davin ngejemput siapa pun."
"Kemarin Papa bilang Vin, sebelum kamu tiba-tiba pergi dan bilang ada pekerjaan penting."
"Davin gak denger Pah, lagian sekarang udah malam juga pasti Aliqa udah pulang. Lagian ngapain nyuruh Davin jemput-jemput dia, dia kan udah gede bisa pulang sendiri. Udah ah pah Davin mau ke kamar dulu, mau mandi gerah."
"Gimana mau kenal, gimana mau muncul rasa sayang dan cinta. Di suruh pendekatan aja gak mau, semoga seiring kalian bersama, waktulah yang akan menyatukan kalian Davin dan Aliqa dalam ikatan cinta," jawab Papa
"Iya..iya Pah, nanti Davin ketemu sama Aliqa, kalau perlu besok, sekarang Davin mau istirahat dulu." jawab ku berlalu menuju kamar.
Kicauan burung dan suara ayam berkokok meramaikan pagi ku, aku bersiap berangkat sekolah untuk mengambil surat kelulusan. Aku masih duduk di depan cermin merias wajahku, menggunakan bedak tipis-tipis dan sedikit sentuhan lip balm agar tak terlihat pucat. "Sudah siap," gumam ku.
Segera aku bergegas keluar kamar menuruni anak tangga menuju ruang makan untuk sekedar mengambil roti dengan selai kacang. Kemudian ku cium pipi ayah dan bunda.
"Assalamualaikum, aku berangkat sekolah dulu ya."
"Waalaikumsalam, buru-buru banget nak."
"Iya Bund aku gak sabar ingin melihat hasil kelulusanku."
"Hati-hati nak, jangan lupa hari ini Davin yang jemput ya. Lebih cepat ketemu lebih baik kan untuk saling mengenal," teriak Ayah.
"Oke Yah, daaahhh..." aku melambaikan tangan ke arah mereka..
***
Tinggal beberapa hari lagi aku akan melepas statusku sebagai anak SMA. Pasti aku akan sangat merindukan setiap sudut sekolah ini, guru-guru, teman-teman dan Orin sahabat gibah ku. Banyak yang bilang kita seperti lem dan perangko kalau gak ada salah satunya perangko gak akan nempel atau ibarat bunga dan air nya kalo tak ada air layu tssaayyy..
"Haii Aliqqaaaa...." tanpa menoleh sudah ku ketahui siapa pemilik suara cempreng itu.
"Haii Orinnn.." ku cubit pipi chubby nya, lalu ku peluk dia.
"Sakittt tauuu, setelah ini mau di lanjutin kuliah dimana Al?" tanya Orin, membuat ku bingung memikirkan jawaban.
"Hmm... Belum tau nih, kamu tetep di bandung kan rin?" jawabku. "Maafin aku rin belum bisa berkata jujur mengenai perjodohan, sehingga membuat ku bingung mengenai kelanjutan pendidikan ku, biar nanti kamu yang tau sendiri," batin ku.
"Iya kayak nya aku kuliah di bandung, biar bisa nemenin Ibu, kasian dong Ibu kalau aku kuliah di luar kota. Apalagi Kak Bima sekarang di surabaya pulang pun beberapa bulan sekali."
"Bagus dong kalau gitu, biar bisa deket aku terusss..."
"Bosen ah dari SMP kita bareng terus, satu sekolah yang sama, satu kelas dan juga duduk di bangku yang sama." Orin pun terkekeh . "Pulang yuk Al.. udah dapet kan surat kelulusan nya,"
"Yuk." Sahut ku.
Aku dan Orin berjalan beriringan menuju gerbang sekolah, Orin terlebih dulu menaiki angkutan umum. Sedangkan aku duduk di sebuah halte yang terletak di depan sekolah, menunggu untuk di jemput seseorang. Akhirnya para siswa pun satu persatu pulang, hingga aku sendiri yang masih menunggu, agar tidak bosan aku menunggu sambil membaca sebuah novel.
Tak teras detik berganti menit, lalu menit berganti jam hingga hari telah petang, orang yang ku tunggu pun tak kunjung datang. Menunggu itu memang melelahkan, ku raih ponsel yang tersimpan di dalam tas ransel untuk mengecek siapa tau ada orang yang menghubungi. Ternyata tidak ada satupun, ku masukan kembali ponsel milik ku dan ku lanjutkan untuk membaca buku.
Hingga akhirnya sebuah mobil BMW 530i berwarna putih berhenti di depan ku, kupandangi mobil itu dan menantikan seseorang yang keluar dari dalam mobil.
"Al.." suara berat itu dan orang yang kini berdiri di depanku aku sangat mengenalnya.
"Kak Bima.. bener kan Kak Bima" ucap ku tak percaya, "Kapan kakak ke bandung?" tanyaku.
"Kakak baru aja sampai, kemudian kakak melihat mu sedang terduduk sendiri di halte akhirnya kakak menepi. Apa yang sedang kamu lakukan? hari udah mau gelap, bukan nya pulang."
"Aku memang mau pulang kak, lagi nunggu seseorang yang mau menjemput, tapi sampai saat ini belum juga datang."
"Biar Kakak antar pulang yuk, takutnya cewe secantik kamu ada yang nyulik"
"Boleh kak, kalo gak ngerepotin" sepertinya pipiku memerah, ketika aku di sebut cantik oleh orang yang dulu sangat ku kagumi.
Kak bima membuka kan pintu mobilnya lalu mempersilahkan aku untuk masuk, tak lama Kak Bima pun masuk duduk di samping ku di kursi kemudi. Mobil pun melaju membelah jalanan, mata ku melihat kearah luar jendela.
Kak Bima adalah kakak dari sahabat ku Orin. Aku sering bermain kerumahnya hanya untuk mencuri-curi pandang ke arah Kak Bima, saat itu Kak Bima masih kuliah di salah satu Universitas Swasta di Bandung. Ketika aku tertangkap basah sedang mencuri pandang ke arahnya, Kak Bima hanya tersenyum ramah kepadaku. Sepeninggal Ayah nya, Kak Bima pindah ke Jakarta untuk mengurus perusahaan milik keluarganya. Tiga tahun tak bertemu, tidak banyak perubahan yang terjadi padannya. Di usia yang sudah 27th, Kak Bima tetap sosok lelaki yang gagah, tampan dan bertanggung jawab kepada keluarganya.
"Al.."
Aku terlonjak kaget ketika Kak Bima menyebut namaku, aku memang melihat keluar jendela, tapi pikiran ku berkelana ke kejadian beberapa tahun yang lalu. "Gimana kak?" tanyaku.
"Sudah sampai rumah mu, mau turun atau ikut kerumah kakak."
"Iya.. iya.. kak, aku turun ya kak," wajahku memerah menahan malu, terlalu banyak melamun hingga tak sadar bahwa sudah sampai rumah. "Mampir yuk kak, ketemu Ayah dan Bunda dulu," tawar ku dengan mengukir senyum.
"Yaudah kakak mampir sebentar, udah lama juga kaka tidak bertemu Om dan Tante."
"Yuk kak masuk."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, eh... ini Bima ya, gimana sehat? udah lama gak pernah main kerumah tante, kalau dulu tiap Aliqa pulang kemalaman selalu di anterin Bima, ngerepotin emang." tutur Bunda sambil terkekeh.
"Kita kedatangan pengusaha muda nih bund, gimana Bim sehat?" tanya Ayah.
"Ah Om bisa aja. Alhamdulillah sehat Om."
"Betah di Jakarta?"
"Ya di betah-betahin Om, kalau ditanya betah dimana, jelas betah di Bandung karena Bandung ngangenin. makanya selalu saya sempatkan untuk pulang ke Bandung."
Obrolan Ayah, Bunda dan Kak Bima terus berlanjut di ruang keluarga. Aku hanya jadi tim simak karena bingung harus memulai obrolan dari mana. sampai pada akhirnya Kak Bima pamit untuk undur diri.
"Hati-hati dijalan kak."
"Kapan-kapan mampir lagi ya," ucap bunda
Akhirnya mobil yang dikendarai Kak Bima, berlalu melewati pekarangan, ku pandangi mobil BMW yang berplat B 1 MA itu hingga keluar gerbang dan tak terlihat lagi. Segera ku memasuki rumah.
"Al.."
"Iya Yah.." Langkah ku terhenti ketika suara berat Ayah memanggil nama ku.
"Bukan nya hari ini Davin yang jemput?" tanya Ayah.
"Kak Davin gak ada jemput, aku tungguin di halte depan gedung sekolah hingga waktu menjelang petang tapi gak ada yang datang yah, sampai akhirnya ada Kak Bima. Karena Kak Davin gak dateng ya sudah aku ikut pulang sama Kak Bima"
"Mungkin calon suami mu sedang sibuk nak sehingga tidak dapat menjemput dan lupa memberi kabar. Maafin Ayah, jadi kamu nunggu lama di sekolah."
"Gak apa-apa Yah, al ke atas dulu Yah mau mandi dan istirahat." akupun berlalu meninggalkan Ayah di ruang tamu.
Di dalam keheningan malam, aku berpikir bahwa Kak Davin belum jadi suami saja sudah tega membiarkan ku menunggu begitu lama, padahal Rumah Sakit tempatnya bekerja berdekatan dengan sekolahku, seharusnya jiga memang sibuk bisa memberikan kabar bukan malah tidak menepati janjinya di hari pertama pertemuan kita. Bukan kah pertemuan pertama itu harus memberikan kesan yang baik. Jika berawal dengan tidak baik, untuk kedepannya akan kah menjadi baik-baik saja? Ahh .. sudahlah tidak perlu dipikirkan, biarkan mengalir dengan sendirinya. Ku matikan lampu diatas nakas, menarik selimut hingga dada, memejamkan mata dan menuju alam mimpi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!