NovelToon NovelToon

JORDAN

Prolog

Lionara Florentine, seorang yatim piatu, tinggal di area pemukiman kumuh bersama adik lelakinya Leon Abraham.

Demi kelangsungan hidup dan biaya sekolah adiknya, Lionara bekerja lebih keras. Saat pagi hari ia bekerja mencuci piring di dapur restoran dan malamnya sebagai pengantar minuman di sebuah Kelab. Hanya pekerjaan yang mengandalkan tenaga itu saja yang dapat ia lakukan, mengingat dirinya yang hanya lulusan JHS.

Saat ini harapan terbesar Lionara adalah bagaimana ia dapat membuat Leon tetap sekolah hingga lulus agar masa depan sang adik tidak berakhir sama seperti dirinya.

"Leon, kamu sudah siap?" teriak Lionara sembari membuka gembok pada rantai sepedanya

"Sudah, kak" sahut Leon, menghampiri Lionara yang sudah berada diatas sepeda tua mereka.

Lionara tersenyum "Ayo naik, nanti kamu bisa terlambat,"

"Siap bos!" seru Leon begitu bersemangat

Lionara mengacak gemas surai halus Leon sebelum mulai mengayu sepeda, keluar dari kompleks kumuh yang mereka tempati selama beberapa tahun ini. Sepanjang perjalanan Leon akan terus bernyanyi dengan riang, sementara dari depan Lionara akan sesekali ikut menyambung nanyian adik kesayangannya itu.

"Belajar yang pintar, jangan buat masalah disekolah," pesan Lionara seperti biasa saat mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah.

"Siap, komandan! " sahut Leon dengan gaya menghormat.

Lionara terkekeh, adiknya ini selalu bersemangat dan ia sangat bersyukur akan hal itu. Ia mengecup puncak kepala Leon sebelum melepaskan anak lelaki itu masuk kedalam lingkungan sekolah. Ia baru akan pergi dari sana setelah Leon benar-benar tidak terlihat lagi.

Lionara kembali mengayu sepedanya menuju restoran, tempatnya selama satu tahun belakangan ini bekerja. Ia sangat bersyukur dapat diterima bekerja ditempat itu, tugasnya hanya mencuci piring-piring kotor yang sangat banyak setiap harinya. Sebelumnya, ia pernah bekerja memunguti barang-barang bekas yang sekiranya masih layak pakai di area pembuangan sampah lalu menjualnya. Setelah itu, ia menawarkan tenaga pada tetangga agar di berikan pekerjaan, seperti mencuci pakaian kotor mereka atau menyetrikanya.

Setelah kematian orang tuanya, kehidupan Lionara dan adiknya begitu sulit. Lionara menjadi tulang punggung untuk mencukupi kebutuhan mereka. Terkadang jika benar-benar tidak bisa mendapatkan uang, mereka terpaksa tidak makan dan hanya bisa menganjal perut dengan air putih. Jika dirinya saja yang tidak makan bukanlah menjadi masalah besar, tapi jangan sampai adiknya juga merasakan hal yang sama. Kerap kali hatinya akan terasa sangat pedih jika ia tidak berhasil mendapatkan sepeser lembar uang untuk membeli makanan buat adiknya.

BRAKKK!!

Sepeda dan tubuh Lionara terpental cukup jauh selang satu menit ketika ia baru memasuki area restoran. Decitan ban Lamborghini hitam itu bergesekan keras, berhenti mendadak melihat sosok yang tiba-tiba datang dari depan.

Meringkuk, kedua siku Lionara menahan agar wajahnya tidak langsung berbenturan dengan aspal. Napas Lionara terputus-putus, berusaha bangkit sekuat tenaga dari posisinya.

"Hei, Nona, apa kamu tidak punya mata?" lelaki dengan kemeja putih digulung sampai siku. Ia berdiri angkuh- bersandar disamping mobil setelah sebelumnya mengecek keadaan mobilnya masih dalam keadaan baik-baik saja. "Jika aku tidak memiliki refleks yang bagus kamu akan mati di tanganku,"

Dingin. Itu yang terdengar oleh Lionara dari suara lelaki itu.

Lionara menumpukkan siku, menahan beban tubuhnya dan bangkit dengan segera. Keringat membasahi dahinya, wajahnya ditutupi setengahnya oleh rambut yang berantakan. Lionara bangun dari posisi sepenuhnya dan dengan tertati ia mengambil sepedanya yang sedikit bengkok akibat benturan tadi. Darah mengucur di lutut dan sikunya.

"Maafkan kelalaian saya, tuan." Lionara membungkuk kecil "saya permisi," tandasnya tanpa mau berlama-lama. Terpincang-pincang, Lionara membawa sepedanya, meninggalkan lelaki itu begitu saja.

Melirik sekilas dari mobil dan penampilan, siapapun tahu kalau lelaki itu bukan pria sembarangan, dan sejak dulu Lionara paling malas  berurusan dengan orang-orang kaya tersebut. Membela diri bagaimana pun, tetap mereka yang berada di golongan rendah akan selalu dipersalahkan. Jadi, daripada membuang waktu lebih baik ia yang menghindar.

Sementara dibelakang, Jordan terdiam melihat sikap datar gadis itu, yang kemudian dengan ringannya berlalu begitu saja setelah mengucapkan kalimat yang terlampau singkat.

Seriously?? Seorang Jordan diabaikan?!

Chapter 1

Jordan melangkah ke dalam klub dengan langkah yang begitu santai. Ia segera menuju salah satu ruang VVIP yang disebutkan Evan saat dihubungi tadi. Begitu menemukan ruangan itu ia langsung membuka tanpa mengetuk.

Seorang wanita penghibur yang Jordan tahu bernama Lana menoleh padanya dan seketika pandangannya berbinar melihat Jordan.

“Jo!!” Lana hendak bergelayut ke arahnya tapi Jordan menghindar ke samping sehingga wanita itu jatuh terjerembab di lantai.

“Maaf, Lana,” ucap Jordan datar, “moodku sedang tidak baik sekarang.” Sambungnya lalu tanpa perasaan ia segera duduk di single sofa dengan kaki bersilang angkuh.

Dengan mulut yang komat kamit tanpa suara, Lana bangkit tertatih. Beberapa temannya yang ada di dalam ruangan tertawa mengejek.

“Ughh…pasti itu sangat menyakitkan” Evan meringis dengan mimik yang dibuat-buat, sedang disebelah kanan kirinya terdapat wanita seksi tengah bergelayut ditubuhnya.

“Al! jangan sampai kau berprilaku menyebelkan seperti Jordan juga jika sedang kesal dari luar sana!” Lana masuk keruangan lagi dengan menggerutu dan langsung duduk di sebelah Aldrich yang tengah menyesap vodka, sama sekali tampak tidak terganggu.

“Jangan salah, Aldrich justru yang lebih berbahaya jika sedang kesal. Bisa-bisa kau dibuat tidak bisa bekerja disini lagi,” koreksi Evan ikut tertawa.

Aldrich memutar bola mata malas. “Keluar kalian semua! Tinggalkan kami bertiga disini.” Aldrich menyandarkan tubuhnya setelah mengusir para wanita itu.

“Kami baru saja bertemu kalian setelah beberapa minggu kalian tidak kemari!” semua wanita yang berjumlah lima orang itu mulai ribut memprotes.

Aldrich menghela napas dan mengalihkan pandangan pada Evan—si maniak yang tidak bisa jauh-jauh dari para wanita sexy itu.

“Evan!!”

“Ck, kau ini merusak kesenanganku saja.” decih Evan sinis “Sudah. Sudah. Kalian

turuti saja.” Evan mengeluarkan berlembar-lembar uang seratus ribuan membayar tip wanita-wanita itu. Mereka langsung menerimanya dan keluar ruangan berbondong-bondong. Beberapa diantaranya menjulurkan lidah pada Aldrich.

“Apa kau ingin bernyanyi?” Evan menyodorkan mic pada Jordan yang sejak tadi hanya diam “Siapa tahu dengan satu lagu membuat suasana hatimu kembali stabil,”

Jordan masih diam tidak menanggapi, memilih menyalahkan rokok lalu mulai mengisapnya.

“Hal apa yang berhasil membuat wajahmu seperti kanebo kering begitu?” kali ini Aldrich yang bertanya.

“Terlihat jelas?” Jordan terlihat menutup matanya, menikmati hisapannya.

“Ck, kan kau sendiri tadi yang mengatakannya bodoh,” rutuk Evan gemas

“Oh”

“Memangnya ada apa?” Evan bertanya penasaran. Pasalnya temannya yang satu ini sangat

jarang menunjukkan suasana hatinya yang tidak baik. Diantara mereka bertiga, hanya Jordan lah yang selalu tampak tenang, dan jangan lupakan sikap menyebalkannya itu yang suka membuat orang lain naik darah.

Jordan menghela napas, mematikan rokoknya lalu menaikkan kedua kaki ke atas meja dengan kedua tangan yang bertopangkan kepala pada sandaran sofa.

“Pak tua itu berulah lagi” pelan, Jordan menjawab

“Om Josep?” tebak Aldrich

“Tentu saja. Memang siapa lagi yang selalu dia sebut Pak tua selain ayahnya sendiri!” gereget Evan

“Kali ini apa?” tanya Aldirch lagi, tanpa menghiraukan ucapan Evan

“Dia memajukan jadwal pertunanganku dengan Yael menjadi bulan depan”

“Lalu apa masalahnya?” Evan mengerut dahi “bukankah hubunganmu dengan gadis itu baik? Ditambah lagi Yael adalah model cantik dan terseksi yang lagi naik daun,”

Aldrich menoyor kepala Evan. “Aiisshh… sakit sialan!” decak Evan, mengelus-elus

kepalanya yang kena jitak.

“Otakmu ini memang tidak pernah jauh-jauh dari wanita seksi!” sekali lagi, Aldrich

mendorong dahi Evan dengan telunjuknya

“Aku pria normal kalau kau lupa.” ralat Evan “tidak seperti kau, yang sejak dari zigot hanya tertarik dengan  Emma, si anak rumahan?! Ck, ck, ck…”

“Itu jauh lebih baik dari pada kau yang murahan!” balas Aldrich sengit

“Oh c'mon dude, Itu sangat nikmat, you know?“

Jordan terkekeh, “Bukankah kita bertiga sama saja?”

“Aku tidak!” tegas Aldrich melotot

“Jadi, apa yang kau lakukan disini?” Jordan menaikkan alis naik turun—sengaja menggoda Aldrich

“Brengsek! Tadi kau yang meneleponku. Sebenarnya aku tidak ingin kemari tapi kau bilang ada sesuatu hal serius yang ingin kau bicarakan” Aldrich menggerutu

Jordan dan Evan tertawa bersamaan. “Sebenarnya kalau kau tidak mau datang pun, tidak masalah. Tapi karna kau sudah bersedia datang, aku menghargai usahamu ini.”

“Yup, benar sekali” sambung Evan. Keduanya saling bersulang sebelum meneguk vodka di gelas mereka kembali. Sedang Aldrich memutar bola mata jengah.

“Jadi, hanya itu masalahmu?” tanya Evan

“Tadi pagi ada juga perempuan yang semakin memperburuk suasana hatiku,”

“Perempuan?” beo Aldrich

“Aku jadi penasaran, perempuan mana yang berhasil membuat seorang Jordan bisa sekesal ini?” Evan menaik turunkan alisnya.

“Well, hanya seorang gadis miskin sombong.” Jordan mengangkat bahu “tadi aku tidak sengaja menabrak sepeda bututnya. Dia mengalami cidera kecil. Dan karna aku sedang butuh pelampiasan, aku memarahinya. Tadinya

kupikir dia akan balik berteriak marah dan minta ganti rugi tapi…”

“Tapi?” Aldrich dan Evan bertanya penasaran

Jordan kembali menyesap vodkanya sejenak, “Dia bangkit terpincang-pincang—minta maaf lalu… pergi begitu saja dengan sepeda bututnya,”

“Hanya itu? dia sama sekali tidak minta ganti rugi?”

“Jika demikian, lalu bagian mana dia membuatmu kesal?” Aldrich mengerut dahi “perempuan itu tidak minta ganti rugi, justru meminta maaf?”

Jordan menghela napas kasar. “Justru karna itu aku kesal. Dia mengabaikanku! Bayangkan saja, jelas-jelas gadis itu miskin, tapi dengan sombongnya dia malah pergi tanpa meminta uangku untuk ganti rugi” Jordan menggerutu kesal

Sementara Aldrich dan Evan hanya diam melongo dan saling berpandangan—menatap Jordan rumit.

“Al, kurasa otaknya ada gangguan. Apa perlu kita membawanya ke psikiater dekat sini?” bisik Evan pada Aldrich

“Kupikir kita harus melakukannya,” sahut Aldrich menyetujui

Jordan menggeram mendengar bisikan mereka yang jelas, “Kalian pikir aku tidak waras, hah?”

“Yes.” Evan mengangguk polos “jika tidak untuk apa kau kesal, sedang gadis itu sama sekali tidak mempermasalahkan perbuatanmu padanya. Tapi kau malah marah tidak jelas.”

“Fix, kami memang harus segera menelepon dokter kejiwaan!” cetus Aldrich

Jordan tertawa sinis, “Kalian mau mati rupanya hari ini ditanganku, eh?”

Setelah mengatakan demikian, secepat kilat Jordan bangkit dan langsung menyerang kedua sahabat konyolnya itu. Mereka bertiga bergelut di tengah sofa bak anak kecil yang memperebutkan mainan—sesekali ketiganya juga tertawa keras.

****

“Kakak, terluka?” tanya Leon saat baru keluar dari kamar setelah menyelesaikan tugas sekolahnya. Matanya membola melihat Lionara yang tengah membalut luka dilutunya dengan kain kasa.

“Ah, i-iya. Tadi kakak kurang fokus, jadi tidak sengaja nabrak tembok terus jatuh deh,” ringis Lionara seraya memasang senyum kakuh

“Jadi bagaimana, apa kakak tetap pergi kerja dengan kaki sakit begitu?” Leon memandang kahwatir pada lutut Lionara.

“Tenang saja, ini sudah tidak sakit lagi.” Lionara berdiri lalu menghentak-hentakkan kakinya bersemangat dilantai "See? Tidak apa-apa, kan?” tunjuk Lionara tersenyum lebar, tapi dalam hati sebenarnya meringis menahan sakit.

“Tapi kak—“

“Tidak ada tapi-tapian. Sudah, kakak tidak kenapa-napa.” Nara mengelus rambut halus Leon sayang “kakak harus berangkat kerja sekarang. Kamu hati-hati dirumah ya,” pesan Nara sambil mengecup puncak kepala Leon lama

“Iya, kakak juga hati-hati kerja disana,” balas Leon, memeluk erat pinggang kakaknya

“Pasti, sayang-nya kakak”

Setelah memastikan adiknya tidak kahwatir lagi, Lionara pun segera berangkat ke lokasi tempat kerjanya yang kedua—di sebuah kelab. Tak ada kesempatan baginya untuk beristirahat, tadi dia hanya pulang untuk mengganti pakaian dan mengganti perban luka pada lututnya, lalu harus berangkat lagi menjalankan kerja shift malamnya yang lain.

Lionara sudah terbiasa bekerja keras, membanting tulang, berjuang dengan kekuatannya sendiri untuk mencukupi kebutuhannya dan sang adik yang masih bersekolah. Tumbuh berdua tanpa kedua orangtua di sebuah rumah reyot di pemukiman kumuh kota tempat dia mencari rejeki saat ini. Hidupnya sangat keras dan penuh perjuangan, dia harus belajar berbagi dan menahan keinginan hati, juga tidak pernah merasakan memiliki barang baru yang dibeli untuk dirinya sendiri. Karna semua gaji yang ia dapatkan digunakan untuk biaya makan dan sekolah Leon.

Pada siapa lagi dia bergantung kalau bukan pada dirinya sendiri?

Dulu saat masih remaja, Nara merupakan putri dari seorang konglomerat. Ayahnya merupakan seorang Ceo

dari perusahan tambang batubara, sementara ibunya adalah seorang chef terkenal. Namun, suatu ketika kejadian naas menimpah keluarganya. Pesawat jet milik ayahnya mengalami kecelakaan dan dikabarkan seluruh penumpang tewas ditempat. Sontak mendengar kabar kematian ayahnya, Ibunya shock hebat dan berakhir depresi. Lalu tepat sebulan pasca kematian ayahnya, ibunya pun ikut menyusul pergi meninggalkan dunia ini. Tinggallah Lionara dan Leon yang pada waktu itu masih berumur dua tahun, berada dalam pengasuhan paman dan bibinya. Adik dari Ayahnya, yang merupakan kepercayaan orangtuanya.

Enam bulan setelah kematian kedua orangtuanya, watak serakah dari paman dan bibinya mulai muncul.

Mereka memanipulasi semua harta warisan milik Lionara dan Leon—dibalik kepemilikannya menjadi atas nama mereka, dengan memanfaatkan Lionara yang masih polos—menandatangani dokumen yang sama sekali tidak ia mengerti.

Dengan tega, paman dan bibinya mengusir Lionara serta sang adik dari rumah tanpa dibekali sepeser uang. Dan dari sanalah, Lionara yang masih remaja mulai merasakan penderitaan dan lika liku beratnya bertahan hidup. Ditambah lagi dengan merawat adiknya yang masih kecil.

Bertumbuh dewasa di lingkungan pinggiran kota yang kotor dan keras menjadikan pribadi seorang Lionara, yang tadinya sosok periang—berubah menjadi sosok yang tangguh namun dingin.

Sekarang sudah hampir sebelas tahun berlalu sejak ia diusir dari rumahnya sendiri. Tertati-tatih Lionara

menjalankan kehidupannya. Tak jarang jika tubuhnya bisa beristirahat sejenak, kerap kali ia menangis diam-diam. Memanjatkan doanya dalam diam adalah hal yang selama ini ia lakukan, berharap semesta memberinya sedikit kebahagiaan. Sungguh, ia sudah sangat lelah. Ia berada di jurang putus asa, hampir menyerah. Namun sekali lagi, hanya demi Leon, dia berusaha untuk tetap kuat dan tegar.

To be continued

 IG: rianitasitumorangg

See youuuu

Chapter 2

“Nara, antarkan minuman ini untuk ruangan VVIP tujuh belas.” Bartender kembali menyodorkan beberapa gelas minuman pada Lionara, setelah sebelumnya ia baru saja kembali dari mengantarkan minuman yang sama ke ruangan yang lain.

Hanya mengangguk, Lionara mengambil nampan berisi minuman yang tadi disodorkan oleh si bartender di atas meja bar.

“Nara, apa kau baik-baik saja?” tanya Jack, sang bartender sedikit cemas. Wajah Nara tampak pucat dan sejak tadi ia memperhatikan cara berjalan  gadis itu sedikit terpincang-pincang. “kalau kau sedang tidak sehat, sebaiknya istirahat saja sebentar. Biar—“

“Aku baik-baik saja, Jack” potong Lionara tersenyum kecil

“Kau yakin?” Jack mengangkat sebelah alisnya “tapi kakimu—“

“I’m okay. Jangan kahwatir,” sela Lionara cepat “apa aku sudah boleh mengantarkan

pesanan ini?”

Jack menghela nafas. Ia tahu, selain pekerja keras dan  tidak banyak bicara, Lionara juga gadis yang keras kepala.  Gadis itu tidak akan berhenti sebelum pekerjaannya selesai.

“Ya, kau boleh pergi. Tapi istirahatlah sejenak jika sudah tidak kuat,” saran Jack menatap cemas pada raut lelah Nara.

Sekali lagi Lionara hanya balas mengangguk, lalu segera pergi dari sana dengan membawa minuman di nampan dengan penuh kehati-hatian.  Lionara melalui pinggiran lantai dansa yang dekat dengan meja sambil melindungi nampannya. Di sisi kanan Lionara banyak orang asing berjingkrak-jingkrak, sedangkan di sebelah kirinya beberapa orang sedang mabuk di meja dan kursi. Sungguh zona yang berbahaya. Jangan sampai orang-orang yang sedang menggila itu menabraknya.

Kebanyakan yang bekerja di sana sebagai pengantar minum adalah waiter. Hanya dua orang wanita. Nara dan Camila—sahabatnya. Camila sudah lama bekerja di kelab, sementara ia baru sebulan. Awalnya manager tidak menerima anggota baru masuk lagi, tapi Camila segera meyakinkan sang manager dan akhirnya setujuh menempatkan Lionara sebagai waitress sama seperti dirinya.

Beruntung selama satu bulan ini tidak ada pria yang melecehkan Lionara meski Camila sudah pernah mengingatkannya akan resiko bekerja di tempat itu. Mungkin penampilan Lionara sudah tertutupi oleh penampilan para wanita penghibur yang ada disana. Pakaian Lionara pun masih terlihat sopan dengan kemeja putih dan celana hitam panjang yang dihiasi oleh celemek panjang juga.

Pelan-pelan Lionara membuka pintu ruangan VVIP tujuh belas itu dengan bahu karena kedua tangannya sibuk memegang pinggiran nampan. Suasana di ruangan itu cukup remang-remang dan cukup ramai. Iewat ekor matanya, ia mengamati ruangan itu secepat kilat. Di ruangan itu mereka sedang asik melakukan kegiatan

masing-masing. Ada yang bernyanyi di sofa tempat karaoke yang membuat suasana menjadi berisik, sementara selebihnya hanya duduk-duduk dengan para wanita penghibur yang juga sibuk bercanda ria menuangkan minuman. Mereka sepertinya tidak menanggapi kehadiran Lionara dan ia memanfaatkannya dengan cepat menaru semua minuman itu di atas meja.

Ia selesai meletakkan gelas terakhir saat merasa ada seseorang yang memperhatikannya dan Lionara pun mendongak waspada. Ternyata salah seorang pria di sana tersenyum dan menyodorkan uang tip padanya.

Lionara merasa familiar dengan wajah pria itu. Ia menyipitkan matanya—memperhatikan raut wajah rupawan di hadapannya dan…

Astaga... dia adalah pria angkuh yang menabraknya tadi!

Cepat-cepat Lioara menundukkan wajahnya, “Tidak. Terima kasih, Tuan.” tolak Lionara sopan, berbalik hendak keluar. Tidak. Ia tidak bisa menerima uang tip dari pria angkuh itu. Meskipun ia sudah biasa menerima uang tip setelah mengantarkan minuman, tapi kali ini ia sama sekali tidak ingin menerima uang itu.

“Tunggu,” Jordan menggamit lengan gadis itu dan menariknya sehingga kini mereka berhadap-hadapan. Gadis itu menatapnya dan meski situasi disana tidak terlalu terang, Jordan dapat melihat mata gadis itu yang berwarna… hijau?

Lima detik… sepuluh detik… dua puluh detik…

“Ada apa, Tuan?” tanya Lionara dengan raut datarnya, sedang tangannya yang lain segera melepas cekalan lelaki itu darinya. Ia kembali menunduk.

“Eh?” Jordan mengerjap bingung. Dalam hati merutuki kebodohannya yang bisa-bisanya sempat terpanah dengan mata hijau milik gadis itu. Berdehem, Jordan tersenyum, “Aku

tahu kamu buru-buru, Nona, tapi setidaknya tolong ambil tip ini,” Jordan kembali mengulurkan uang ditangannya.

Lionara mengikuti arah pandang lelaki itu pada tangannya yang mengulurkan uang.

“Maaf, Tuan. Tapi saya tidak bisa. Permisi.” Sekali lagi Nara membungkuk sopan lalu segera pergi dari sana, meninggalkan Jordan yang benar-benar termangu.

Apa dia ditolak lagi?

Oh! Bagus! Hari ini dia benar-benar telah diabaikan sebanyak dua kali oleh seorang

wanita!

Bagus sekali…

****

Jam sudah menunjukkan pukul dua malam, kelab malam ini semakin ramai dan bergemuruh ketika dini hari makin menjelang. Suara entakan musik yang berdentam kian menguji kekuatan gendang telinga yang beradu keberanian dengan debaran jantung di dada. Sementara manusia-manusia yang datang semakin banyak, memenuhi lantai dansa dan tempat-tempat duduk mewah yang telah disiapkan. Malam minggu semakin membuat keramaian di kelab ini tak terkendali.

Para bartender sibuk menyiapkan minuman beralkohol dengan berbagai varian campuran rasa ke pelanggan yang sama sekali tak keberatan untuk mabuk di malam gegap gempita ini. Baik Lionara dan para pengantar minuman yang lainnya pun sibuk berlalu lalang di antara tamu mengantarkan botol-botol minuman berkadar Alkohol dari ruangan satu ke ruangan yang lainnya.

“Hei, ternyata kau wanita!” teriakan seorang pria mabuk yang ada di samping Lionara membuatnya terkesiap. “ayo temani kami sebentar saja.”

Pria mabuk itu dengan seenaknya menggamit pinggang Lionara dan itu memunculkan perasaan waspadanya seketika. Kalau dia diam saja, maka ia akan dilecehkan. Selama ini pekerjaannya terasa damai dan baik-baik saja. Kenapa disaat-saat seperti ini malah mendapat pelecehan?

“Tuan, mohon lepaskan tangan anda,” ucap Lionara, menahan geraman pada nada suaranya. Sebisa mungkin ia tidak ingin memancing keributan, yang nantinya malah membuatnya kehilangan pekerjaan ini.

“Apa? Melepaskanmu? Tidak semudah itu, Nona. Kau harus menari bersama kami dulu” racau pria mabuk itu, semakin melekatkan tubuhnya pada Lionara.

Lionara memejamkan mata frustasi, ia memeluk kuat ketiga botol minuman di dadanya. Ia sudah berusaha menormalkan napasnya yang mulai tak beraturan—ketakutan kian melingkupinya. Dan saat tangan pria mabuk itu mulai merajai tubuhnya, dengan tergesa-gesa ia menarik tubuhnya agar lepas dari cengkraman tangan pria itu. ia

kehilangan keseimbangan dan dari sudut matanya Nara sempat melihat ketiga botol yang ia bawa melayang membentur lantai dan…

PRANGGGG!!!

Botol itu pecah berkeping-keping dan seluruh isinya berhamburan di dekat lantai

dansa.

Orang-orang di sekeliling Lionara ikut terkejut dan tidak bergerak, menonton Lionara yang juga sedang membeku dengan wajah pucat pasi, menatap nanar pada kekacauan yang ia ciptakan di lantai. Nara berharap ini semua hanya mimpi, tapi ia cukup sadar bahwa ini semua nyata.

“Dasar bodoh! Salahmu sendiri menghindar tiba-tiba!” bentak pria yang tadi menarik pinggangnya.

Lionara tidak mempedulikan. Percuma berdebat dengan pria mabuk. Ia hanya memikirkan bahwa manager kelab malam ini sebentar lagi akan memarahinya dan menganggapnya tidak becus bekerja padahal ia anak baru.

Dengan gerakan yang begitu kakuh, Lionara melangkah mendekati pecahan beling dan tumpahan

minuman tadi—ia berjongkok. Air matanya menetes keluar begitu saja, tadi Jack sudah mengingatkannya untuk berhati-hati membawa botol-botol minuman itu karna harganya sangat mahal. Oh Tuhan… apa

yang harus ia lakukan sekarang? Ia benar-benar dalam masalah besar. Bukan hanya resiko dia dipecat, tapi dia akan dituntut untuk membayar mahal kerugian dari minuman tersebut.

Lionara menoleh ke sekeliling, orang-orang disana masih menatapnya dengan pandangan

mencemooh—tidak ada satu pun yang berinisiatif untuk menolongnya. Bodoh, kenapa dia malah mengharapkan

orang-orang itu mau berbaik hati menolongnya.

Lionara menghapus air matanya kasar, dan dengan tangan yang masih bergetar ia mulai

memunguti pecahan kaca itu dengan air mata yang terus mengalir. Beruntung cahaya kelab dalam keadaan remang-remang sehingga orang-orang disana tidak akan bisa melihat air matanya.

Tapi tanpa Lionara sadari, di balik kerumunan orang-orang itu, sejak tadi Jordan berdiri tenang di sudut ruangan—melihat semua kejadian yang menimpahnya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.  Ia menatap Lionara tanpa ekspresi. Tadinya ia dan kedua sahabatnya akan kembali pulang, tapi ketika hendak melewati area lantai dansa, langkahnya terhenti oleh keributan kecil yang tak jauh darinya. Sedang Aldrich

dan Evan yang sudah setengah teler tampak tidak terusik dan malah meneruskan langkah mereka keluar dari kelab.

Malam ini entah mengapa, untuk pertama kalinya ia cukup tertarik dengan situasi yang terjadi di sekitarnya. Padahal selama ini dia sama sekali tidak pernah sekalipun tertarik mencampuri urusan orang lain. Hanya karna gadis pemilik mata hijau itu, ia memutuskan berdiri diam menonton disana. Ia melihat Lionara yang hampir

dilecehkan dan gadis itu terjatuh bersama botol-botol itu. Gadis itu melangkah kakuh menghampir pecahan botol dan berjongkok disana.

Jordan menajamkan matanya saat melihat gadis itu mulai memunguti pecahan kaca. Tubuh

gadis itu gemetar. Atau… cuma perasaannya saja?

To be continued

IG : rianitasitumorangg

See youuuuu ^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!