NovelToon NovelToon

Black Shadow

Tragedi Kampus

Hari ini adalah awal permulaan bagi Arindita menjadi mahasiswi pindahan di salah satu universitas terbaik di Bandung, karena keputusan keluarga untuk bertolak ke Bandung membuat Arindita harus terpaksa ikut berpindah kampus.

"Are you okay, sweety?" tanya sang bunda, Arindita yang tertunduk lesu pun dengan terpaksa menampakkan senyuman terbaiknya untuk sang bunda. "Hm.. I'm okay." ujar Arindita.

"Kau ingin Bunda antar ke kampus?" tanya bunda lagi, tangan bunda mulai menggenggam tangan Arindita, mencoba memberikan kekuatan bagi sang putri untuk terus semangat menghadapi hari ini, hari dimana ia harus beradaptasi kembali dilingkungan baru.

"Aku bisa berangkat sendiri Bunda, don't worry." balas Arindita. Arindita mulai beranjak pergi meninggalkan ruang makan, ia mencium kedua pipi sang bunda, dan berlalu pergi.

"Aku berangkat Bunda, Bunda jaga diri dirumah ya." ucap nya seraya melambaikan tangannya sebelum memasuki mobil miliknya.

Arindita menghembuskan nafasnya kasar, ia masih mengumpulkan keberanian dan semangat untuk berkuliah hari ini. "Kau pasti bisa, Arindita. Fighting!" ucap Arindita kepada dirinya sendiri. Mobil pun keluar dari area perumahan tersebut dan memecah keramaian kota Bandung siang itu.

***

"What's up Bro.." sapa Ari ke Al yang sedang nongkrong di kantin bersama Julian.

"Sini Ri duduk, kita lagi ngopi nih, kamu mau ngopi Ri?" tanya Al. Ari pun duduk di kursi yang Al berikan untuknya. "Boleh, pas banget nih aku belum ngopi siang ini. Oia, gimana acara nanti malam Bro?" tanya Ari dengan penuh antusias.

"90% ready to show, tapi kita ada kendala nih." jelas Al. Al memutar acak gelas kopinya sambil melamun. "Ada masalah?" tanya Ari.

Ari dan Al sama-sama mahasiswa tingkat akhir yang berkesempatan mengemban amanah menjadi salah satu anggota executive mahasiswa, semua mahasiswa dan mahasiswi kampus kenal dengan mereka berdua, karena mereka adalah penyiar radio dari stasiun radio hits dikalangan para milenial Bandung dan kini mereka berkesempatan menjadi salah satu panitia OSPEK mahasiswa dan mahasiswi baru di kampus tersebut. Sama-sama memiliki postur tubuh yang proposional, doyan gym dan lari. Paras mereka pun terbilang cukup membuat para mahasiswi menggila dibuatnya.

Ada satu yang tidak banyak orang tahu tentang mereka berdua, yaitu bakat sixth sense yang didapat karena keturunan keluarga masing-masing.

"Hm.. Tadi ada mahasiswi baru datang ke kantor BEM (Badan Executive Mahasiswa), perempuan itu memaksa masuk saat kita semua sedang rapat untuk persiapan nanti malam, dia terus bicara bahwa kita harus memindahkan tempat acara dari outdoor ke indoor, kalau kita memaksa untuk terus melanjutkan acara musik di lapangan utama kampus 'mereka' akan datang dan mengusik kita semua." jelas Al, Ari yang mencoba menelaah ucapan Al pun masih bingung dibuatnya.

"Mereka? Siapa yang dia maksud dengan 'mereka'?" tanya Ari penasaran. "Seingat ku, kampus kita tidak punya musuh dengan kampus lain, dan lagi ini kan acara yang digelar oleh kampus, bukan acara event. Lagi pula enggak mungkin kita mindahin panggung yang udah nyaris rampung ke aula utama, impossible Bro kasian dong panitia lainnya, apalagi yang mendekor panggung dari semalam sampai mereka tidak tidur." tambahnya lagi, ia menguatkan Al agar berfikir ulang atas saran dari anak baru tersebut.

"Tapi Ri, entah kenapa firasat ku enggak enak sejak anak itu datang dan menyuruh kita untuk pindah." ucap Al. Dia terus memutar otaknya mencoba menelaah kembali kata demi kata yang diucapkan oleh mahasiswi baru tadi pagi.

"Mungkin gak si menurut kalian, kalau yang dimaksud dengan 'mereka' adalah makhluk tak kasat mata?" tanya Julian yang tak lain adalah salah satu anggota BEM lainnya yang sedang mengopi bersama Al dan Ari di kantin.

Seketika Al dan Ari pun menatap Julian secara bersamaan. "Pftt.." Ari menahan tawanya saat mendengar ucapan Julian.

"Benar kan Al? Kita tidak punya musuh di kampus lain, acara ini saja sudah atas persetujuan pihak kampus, apalagi masalahnya kalau bukan tentang mereka yang tak kasat mata? Aku hanya mencoba menelaah berdasarkan logika ku saja." jelas Julian, Ari pun tersenyum mendengarnya.

"Kau bilang logika, tapi kau membahas sesuatu yang tidak bisa diterima logika. Sudahlah, tidak usah di fikirkan terus, acara hanya tinggal menghitung jam saja. Lebih baik kita fikirin bagaimana caranya supaya acara berjalan dengan lancar." ujar Ari. Kopi Ari pun datang, ia mulai menyesap kopi tersebut.

"Wah, kopi kantin memang tiada duanya." ucap Ari sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa takjub akan rasa kopi yang sebetulnya tidak ada bedanya dengan kopi buatannya sendiri.

"Cih, aku sudah paham dengan gaya mu." ujar Al sambil tangannya melambai memanggil ibu kantin, bersiap untuk membayar kopi miliknya dan Ari.

"Kau memang terbaik Bro." ucap Ari. Mereka pun tertawa dan bercengkrama riang di kantin siang itu.

Lama mereka saling berbagi tawa dan canda di kantin, Al semakin merasa risih, sejak Julian membahas 'mereka' yang tak kasat mata, Al merasa seperti banyak pasang mata yang memantau dirinya dari belakang. Tingkah aneh Al pun tertangkap oleh Ari, Ari mencoba untuk mengalihkan pembicaraan dan mencoba untuk mengajak kedua kawannya pergi meninggalkan kantin.

"Acara sudah mau dimulai nih, yuk ke lapangan, kasian anak-anak yang lain nunggu kita kelamaan." ucap Ari sambil berdiri, dan mematik api ke batang rokok yang sudah ada di mulutnya. Al dan Julian pun mengikuti Ari berdiri dan bersiap meninggalkan kantin.

Saat mereka bertiga beranjak dari kursi kantin, tanpa sengaja Arindita yang sedang duduk di samping meja Ari dan Al pun mampu menyimak semua pembicaraan yang terjadi. Arindita meremas gelas plastik kopi instant miliknya. Wajahnya memucat seperti orang ketakutan, tubuhnya menegang, tangannya gemetar ketika ketiga pria disampingnya berlalu pergi. Arindita memejamkan matanya, mencoba menenangkan otaknya.

"Ya Tuhan, jangan lagi, ku mohon. Aku harap semua tidak lebih sekedar bunga tidur ku saja." lirih Arindita didalam hatinya.

"Neng baik-baik saja?" tanya sang pemilik warung kantin ke Arindita. Arindita yang sedang memejamkan mata pun akhirnya membuka matanya kaget, ia kaget karena elusan tangan ibu kantin di pundaknya.

"Ah.. Tidak apa-apa bu, hanya sedikit pusing." ujar Arindita dengan senyuman ke ibu kantin tersebut. Ibu kantin pun hanya membalas senyuman dan pergi kembali ke dalam warung kantin miliknya.

Arindita pun bergegas pergi dari kantin tersebut, untuk menuju gedung kelasnya. Kebetulan kelas Arindita hari ini akan mulai jam dua siang ini. Selama menunggu jam kelasnya tiba, Arindita mencoba berdiri di salah satu gedung kelas semester empat jurusan Ekonomi. Arindita memfokuskan pandangannya ke arah panggung yang akan dipakai untuk acara kampus malam ini. Arindita tak henti-henti memandangi panggung tersebut.

"Kenapa tempatnya sangat mirip dalam mimpi ku, ku harap mimpi itu tidak terjadi disini." pikir Arindita. Tanpa Arindita sadari ada seorang pria yang menatapnya dan terpesona akan sosok Arindita yang berdiri dari sebrang tempat pria itu berdiri saat ini.

"Aku tidak pernah melihatnya." pikir pria tersebut. Pria itu memberanikan diri untuk menghampiri Arindita.

"Hm, sesi pengumpulan tanda tangannya sampai disini dulu ya, Kakak ada urusan. Tuh lihat Kak Ari lagi nganggur, kalian enggak mau tanda tangannya? Apa kalian tidak tahu dia itu Ari si penyiar radio hits masa kini?" ujar pria itu meyakinkan para mahasiswi baru yang saat ini memburunya tiada henti, dan seketika mereka langsung berpindah ke tempat Ari, dengan penuh semangat pria itu berjalan menghampiri Arindita.

"Kau mahasiswi baru? Aku tidak pernah melihat mu sebelumnya." ucap pria itu, namun Arindita enggan menjawab dan menggubris ucapannya.

"Hey.." sapanya lagi, ia melambaikan tangannya mencoba menyadarkan Arindita dari lamunannya.

"Ah, sorry." ucap Arindita yang mulai tersadar dari lamunannya dan berbalik arah meninggalkan pria itu. Bak pria yang sedang di mabuk asmara, pria itu memberanikan diri untuk meraih tangan Arindita, mencoba menahannya agar tidak pergi sebelum berkenalan. Arindita pun menoleh kesal ke arah pria itu karena belum pernah ada pria yang berani memegang tangannya kecuali sang ayah.

"Kita belum berkenalan, perkenalkan aku Dewa Wicaksono. Lalu siapa namamu?" tanya Dewa dengan penuh senyum mempesonanya. Arindita yang kesal pun akhirnya menepis kasar tangan Dewa yang mencengkram tangannya dan pergi begitu saja meninggalkan Dewa disana tanpa sepatah kata pun. Dewa bukannya marah malah tersenyum senang, baru kali ini ia menemukan perempuan yang mengabaikannya.

"Kita pasti akan bertemu lagi." ucapnya pelan sambil melihat punggung Arindita yang semakin menjauh dan kini sedang menyapa Pak Ruby yang tak lain adalah sepupu jauh Arindita yang bekerja sebagai dosen di kelas bahasa, mereka pun berjalan bersama memasuki kelas.

Kelas yang ramai seketika hening saat pak Ruby masuk bersama seorang mahasiswi cantik dan tomboy. "Siang semua, sebelum kita mulai bapak mau perkenalkan kalian dengan mahasiswi baru yang akan bergabung di kelas ini. Silahkan perkenalkan diri." ucap pak Ruby yang mencoba membuka sesi perkenalan tersebut.

"Hai, nama ku Arindita Maharani, kalian bisa memanggil ku Ar. aku pindahan dari kampus X di Jakarta." ucap Arindita, ia mencoba menampilkan senyumannya walau sulit.

Tok.. Tok.. Tiba-tiba suara ketukan dari arah pintu membuyarkan keheningan, "Maaf Pak, saya telat." ucap Dewa, Arindita terkejut bahwa ia akan bertemu dengan pria ini lagi disini, di kelasnya.

"Oh God, tamat sudah aku harus sekelas dengannya." ucap Arindita dalam hati sambil memejamkan matanya sekilas dan memijit pelan keningnya yang tidak pusing itu.

Dewa berjalan mendekati Arindita, "Kita bertemu lagi, Arindita." sapa Dewa didepan kelas sambil menaruh kedua tangannya kedalam saku celana. Senyuman tak henti-hentinya tersemat di bibir Dewa, Arindita hanya menatap tajam Dewa tanpa ekspresi.

"Baiklah, Dewa silahkan kembali ke kursi mu, dan Arindita.." belum juga pak Ruby selesai bicara Dewa sudah menggandeng tangan Arindita untuk mengekorinya dan duduk disampingnya. Sontak sikap Dewa membuat beberapa mahasiswi lainnya iri dibuatnya. Ruby mencoba menahan rasa kesalnya melihat Dewa yang begitu antusias akan Arindita.

"Duduklah.. Kelas akan dimulai, apa kau berdiri karena ingin mengganti Pak Ruby mengajar?" sarkas Dewa. Arindita mau tidak mau akhirnya menurut dan duduk tepat disamping Dewa. Dewa terus saja tersenyum melihat Arindita yang tak bergeming dibuatnya.

Mata kuliah pun berjalan dengan baik, tak terasa saat ini sudah masuk pukul enam sore, kelas pun dibubarkan karena suasana sudah tidak kondusif, beberapa panitia sudah mulai melakukan check sound. Anak kelas pun sudah mulai berhamburan keluar ruangan, tak terkecuali Arindita.

Awalnya Dewa ingin mengajak Arindita untuk ikut nongkrong di kantin kampus bersamanya, tapi karena dia adalah salah satu pengisi acara tersebut dan harus melakukan GR dengan panitia lainnya, akhirnya Dewa mengurungkan niatnya.

Arindita pun pergi ke Mushola untuk melaksanakan ibadah solat maghrib. Usai solat ia pergi ke kantin dan berdiam diri disana, ia melamun dan masih terus membayangkan mimpi buruknya semalam, kejadian yang satu per satu mulai menampakkan benang merah dari mimpinya itu. Arindita memutuskan untuk membuka laptopnya dan mulai melanjutkan novel miliknya untuk mengalihkan fikiran nya akan mimpinya semalam, hingga tak terasa satu setengah jam sudah ia menulis.

Arindita memutuskan untuk menyudahi kegiatannya, karena acara sudah mulai berlangsung. Arindita mencoba berdiri kembali tepat ditempat ia pertama kali bertemu Dewa. Arindita berdiri dan bersandar di tembok sambil menyesap kopi instant yang ia bawa dari kantin kampus. Arindita tidak menyadari bahwa yang saat ini tampil mengisi acara adalah Dewa dan kawan-kawan.

"Kalian siap untuk lagu kedua?" sapa Ari dari atas panggung dan disaut dengan riuh suara teriakan para mahasiswi dari bawah panggung, ya Ari saat ini mengisi acara sebagai MC dan vokalis. Dewa yang sedang rehat untuk mengatur nafasnya pun seketika terdiam melihat sosok Arindita dari atas panggung.

Tiba-tiba suara teriakan histeris dari seorang mahasiswi yang berdiri tepat dibawah panggung pun membuat semuanya bergidik ngeri. Beberapa panitia mencoba menenangkan mahasiswi tersebut, tapi langkah mereka terhenti saat mahasiswi tersebut tertawa melengking karena kesurupan.

Arindita yang sedang menyesap kopi pun terdiam dan menumpahkan kopinya, matanya terbelalak kaget saat melihat satu per satu para mahasiswi yang ada di lapangan utama terkapar pingsan secara berurutan. Mahasiswi yang kesurupan itu pun terus saja tertawa tiada henti sambil kepalanya bergidik ke kanan dan ke kiri dan menatap ke arah Ari dan kawan-kawan. Ari dan Dewa pun tercengang dibuatnya, apalagi Al yang saat ini ada di balik panggung, seketika mereka yang pingsan satu per satu bersuara, ada yang tertawa, teriak histeris, dan menangis, sama persis seperti kejadian dalam mimpinya.

Beberapa panitia mencoba melerai kesurupan massal yang terjadi malam itu. Pandangan Dewa tertuju ke Arindita yang kini sedang meringkuk ketakutan sambil tangannya mencoba menutup kedua telinganya. Dewa yang sedang diatas panggung pun langsung loncat dan berlari secepatnya ke arah Arindita.

"Stop.. Please... Ini Pasti mimpi. Bunda... Tolong aku bunda... Tolong.." lirihnya, ia mencoba menutup telinganya agar tidak terdengar suara riuh para mahasiswi yang kesurupan massal. Tiba-tiba Arindita dibuat kaget karena seseorang menarik tangannya.

Bersambung...

Awal Pertemuan

"Stop.. Please... Ini Pasti mimpi. Bunda... Tolong aku bunda... Tolong.." lirihnya, ia mencoba menutup telinganya agar tidak terdengar suara riuh para mahasiswi yang kesurupan massal. Tiba-tiba Arindita dibuat kaget karena seseorang menarik tangannya.

"Argh..." teriak Arindita histeris, ia tidak menyadari bahwa itu adalah Dewa.

"Hey, ini aku Ar, Dewa. Tenanglah, kau aman bersama ku." ucap Dewa sambil memeluk tubuh Arindita, kedua tangannya terus menutupi telinganya agar tidak mendengar segala bentuk teriakan dan tangisan histeris para mahasiswi saat itu.

Arindita pun menangis ketakutan didalam pelukan Dewa. "Aku mau pulang Wa, aku takut.." lirih Arindita dalam pelukan Dewa.

"Tenangkan dirimu dulu, aku akan mengantar mu pulang." ujar Dewa. Pandangan Dewa terus saja menuju panggung acara. Arindita terus menangis dalam pelukan Dewa. Arindita pun pingsan, Dewa membawa Arindita pergi dari kerumunan tersebut menuju mobilnya, dan pergi ke tempat lain.

***

Ari dan Al mencoba membantu panitia lainnya untuk menyadarkan beberapa mahasiswa dan mahasiswi tersebut. "Ri, itu perempuan yang tadi pagi ke kantor BEM, ya dia perempuan itu." ucap Al penuh keyakinan.

Ari mencoba melihat ke arah telunjuk Al, dan menghampiri perempuan tersebut, perempuan itu ditahan oleh empat orang sekaligus. Kini Ari sudah berhadapan dengan perempuan itu, ia termenung sejenak melihat wajah dan perawakan perempuan tersebut yang tak lain mirip sekali dengan mendiang sang adik.

"Hihihi, sudah ku peringatkan kalian untuk berhenti tapi kalian tidak mendengarkannya." ucap perempuan tersebut, kedua bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri dengan cepat, suaranya persis sekali dengan suara wanita renta. Kini perempuan tersebut tidak banyak tingkah sejak Ari berdiri dihadapannya, ia hanya tertawa sekilas lalu terdiam lagi, terus saja seperti itu.

"Ri, kita bantu yang lain dulu, tolong urus perempuan ini." ujar salah satu panitia yang tadi sempat memegang perempuan itu. Ari tidak mengiyakan atau pun menolak. Ari hanya terus memandangi perempuan itu. Saat yang lain sudah pergi Ari mencoba mendekat padanya.

"Kami minta maaf jika mengganggu tapi kami tidak punya pilihan lain, bisakah Anda membawa semuanya pergi?" tanya Ari kepada nenek tua yang merasuki mahasiswi baru tersebut.

"Hihihi, aku mau anak ini, aku ingin pergi bersama anak ini. Hihihi." ucapnya.

Tiba-tiba Ari jongkok dan menunduk diam. "Rrrrr, jangan menguji kesabaran ku." ucap Ari dengan suara beratnya, ya bukan Ari yang sesungguhnya berbicara saat ini, namun sang kakek yang sedang meminjam tubuh Ari.

"Me..Mereka menggangu ku dan yang lainnya, jadi aku meminta anak ini sebagai tumbalnya." ucap si nenek yang masih didalam tubuh mahasiswi tersebut. Ari pun berdeham dan mengeram kesal.

"Pergi.." lirih Ari masih didominasi oleh sang kakek.

"Pergi dan tinggalkan anak ini atau aku yang akan menghabisimu." ucapnya lagi sambil tangannya memegang tangan mahasiswi tersebut, Ari masih terus meraung seperti macan, dan tak lama mahasiswi itu pun pingsan, dan Ari pun kembali mengambil alih tubuhnya.

Tepat saat nenek renta itu pergi dari tubuh sang mahasiswi, saat itu pula seluruh mahasiswi yang kesurupan ikut pingsan secara bersamaan. Al hanya terdiam melihat semua tragedi malam ini. Al diam bukan karena takut atau kaget dengan kejadian ini, tapi ia terdiam karena menyaksikan begitu banyak kerumunan banyangan 'mereka' yang tak kasat mata mulai menjauh dan menghilang dari area acara.

Semua panitia pun mulai membereskan dan mencoba menyadarkan satu per satu mahasiswi yang pingsan, memberi mereka minuman dan memberikan minyak kayu putih untuk menyadarkan para mahasiswi tersebut.

"Al kita close aja acaranya ya, keadaan sudah tidak kondusif." ucap Julian dengan nafas yang terengah-engah.

"Ya kita sudahi saja. Oia dimana Dewa?" tanya Al ke Julian, matanya mengedar mencari sosok Dewa.

"Entahlah, tadi aku melihat Dewa pergi berlari ke arah perempuan di gedung sana." ucap Julian sambil menunjukkan arah Arindita berdiri tadi.

"Ya sudah kita beresin satu-satu habis itu kita briefing." ucap Al. Al menepuk pundak Julian dan berlalu pergi menghampiri Ari yang masih mencoba menyadarkan perempuan itu.

"Bawa dia ke kantor BEM, urusan disini biar kita semua yang urus." ucap Al, Al paham bahwa Ari pasti terpukul karena perempuan itu nyaris mirip dengan mendiang adiknya yang sudah lama tiada. Al sebenarnya sudah tahu akan seperti apa respon Ari melihat perempuan itu, tapi Al mencoba untuk tidak memprovokasi Ari terlebih dahulu, sayangnya anak itu 'special' dan pertemuan mereka akan dimulai dari hal seperti ini.

Di lain tempat sesosok kakak beradik kembar mengamati Ari dan mahasiswi baru tersebut, sebenarnya mereka berdua sudah mengamati jauh dari sebelum Ari menghampiri perempuan tersebut.

"Cha, kita tolongin si Kakak itu enggak ya?" tanya Ochi kepada kakaknya, Ocha.

"Hmm, kita ikutin dia mau bawa Laura kemana." balas Ocha. Mereka berdua pun mengekori Ari yang menggendong perempuan tersebut dan membawanya ke kantor BEM sesuai instruksi Al.

Sesampainya di gedung BEM, Ari membaringkan perempuan itu di sofa, ia mencoba mencari minyak kayu putih namun tak bisa menemukan barang tersebut, hingga suara perempuan mengagetkannya, "Kakak cari ini?" ucap Ochi, tangannya menyodorkan barang yang sedari tadi Ari cari.

"Terima kasih." ucap Ari singkat, ia langsung menghampiri perempuan tersebut dan mendekatkan minyak kayu putih di hidung perempuan tersebut.

Ari terus mencoba membaca doa, tangannya terus mengusap tangan perempuan tersebut, Ocha dan Ochi pun berdiri mematung di belakang Ari. Mereka mengamati gerak-gerik Ari. Tidak butuh waktu lama akhirnya perempuan itu tersadar.

"Arghh.." lirih perempuan tersebut, tangannya memegang kepalanya yang begitu sakit, ia mencoba duduk dan menatap Ari lalu ke si kembar.

"Kak..." ucap mahasiswi itu, sambil memegang kepalanya.

"Ya ampun Dek, akhirnya sadar juga." ujar Ochi yang begitu antusias mendengar sang adik sudah sadar sepenuhnya. Ari pun berdiri dan berpindah tempat ke samping sofa, ia memberikan kesempatan bagi si kembar untuk dekat dengan adik mereka.

"Maafkan aku Kak, aku tidak menghubungi kalian sejak aku bertemu dengan wanita tua itu." ucapnya ke Ochi dan Ocha, ia tertunduk takut kedua kakaknya akan marah padanya.

"Abaikan dulu masalah itu, kau baik-baik saja? Apa yang sakit Ra?" tanya Ocha kepada Laura, ya perempuan yang mirip dengan adik Ari adalah Laura atau si kembar menyebutnya Rara.

"Tidak apa-apa Kak, hanya rasanya pundak ku sedikit sakit." ujar Laura. Tanpa memperdulikan Ari disana, Ocha sedikit menyibak kerah kemeja sang adik dan melihat bekas memar biru membekas di pundaknya. Laura memang selalu seperti itu, setiap kali ia habis kesurupan atau tubuhnya dipaksa untuk mediasi pasti akan ada jejak memar di tubuhnya. Ari terkejut melihatnya, baru kali ini ia melihat kejadian seperti ini.

"Apa kau yang menolong ku?" tanya Laura yang menoleh ke arah Ari.

Bersambung..

To The Point

Dewa terus memandangi wajah Arindita yang masih betah tertidur di kursi penumpang. Entah Dewa harus bersyukur atau mengumpat kesal karena tragedi yang terjadi malam ini. Mengumpat kesal karena kesurupan massal tadi membuat Arindita syok dan terpukul, tapi di satu sisi Dewa tak memungkiri bahwa karena kejadian ini ia bisa bersama Arindita.

Dewa mencoba menyingkirkan rambut tipis yang menutupi wajah Arindita ke belakang telinganya. "Cantik.." ucapnya pelan sambil memandangi wajah Arindita. "Tapi galak.." timpalnya dalam hati. Arindita sedikit demi sedikit mencoba membuka matanya, ia sudah mulai bisa kembali sadar dari pingsannya. Dewa yang gelagapan pun mencoba berpura-pura memejamkan matanya dan tertidur.

"Hm.. Aku dimana ya. Ini... Ini jelas bukan mobil ku." ujar Arindita yang mulai sedikit panik karena dirinya belum tahu pasti ada dimana, terlebih karena saat ini ia berada di mobil orang asing. Seketika Arindita menoleh ke arah kursi supir dan melihat Dewa tertidur disana.

"Wa, wake up pls, Dewa..." ucap Arindita sambil menggoyang-goyangkan tangan Dewa mencoba untuk membangunkannya dari tidurnya yang lelap.

"Hoam...." ucap Dewa, ia mencoba akting senatural mungkin agar Arindita tidak menyadari tingkah konyol dirinya saat Arindita tertidur.

"Kau sudah bangun?" tanya Dewa. Dewa membenarkan posisi duduknya.

"Aku mau pulang, tolong antarkan aku kembali ke kampus, mobil ku masih disana." kata Arindita. Tiba-tiba ide brilliant Dewa muncul di dalam waktu yg tepat.

"Lebih baik aku saja yang antar, panitia disana bilang keadaan masih belum aman jadi lebih baik kau pulang dengan ku, biar mobil mu disana, besok aku akan menjemput mu ke kampus jika ada kelas, berikan kunci mobil mu padaku, aku akan mengantarnya ke rumah mu jika besok tidak ada jadwal kelas." jelas Dewa dengan lancarnya.

Arindita membenarkan posisi duduknya menghadap Dewa, "Pertama, kita baru saja berkenalan. Kedua, aku tidak mudah percaya dengan orang baru. Ketiga, aku akan pulang naik bus saja." balas Arindita.

"Begitukah cara mu membalas usaha orang lain yang sudah membantu mu? Lagi pula kau pingsan di pelukan ku, jadi untuk apa aku harus jahat kepadamu? Daripada aku jahat lebih baik aku memanjakan gadis baik seperti mu." ledek Dewa, dengan muka datarnya.

"Ya sudah jika kau bersikeras untuk kembali, kita akan kembali ke kampus saat ini juga, dan aku akan tetap mengantar mu pulang dengan atau tanpa mobil ku. Anggap saja kau sedang berterima kasih kepadaku." ujar Dewa, Dewa mulai menyalakan mobil miliknya, namun Arindita menahan tangan Dewa.

"Kenapa?" tanya Dewa singkat, wajah mereka saling bertemu.

"Langsung antar aku kerumah saja." ucap Arindita dengan ekspresi tersipu malu. Dewa pun sengaja berpura-pura tidak mendengarnya.

"Apa? Ucapkan dengan benar baru aku bisa dengar." ujar Dewa sambil mendekatkan telinganya ke Arindita. Arindita kikuk dibuatnya.

"Dewa...tolong.. Antarkan aku pulang ke rumah." lirih Arindita pelan di telinga Dewa dengan terbata-bata. Dewa yang mendengarnya pun tersipu malu, ia menganggu ku anggun pelan kepalanya.

"Dengan senang hati Nona." jawabnya, Dewa pun bergegas membawa mobilnya pergi menuju rumah Arindita.

***

"Apa kau yang menolong ku?" tanya Haura ke Ari, Ari pun kikuk dibuatnya.

"Ah.. Ya." jawab Ari singkat sambil menatap wajah Haura. Haura mencoba berdiri dibantu oleh si kembar.

"Terima kasih, aku Haura. Salam kenal." kata Haura, ia mengulurkan tangannya mencoba untuk berkenalan dan berjabat tangan. Senyuman di bibirnya terukir indah hingga membuat Ari benar-benar lupa bahwa yang berdiri saat ini adalah orang lain bukan sang Adik.

"A.. Aku Ari Wirawan, kau bisa panggil aku Ari." ucap Ari sambil membalas uluran tangan Haura. "Kau bisa panggil aku Rara atau Haura." balas Haura, mereka pun saling melepas uluran tangan masing-masing.

"Sebentar, kau Ari Wirawan? Berarti kau Ari si penyiar hits masa kini itu?" tanya Haura antusias, matanya berbinar senang.

"Untuk penyiar, iya. Tapi untuk hits, hanya slogan saja." balas Ari kikuk, ia tidak menyangka gadis yang ia tolong mengenali dirinya.

"Wah, aku tidak menyangka akan bertemu dengan penyiar favorite ku dengan cara seperti ini. Kak Ocha, bener kan aku bilang kalau aku pasti akan bertemu dengannya." ujar Haura kepada Ocha yang tak lain adalah Kakak pertamanya, karena terlalu antusias Haura tidak bisa mengontrol dirinya yang begitu bahagia bisa bertemu dengan idolanya. Ocha menyikut tangan Haura agar dirinya tidak membuat malu.

"Ah maafkan adik ku ya, dia sengaja masuk ke kampus ini karena mendengar penyiar favoritnya ada di kampus ini. Sekali lagi kami minta maaf jika sudah membuat Kak Ari tidak nyaman." ucap Ocha. Haura pun hanya diam tertunduk malu.

"Tidak apa-apa, apa kalian tidak lapar?" tanya Ari reflek, ia memainkan jarinya acak.

"Hm..??" jawab Haura dan si kembar secara bersamaan, tanggapan ketiganya membuat Ari terkekeh pelan.

"Aku sangat lapar, ayo!" ajak Ari, ia sudah jalan lebih dulu sambil tangan kanannya ia masukkan ke kantong celana.

Si kembar dan Haura pun saling mencibir satu sama lain karena sikap norak Haura di depan Ari. "Kalau aku jadi kamu aku enggak akan senorak itu Dek." ucap Ochi dengan mencebikkan bibirnya mengejek.

"I don't care." ucap Haura sambil mempercepat langkahnya mengejar Ari yang sudah lebih dulu berjalan di depan meninggalkan mereka bertiga.

"Ish.. Lihat tuh Cha, tingkah ABG-nya masih dia bawa sampai ke kampus." ucap Ochi yang mencoba memprovokasi Ocha.

"Biarkan saja, namanya juga pengagum rahasia, kamu juga akan seperti itu kalau bertemu idolamu." ujar Ocha sambil menepuk pundak Ochi dan melangkah pergi.

"Cha, tungguin aku dong!" teriak Ochi, ia berlari mengejar sang kakak yang lebih dulu pergi meninggalkannya.

Ari dan Haura sudah sampai di kantin kampus terlebih dahulu. Haura memilih untuk duduk di seberang Ari, "Kenapa duduk di situ? Duduklah disini." pinta Ari sambil tangannya menepuk-nepuk kursi yang ada disampingnya. Haura pun tersipu malu saat Ari sendiri yang meminta dirinya untuk duduk disampingnya. Ocha pun datang dan tak lama Ochi pun ikut hadir di meja makan mereka. Tak lama pegawai kantin pun menghampiri meja Ari untuk menanyakan pesanan.

"Kau mau pesan apa?" tanya Ari ke Haura. Haura mencoba berfikir sejenak menu apa yang akan ia pesan.

"Aku ikut Kak Ari saja." jawab Haura dengan senyuman. Mata keduanya saling mengunci satu sama lain.

"Ekhem..." Ochi pun berdeham, suara Ochi pun menyadarkan keduanya dari tatapan masing-masing.

"Ah.. Kalian mau makan apa?" tanya Ari ke si kembar, ia membuka acak buku menu di kantin itu.

"Aku jus alpukat saja Kak." jawab Ochi terlebih dahulu, "Aku jus mangga." lanjut Ocha. Sang pegawai kantin pun menulisnya satu per satu.

"Saya ulangi ya Mas, chiken katsu dua, jus mangga satu, jus alpukat satu. Ada lagi?" tanya pegawai tersebut. Ari pun ingat bahwa mereka berdua belum pesan makanan.

"Hmm.. Jangan lupa air mineralnya ya." ucap Ari, ia mengembalikan buku menu itu ke pegawai kantin tersebut.

"Tidak perlu khawatir mas karena itu sudah satu paket dengan menu makanan yang Mas pesan." jawab pegawai tersebut dengan ramah.

"Oh, baiklah. Terimakasih." jawab Ari. Pegawai itu pun mengangguk dan berpamitan pergi.

Ochi pun memulai obrolan, "Apa kau tak ingin menjelaskan sesuatu, Dek?" selidik Ochi ke Haura. Haura pun diam dan menelan salivanya, ia bingung harus bagaimana menjelaskan semuanya. Ari yang melihat respon Haura pun paham bahwa Haura saat ini tidak ingin membahas kejadian mengerikan yang baru saja ia alami.

"Hm.. Bagaimana kalau kita bahas yang lain saja. Aku belum tahu tentang kalian berdua. Apa... Kalian kembar?" tanya Ari penasaran. Ochi pun memajukan tubuhnya.

"Cih.. Kak Ari memang paling bisa mengubah topik ya." ujar Ochi yang kesal karena Ari mencoba mengubah topik pembicaraannya kepada sang adik.

"Ochi..!" kata Ocha yang mencoba menahan sang adik agar bersikap lebih ramah dengan orang baru terlebih dengan orang yang lebih tua darinya.

"Maafkan adik ku Kak. Ya, kami memang kembar, Kakak bisa panggil aku Ocha dan dia Ochi. Kami mahasiswi semester lima jurusan Ekonomi bisnis." jawab Ocha dengan gamblangnya.

"Kenapa Kakak tidak bertanya balik ke Kak Ari? Bukankah seharusnya seperti itu etika berkenalan?" tanya Haura dengan polosnya.

"Hm.. Ya, Kak Ari jurusan apa?" tanya Ocha basa-basi demi Haura.

"Aku jurusan broadcasting, semester enam." jawab Ari, mereka pun sama-sama tersenyum canggung.

Pesanan mereka pun sudah mereka terima, Ari dan Haura memulai makan sambil terus mengobrol berbagi cerita satu dengan yang lain, begitu pun si kembar. Ochi terus memperhatikan tingkah Ari yang begitu perhatian dengan sang adik.

"Apa Kak Ari suka dengan Adik ku?" tanya Ochi to the point.

"Uhuk..." pertanyaan Ochi sukses membuat Ari tersedak makanannya.

Bersambung..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!