Usai berbuka dan melaksanakan salat Magrib di sebuah masjid, Rina Viona dan Barada pun pergi pulang.
Dari dalam mobil sedan mungil berwarna merah itu, mereka dapat melihat nuansa malam kedua di bulan suci Ramadhan, terlebih ketika melewati beberapa masjid di pinggir jalan raya. Keramaian jemaah salat terlihat semarak dan meriah. Bahkan ada jemaah yang menutup separuh jalan untuk digunakan tempat salat, karena tak tertampung lagi di dalam masjid.
Sudah membudaya di Indonesia, di sepuluh malam pertama bulan Ramadan masjid-masjid dan musala penuh sesak oleh jemaah salat. Para lelaki, kaum wanita, dan anak-anak begitu antusias ikut salat tarawih.
Saat itu Rina mengenakan jilbab putih bersih yang serasi dengan wajah putih cantiknya. Sementara baju dan rok longgarnya berwarna hijau muda. Sementara Barada berjilbab biru gelap dengan pakaian juga biru gelap, tanpa warna yang lain.
“Hahaha!” Rina tertawa tiba-tiba dalam kesibukannya menyetir mobi.
“Kamu kenapa?” tanya Barada heran, suaranya khas agak serak.
“Iis bilang, Windi sama Adel puasanya batal gara-gara bikin kolak. Karena takut kagak enak, kolaknya dicicipin bareng-bareng, hahaha!” kata Rina yang membuat Barada tertawa lebih keras dan terbahak.
Barada adalah sosok muslimah yang memiliki karakter gampang tertawa. Kulit wajahnya yang agak hitam terlihat begitu manis, sebab ia memiliki dua lesung pipi yang jika tersenyum sedikit saja pasti muncul.
“Pokoknya besok kita buka bareng!” tandas Barada.
“Di rumah Indah, dia minta duluan,” kata Rina.
Tiba-tiba mereka merasakan laju mobil berguncang tidak mulus.
“Adduh, ban mobil saya pasti bocor!” gerutu Rina.
Rina melambatkan mobilnya dan menepi. Keduanya pun turun untuk memeriksa. Ternyata memang ban belakang sebelah kiri mobil itu kempes parah.
“Kena apaan nih?” tanya Barada saat melihat di ban yang kempes itu menancap benda besi yang aneh bentuknya.
Barada mengurungkan niatnya untuk mencabut benda besi itu, karena sebuah mobil boks hitam berhenti di dekat mereka. Rina dan Barada melihat dan menunggu.
Pintu belakang boks terdengar dibuka dari dalam. Beberapa pasang kaki bersepatu militer terlihat melompat turun dari dalam boks. Barada yang awalnya hanya melihat sepatu orang-orang yang turun, terkejut dan seketika terbersit hal buruk yang akan menimpa dirinya dan Rina.
“Rina lari!” teriak Barada tiba-tiba sambil bersiaga.
Rina yang terkejut oleh teriakan Barada justru bingung di tempat.
Dalam hitungan detik, enam orang berseragam hitam seperti pasukan khusus dengan wajah tertutup topeng kain hitam berhelm hitam, bergerak cepat mengepung kedua gadis berjilbab itu. Enam laras senjata api serbu kelas berat ditodongkan kepada keduanya.
Serangan cepat itu langsung membuat Barada dan Rina angkat tangan dengan sendirinya agar tidak ditembak. Rina seketika ketakutan.
“Jangan bergerak!” perintah salah seorang di antara penyerang, suaranya adalah suara seorang perempuan.
Dari perawakannya, semua tentara itu posturnya tampak seperti perempuan.
Satu orang segera bergerak membekuk Barada yang tidak berani melawan, meskipun ia siap saja untuk melawan. Barada didorong merapat ke mobil Rina, kedua tangannya dibekuk di belakang punggung. Barada merasakan sebuah benda dipasang di kedua pergelangan tangannya hingga terkunci di belakang punggung.
Hal yang sama dialami juga oleh Rina, membuat gadis itu beberapa kali menjerit.
Dan setelah keduanya diborgol, kepala mereka ditutupi dengan sebuah kantong kain hitam sehingga keduanya tidak bisa melihat apa-apa. Bau menyengat dari kantong langsung menusuk penciuman mereka, membuat kepala mereka pusing.
Selanjutnya Rina dan Barada hanya bisa merasakan dorongan. Kemudian tubuh mereka diangkat oleh beberapa tangan naik ke dalam mobil boks.
Peringkusan itu berlangsung cepat. Kendaraan lain yang melintas hanya bisa berlalu. Pasukan berseragam hitam itu kembali masuk ke dalam mobil boks yang kemudian melaju pergi meninggalkan mobil sedan begitu saja di pinggir jalan.
Sementara Rina dan Barada sudah tidak sadarkan diri akibat bius yang ada di kain kantong penutup kepala mereka. (RH)
**********
Bagi yang suka dengan cerita Om Rudi, tolong bantu dengan rate, like, komentar, favorit, dan vote 😁🙏🙏
Dua hari kemudian setelah malam penyergapan.
Sayup-sayup Rina mendengar suara kendaraan melintas yang terasa tidak begitu jauh darinya. Setelah suara mobil itu lenyap oleh kejauhan, datang suara kendaraan yang lain dan melintas cepat di pendengaran Rina.
Di saat yang sama, Rina merasakan tubuhnya terasa lelah dan ada sakit di beberapa otot anggota tubuhnya.
Dengan gigih ia coba membuka kelopak matanya yang terasa berat dan agak perih. Terangnya pagi membuat matanya harus beradaptasi setelah terpejam cukup lama.
Ketika matanya sudah bisa berfungsi normal, Rina pun bergerak bangun duduk dan memastikan suasana di sekitarnya.
Rina mendapati dirinya terduduk bersandar di bawah sebatang pohon yang tumbuh besar tidak jauh dari jalan raya. Daerah sekitarnya adalah hamparan berumput liar. Selain pohon besar yang disandarinya, ada beberapa pohon kecil lainnya. Posisi Rina terlindung dari penglihatan arah jalan raya.
Rina segera memeriksa dirinya. Ia masih mengenakan pakaian muslimah yang terakhir ia pakai di hari pertama bulan Ramadan. Di pangkuannya terpangku tas bagus miliknya.
“Badar, Badar mana? Badar mana?” tanya Rina tiba-tiba panik, tidak jelas ia bertanya kepada siapa.
Rina berusaha berdiri dengan ekspresi mengerenyit merasakan sakit di tubuhnya. Ia memandang lebih jauh ke daerah sekitar.
Rina melihat sebuah jalan raya yang tidak terlalu lebar, juga tidak terlalu ramai oleh kendaraan yang saling melintas dari dua arah. Di seberang jalan adalah sebuah tanah kosong yang dipagar tembok agak memanjang. Sementara sekitar ratusan meter di ujung sisi kanannya adalah perumahan warga. Di ujung sisi kiri sejauh puluhan meter adalah sebuah bangunan mirip gudang atau pabrik.
Matahari sendiri terlihat belum lama keluar dari balik peraduannya. Hawa segar alam pagi masih kental terasa.
“Badar di mana? Badar di mana?” sebut Rina panik sambil memandang mencari ke sekeliling, mungkin orang yang dicarinya ada tidak jauh darinya. Ia pun berteriak memanggil.
“Badaaar!”
Namun, tidak ada jawaban atas panggilan itu, kecuali lintasan beberapa kendaraan di jalan raya.
Tidak adanya tanda-tanda keberadaan sahabatnya itu, membuat Rina mulai menangis panik dan khawatir.
“Badaaarrr!” teriak Rina lebih keras dan panjang sambil menangis.
Rina berjalan sempoyongan ke pinggir jalan sambil terus menangis dan pandangannya terus mencari ke sana dan ke mari.
Rina yang berdiri di pinggir jalan sambil menangis serius membuat pengendara yang melintas sekilas memperhatikan, tapi mereka terus berlalu membawa pertanyaan yang tidak akan terjawab.
Rina tidak tahu mengapa ia berada di tempat asing itu. Ia tidak tahu sedang berada di mana. Seingatnya, terakhir ia bersama sahabatnya yang bernama Barada di malam kedua bulan Ramadan. Saat mereka berdua turun untuk melihat penyebab ban mobil Rina bocor, tiba-tiba muncul sejumlah orang berpakaian hitam-hitam bersenjata militer, menodong dan menculik mereka.
Mengingat Barada, yang ia kini tidak tahu nasib dan keberadaannya, membuat Rina sangat khawatir.
Ketika tersadar bahwa tasnya masih ada, Rina yang tidak peduli lagi sebanyak apa air matanya tumpah, buru-buru memeriksa isi tasnya.
Di dalam tas itu, Rina mendapati dompetnya masih ada, lengkap dengan uang dan berbagai macam kartu-kartunya. Telepon seluler (ponsel) miliknya juga ada. Rina segera menyimpulkan bahwa serangan yang melandanya bukanlah bentuk perampokan.
Rina berusaha mengendalikan tangisnya dan mencoba berpikir tenang. Ia memikirkan langkah awal yang harus ia lakukan untuk bisa mengetahui keberadaan Barada.
Rina membuka ponselnya yang masih berfungsi normal. Untuk mengetahui keberadaan sahabat karibnya itu, Rina hanya bisa bertanya kepada satu orang yang nomornya tercantum di daftar kontak, yaitu “Calon Suami”.
“Bang Gazza,” ucap Rina lirih dengan napas yang masih sesegukan oleh tangis yang sudah mereda.
Panggilan Rina terhadap Calon Suami terdengar masuk. Tak perlu menunggu waktu lama.
“Assalamu ‘alaikum, Rin?” salam seorang pria dari dalam ponsel, menyapa dengan lembut.
Belum lagi Rina menjawab, justru tangisannya yang mengemuka, sulit untuk bicara.
Tangisan itu seketika membuat pria bernama Fath Gazza di ujung sambungan telepon terdengar bernada panik.
“Rin! Kenapa, Rin?!” tanya Gazza setengah berteriak khawatir. “Tenang, Rin. Bicara saja dengan tenang, Abang akan mendengarkan!”
“Badar, Bang...,” ucap Rina sambil menangis. “Badar di mana?”
“Oh, Badar,” ucap Gazza lemah, seakan memberi tafsir yang tidak baik.
“Badar kenapa, Bang? Badar sekarang ada di mana?” tanya Rina kian khawatir terhadap sahabat yang baru kali ini ia tangisi sedemikian rupa.
“Badar belum pulang dan belum ditemukan,” jawab Gazza masih lemah.
“Terus, terus... nasib Badar bagaimana, Bang?” tanya Rina masih menangis.
“Insyaallah Badar baik-baik saja,” kata Gazza mencoba menenangkan gadis yang jatuh hati kepadanya itu.
“Tapi saya dan Badar malam itu diserang dan diculik, Bang!” kata Rina masih panik, tangisnya mulai surut.
“Seseorang mengirim pesan kepada keluarga kami yang mencoba meyakinkan kami bahwa Rina dan Badar kondisinya baik-baik saja, tapi orang itu tidak menjelaskan rincian kondisi kalian sebaik apa dan kini ada di mana. Rina sekarang ada di mana?” kata Gazza.
“Tidak tahu, Bang. Saya baru sadar di pinggir jalan raya, tapi saya enggak tahu ada di mana ini,” jawab Rina.
“Jadi Rina belum pulang?” tanya Gazza lembut, memberi sedikit kesejukan tersendiri bagi Rina yang memang sedang membutuhkan seorang pengayom dalam kondisi seperti itu.
“Belum.”
“Rina kondisinya baik-baik saja?”
“Iya, Bang. Saya hanya lemas, lapar dan haus. Saya sangat khawatir sama Badar,” jawab Rina lalu ingin menangis lagi.
Gazza yang menangkap suasana batin Rina segera berkata, “Jangan menangis, Rin. Allah akan bersamamu dan bersama Badar.”
“Iya, Bang.”
“Rina lebih baik sekarang cari tahu sedang berada di mana, lalu telepon Abang, mungkin Abang bisa menjemput Rina,” ujar Gazza.
“Iya, Bang,” jawab Rina seraya tersenyum samar dalam dukanya.
Kalimat terakhir Gazza menjadi kalimat pamungkas penenang dan pembahagia perasaannya. Dijemput oleh pemuda yang dicintai, meskipun pemuda itu belum menyatakan suka pula, adalah hal yang sangat Rina dambakan sejak ia benar-benar merasa jatuh cinta kepada Gazza.
“Saya tunggu Abang Gazza datang ya?” kata Rina.
“Iya, Abang akan datang, insyaallah,” janji Gazza.
“Assalamu ‘alaikum, Bang,” salam Rina menutup sambungannya dengan perasaan berbunga, meski kekhawatiran terhadap sahabatnya tidak akan hilang selama tidak jelas kabarnya.
“Wa ‘alaikumussalam,” jawab Gazza.
Rina memutuskan untuk berjalan menuju rumah warga yang dilihatnya. Langkahnya terlihat bahwa ia memang dalam kondisi lemah.
Namun, ketika melihat sebuah sepeda motor datang dari kejauhan, yang dari jauh sudah jelas bahwa pengendaranya adalah seorang wanita, Rina segera berlari tertatih sambil melambai tangan agar pengendara yang membonceng seorang anak lelakinya itu mau berhenti.
“Alhamdulillah,” ucap Rina begitu bersyukur ketika ibu-ibu bertubuh agak gemuk itu mau menghentikan motornya.
Wajah ibu berhelm biru berambut panjang itu tampak bertanya dan pandangannya separuh mengandung kesiagaan, tampaknya khawatir jika gadis berjilbab cantik yang menghadangnya adalah penipu yang bermaksud jahat.
Rina segera menghampiri seraya tersenyum kelelahan.
“Maaf, Bu!” ucapnya dengan wajah mengerenyit, menunjukkan bahwa dirinya sedang kepayahan.
“Ya?” taya ibu itu, agak tegang.
“Ini daerah mana, ya?” tanya Rina.
“Kebon Nanas, Neng,” jawab ibu itu.
“Kebon Nanas...” ucap Rina lalu diam berpikir. Lalu tanyanya lagi, “Kebon Nanas itu di Jakarta Timur ya, Bu?”
“Iya.”
“Terima kasih, Bu,” ucap Rina sambil tersenyum lemah.
Ibu itu pun segera pergi dengan membawa pertanyaan dalam hati yang ia juga tidak bisa jawab.
Rina kembali menelepon “Calon Suami”-nya untuk memberi tahu keberadaannya.
“Jauh banget saya dibuang,” kata Rina lirih seraya menunggu Gazza menyambut panggilannya. (RH)
**********
Bagi yang suka dengan cerita Om Rudi, tolong bantu dengan rate, like, komentar, favorit, dan vote 😁🙏🙏
"Buat semester ini, kalian sudah siapkan jadwal belajar yang padat?” tanya Marlina seraya duduk santai bersandar, jari tangannya dan matanya tetap sibuk di ponsel mahalnya yang berwarna ungu muda.
“Sudah,” jawab Sinta singkat, ia duduk di sisi kiri gadis cantik berambut ikal sebahu lebih itu, tapi ditata rapi oleh jepit rambut yang berwarna ungu muda mengkilap.
Sinta yang juga cantik dari sisi paras, memandang ke kursi depan samping Bu Rista, sopir wanita yang mengemudikan mobil. Di sisi Bu Rista duduk seorang pemuda seusia Marlina dan Sinta, namanya Rendy. Pemuda berwajah tegas dengan tulang rahang yang menonjol kokoh itu memiliki kulit cokelat sawo matang. Ia mengenakan kaos merah terang yang agak ketat, sedikit menunjukkan lekukan dan tonjolan otot tubuh dan lengannya yang terbentuk bagus.
“Ren, ditanya Marlina!” kata Sinta agak keras kepada pemuda di depan.
“Ah?” sahut Rendy seraya setengah berpaling ke belakang, seolah tidak medengar apa yang tadi Marlina tanyakan.
“Untuk semester ini, sudah siap jadwal belajar yang padat?” tanya Sinta dengan wajah terkesan kesal tapi nada terkesan sabar.
“Ada yang belum siap,” jawab Rendy sambil kembali memandang lurus ke jalan raya.
“Apa?” tanya Sinta.
“Belum siap menembak hatimu, Sin. Hahaha!” jawab Rendy lalu tertawa setengah terbahak.
Gombalan Rendy itu membuat Bu Rista yang fokus di kemudi turut tertawa kencang. Marlina hanya tersenyum. Sementara Sinta mengerenyit kesal, tapi setengah tersenyum agak malu.
“Kenapa belum siap?” tanya Marlina menanggapi.
“Gak tega,” jawab Rendy singkat tapi mengambang.
Marlina yang sangat kenal karakter Sinta dan Rendy itu memutuskan untuk meyempurnakan gombalan Rendy kepada Sinta. Karenanya ia bertanya lagi, “Gak tega kenapa?”
“Gak tega kalau hati Sinta bolong kena tembakan saya. Hahaha!”
Kali ini tawa Rendy kian diriuhkan oleh tawa Bu Rista dan Marlina yang lebih keras dari sebelumnya. Marlina kian tertawa memandang reaksi Sinta yang hanya merengut memandangi Rendy yang tertawa puas.
“Sekali lagi gombalin saya, saya tantangin benaran, berani?” kata Sinta kepada Rendy dengan wajah masih merengut, tapi manis.
“Siapa takut? Dengan syarat!” kata Rendy tanpa berpaling memandang kepada Sinta.
Marlina dan Bu Rista hanya senyum-senyum menyaksikan perseteruan lanjutan antara Rendy dan Sinta.
Sejak Rendy dan Sinta digabungkan dalam tugas mengawal Marlina, pertengkaran-pertengkaran kecil kerap terjadi di antara mereka, tapi tidak sampai ke tahap serius. Karakter Sinta sebagai gadis yang tidak suka bercanda dan selalu serius, justru membuat Rendy yang suka berkelakar kian suka menggodanya.
“Apa syaratnya?” tanya Sinta serius.
“Jangan sampai ketahuan Bos Jenderal.”
“Saya tidak akan memberi tahu Bos Jenderal, tapi saya harus izin dulu kepada Mely,” kata Sinta.
Disebutnya nama “Mely” membuat Rendy mendelik, lalu cepat ia berbalik kepada Sinta.
“Apa-apaan bawa-bawa Mely segala?!” tanya Rendy sedikit sewot.
Reaksi Rendy itu membuat Sinta merasa menang, karenanya ia tersenyum sinis kepada Rendy. Hal itu membuat Marlina tertawa.
“Iya dong, harus seizin Melisa. Kalau tanpa izin dia, lalu dia tahu, saya bisa dicap perampok cinta,” kilah Sinta.
“Gak jadi, batal!” tandas Rendy.
“Mely itu siapa, Ren?” tanya Bu Rista, wanita berusia 35 tahun itu jadi penasaran dengan nama yang membuat Rendy takut ketahuan menjalin cinta dengan seorang gadis.
“Wanita salehah di sekolah yang bulat cantik semanis bakpao lapis cream susu. Dia seleranya yang gemuk makmur,” jawab Sinta.
Bu Rista tertawa kecil. Rendy hanya diam, tidak berkomentar lagi. Ia rela kalah. Ia tidak mau membawa-bawa nama Mely, gadis sekelasnya yang duduk di depan meja guru.
“Mobil Norel ada di belakang, Bu?” tanya Marlina.
“Ada di belakang kita, Neng,” jawab Bu Rista.
Sinta menengok ke belakang untuk memastikan keberadaan mobil Uno Morel, adik angkat Marlina yang biasa mereka panggil dengan nama “Norel”. Sebuah sedan sport berwarna biru bergaris hitam melaju tepat di belakang sedan hitam mewah yang dikemudikan oleh Bu Rista.
“Norel mau keluarin lagu barunya, ya?” tanya Sinta.
“Iya,” jawab Marlina.
“Apa judulnya?” tanya Sinta lagi.
“Kenangan Sapu Tangan Putih,” jawab Marlina lagi, tanpa beralih dari kesibukannya di ponselnya.
“Wah, sepertinya saya banget itu,” celetuk Rendy. “Nanti saya mau jadi orang pertama yang minta tanda tangan di album barunya.”
“Suara kamu juga lumayan merdu loh, Mar, kenapa gak sekalian buat duo sama Norel?” tanya Sinta.
“Terus saya tampil di panggung kemudian goyang sana, goyang sini. Bernyanyi pura-pura sedih, lalu pura-pura senyum. Apa hebatnya jadi artis? Kebahagiaan seolah hanya diukur dari sambutan penggemar dan dari mata penonton,” ujar Marlina.
“Awas, Bu!” teriak Rendy tiba-tiba memperingatkan Bu Rista.
Ciit!
Dengan sigap Bu Rista injak rem, sampai-sampai terdengar decitan ban menggesek aspal dengan keras. Marlina dan Sinta yang tidak bersabuk pengaman jadi tersorong tajam ke depan, tapi keduanya cepat menahan dengan tangan agar tidak tersungkur ke depan.
Mobil sport yang melaju kencang di belakangnya pun turut mengerem mendadak, hingga-hingga jarak kedua mobil tinggal dua jengkal.
Teeet!
Bu Rista spontan tekan klakson panjang untuk sebuah motor yang tiba-tiba mogok di depan laju mobil mereka.
Tampak beberapa meter di depan, sebuah sepeda motor bebek berhenti mendadak. Klakson Bu Rista membuat pengendara motor tersenyum mengaku salah sambil angkat satu lengannya sebagai tanda permintaan maaf. Selanjutnya, pria berkumis pengendara motor itu mencoba menyela engkol motornya yang memang sudah terlihat cukup tua.
Bu Rista yang ingin marah, tidak bisa marah, karena itu bukan kesalahan pengendara, tapi kesalahan kendaraannya. Mau tidak mau mereka harus menunggu sejenak, termasuk mobil Norel.
Setelah motornya kembali menyala, pengendara motor itu kembali lambaikan tangan kepada Bu Rista, lalu melaju pergi.
“Yaaa, lampunya merah,” keluh Rendy.
Kejadian itu memang terjadi beberapa ratus meter dari lampu merah besar. Saat mobil mereka kembali berjalan, lampu yang menyala hijau berganti ke merah. Mereka pun harus menunggu dari awal hingga akhir.
Seiring merahnya lampu, sekelompok bocah jalanan bergerak menyebar untuk mengamen. Dua bocah perempuan berwajah dekil, bahkan seorangnya beringus, berdiri tepat di sisi mobil Marlina. Keduanya bernyanyi cuek menghadap ke dalam mobil, sementara pandangannya beredar ke sana dan ke sini tidak menentu, karena pada nyatanya mereka tidak bisa melihat tembus ke dalam mobil. Keduanya bernyanyi bersama, yang satu bertepuk tangan, yang lain memetik gitar mainan dari plastik.
“Kasihan, anak-anak dipekerjakan seperti ini di jalan raya yang panas,” ucap Sinta.
“Itu urusan pemerintah,” kata Rendy menanggapi. “Karena ada oknum-oknum petugas negara yang mengambil dari praktik bisnis jalanan ini dengan memanfaatkan kekuasaannya.”
Meski Rendy dan Sinta prihatin terhadap nasib anak-anak jalanan yang mereka yakini dipekerjakan oleh para orang dewasa, tapi satu pun dari mereka tidak ada yang berinisiatif membuka kaca jendela untuk memberikan sereceh uang.
Merasa tidak ada reaksi dari dalam mobil terhadap nyanyian mereka, kedua bocah itu terus bernyanyi tanpa menunjukkan wajah kecewa. Mereka kemudian bergeser ke depan di sisi beberapa sepeda motor yang turut menunggu lampu berubah hijau.
“Di lampu merah ini banyak juga anak-anaknya,” kata Sinta sambil melihat ke beberapa titik, terutama di sekitar kolong jalan tol.
Selanjutnya mereka hanya diam sambil memperhatikan lalu-lintas di area lampu merah itu.
“Kenapa anak-anak itu?” tanya Rendy tiba-tiba yang tak seorang pun menjawab, kecuali turut melihat apa yang dilihat oleh Rendy.
Anak-anak jalanan yang tadi menyebar di beberapa titik untuk mengamen atau mengemis, tiba-tiba bergerak bubar dari aktivitas utamanya. Terlihat lebih dari sepuluh anak-anak bergerak dan berlarian menuju ke satu titik di bawah jalan tol.
Hal yang pertama terlintas dalam benak Marlina, Sinta, Rendy dan Bu Rista adalah munculnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang akan menjaring mereka. Tapi, mereka tidak melihat satu pun anggota penertiban itu. Justru beberapa anak terlihat berlari dengan wajah senang.
Marlina dan yang lainnya tidak bisa melihat apa yang membuat anak-anak itu berlari ke satu tempat, karena pandangan mereka terhalang beton jalan tol.
Lampu di depan telah berganti hijau. Bu Rista perlahan menjalankan mobilnya. Seiring majunya mobil, pandangan Marlina, Sinta dan Rendy fokus ke samping mencoba melihat pusat penarik anak-anak jalanan itu.
Setelah mobil melaju, barulah mereka bisa melihat apa yang terjadi.
Di trotoar, di bawah jalan tol, berkumpul anak-anak jalanan mengerumuni seorang wanita berpakaian Muslimah berwarna kuning. Wanita yang masih sangat muda itu berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangan kanannya ke atas yang memegang sapu tangan berwarna putih, seolah memanggil anak-anak yang belum datang kepadanya. Memang, beberapa anak ada yang berdiri di seberang menunggu arus berganti.
“Siapa perempuan cantik itu?” tanya Rendy kepada dirinya sendiri tapi diperdengarkan kepada tiga wanita yang bersamanya.
“Bisa saja dia ibu asuh anak jalanan di lampu merah ini,” terka Sinta.
“Tidak mungkin induk semang muncul terbuka seperti itu, apalagi gadis itu begitu terlihat salehah,” kata Rendy, curiga.
Setelah melintasi perempatan besar lampu merah itu, tiba-tiba Marlina memberi perintah kepada Bu Rista.
“Berhenti di sini, Bu!”
Bu Rista mendelik mendapat perintah itu, tapi segera memberi lampu sen tanda akan menepi.
“Kenapa berhenti di sini, Mar?” tanya Sinta.
Marlina tidak menjawab. Hal itu membuat tidak mungkin bagi Sinta untuk bertanya dua kali, kecuali hanya menuruti kemauan Marlina.
Setelah mobil berhenti, Marlina segera membuka pintu mobil. Rendy dan Sinta segera bergerak turun. Rendy bertindak sigap segera mendampingi Marlina layaknya seorang bodyguard.
Mobil sport biru bergerak melambat di depan mereka. Seorang pemuda yang mengemudikan mobil itu, memandang kepada Marlina dengan wajah bertanya. Marlina hanya memberi tanda agar pemuda yang bernama Uno Morel alias Norel itu melanjutkan perjalanannya. Norel pun terus berlalu meninggalkan kakaknya.
Marlina bermaksud menyeberang ke arah kolong jalan tol. Rendy bertindak sebagai pengawal yang memberi tanda kepada mobil dan motor bahwa mereka sedang menyeberang, sehingga Marlina bisa menyeberang dengan nyaman. Sementara Sinta lekat mendampingi dengan langkah yang tegap.
Setibanya di trotoar lampu merah di kolong jalan tol, Marlina berhenti. Ia hanya berdiri memandang ke seberang sana. Begitu pun dengan Sinta dan Rendy.
Di seberang sana, gadis berjilbab yang tadi melambai-lambaikan sapu tangan putih sedang sibuk membagikan bingkisan-bingkisan kepada anak-anak yang terlihat tertib menerima hadiah tanpa berebut.
Gadis itu cantik dengan wajah yang putih bersih. Senyum cerianya kepada anak-anak membuat lesung pipinya terlihat jelas, meski dari kejauhan. Bersamanya ada seorang lelaki agak kurus berusia 40-an tahun yang membantunya membagikan bingkisan ke anak-anak.
Marlina diam memandang ke seberang. Pandangannya harus menembus lintasan-lintasan kendaraan yang melaju kencang selepas lampu menyala hijau.
Setelah agak lama melihat jelas wajah dan perbuatan gadis berbusana Muslimah seusianya itu, Marlina lalu berbalik pergi tanpa bicara sepatah kata pun. Sinta dan Rendy segera mengawal untuk kembali ke mobil.
“Kenapa, Mar?” tanya Sinta setelah mereka semua kembali berada di dalam mobil dan Bu Rista mulai menginjak gas untuk melanjutkan perjalanan menyusul Norel yang sudah mendahului.
“Saya hanya penasaran,” kata Marlina singkat, lalu kembali mengaktifkan ponsel pintarnya.
“Saya juga heran,” kata Rendy pula lalu turut diam pula.
Sinta tidak berkomentar lagi. Ia pun diam. (RH)
**********
Bagi yang suka dengan cerita Om Rudi, tolong bantu dengan rate, like, komentar, favorit, dan vote 😁🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!