...New York, 3028....
Tidak bisa dipungkiri lagi keadaan kota berada di ambang keburukan dan perkembangan. Keburukannya ada pada virus yang semakin berkembang dan dapat menular melewati air liur serta darah. Sementara perkembangannya terdapat pada pembagian wilayah baru sekaligus penjagaan yang lebih ketat dan tentunya tak luput dari teknologi super canggih.
Biar kujelaskan sebuah wilayah yang saat ini masih aktif dan baru lima tahun beroperasi. Mereka--sebut saja empat dewan yang bertugas di masing-masing daerah.
Daerah 1 [South Districk. No. 12] Jumlah penduduk sementara sebanyak 1.200 nyawa. Sebagian di antaranya masih anak-anak.
Daerah 1 ini terletak di daerah Selatan. Paling besar tempatnya dibandingkan daerah lain. Di sana terdapat begitu banyak pabrik dan buruh yang bekerja aktif sebagai pemasok perak, besi, dan listrik seadanya. Daerah ini di pimpin oleh dewan bernama Michael Morrinson.
Daerah 2 [East Districk. No. 13]
Jumlah penduduk 680 nyawa.
Daerah 2 ini terletak di sebelah timur. Tergolong lebih kecil dibandingkan daerah 1. Penduduknya mayoritas adalah sebagai kaum muda yang baru berkeluarga. Tentunya angka kehidupan bertambah setiap tahunnya. Dan sebagian besar dari mereka hanyalah seorang petani yang memasok bahan-bahan makanan untuk semua distrik. Daerah ini cukup terlindungi dari bahaya virus, karena jauh dari area paling terkontaminasi. Daerah ini di pimpin oleh dewan bernama Llyod Edinson.
Daerah 3 [North Districk. No. 14]
Jumlah penduduk sebanyak 564 nyawa.
Daerah 3 merupakan daerah para petinggi yang mungkin mengendalikan segala aktivitas yang terdapat di sentral kota. Sebut saja daerah 3 sebagai tempatnya para ilmuwan tinggal. Di pimpin oleh dewan utama bernama Phineas RainBlock.
Daerah 4 [West districk. No. 15]
Jumlah penduduk sebanyak 435 nyawa.
Daerah 4 merupakan daerah yang kecil dan tidak terlalu luas di bagian Barat. Penduduknya cenderung sedikit, karena sempat banyak orang yang kehilangan nyawa mereka saat masih di daerah lama yang sudah terkontaminasi virus. Masyarakat yang tersisa terpaksa di pindahkan ke daerah baru yang disebut daerah 4 ini. Kehidupan mereka tidak terlalu terjamin, karena mereka kehilangan begitu banyak harta benda di daerah lama yang terkontaminasi. Kebanyakan di sana hanyalah kaum miskin yang tinggal di pertahanan bawah tanah dan hidupnya tergolong keras. Mungkin di sana menyimpan banyak pejuang yang rela mati untuk mendapatkan keadilan. Mereka merasa sangat terasingkan dan tentunya tidak terurus. Pemimpin di daerah ini adalah seorang dewan yang keberadaannya mulai kurang diakui. Namanya adalah Jupiter Mallone.
Sentral City [Kota pusat. Di tengah-tengah empat distrik]
Sebuah kota megah berisikan gedung-gedung canggih pencakar langit. Kota itu terlihat sangat bercahaya di malam hari dan konon katanya mereka memiliki lapisan tersendiri sebagai pelindung paling mutlak dari virus. Hanya ada orang-orang serakah yang tinggal di sana. Penuh kekayaan dan kecerdasan. Muara hukum bagi setiap distrik. Tentunya objek canggih yang menopang keberlangsungan hidup setiap distrik yang ada. Tempat yang paling dibenci oleh daerah empat, karena mereka beranggapan hukum tidak pernah jelas datang dari kota tersebut. Kota ini di pimpin oleh direktur utama bernama Jamie Alley Trainor.
Brainwarm Virus. [Virus otak hangat]
Virus yang mampu membuat siapa saja hidup dalam kesengsaraan. Pertama kali terjadi ledakan besar-besaran yang memicu munculnya reaksi racun dan berbahaya bagi otak pada tahun 2087. Membuat daerah pelosok menjadi sangat terkontaminasi dan tidak bisa dimasuki oleh makhluk hidup. Kering kerontang dan penuh oleh gas beracun. Virus itu datang dari sana. Menyebar semakin luas setiap dua puluh tahun. Begitu banyak korban jiwa berjatuhan yang belum sempat di evakuasi. Tapi, berkat orang-orang yang ada di Sentral City, virus itu dapat di perhambat. Mereka mengambil langkah cepat setelah mengevakuasi sebagian masyarakat yang tersisa.
Namun, tentunya setiap tindakan pasti ada maksud tersendiri. Setiap masyarakat terbagi-bagi menjadi berbagai distrik dan daerah. Dan itu semua ada penjelasan di baliknya.
...CHAPTER 1...
Sudah menjadi kebiasaan bagi seorang gadis berambut pirang dan berwajah polos itu memandangi batu raksasa yang terletak di alun-alun kota. Di sana terukir sebuah nama seseorang yang berperan penting dalam hidupnya. Jackson Alley Trainor. Sosok jenius yang membangun tempat itu sekaligus figur ayah yang tak pernah tergantikan sepanjang masa.
Gadis itu mengerjap. Tatapannya sendu memandangi sebuah ukiran nama yang bahkan tidak akan pernah mengubah apa pun. Tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah tiada.
Seorang wanita yang menggunakan jas laboratorium berwarna merah maron itu melangkah mendekati gadis yang masih menatap ukiran indah nama ayahnya. Wanita itu tersenyum dan terlihat begitu anggun dalam balutan jas tersebut. Rambut hitamnya digulung agak tinggi dan kedua tangannya berbalut sarung tangan kulit.
"Garnayse, sedang apa kau di sini?"
Garnayse Alley Trainor. Anak kedua dari dua bersaudara keturunan dari Jackson Trainor yang notabene adalah pendiri Sentral City dan tentunya orang jenius yang dulunya berdiri paling depan dalam kemajuan teknologi.
Garnayse tertegun mendengar suara itu. Lantas gadis itu menghela napas tanpa mengalihkan pandangan. "Kenapa kau kemari, Irene?" Garnayse melirik tunangan sang kakak yang begitu perhatian terhadap dirinya.
"Jamie mencari keberadaanmu."
"Kau tidak perlu repot membantunya mencariku."
Irene tidak menghapus senyum tipis di wajahnya. Dia tahu benar sikap Garnayse akan sulit diubah terhadap dirinya. "Jamie ingin bertemu denganmu."
Garnayse tersenyum masam. "Kenapa tiba-tiba ingin bertemu? Bukankah dia tidak pernah bisa mempunyai waktu untuk bertemu dengan adiknya?" Garnayse menolehkan kepala untuk menatap dingin ke arah Irene, "tetapi untukmu? Dia punya begitu banyak waktu." Garnayse tersenyum miring. Dia tahu perkataannya menyindir wanita di hadapannya saat ini, "bagiku waktu adalah segalanya, Irene. Tapi, semua waktu telah dirampas dariku."
Garnayse manatap lurus memasuki iris mata kehijauan milik Irene. Tatapannya menusuk. Begitu banyak menunjukkan hal negatif yang berhubung dengan kekesalan. Sikap Irene yang bagi Garnayse terlalu sombong serta angkuh dan hanya Garnayse yang mengetahui itu tanpa mampu dia beritahukan kepada semua orang. Licik. Itulah satu kata yang pantas menjadi nama belakang wanita di hadapannya saat ini.
Mengetahui Irene tak melawan kalimatnya, Garnayse berkata pelan, "aku permisi, Irene."
Garnayse segera melangkah melewati Irene dengan langkah cepat dan seperti ingin kabur dari teritorial seorang Irene. Dia tidak pernah menyukai Irene. Jamie--kakak kandungnya satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini terlalu banyak menghabiskan waktu dengan calon tunangannya itu dan juga ilmu sains. Entah apa yang lelaki itu lakukan di dalam gedung utama selama berminggu-minggu dan bahkan tidak menyempatkan diri untuk pulang menengok keadaan sang adik.
Garnayse marah. Dia kesal dengan semua orang yang telah mencuri waktu paling berharga miliknya. Rasa kesal atas segalanya. Sains yang tercipta saat ini hasil pengorbanan sang ayah, namun tak bisa dipungkiri lagi Garnayse tak sanggup hidup di tengah-tengahnya. Dia ingin pergi.
Pergi dari kehidupan yang nyaman ini.
...~¤~...
Sudah pukul delapan malam, tetapi Garnayse tak kunjung terlelap. Seharusnya ia tertidur nyenyak setelah berkutat di dalam perpustakaan elektronik hampir lima jam lamanya. Mencari-cari informasi lama yang tak ia ketahui. Tentang empat daerah yang kini berjalan bersama-sama di sekitar Sentral City.
Garnayse membuka kedua mata. Ketika sebuah suara bip berbunyi sebanyak tiga kali, gadis itu bangkit dari kasurnya, kemudian bertepuk tangan satu kali dan membuat semua lampu di dalam kamar tidurnya menyala. Garnayse melangkah ke arah pintu utama kamar tidurnya yang merupakan pintu ganda dengan pengamanan tinggi yang dibuat oleh dirinya sendiri.
"Siapa?" Tanya Garnayse dari dalam.
"Ini aku Jamie."
Garnayse terenyak mendengar suara tak asing milik sang kakak. Garnayse mengusap hidungnya sambil melempar tatapan ke arah lain. "Ada apa?" Tanya nya pelan. Terakhir kali kedatangan Jamie adalah tiga bulan yang lalu. Itupun dia datang dengan maksud tersendiri berupa mengajak Garnayse bergabung dalam penelitiaannya. Garnayse putri seorang ilmuwan jenius, sama seperti Jamie yang seorang putra dari ayah yang sama dengan Garnayse, namun sepertinya ada begitu banyak perbedaan di dalam diri mereka masing-masing. Jika Jamie antusias dan begitu larut dalam sains, maka Garnayse lebih memilih membungkam dirinya dari kehidupan sains yang terlihat oleh sosial. Dia lebih memilih bekerja dalam diam tanpa sepengetahuan siapapun. Sehingga orang-orang kerap kali membandingkan dirinya dengan Jamie, namun Garnayse bersikap biasa saja. Untuk apa dia merasa iri hati dengan kesuksesan kakaknya yang tidak pernah mengingat dirinya. Baginya sains tidak perlu terlalu keras di kejar. Cukup dinikmati dalam kehidupan sehari-hari tanpa perlu di paksakan.
"Boleh aku masuk?"
Garnayse memeluk tubuhnya sendiri. "Kalau kau menemuiku hanya untuk berbicara tentang tawaranmu tiga bulan yang lalu, maka sebaiknya kau pergi dan tinggalkan aku."
"Kau tidak mau bertemu dengan kakakmu, Garns?"
Garnayse mengeratkan rahangnya. Menahan rasa rindu yang sebenarnya bergumul di dalam hati dan menjerit meminta untuk dibebaskan begitu mendengar Jamie menyebutnya menggunakan nama panggilan spesial masa kecil mereka.
"Garnayse, aku hanya punya waktu delapan menit sebelum kembali ke rutinitas. Aku ingin melihatmu sebentar saja."
Garnayse menunduk, memandangi lantai marmer yang kini terlihat begitu menyedihkan. Entah Garnayse yang menyedihkan atau suasana di sekitarnya yang mendorongnya untuk menangis tergugu di hadapan Jamie.
"Garns, aku tahu kau ada di sana. Tolong buka pintunya untukku."
Garnayse melangkah mendekati pintu. Mengetikkan sebuah kode di sisi sebelah kanan pintu yang terdapat beberapa tombol, lalu pintu tersebut terbuka perlahan-lahan menampilkan sosok lelaki tampan berpakaian formal berupa tuxedo berwarna abu-abu tua. Rambutnya tidak terlalu tertata rapi, mungkin sengaja dibuat sedikit berantakan, karena terlihat sangat cocok dengan perawakan Jamie.
Garnayse berdiri di ambang pintu tanpa meminta Jamie untuk masuk. Namun, dengan begitupun Jamie sudah bisa tersenyum puas melihat adiknya yang selama ini ingin ia temui. "Hai," bahkan Jamie hampir lupa bagaimana caranya menyapa Garnayse.
Garnayse manatap Jamie dingin. Setengah mati ia menahan agar pertahanannya tidak runtuh begitu melihat kedatangan Jamie.
"Maaf, aku baru bisa datang sekarang. Tapi, aku hanya ingin melihatmu sebentar sebelum aku kembali sibuk."
Garnayse hanya diam. Dia menekankan bibirnya agar tetap tertutup rapat.
Jamie tersenyum hangat. Tatapannya sendu menatap iris biru indah milik Garnayse. "Ketahuilah, Garnayse, aku merindukanmu. Aku hanya ingin kau tahu itu."
Garnayse mulai tidak bisa menahan gejolak dalam dirinya yang semakin ingin berontak. Kedua matanya mulai memanas memandang tatapan sendu milik Jamie yang sangat ia rindukan.
Jamie merasakan kekecewaan yang adiknya rasakan. Nanar dingin itu tidak memperlihatkan kesedihan, namun kekecewaan yang mendalam.
"Garns, aku--"
"Jamie!"
Garnayse yang terlebih dahulu melihat ke asal suara yang menyerukan nama kakaknya. Itu Irene. Wanita itu terlihat anggun dengan balutan gaun pesta yang ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya--membuat Garnayse ingin merusak semua itu. Jamie pun berbalik dan tak menyangka Irene datang menghampirinya.
"Kenapa kau kemari?" Tanya Jamie pelan.
Garnayse jelas-jelas melemparkan tatapan tidak suka kepada Irene yang langsung mendekap lengan milik Jamie.
"Kita harus pergi sekarang juga, Jamie. Kita bisa terlambat pergi ke pesta malam pernikahan."
"Apa?" Garnayse membeo. Kedua alisnya saling bertaut. Tatapan penuh pertanyaan ia lemparkan kepada Jamie, "pernikahan?"
Jamie menelan salivanya dengan susah payah. Irene mengutarakan langsung apa yang sedaritadi ingin Jamie ucapkan setelah melepas rindunya terhadap Garnayse.
"Jamie belum memberitahukannya kepadamu? Itu sebabnya tadi pagi aku mencarimu, karena dia ingin membicarakan tentang pernikahan kami yang diadakan besok siang." Jelas Irene penuh kebanggaan.
Jamie menatap Garnayse sambil berharap adiknya itu mau mengerti dengan situasi yang bahkan tak pernah ia sukai. Jamie tahu Garnayse pasti kesal mendengar berita ini.
Garnayse mendengus pelan dan melayangkan tatapan mengejek. "Kau yakin, Jamie?" Garnayse bahkan tidak mau menyebutnya dengan sebutan 'kak' lagi.
Jamie terpejam sesaat merasakan keperihan dari nada tajam Garnayse. "Garns, aku ingin kau meng--"
"Kau datang pasti karena sebuah alasan yang tidak penting bagiku. Kau datang hanya untuk mengatakan kalau kau akan pergi ke pesta dan menikah esok hari." Garnayse tergelak miris, "malang sekali diriku. Aku mengharapkan sesuatu yang nyata darimu, Jamie! Tapi, aku seharusnya sadar dari awal aku tidak akan pernah mendapatkan tempat yang seharusnya di dalam kehidupanmu. Kau lebih memilih cinta mu terhadap wanita licik ini ketimbang kepada adikmu! Aku keluargamu satu-satunya dan--" Garnayse tercekat. Dia tak sadar air matanya sudah berada di ujung kelopak dan siap meluncur kapan saja. "Dan kau satu-satunya yang aku miliki di dunia ini, Jamie," lirih Garnayse.
Kening Jamie mengerut, memperlihatkan bahwa dirinya merasakan rasa sakit yang Garnayse rasakan. Namun, lidahnya terasa kelu hanya untuk mengucapkan kata-kata agar Garnayse tidak merasa sehancur ini. Bagi Jamie, Garnayse tidak memahami segalanya yang padahal baik untuknya. Dan begitu pula sebaliknya. Kata-kata Garnayse tidak pernah dipercayai oleh Jamie. Itulah yang membuat Garnayse merasa hancur setiap harinya.
Garnayse melirik Irene yang masih berada di samping Jamie. Kemudian, Garnayse kembali menatap tajam ke arah Jamie. "Lakukan apa yang kau inginkan. Kau tidak lagi peduli padaku, Jamie."
"Aku melakukan semua ini untukmu!" Jamie tak sadar kalau dirinya baru saja meninggikan suara berbicara dengan Garnayse sampai membuat gadis itu mengernyit tidak menyangka.
"Apa yang kau lakukan untukku, Jamie?" Ucap Garnayse dengan suara pelan nan lirih, "kau melakukan apa untuk diriku, hah?" Garnayse mengusap keningnya dengan cepat. "Yang aku butuhkan hanya waktu bersamamu! Aku hanya menginginkan waktu berpihak kepadaku dan membawamu kembali seperti dulu, Jamie..." Garnayse menggantungkan ucapannya, lalu ia menggeleng pelan. "Aku tidak membutuhkan semua material dan kehidupan nyaman ini. Semua ini tidak berarti kalau aku hanya hidup sendirian di tengah-tengahnya. Tidak berguna bagiku."
Garnayse melangkah mundur dari ambang pintu. Tatapannya menyiratkan begitu banyak kesedihan yang tak mampu lagi ia tampung. Air matanya membuat kedua matanya terasa perih dan ingin tertutup rapat. "Semoga kau bahagia dengannya," Garnayse menutup pintu dan menguncinya sebelum Jamie berhasil berbicara. Garnayse bahkan membuat ruangannya kedap suara sehingga ia tak perlu mendengarkan ucapan-ucapan kakaknya yang semakin menyakiti hatinya dengan sebuah harapan yang terselip.
Garnayse menyentuh permukaan pintu, kemudian berbalik dan menyenderkan punggungnya di sana. Perlahan-lahan punggungnya merosot sampai akhirnya bokongnya menempel di lantai yang dingin. Air mata lolos dari pelupuk mata gadis itu. Tangisnya pecah. Dia menangis tergugu bahkan tak mampu menahan isakan yang menyesakkan dada karena sedaritadi ia tahan di hadapan Jamie.
...CHAPTER 2...
"Kita sudah menyaksikan sepasang kekasih yang selama ini bergelut bersama di dunia sains mengikat janji suci sebuah pernikahan..."
Garnayse memandangi layar televisi yang tipis dan lebar itu memperlihatkan sebuah tayangan pernikahan Jamie. Di sana Jamie tersenyum bahagia bersama Irena yang berdiri di sisinya. Mereka melambaikan tangan di depan gedung pertemuan yang terletak di dekat alun-alun kota dan membiarkan seluruh masyarakat Sentral City ikut merasakan kebahagiaan mereka. Garnayse tersenyum miris. Dia kembali mengingat kejadian semalam. Kejadian yang menyedihkan sekaligus mengecewakan. Jamie berpihak kepada seseorang yang menurut Garnayse bukanlah wanita baik dan pantas untuk dirinya. Irene bukanlah tipe wanita seperti itu. Dia licik dan penuh akan ambisi tentang sesuatu yang Jamie miliki, tapi Garnayse tidak pernah mengetahuinya.
Kedua mata Garnayse sembab akibat tangisannya yang tak berhenti selama hampir separuh malam. Kini pun hari sudah siang, tetapi Garnayse masih tergeletak sedih di kasurnya sambil menonton penayangan acara pernikahan kakak kandungnya sendiri. Hatinya sakit dan hancur sama seperti sebelumnya. Garnayse melewatkan segala aktivitasnya setiap pagi hingga sore dan memilih untuk diam di dalam kamar. Garnayse menangis di belakang dan menahannya di depan banyak orang. Seperti itulah dia.
"... namun, kami tidak melihat keberadaan sang adik dari ilmuwan jenius kita yang satu ini. Apa dia tidak hadir dalam acara?"
Suara reporter kembali mengucapkan hal-hal tidak penting yang membuat Garnayse menghela napas panjang. Garnayse berpikir bahwa status dirinya dilupakan oleh masyarakat di Sentral City, tapi nyatanya tidak.
Dan Garnayse tidak peduli kalaupun dia masih di ingat atau tidak.
Kamera menyorot langsung ke wajah Jamie yang tersenyum lebar penuh wibawa seperti biasanya. Garnayse memandangi wajah itu. Wajah yang mirip seperti ayahnya di masa muda.
"Tahan!" Kata Garnayse pelan dan tayangan berhenti begitu saja di saat kamera menyorot wajah Jamie yang tersenyum tanpa kehadiran wajah Irene.
Garnayse tersenyum lantas bangkit dari posisi duduknya, lalu memandangi wajah tampan milik Jamie yang sangat ia rindukan. Sebenarnya semalam Garnayse ingin memeluk Jamie, namun begitu tahu alasan kedatangannya, maka Garnayse kesal dan membuang keinginan itu jauh-jauh.
Garnayse menelan salivanya dengan susah payah. Mendadak tenggorokannya terasa kering kerontang. Kedua matanya memerah dan memanas. Air hangat mengalir perlahan melewati pipinya. Rasa sesak itu datang lagi. "Tangkap gambar dan cetak," ucap Garnayse dengan suara yang bergetar hebat.
Dan gambar wajah Jamie dari layar televisi canggih itu tertangkap, kemudian dengan otomatis tercetak menjadi seperti sebuah foto.
Garnayse menuruni tempat tidur dan berjalan ke arah pencetak yang mengeluarkan foto wajah Jamie meskipun tercetak dalam ukuran kecil, namun Garnayse puas. Dia memiliki foto wajah sang kakak yang hanya mampu ia kenang sebatas benda mati, bukan secara langsung berdiri di hadapannya.
Garnayse kembali menangis. Gadis itu membungkam bibirnya erat-erat dan menahan agar isakan hebat tak kembali keluar lewat mulutnya. Garnayse bahkan beberapa kali menarik napas sesak untuk menahan isakan itu dan memeluk foto Jamie.
...~¤~...
Garnayse menggeser layar proyek transparan miliknya sembari membaca beberapa data dan menyesap secangkir kopi yang masih mengepul hangat. Tiga hari sudah berlalu sejak pernikahan Jamie. Garnayse sudah bisa menjalankan aktivitasnya di laboratorium miliknya sendiri yang berada di ruang bawah tanah tempat dia sibuk membuat beberapa penemuan untuk menghibur dirinya sendiri dengan kesibukan. Tak apa-apa Garnayse harus lembur karena bekerja menyelesaikan proyek buatannya meski hanya sebuah percobaan yang penting Garnayse bisa mengisi pikirannya dengan hal lain.
Garnayse memutar sebuah tombol bundar yang terdapat di sudut ruangan, lalu arus listrik mengalir pada mesin buatannya yang kali ini baru dalam proses percobaan pertama. Hanya mesin biasa yang mampu membuat pertahanan rumah lebih kuat lagi. Garnayse pandai sekali membuat sesuatu yang berhubungan dengan keamanan. Seperti pintu berkeamanan tinggi dan meretas rangkaian kode rumit yang ada pada sistem keamanan. Semua itu bisa dia lakukan dengan mudah.
Sampai akhirnya Garnayse terpaksa mematikan aliran arus listrik saat mendengar adanya pemberitahuan otomatis berita terbaru yang menggemparkan tayang di televisi miliknya.
"Tunjukkan padaku." Ujar Garnayse dan membiarkan televisi itu bekerja dengan sendirinya.
Televisi itu memperlihatkan sebuah tayangan berita menggemparkan. Bahkan mampu membuat Garnayse termangu dan meletakkan cangkirnya yang sempat ia genggam kembali. Garnayse berjalan pelan mendekati layar tipis televisi itu, lalu berdiri di hadapannya dengan kedua mata terbelalak lebar.
"Berita menggemparkan! Sosok ilmuwan yang kita kenal selama ini. Jamie Trainor. Meninggal dalam kondisi menyedihkan."
Bibir Garnayse bergetar hebat. Tangan kanannya refleks membungkam bibir itu erat dan membiarkan air mata kembali lolos membasahi pipinya. Terlebih lagi begitu melihat sorotan kamera ke arah banyaknya jejeran mobil keamanan dan ambulans di depan gedung tempat Jamie bekerja siang dan malam.
Garnayse segera berlari meninggalkan laboratoriumnya. Gadis itu menyambar mantel, lalu terburu-buru naik kendaraan menuju ke alun-alun tempat dimana gedung itu berada. Garnayse tak berhenti menahan tangis di sepanjang perjalanan sampai akhirnya ia tiba di tempat tujuan. Garnayse turun dari mobil yang ia parkirkan di sembarang tempat karena begitu banyak wartawan yang berbondong-bondong ingin menayangkan berita menggemparkan ini.
Garnayse berlari menerobos gerombolan itu tanpa peduli apa reaksi mereka saat ini. Mereka pasti tahu siapa Garnayse. Tetapi, Garnayse terus berlari menerobos sampai akhirnya berdiri di barisan paling depan yang tertahan oleh dua baris tubuh petugas keamanan bersenjata.
"Biarkan aku lewat!" Kata Garnayse kepada salah satu petugas yang berdiri di depannya.
Petugas itu terlihat terkejut melihat siapa yang datang. "Nona--"
"Biarkan aku melihat kakakku!" Jerit Garnayse dan tanpa aba-aba mendorong tubuh petugas itu sampai terhuyung dan menabrak petugas yang berdiri di belakangnya juga.
Garnayse berlari menuju ke pintu ganda kaca utama yang akan mengantarkannya ke lobi. Dan di sana petugas keamanan sedang berbincang-bincang. Menyelidiki apa yang terjadi pada Jamie. Sementara Garnayse terpaku melihat sosok kepala keamanan yang akrab dengan Jamie.
Danny Thorne.
Danny melihat keberadaan Garnayse yang terlihat begitu panik berlari ke arah lift. "Garnayse? Garnayse!" Danny berseru dan berlari mengusul Garnayse yang bahkan tidak mendengarkan panggilannya.
"Garnayse, apa yang kau lakukan?" Danny berucap setelah berhasil mencekal lengan Garnayse yang hendak melangkah masuk ke dalam lift.
"Lepaskan aku! Aku mau bertemu dengan Jamie." Desis Garnayse berlinang air mata.
Danny menghela napas. "Kau tidak bisa ke atas sana, Garnayse. Di sana opsir lain sedang menyelidiki kasus kematian kakakmu."
Garnayse mengernyit. "Apa kakakku dibunuh?"
Danny menganggukan kepalanya. "Kakakmu dibunuh. Kami menduga dia telah diberikan racun."
"Ini pasti ulah Irene! Wanita ****** berengsek itu telah membunuh kakakku!" Garnayse menyentak cekalan tangan Danny pada lengannya, kemudian dia segera memasuki lift menuju ke ruangan tempat Jamie berada.
Danny bergegas mencari lift lain untuk menyusul Garnayse.
Sementara Garnayse sudah berada di lantai yang seharusnya. Tempat laboratorium Jamie berada. Garnayse tak membuang-buang waktu lagi berlari secepat mungkin menuju laboratorium itu. Dari kejauhan dia bisa melihat laboratorium berpintu baja itu tertutup rapat. Kaca transparan menjadi dinding laboratorium itu sehingga Garnayse bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana. Di depan pintu masuk baja terdapat dua orang penjaga bersenjata.
"Nona Garnayse?" Salah satu petugas bertanya.
"Biarkan aku masuk!" Perintah Garnayse dan mendorong petugas itu dengan sangat kasar, lalu menerobos pintu masuk laboratorium itu.
Orang pertama yang menjadi sasaran Garnayse adalah Irene yang saat ini sedang bersandiwara. Menangis tersedu-sedu melihat kematian suaminya yang baru sah selama tiga hari. Garnayse meradang. Gadis itu menggila dan nyaris menampar wajah Irene yang dibuat polos. Tapi sayangnya, tubuhnya di tahan oleh dua orang petugas keamanan.
"Lepaskan aku, bodoh!" Umpat Garnayse di sela-sela tangisnya yang tak berhenti. Tatapannya tertuju pada mayat Jamie yang hendak di pindahkan ke atas brangkar.
Dengan brutal Garnayse menendang kelamin dua petugas itu, lalu menghampiri tubuh kakaknya yang sudah tergeletak kaku. Garnayse mendorong petugas kesehatan yang memintanya agar menjauh, namun Garnayse tetap ingin melihat wajah kakaknya untuk yang terakhir kalinya.
"Jamie--kakak..." Garnayse tak sanggup menahan isakan tangisnya. Ia menangis tergugu di hadapan Jamie yang telah tiada. Wajah lelaki itu pucat dan tubuhnya masih berbalut jas laboratorium.
Garnayse menggenggam tangan dingin milik Jamie dan menempelkannya di pipi. Garnayse terpejam, berharap Jamie hidup dan mengusap pipinya dengan penuh kasih sayang. Tapi, Jamie sudah tak bernyawa dan fakta menohok itu membuat Garnayse semakin bersedih.
"Dia yang telah membunuh Jamie!" Irene berseru marah penuh kebencian dari belakang sana--membuat Garnayse segera berbalik menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
"Apa yang kau katakan?!" Balas Garnayse sengit.
"Ya!" Irene menatap Garnayse dengan kedua matanya yang sembab dan memerah. Dia menunjuk wajah Garnayse penuh kebencian, "kau yang telah membunuh Jamie! Kau meracuninya! Aku tahu kau membencinya. Kalian tidak punya hubungan baik selama ini!" Tuduh Irene.
Napas Garnayse memburu. Refleks tangan kanannya menampar pipi Irene dengan sangat keras dan itu membuat Garnayse kembali ditahan. "TUTUP MULUTMU!" Bentak Garnayse sembari menangis, "AKU MENYAYANGI KAKAKKU LEBIH DARI SIAPA PUN DI DUNIA INI!" Garnayse menjerit keras, namun tak menghasilkan apa pun. Yang ada hanya cekalan di setiap lengan dan tubuhnya agar ia berhenti berontak.
Irene yang masih memegangi pipinya itu hanya mendengus. "Dasar munafik! Dialah pembunuhnya. Aku tahu benar hubungan mereka tidak pernah baik. Tahan dia!"
Garnayse melotot tajam dan belum sempat seorang petugas memakaikan borgol di pergelangan tangannya, Garnayse langsung menendang kelamin petugas itu, kemudian menggigit tangan-tangan yang memegangi lengannya. Garnayse berlari secepat yang ia bisa untuk pergi dari tempat itu.
Pergi dari kota itu dan memutuskan untuk menjauh. Dia tidak boleh menerima tuduhan yang dijatuhkan kepada dirinya. Garnayse yakin bahwa Irene yang telah melakukan kejahatan menjijikan itu. Dan untuk membuktikan itu semua Garnayse harus berjuang melarikan diri. Meninggalkan masa kecilnya dan masa lalu indah bersama orangtua dan terus berlari.
Garnayse tahu benar keamanan gedung itu. Dia bisa mengakali keamanan apa pun yang menguncinya dari luar. Maka dalam waktu singkat Garnayse berhasil melarikan diri meskipun sempat berpapasan dengan Danny.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!