NovelToon NovelToon

Artland Saga: DIARY PARAVISI

Prologue

Atheena (Atina) adalah kota mistis yang menjunjung tinggi figur Athena. Dewi Perang dalam mitologi Yunani.

Di kota ini kemampuan spiritual dianggap tabu dan tidak diterima. Setiap anak dengan bakat lahir seperti ini akan diasingkan sampai mati.

Tapi jika mereka beruntung, seorang Saudagar kaya mungkin akan menebusnya. Entah untuk dijadikan budak atau calon istrinya.

Tapi salah satu dari gadis kecil yang dibeli Sang Saudagar kemudian tumbuh sebagai pembangkang. Lalu bangkit sebagai Pemimpin Ter0ris dan menjadi dalang sebuah gerakan pemberontakan yang meruntuhkan kejayaan Sang Saudagar dan merebut Kota Atheena.

Dan ia menyebut dirinya...

Athena!

_

Namaku, Aisha Maulanna.

Aku lahir tanggal 6, bulan 6, tahun 1996.

Aku terlahir dengan 6 karunia sekaligus 6 tanda kutukan. Di mana setiap kutukan melahirkan karunia dan setiap karunia melahirkan kutukan. Sebagian kutukan adalah karunia itu sendiri. Begitu juga sebaliknya...

Karuniaku-kutukanku!

Dan angka kelahiranku dipercaya sebagai tanda kutukan yang pertama!

***

"Mama..." Pekik seorang gadis kecil ketika sosok perempuan berusia 30 tahun mendorong paksa tubuh kecilnya ke dalam ruang sempit yang biasa digunakan untuk mengisolasi seseorang yang terjangkit virus menular.

Perempuan berusia 30 tahun yang dipanggil Mama itu menjauh dari dirinya kemudian menghilang di balik pintu.

Gadis itu berusaha menahan langkah perempuan itu, tapi seuntai rantai besi membelenggu kedua tangan dan juga kakinya. Membebaninya. Tubuhnya tersungkur di lantai ketika tangan dan kakinya meronta.

Tak lama pintu itu terbanting menutup, disusul suara logam bertautan. Menandakan pintu telah dikunci. Gelap gulita menyelimuti ruang sempit itu.

Tak lama ia mendengar suara rantai bergemerincing. Lalu suara rintihan yang memilukan.

Gadis itu membenamkan wajahnya di antara lipatan tangannya yang bersilangan di lantai. Kemudian terisak. "Belum apa-apa sudah kena kutuk," rintihnya dengan wajah masih tertangkup di antara lipatan tangannya. Bahu kurus gadis kecil itu berguncang akibat isak tangis dan menahan kesal.

Kesal kepada Penulis!

"Dasar penulis keparat!"

_____________________________________________

Chapter 1

Sepasang kaki bersepatu lars menginjak lantai marmer dengan meninggalkan suara berdebam yang membahana ke seluruh selasar.

Seorang pria berambut lurus berwarna hitam mengkilat tengah bertengger di puncak menara Athena dalam posisi berjongkok membelakangi. Rambut panjangnya melecut lembut di bawah punggungnya digelitik angin malam, kemudian menyapu tepi wajahnya ketika sosok itu menoleh. "Athena," desisnya melenting dan menggema seperti di tebing-tebing. "Kita berhasil mencapai puncak!" Lalu sebuah cahaya memancar membiaskan wajahnya.

Gadis kecil itu membuka mulutnya mencoba bersuara. Tapi sebuah cengkeram kuat menancap pada bahunya, membuat suaranya tercekat di tenggorokan.

"Aisha!" Panggilan itu menggelegar di atas kepalanya.

Membuat gadis itu terhenyak dan mendongak seketika.

Semburat cahaya jingga matahari pagi menerobos melalui pintu logam yang baru dibuka.

Gadis kecil berbadan kurus itu mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Ini adalah pertama kalinya Aisha melihat cahaya setelah dua minggu terkurung dalam ruang gelap.

Seraut wajah tirus merunduk di atas kepalanya seraya menatap tajam dari bawah kerudung putih kusam yang dikenakannya.

"Mama..." Aisha menyadari. Kemudian menghela tubuhnya dari lantai tanah yang menjadi alas tidurnya sepanjang dua pekan terakhir. Rantai besi pada tangan dan kakinya berderak ketika ia beringsut mendudukkan dirinya. Mimpi itu lagi, pikirnya. Sudah tiga kali gadis itu mendapatkan mimpi yang sama dalam tiga hari terakhir.

Mimpi tentang dirinya yang telah dewasa. Tentang seorang pria yang sama, yang terus bersamanya hingga ia merasa begitu mengenalnya. Pria berambut sepinggang yang menjadi cinta sejatinya saat ia dewasa. Selain nama dan wajahnya, Aisha merasa telah mengenalnya dengan cukup baik jika suatu saat ia bertemu dengan pria itu dalam kenyataan.

Tapi semua itu hanya mimpi. Aisha mengingatkan dirinya. Pria seperti itu tidak pernah ada dalam kenyataan.

"Kau beruntung, Aisha!" Perempuan berusia 30 tahun itu menghela tubuh kecil Aisha hingga berdiri. "Hari ini kau dibebaskan."

Seringai mencurigakan di sudut bibir perempuan itu membuat Aisha menelan ludah. Langkahnya terhuyung ketika perempuan tadi menyeretnya keluar tanpa melepaskan rantai yang membelenggunya. Seluruh tubuhnya gemetar akibat dua minggu lamanya tak mendapat asupan makanan.

Bilik pengasingan itu dirancang untuk mengisolasi seseorang yang terkena virus menular yang mematikan. Kadang bilik itu juga digunakan untuk mengurung anak perempuan yang baru pertama kali mendapatkan menstruasi. Dalam beberapa kasus, bilik pengasingan juga digunakan untuk mengasingkan seseorang yang dianggap penyihir.

Dan Aisha baru berusia sembilan tahun. Ia belum mendapatkan menstuasi pertamanya. Ia juga tidak mengidap penyakit mematikan yang bisa menulari orang lain. Jadi sudah cukup jelas Aisha berada di dalam bilik pengasingan itu karena alasan ketiga.

Untuk alasan yang ketiga, tidak seorang pun dibiarkan keluar hidup-hidup.

Tak banyak orang dibebaskan dari bilik pengasingan kecuali seseorang telah menebusnya. Tapi ibu Aisha bukan tipe orang yang rela mengeluarkan uang demi kepentingan orang lain. Apalagi untuk Aisha. Meski jika ia memiliki banyak uang. Terutama saat ini, mereka hanya hidup berdua di bawah garis kemiskinan.

Dari mana Mama mendapatkan uang? Aisha bertanya-tanya dalam hatinya.

Sejumlah perempuan berselubung kain lusuh sudah berkerumun di luar bilik pengasingan itu. Para perempuan itu menutup hidung mereka dengan kerudungnya ketika Aisha melangkah keluar.

Sesosok pria tinggi berjubah panjang dengan selubung kain meliliti kepala dan wajahnya, telah menunggunya di depan pintu. Ia berdiri membelakangi cahaya jingga di kaki langit. Wajahnya tak dapat dikenali akibat selubung wajah dan bias cahaya yang menyamarkannya. Tapi terlihat cukup jelas pria itu sudah dewasa. Dan terasa sekali pria itu sedang mengawasi Aisha.

Perempuan di samping Aisya mengembangkan senyum ke arah pria itu dengan keramahan yang dibuat-buat. "Namanya Aisha Maulanna, Tuan!" Ia berkata seraya menepuk-nepuk bahu Aisha. "Usianya sembilan tahun."

Aisha melengak tak mengerti, menatap ibunya meminta penjelasan. Lalu memandang pria di depannya dengan alis bertautan.

"Kau tak sopan, Aisha!" Perempuan itu menghardik Aisha seraya mencubit lengannya.

Buru-buru gadis kecil itu menurunkan pandangannya dan menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Pria berjubah khas Timur-Tengah itu melangkah mendekati Aisha kemudian berjongkok di depan gadis kecil itu dan mendongakkan wajah Aisha. Lalu mengamati ke dalam mata Aisha dengan mata terpicing. Seperti seseorang sedang memeriksa hewan piaraan yang akan dibelinya.

Aisha membalasnya dengan raut wajah datar namun tatapannya tajam. Mata jernih gadis itu berkilat-kilat menyiratkan kecermatan yang tak banyak diketahui orang, kecuali pria di depannya.

Pria itu mengembangkan senyum di balik selubung wajahnya. Lalu memerintahkan perempuan itu untuk melepaskan rantai di tangan dan kaki Aisha.

"Pria ini adalah calon suamimu, Aisha!" Perempuan itu berbisik di telinga Aisha. "Bersikap baiklah padanya. Kecuali jika kau lebih memilih kembali ke dalam sampai kau mati!" Perempuan itu menunjuk pintu ruang isolasi dengan sudut matanya.

Dengan kata lain kau telah menjualku, batin Aisha getir. Tapi mulut gadis itu terkatup rapat dan raut wajahnya tak sedikit pun menyiratkan ketakutan atau kesedihan. Perasaan Aisha telah kebas terhadap situasi apa pun karena terlalu sering merasakan sakit.

Wajah perempuan itu berbinar-binar senang ketika pria itu menuntun Aisha ke dalam kendaraannya. Kemudian berlalu dari hadapannya dengan meninggalkan setumpuk uang yang lebih dari cukup untuk mendapatkan semua barang-barang impiannya yang tak pernah tergapai kecuali hanya dalam mimpinya.

"Apa dia betul-betul ibu kandungmu?" Pria berjubah khas Timur-Tengah itu bertanya setelah mobilnya melesat cukup jauh dari pusat isolasi. Pria itu duduk di bangku belakang, di sisi Aisha.

Aisha menatap matanya sebelum menjawab, "ya!"

Sepasang mata di depan Aisha terpicing, tapi tatapannya berkilat-kilat. Entah marah, entah terkejut. Sulit mengetahui emosinya tanpa melihat raut wajahnya yang terus tersembunyi di balut kain selubung.

Aisha masih menatap matanya tanpa rasa gentar. Siapa yang akan percaya seorang ibu menjual anaknya sendiri, batin Aisha.

Tapi siapa yang tahu bahwa tindakan ibunya itu diakuinya sebagai jasa.

"Aku baru saja menyelamatkannya dari kematian yang memalukan." Amanah berkilah ketika ia memergoki beberapa perempuan seusianya tengah bergunjing.

Perempuan yang tengah berkerumun mempergunjingkan tindakannya itu sontak melengak ke arah Amanah. "Apa kau tak sadar, kau baru saja menjual anak kandungmu sendiri, Amanah?" Seorang perempuan setengah baya menghampirinya. "Aisha baru sembilan tahun, dan pria asing itu kelihatannya sudah berumur!"

"Apa pedulimu?" Ibu Aisha mendengus.

Sementara itu, VAZ-2109 yang membawa Aisha telah melesat jauh meninggalkan desa kecil tempat kelahirannya.

VAZ-2109 menjadi semacam kendaraan utama kelompok Mafia pada 1990-an. Satu-satunya mobil Rusia yang mampu berlari kencang dan relatif bisa diandalkan.

Pria bercadar itu sudah mulai sibuk mengetik sesuatu di layar telepon selulernya. Lalu mengatakan sesuatu pada pengemudi pribadinya dalam bahasa yang tak bisa dimengerti oleh Aisha. Mungkin bahasa Arab atau Rusia. Aisha tidak bisa membedakan keduanya.

Empat jam kemudian, kendaraan itu sampai di sebuah gerbang perbatasan bertulisan: SELAMAT DATANG DI KOTA ATHEENA!

Chapter 2

"Ini rumah barumu, Syeikha!" Seorang perempuan seusia ibunya menuntun Aisha ke dalam sebuah rumah besar bergaya paduan Mesir-Rusia.

Aisha menoleh ke arah pria bercadar ketika pria itu kembali ke dalam mobil. Pria itu balas menatapnya sebelum kendaraannya berlalu meninggalkan pekarangan rumah itu.

"Dan ini kamarmu!" Perempuan itu memberitahu.

Sebuah kamar dengan design interior mewah terbuka di depan mata Aisha. Tapi raut wajah gadis kumal itu tak menunjukkan bahwa ia terkesan.

Perbedaan antara rumahnya dengan kamar itu berbanding jauh dan bertolak belakang, bahkan jika hanya dibandingkan dengan kamar mandinya. Perbedaan antara rumahnya dengan salah satu dari ruangan dalam rumah itu seperti langit dan bumi.

Tapi mata Aisha melihat lebih banyak dari sekedar apa yang dilihat manusia normal. Aisha memiliki kecenderungan melihat peristiwa di setiap tempat, atau di dalam setiap ruangan, dari masa ke masa.

Ia tak peduli seberapa hebat tempat ini di masa sekarang. Ia melihat tempat ini menjadi puing dan reruntuhan. Namun entah untuk waktu kapan. Gadis kecil itu tidak pernah bisa menebak kapan tepatnya sebuah peristiwa terjadi di suatu tempat. Ia tidak pernah bisa membedakan masa lalu dari masa depan sebuah peristiwa yang dilihatnya dalam setiap visinya.

Tapi jelas tempat ini tidak ada bedanya dengan bilik pengasingan yang memperlihatkan kepadanya sebuah masa depan yang membuatnya yakin hidupnya akan berlangsung lama. Itu sebabnya Aisha tidak pernah gentar. Ia telah melihat dirinya tumbuh dewasa dan menemukan cinta sejatinya. Entah di dalam mimpinya, atau di dalam visinya saat ini.

Ia melihat pria yang sama tengah memeluknya di atas tempat tidur asing di depan matanya.

Apakah di tempat ini aku akan menemukan cinta sejatiku? Aisha membatin. Di kamar ini? Tak mungkin pria itu, kan? Pria itu mungkin sudah seusia ibunya atau bahkan lebih tua. Pria dalam mimpinya bahkan tidak lebih tua darinya setelah ia dewasa. Ia melihat pria lebih muda. Dan itu artinya, saat ini pria itu masih anak-anak seperti dirinya.

Aisha kemudian ingat pria itu juga menyebutkan nama Athena. Mungkin maksudnya Atheena, pikirnya. Lalu suara Hannah mengusik lamunannya.

Selesai membersihkan diri dan mendandaninya dengan pakaian baru, perempuan itu menemani Aisha dan menyuapinya. Pelayanan berlebihan seperti itu membuat Aisha merasa tak nyaman. Ia tidak terbiasa dilayani, apalagi sampai makan saja harus disuapi. "Aku bukan orang cacat, Ibu!" Aisha menolak disuapi.

"Panggil aku Hannah saja, Syeikha!" Perempuan itu berkata. "Aku tak pantas mendapat gelar ibu di rumah ini!"

Syeikha? Gelar Ibu? Aisha menatap perempuan itu dengan alis bertautan. "Apakah gelar ibu membutuhkan prestasi tertentu?" Ia bertanya heran.

"Hanya keluarga Syeihk yang disebut ibu dalam rumah ini, Syeikha!"

"Panggil aku Aisha!" Aisha tahu panggilan Syeikha ditujukan untuk menyebutkan istri atau putri raja dalam tradisi Timur-Tengah.

"Tolong jangan mempersulitku dengan peraturanmu sendiri, Aisha! Aku hanya pengasuh. Bekerjasamalah supaya kita tidak ditendang dari rumah ini. Ikuti saja aturan mainnya dan kita semua akan baik-baik saja!"

Aisha melengak menatap perempuan itu. Dia mengerti posisiku, katanya dalam hati. Lalu terdiam dan melanjutkan acara makannya tanpa berkata-kata lagi.

Perempuan itu mengusap rambut cokelat Aisha seraya menatap prihatin. Masih kecil sudah dijodohkan, batinnya miris. "Aku akan menjagamu, Aisha. Bantulah aku supaya aku tidak dihalau dari sisimu, dan berusahalah untuk tidak melanggar peraturan dalam rumah ini!" Ia memohon.

Aisha menyentuh punggung tangan perempuan itu seraya menatap ke dalam matanya dan melihat peristiwa di mana perempuan itu terpuruk dan merangkak di atas hamparan padang pasir. Aisha menelan ludah. Perempuan itu memiliki masa lalu yang kurang beruntung seperti dirinya. Gadis itu mengerjapkan matanya dan tertunduk.

"Maafkan aku, Syeikha!" Perempuan itu menyesali. "Aku sudah lancang mengatakan ini seolah kau anak tiriku."

"Saat kita hanya berdua, kau boleh memanggilku Aisha!" Ia berbisik pada perempuan itu.

Perempuan itu tersenyum lembut dan mengusap-usap bahu Aisha. "Kau akan tumbuh menjadi perempuan paling cantik dan disegani, Aisha!"

Pukul tujuh malam, Aisha mendengar ruangan di luar kamarnya berubah gaduh. Tak lama kemudian, Hannah melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan langkah tergesa. "Syeikh Nizar sudah kembali," katanya dengan napas tersenggal. Dengan gerakan cepat, perempuan itu menyiapkan pakaian baru untuk Aisha dan melumuri tubuh gadis itu dengan wewangian yang teramat asing bagi Aisha.

Aisha menurutinya saja sampai perempuan itu selesai merias tubuhnya dan menata rambutnya, kemudian menuntunnya ke ruang makan berukuran raksasa.

Seorang anak laki-laki berambut cokelat seusia dirinya menatapnya dari sisi pria bercadar itu dengan tampang pongah. Satu anak laki-laki 13 tahun dan satu anak perempuan 11 tahun, juga sudah duduk berhadapan di atas kursi lainnya, di depan meja raksasa dengan aneka hidangan dan perangkat makan yang tertata mewah. Sejumlah pelayan berderet di belakang masing-masing anak dengan wajah tertunduk.

Mereka semua pasti anak-anaknya, pikir Aisha. Tapi kenapa wajah mereka berlainan satu sama lain? Apakah mereka dilahirkan dari ibu yang berbeda-beda? Pria ini pasti memiliki istri segudang, batinnya masam. Tapi di mana istri-istrinya?

Pria bercadar itu menunjuk bangku di ujung meja berseberangan jauh dengan tempat duduknya. Satu-satunya bagian yang memiliki satu tempat duduk. Dan kedua sisi meja itu hanya di duduki Aisha dan pria itu. Tempat duduk lainnya berderet berdampingan. Dan masih tersisa sembilan bangku kosong di kedua sisinya.

Kenapa aku mendapat tempat duduk paling terpisah dari yang lainnya? Aisha bertanya-tanya.

"Perkenalkan, ini Aisha!" Pria itu mengumumkan.

Semua pelayan dalam ruangan itu merunduk hormat ke arah Aisha. "Damai sejahtera, Syeikha!"

Ketiga anak di depan meja itu mengerutkan dahi memandang Aisha, kemudian menatap pria itu penuh tanda tanya.

Pria itu diam saja. Hanya menatap mereka secara bergiliran dengan ekspresi dingin. Lalu kelimanya tertunduk.

Aisha juga tertunduk setelah Hannah menarik kursi untuknya, kemudian membantunya duduk dan menyiapkan perangkat makannya.

"Aisha, perkenalkan ini Valentine!" Pria bercadar itu menunjuk anak laki-laki berambut coklat di sisi tempat duduknya.

Aisha mengembangkan senyum ke arah anak laki-laki itu dengan terpaksa. Anak laki-laki itu hanya mendongakkan rahang dan menatapnya sekilas.

"Yang ini Arya Rachman!" Pria itu menunjuk anak laki-laki paling tua di antara yang lainnya.

Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengangkat dua jarinya dan menyeringai ke arah Aisha.

"Yang ini Lilith Al Maida," katanya lagi seraya menunjuk satu-satunya anak perempuan selain Aisha.

Gadis berusia 11 tahun itu menautkan kedua tepak tangannya di depan wajahnya dan mengucapkan salam.

Aisha membalasnya dengan senyuman ragu. Lalu mencuri pandang ke seberang meja ketika pria itu akhirnya menurunkan cadar.

Tapi jarak tempat duduknya tertaut sepuluh meter dari pria itu.

Aisha tak bisa melihat wajahnya, meski ia bisa memastikan bahwa pria itu tak setua yang dibayangkannya selama ini. Tapi tetap saja jauh lebih tua dari dirinya. Setidaknya pria itu sudah berusia sekitar 25 tahun. Ia tak bisa membayangkan bagaimana wajah pria itu saat ia menikahi Aisha kelak. Aku baru 9 tahun, batinnya getir.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!