NovelToon NovelToon

DIBALIK EMOTICON CINTA 1515

Eps. 1. POHON CINTA

POHON CINTA

Selalu ada cinta dalam persahabatan. Karena persahabatan tidak akan terjadi kalau tidak ada dasar cinta di dalamnya. Dan rasa cinta itu bisa terus tumbuh dan berkembang karena ada dua hati yang saling mengerti dan saling memahami.

Kaki-kaki kecil Miryam berlari cepat, mengejar tubuh Santika yang berlari mendahulainya. Tubuhnya ringan melayang diatas ilalang yang kering. Angin musim kemarau berhembus kencang. Membawa debu yang menyakitkan mata.

“Aduh!” teriaknya kesakitan. Matanya terasa perih dan aneh, karena ada sesuatu yang mengganjal di kelopak matanya. Secara reflek kedua tangannya menggosok mata yang sakit.

Santika langsung berhenti, lalu berbalik menghampiri gadis kecil sahabatnya itu.

“Jangan gosok matamu Miryam” ujar Santika.

“Sini aku tiupin.”

Miryam menengadahkan kepalanya. Santika memegang wajahnya. Miryam memandang wajah Santika yang begitu dekat. Nampak kedua pipi Santika menggelembung karena menahan angin di dalam mulutnya. Lucu sekali, gadis kecil itu jadi ingin tertawa.

“Wush!” Santika meniup matanya sekuat tenaga.

“Aduh!” teriak Miryam sekali lagi.

Santika terkejut. “Kenapa Mir? Batunya sudah keluar kan?”

Miryam mengangguk.

“Batunya sih sudah keluar.”

“Lalu?”

“Air ludahmu masuk ke dalam mataku.”

Hahaha…mereka tertawa tergelak sampai keluar air mata...

“Miryam!” panggil ayahnya. Miryam menoleh, lalu melambaikan tangannya kepada ayahnya, Ki Jogoboyo.

“Santika aku pulang dulu ya?” kata Miryam sambil menatap Santika lagi.

Santika menganggukkan kepalanya, tapi kemudian memegang tangan Miryam.

“Ini untukmu.”

“Hah? Ini kan bibit pohon jambu? Buat apa?” Miryam penasaran.

Santika menggeleng cepat. “Bukan! Ini Pohon Cinta.”

Miryam mengerenyitkan keningnya. Lalu tersenyum.

“Huh! Dasar makhluk aneh.”

“Biarin. Biar aneh tapi ganteng.”

Huu..bibir Miryam jadi monyong.

Hahaha..mereka tertawa lagi. Lalu terdiam, menikmati senja. Warna tembaga mentari sore menandakan bahwa waktu bermain telah usai.

“Aku tanam dimana pohon jambu ini, Santika?”

Santika menggelengkan kepalanya sambil menatap mata indah itu.

“Oh, pohon cinta,” ujar Miryam sambil tertawa.

“Tanam saja di halaman rumahmu, biar mudah aku mencarinya,” sahut Santika.

Mereka tertawa lagi sampai ki Jogoboyo melambaikan tangannya, memberi tanda agar Miryam segera pulang ke rumahnya.

***

Sepuluh tahun kemudian, tahun 1515 Masehi. Di sebuah tempat hiburan dan perjudian yang dinamakan Kalangan, suara gamelan berkumandang di siang hari yang panas. Para Ronggeng, melenggak-lenggok diatas panggung. Bergoyang membasahi tubuhnya dengan aroma keringat yang bercampur dengan wewangian penarik syahwat laki-laki.

“Goyang terus. Tarik Mang!”

Suara tawa dan caci maki terdengar riuh rendah. Tuak, arak dan ciu tersaji dimana-mana.Orang-orang setengah mabuk menari dalam gerak yang tak beraturan.

Lalu gadis-gadis datang ke pertunjukkan bagai bunga-bunga yang siap dihisap para kumbang. Dengan pakaian yang tipis dan ketat, menonjolkan bagian dada dan memperlihatkan perutnya.

Perempuan-perempuan yang tidak peduli lagi dengan masalah kehormatan.

Dari atas sebuah menara bambu, Dhadungawuk, mengawasi keadaan. Perawakannya yang tegap dan berotot membuatnya nampak begitu gagah berdiri diatas menara.

“Dadhung! Lihat dibawah ada yang berulah!” teriak Wiro, salah satu anak buahnya.

Seorang pemuda menjadi bulan-bulanan sekelompok laki-laki lainnya. Diantara suara teriakan dan sumpah serapah, tubuhnya dihujani pukulan dan tendangan hingga jatuh tersungkur. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Dadhung melenting turun ke bawah.

“Kenapa kalian memukulinya?”

“Dia mencuri uang dari bandar,” jawab salah satu dari mereka.

Dadhungawuk menatap tajam seeorang di belakang meja besar tempat perjudian, lalu memberi tanda agar orang itu mendekat. Dengan kaki gemetar sang bandar menghampirinya.

“Berapa uang yang sudah dihabiskan di kalanganmu?”

“Seratus keping uang emas”

Wajah Dadhung mengeras, menunjukkan ketidaksukaannya. Orang-orang terdiam. Tangannya bergerak cepat. Tanpa diduga dia menempeleng kepala sang bandar judi.

“Semua orang yang datang ke Kalangan adalah tamuku. Tidak boleh ada yang bertindak melebihi batasanku!” teriaknya.

Bandar dan teman-temannya mundur ke belakang. Mereka semua tahu akibatnya kalau Dadhungawuk marah. Seperti membangunkan harimau yang sedang tidur.

“Wiro,” panggil Dadhungawuk kepada Junggul Wiro, orang kepercayaannya.

Lelaki nertubuh raksasa itu datang mendekat. Lalu berjongkok seperti memeriksa pemuda yang terkapar itu. Wajah pemuda itu nampak bersih pertanda kalau dia bukan orang biasa. Memakai pakaian sutera berwarna ungu tua dengan sulaman benang emas, seperti pakaian orang-orang kaya di Kotaraja.

“Kau mengenalnya?” tanya Dadhungawuk.

Wiro mengernyitkan keningnya, seperti mengingat-ingat sesuatu. Tapi kemudian menggelengkan kepalanya.

“Tidak. Tapi melihat pakaiannya dia pasti sering ke Kotaraja,” katanya.

Dadhungawuk menangkap kata-kata orang kepercayaannya itu. Artinya pemuda mabuk yang tergeletak berlumuran darah itu bukanlah orang biasa dan juga bukan orang Jalatunda. Wajahnya memerah, pertanda dia semakin marah. Suasana menjadi tegang.

“Hiya! Hiya!” terdengar derap kaki-kaki kuda yang berlari mendekat. Nampak debu jalanan mengepul di belakangnya.

“Berhenti!” teriak orang yang berkuda paling depan.

Di depan Kalangan mereka berhenti, tertarik dengan keributan yang terjadi di Kalangan. Dadhungawuk memperhatikan mereka.

Rupanya serombongan pemburu yang baru pulang dari hutan. Pemimpin mereka, seoarang laki-laki muda, langsung turun dan berjalan ke dalam Kalangan. Beberapa pengawalnya ikut turun. Di belakangnya, sekelompok orang membawa keranjang besar terikat di punggungnya. Bau anyir darah hewan korban perburuan langsung menyengat.

“Ada masalah apalagi Dadhung?” tanya pemuda itu tanpa memandang Dadhungawuk.

Wajahnya begitu tenang dan bening seperti air telaga. Kulitnya putih dan matanya menatap lurus ke depan. Pertanda kalau pemuda ini memiliki kecerdasan diatas orang-orang lainnya. Yang jelas dia adalah tipe pemuda yang memiliki kekuasaan.

Seketika anak buah Dadhungawuk langsung merapat di belakangnya, siap untuk bertarung. Suasana menjadi semakin menegangkan. Beberapa penjudi memilih pergi keluar lalu memperhatikan peristiwa itu dari luar Kalangan. Dadhungawuk tetap berdiri tegak, namun wajahnya menunjukkan rasa sungkan. Rupanya pemuda ini benar-benar bukan orang sembarangan.

“Hanya masalah kecil Santika. Tidak ada urusannya denganmu,” ujar Dadhungawuk seolah sedang mengusir putera Lurah Jalatunda itu.

Namun Santika, putera Lurah Jalatunda, terus berjalan. Bahkan dengan tenangnya melewati Dadhungawuk. Tanpa menghiraukan berandal desa itu, dia mendekati korban pengeroyokan tadi. Diamatinya dengan seksama, betapa terkejutnya Santika. Sambil berjongkok, dia memberi tanda para pengawalnya agar cepat menolongnya.

“Darsin, kemarilah. Segera tangani pemuda ini,” perintahnya.

Lalu dia berdiri dan berbalik kembali memandang Dadhungawuk dan anak buahnya. Wajahnya kali ini nampak marah.

“Tidak ada urusannya denganku?” tanya Santika balik bertanya. Lalu dengan suara keras dia berkata, “ Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di desa ini yang bukan urusanku! Bahkan seekor semut pun, bila mau masuk ke desa ini, dia harus meminta ijinku!”

Dadhungawuk tak bereaksi, tapi hatinya dipenuhi tanda tanya. Kenapa Santika begitu marah? Sesuatu yang jarang dilihatnya. Sesungguhnya Santika adalah teman kecilnya. Namun mereka berasal dari keluarga yang berbeda. Santika adalah putera Ki Reksoyudho Lurah Jalatunda, sedangkan dia adalah putera mbok Radis, juru masak di Dalem Kelurahan.

Eps. 2. FIRASAT MIMPI

FIRASAT MIMPI

Seperti sebuah kutukan yang selalu bersenandung di tiap kehidupan, kekerasan seperti rumput liar yang tidak akan mati walaupun mengalami kemarau yang panjang. Suasana di tempat perjudian Kalangan terasa begitu mencekam. Sebagian besar orang masih memusatkan perhatiannya kepada Santika, putera Lurah Jalatunda. Hanya beberapa pengawal yang begitu sibuk menolong pemuda yang menjadi korban pengeroyokan anak buah Dadhungawuk, sang Berandal Jalatunda. Pengawal-pengawal lainnya bergerak mengepung tempat perjudian terbesar di kadipaten Wirasaba bagian selatan.

Santika berdiri tegak di tengah-tengah Kalangan. Pandangannya menatap tajam Dadhungawuk dan anak buahnya. Wajah pemuda berparas tampan itu nampak memerah karena marah.

“Dan hari ini, untuk kesekian kalinya, kalian telah membuat masalah besar!” bentak Santika. Pandangannya memutar, memandang orang-orang yang ada disitu satu persatu.

Orang-orang saling memandang satu sama lain, lalu mengalihkannya kepada pemuda yang tergeletak tadi. Siapa pemuda itu sehingga Santika begitu marah?

“Kalian tahu siapa pemuda yang sekarat dihadapanku ini?” tanya Santika.

Orang-orang hanya terdiam, seperti Dadhungawuk mereka juga merasa penasaran.

“Ini adalah Glagah Jenar, putera Panembahan Somawangi, penguasa tanah perdikan Somawangi,” tegasnya.

Semua orang tersentak. Panembahan Somawangi? Dia adalah salah satu panglima perang yang diberi tanah perdikan* oleh Kanjeng Sinuhun* Penguasa Mataram.

Santika memandang tajam Dadhungawuk yang berdiri mematung. Berandal itu tidak mengenal Glagah Jenar, tapi dia tahu siapa Panembahan Somawangi. Seorang sakti yang datang dan perginya seperti angin malam, kita bisa merasakan sejuknya sekaligus bahayanya. Kalau benar pemuda itu adalah puteranya, itu artinya mereka akan menghadapi kemarahan sang Panembahan.

Anak buah Dadhungawuk serentak mundur menjauh. Wajah-wajah mereka menjadi gelisah. Hanya Junggul Wiro yang masih tegak berdiri dibelakang bosnya.

“Dasar begundal-begundal bodoh tak berguna!” bentak Santika lagi. “Sekarang kalian berada dalam masalah besar!”

Lalu dia berbalik memandang Dadhungawuk.

“Dan kau Dadhung, jangan kemana-mana. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan anak buahmu!”

Tanpa bicara lagi pemuda tampan itu segera menaiki Jalitheng, kuda hitam kesayangannya. Dengan sekali sentak, Jaliteng langsung melesat membawa tuannya pulang ke Dalem Kelurahan diikuti para pengawal lainnya.

***

Di Dalem Kalurahan, Lurah Reksoyudo sedang berbincang serius dengan Eyang Senthir. Lelaki tua berpakaian serba putih itu adalah seorang Acarya, pendeta Budha yang bertugas menjaga Sanggar Pamujan, tempat peribadatan penduduk desa Jalatunda.

“Apa yang akan kau sampaikan Acarya. Kenapa wajahmu begitu gelisah?” tanya ki Lurah Reksoyudho.

Eyang Senthir menghela nafas panjang. Sejak pagi dia nampak begitu gelisah, memikirkan mimpi yang dialaminya tadi malam. Dia melihat matahari kembar di Jalatunda.

“Aku mempunyai firasat buruk dengan mimpiku ki Lurah. Bagaimana mungkin ada matahari kembar yang begitu panas membakar desa kita?” kata Eyang Senthir.

Lurah Rekso memandang wajah Acarya. Dia tahu brahmana suci yang duduk didepannya itu memiliki firasat yang tajam. Karena itulah dia sangat memahami kekhawatiran sang Acarya.

“Lalu apa yang harus aku lakukan Acarya?” tanya ki Lurah.

Eyang Senthir menggelengkan kepalanya. Firasat hanyalah gambaran semu akan sesuatu yang akan terjadi dimasa mendatang. Tapi kita tidak akan pernah mendapatkan jalan keluar sebelum firasat itu berubah menjadi kenyataan.

“Oh, Dewata Jagad Batara, lindungilah kami dari segala serangan setan manusia dan setan dalam wujud siluman ghaib,” desisnya.

Lurah Rekso menerawang ke langit mendengar doa-doa Acarya.

“Sudah empat puluh tahun aku memimpin desa ini menggantikan ayahku. Dan selama itu, kita hidup baik-baik saja. Bahkan panen tahun ini pun berlipat melebihi tahun sebelumnya. Mudah-mudahan kekhawatiranmu hanyalah firasat yang tidak nyata Eyang”

Eyang Senthir mengangguk-anggukkan kepalanya. Benar semua apa yang diucapkan Lurah Rekso. Jalatunda memang desa yang sangat makmur, bahkan terlalu makmur.

Terletak di sudut pertemuan antara dua perbukitan besar, perbukitan Kethileng dan perbukitan Girilangan, Jaltunda diberi begitu banyak keberkahan. Tanahnya sangat subur, apapun yang ditanam warga desa pasti memberikan hasil yang berlimpah. Air tidak pernah kekurangan. Sungai Tambra yang membelah desa menyediakan air dalam jumlah yang cukup untuk semua kebutuhan warga desa. Mandi, mencuci, mengairi sawah dan keperluan lainnya. Ibarat tongkat kayu dilempar ke tanah Jalatunda pasti akan tumbuh dan berkembang dengan baik.

Tapi sayang, keadaan ini membuat mereka lupa diri. Kemakmuran yang begitu melimpah membuat warga Jalatunda mulai meninggalkan jalan tuhannya. Mereka mulai jarang datang berdoa ke sanggar pamujan. Hari-hari mereka disibukkan untuk memikirkan menghabiskan uang mereka. Mereka begitu acuh dengan nilai-nilai agama, walaupun mereka masih menghormati dirinya sebagai seorang Acarya.

Lalu seorang abdi memberitahukan bahwa Santika, putera ki Lurah sudah kembali dari perburuan. Lurah Rekso dan Eyang Senthir segera bangkit dari duduknya. Mereka berdua berjalan ke pendopo untuk menyambut kedatangan putera mahkota calon pemimpin desa Jaltunda.

Terdengar derap kaki kuda yang dipacu dengan cepat. Bahkan saat memasuki halaman Dalem Kelurahan yang sangat luas, Jalitheng masih berlari dengan kencangnya. Dibawah sebuah pohon beringin barulah kuda hitam itu menghentikan larinya. Begitu turun dari kudanya, Santika berjalan cepat ke pendopo Kelurahan.

“Salam ayah, salam eyang,” sapa Santika. Wajahnya nampak begitu tegang.

“Wah, anak ayah yang paling ganteng, bagaimana hasil perburuanmu?” tanya ki Lurah sambil memegang kedua bahu puteranya. Ada kelegaan yang tersirat, melihat putera satu-satunya pulang dari perburuan dengan keadaan selamat. “Apa yang kau dapat hari ini?”

Santika menggelengkan kepalanya.

“Mohon maaf ayah, ada hal penting yang harus nanda sampaikan.”

Lurah Rekso mengajak Eyang Senthir dan Santika masuk ke dalam ruang emperan. Dia tidak mau ada orang lain yang mendengar percakapan mereka. Siapa tahu puteranya membawa berita penting.

“Sekarang duduklah dan tenagkan dirimu. Baru kau boleh bercerita,” kata ki Lurah.

Setelah duduk dan menenangkan dirinya, Santika menceriterakan peristiwa yang terjadi di Kalangan. Seketika wajah lurah Rekso nampak mengeras karena menahan amarah.

“Hrrmm, lagi-lagi Dadhungawuk,” ucapnya geram. “Dimana tubuh putera Panembahan Somawangi sekarang?”

“Para pengawal sedang mengurusnya ayah. Mereka membawanya ke Sanggar Pamujan, biar dirawat Eyang Senthir,” sahut Santika sambil menatap sang Acarya.

Lurah Rekso mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tindakanmu sudah benar anakku, “ kata Lurah Rekso. “Sekarang pergilah ke rumah pamanmu Jogoboyo. Katakan aku memanggilnya. Aku ingin Kalangan ditutup dan bawa Dadhungawuk ke hadapanku.”

“Baiklah ayah,” sahut Santika.

Pemuda tampan itu segera berdiri. Namun lurah Rekso memegang kedua bahunya.

“Oh ya, bagaimana hasil perburuanmu di Alas Salamerta?”, kata ki Lurah.

“Aku tidak tahu ayah. Tiga hari aku menjelajah hutan, tapi tak menemukan seekor binatang pun disana,” sahut Santika.

Lurah Reksoyudho mengernyitkan keningnya, dia merasakan ada sesuatu yang ganjil di Alas Salamerta, tempat perburuan yang hanya boleh di masuki sebulan sekali.

Perdikan : daerah otonom hadiah raja untuk seseorang yang berjasa kepada Negara.

Kanjeng Sinuhun : Sebutan untuk raja Jawa.

Eps. 3. NAGABADRA

NAGABADRA

Ketika kenikmatan di anugerahkan secara terus menerus, maka manusia akan melupakan sang Pemberi nikmat, bahkan membelakanginya dengan sikap yang sombong. Tindakan mereka menjadi ceroboh karena kepercayaan diri yang berlebihan.

Lurah Rekso terdiam. Hatinya dipenuhi rasa heran mendengar penuturan puteranya yang tidak melihat satu pun binatang di alas Salamerta, hutan perburuan yang terletak di perbukitan Kethileng. Aneh rasanya kalau di hutan lebat itu tidak ada binatang.

“Apa kau ingin mengatakan kalau kali ini perburuanmu gagal anakku?”

Santika menggelengkan kepalanya sekali lagi. Kali ini dia tersenyum lebar.

“Aku memang tidak berhasil mendapatkan buruanku, tapi aku mendapatkan buruan yang lebih besar,” katanya. Senyum bangga terukir di bibirnya.

“Oh ya? Apa yang kau dapatkan nak? Kau ketemu gadis cantik di dalam hutan?” canda Lurah Rekso sambil tersenyum.

“Bukan itu maksudku. Aku berhasil membunuh seekor ular ayah. Ular yang sangat besar,” jawab Santika dengan semangat. Wajahnya nampak begitu bangga.

Sebaliknya Lurah Rekso dan Eyang Senthir sangat terkejut mendengarnya. Hampir bersamaan mereka bangkit dari duduknya.

“Apa! Ular besar? Apakah kau memasuki hutan larangan?” tanya ki Lurah. Ada rasa cemas yang tertangkap dari cara bicaranya.

Eyang Senthir terdiam dalam pikirnya. Santika habis membunuh ular besar di alas Salamerta? Padahal alas itu berbatasan langsung dengan hutan Kecipir atau hutan larangan.

Dia menangkap pertanda buruk. Inikah arti dari mimpinya semalam? Matahari kembar yang membakar Jalatunda hingga habis tak bersisa? Kalau benar Santika membunuh ular penghuni hutan larangan, mereka akan menghadapi dua masalah besar. Karena kawasan hutan larangan adalah milik Nagabadra, ular raksasa berkepala dua yang tinggal bersama isteri dan anaknya. Mereka adalah keluarga Naga siluman yang doyan sekali menyantap manusia yang terjebak disana.

Padahal baru saja dia melaporkan perbuatan Dadhungawuk yang baru saja menghajar Glagah Jenar, putera penguasa tanah perdikan, Panembahan Somawangi. Setelah bermasalah dengan Panembahan Somawangi kini mereka juga akan menghadapi kemarahan Nagabadra.

“Katakan anakku, apakah kau memburu ular itu di hutan larangan?” tanya ki Lurah.

Santika menggeleng cepat. Heran juga, kenapa ayahnya nampak begitu mencemaskan ular yang dibunuhnya. Padahal yang dibunuhnya hanyalah ular biasa.

“Tidak ayah. Aku bertemu ular itu di sekitar perbukitan Ketileng,” sahut Santika.

“Nampaknya dia sedang kebingungan mencari jalan pulang, setelah memburu mangsanya.”

Lurah Rekso memandang wajah puteranya dalam-dalam. Entah apa yang ada dalam pikirannya, dia juga tidak tahu. Yang jelas kecemasan nampak membayangi wajahnya. Namun akhirnya dia mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu berkata kepda puteranya.

“Baiklah kalau begitu. Sekarang pergilah kau menemui pamanmu Jogoboyo.”

Santika memandang wajah ayahnya sejenak. Lalu tanpa bicara lagi, pemuda itu bergegas pergi ke rumah ki Jogoboyo, kepala penjaga dan keamanan desa Jalatnda.

Sementara Lurah Rekso memandang Eyang Senthir dengan cemas. Seperti Acarya, mendadak dia juga memiliki firasat yang buruk.

“Bagaimana pandanganmu Acarya? Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Lurah Rekso berjalan mondar-mandir di depan Eyang Senthir.

“Apa ini ada kaitannya dengan mimpimu tadi malam? Mengapa aku mulai mempercayainya Acarya? Mendadak aku merasa cemas dan jantungku berdegup cepat.”

Eyang Senthir menghela nafas panjang tapi tidak berkata apa-apa.

“Acarya, apakah ini artinya kita akan menghadapi kemarahan Panembahan Somawangi dan Nagabadra?” tanya Lurah Rekso kepada Eyang Senthir.

Eyang Senthir masih terdiam, namun kerut di keningnya nampak semakin dalam. Pertanda dia sedang berpikir keras. Bayang-bayang petaka menggelayuti pikirannya.

“Sebaiknya kita periksa hewan buruan yang dibunuh Santika. Kita akan tahu apakah ular itu keturunan Nagabadra atau bukan.”

Lurah Rekso mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dia memrintahkan penjaga agar membawa salah satu keranjang berisi daging buruan ke halaman Dalem Kelurahan. Kemudian Eyang Senthir memeriksanya dengan seksama. Namun dengan sekali pandang, dia sudah dapat memastikan bahwa hewan yang dibunuh Santika adalah seekor ular naga yang belum tumbuh kakinya.

***

Hutan Kecipir geger. Dari dalam kegelapannya, terdengar suara auman yang sangat mengerikan. Getaran suaranya terdengar menggema diantara pepohonan besar yang tinggi menjulang. Kadang suara auman itu berubah seperti suara lolongan serigala di malam purnama yang begitu memilukan. Menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Lain waktu, berubah lagi menjadi teriakan kemarahan yang begitu mengerikan.

Tiba-tiba tanah di hutan Kecipir berguncang hebat. Angin bertiup kencang entah darimana datangnya. Pepohonan bertumbangan satu persatu, rata dengan tanah. Lalu kengerian itu terjadi. Tanah hutan Kecipir terbelah menjadi dua bagian Tak lama, sesuatu muncul dari dalam belahan itu disertai auman dan lolongan yang menggetarkan. Seekor ular raksasa berkepala dua. Satu kepala ular jantan yang mengaum dengan penuh kemarahan dan satu kepala ular betina yang melolong penuh kesedihan. Rupanya inilah ular raksasa yang disebut Eyang Senthir sebagai Nagabadra. Ular yang terlahir sebagai kembar siam sehingga memiliki dua kepala dalam satu tubuh. Naga penguasa hutan Kecipir atau hutan larangan.

Dengan teriakan kemarahan, naga jantan menyemburkan api dari mulutnya. Wush! Pepohonan hutan langsung terpanggang dengan cepat menjadi abu. Hewan-hewan penghuni hutan pun berlarian menyelamatkan diri. Teriakan kesakitan dan bau daging gosong begitu menyengat tercium dimana-mana. Kedua naga itu mengamuk dan bergerak kesana kemari. Tidak memberi ruang siapapun yang berani lewat di depannya.

Rupanya Nagabadra baru saja mendapatkan gambaran tentang puteranya yang dibunuh secara keji dan dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil. Orang tua mana yang tidak tersulut kemarahannya mengetahui hal yang seperti ini.

“Aargh! Aargh!” teriak kepala ular jantan.

“ Huu! Huuu!” jerit tangis kepala ular betina.

Tiba-tiba kepala ular jantan terpotong dan meloncat ke udara. Ketika mendarat ke bumi kepala ular jantan itu berubah menjadi sosok manusia. Dengan pakaian abu-abu tua yang terlihat sedikit berkilau terkena sinar matahari, laki-laki ini berdiri tegak. Walaupun rambut dan jenggotnya sudah berwarna putih, tapi tubuhnya begitu tegap dan gagah. Inilah Badranaya, sosok manusia jelmaan Nagabadra jantan. Raut mukanya begitu gelap karena tertutup rasa amarah dan dendam kepada rakyat Jalatunda.

“Akan aku bunuh kalian semua!” suara teriakan Badranaya mengguntur di kaki langit.

Dipandanginya wajah isterinya yang terus terisak. Hatinya begitu di sayat kesedihan. Putera mereka satu-satunya, yang masih tumbuh berkembang, tiba-tiba dibunuh. Kemudian tubuhnya dipotong-potong tanpa ampun untuk dijadikan santapan manusia.

“Redakan amarahmu isteriku, tenangkan hatimu,” ucap Badranaya, jelmaan naga jantan. “Aku berjanji untuk membunuh seluruh keturunan Jalatunda sampai tak tersisa.”

“Huhuuu!” tangis Nyai Nagabadra semakin keras. Hatinya dipenuhi dendam kesumat kepada orang-orang Jalatunda. “Pergilah suamiku, tuntaskan dendammu. Aku akan menunggumu dalam satu purnama.”

Badranaya membalikkan tubuhnya. Dengan langkah tegap dia segera berjalan meninggalkan hutan Kecipir. Meninggalkan isterinya yang sedang terpuruk penuh luka. Membawa dendam untuk dilampiaskan kepada seluruh penduduk dan keturunan Jatunda.

Terimakasih telah berkenan membaca karyaku

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!