NovelToon NovelToon

My Teaser Devil Prince [Proses Revisi]

Bagian Satu Meet

"Menurutmu ini suatu kebetulan atau memang Takdir?"

Terlihat sosok pria tampan memasuki sebuah cafetaria. Kemudian disusul pria buncit yang tengah menghampirinya ketika dia sudah duduk di kursi.

"Wahh, selamat datang, Tuan muda Stevano." sapa pria buncit tadi, dia adalah manager cafe ini.

Pria itu hanya mengangguk.

Namanya Leonel Stevano. Pria tampan dengan sejuta pesona yang selalu menganggap wanita adalah sebuah halangan. Pewaris tunggal Stevano Internasional sekaligus billionaire muda multitalenta.

"Anda ingin memesan apa, Tuan?" tanya sang manager.

"Coffee terbaik dari cafemu saja." jawab Leon dengan suara berat.

Manager itu lalu mengangguk kemudian berlalu.

Sembari menunggu pesanan, mata elang tajamnya terus menelusuri cafetaria ini, kemudian berhenti pada satu titik dimana dia melihat seorang wanita yang tengah serius dengan laptop serta makanan di hadapanya.

Wanita itu terlihat tidak peduli dengan suara berisik di sekitarnya. Bibirnya yang mungil itu terlihat sexy ketika mengunyah makanannya, dan tidak lupa dengan postur tubuhnya yang mungil namun padat berisi, terlihat lucu dan menggemaskan.

Wait! Sejak kapan Leon menilai body seorang perempuan? Gumamnya dalam hati.

Dan tanpa diduga mata mereka saling bertemu. Wanita itu mengangkat wajah kemudian melihat kearah Leon, mungkin dia merasa sedang di perhatikan.

Setelahnya, wanita mungil itu mengangkat satu alis sebelum akhirnya membuang pandangan - terlihat menggerutu tidak jelas.

Leon yang melihat itu mengerutkan dahi. Sebelumnya dia tidak pernah merasa diacuhkan oleh wanita, lalu mengapa wanita itu justru langsung memutuskan kontak mata dengannya saat tahu jika Leon tengah memperhatikannya?

Shit.. Ini Benar-benar penghinaan!

"Silahkan, Tuan. Coffee ini yang terbaik disini." seruan sang manager Cafe membuat Leon mengalihkan pandangan.

Leon mengangguk singkat sebelum menyesap coffee nikmatnya.

Leon kembali melihat ke arah wanita yang sempat membuatnya terganggu dan tetap melihat wanita itu masih berkutat dengan laptopnya seolah tidak peduli dengan sekitar.

Celana pendek dengan kaos putih polos dilapisi cardigan rajut tipis, dan wajah polos tanpa make-up membuat tampilan wanita itu terlihat sederhana. Pertanyaannya, mengapa Leon harus peduli dengan apa yang wanita itu pakai? Dan untuk apa juga Leon kembali memerhatikan wanita itu setelah dengan lancangnya dia memutuskan kontak mata dengannya? Leon merasa sedikit aneh.

Setelah selesai menikmati coffee-nya, Leon berdiri hendak keluar tak lupa dia menyelipkan dua lembar dollar di bawah cangkir coffee-nya tadi, kemudian beranjak pergi. Baru beberapa langkah dari pintu, Leon di kejutkan dengan seseorang yang menubruknya dari belakang.

"Aduh .. Keningku." erang seseorang mengaduh sembari mengelus keningnya yang seperti menabrak tembok. keras sekali.

Pria itu hanya diam memperhatikan nya.

Ah.. Wanita tadi, huh..Gumamnya dalam hati.

"Hey, Sir! mengapa anda menghalangi jalan? Keningku sakit terkena punggung mu, tahu.." gerutu wanita yang sejak tadi Leon perhatikan.

"Hey, Nona.. Bukankah kau yang menabrakku, lalu mengapa malah menyalahkan diriku?" Balas Leon sembari menaikkan satu alis.

"Aku tidak menyalahkan dirimu. Aku hanya bertanya mengapa anda menghalangi jalan." Jawab Shevana mengelak.

Leon menarik senyum, kemudian sedikit merunduk membuat Shevana mendelik kearahnya. "Kau tidak tahu siapa aku, ya?" Cibir Leon dengan tatapan tajam dan senyumnya yang sinis.

Shevana memutar mata, "Mengapa aku harus tahu?" Jawabnya seolah tidak tertarik.

Wanita ini benar-benar..

"Jadi .. Setelah menabrakku kau tidak minta maaf dan malah menyalahkanku?"

"Untuk apa aku harus minta maaf? Dan lagi, sudah aku katakan jika aku tidak menyalahkanmu, Sir." Ucap Shevana memerengut sebal.

Keningnya yang sakit mengapa dia yang harus meminta maaf?!

Dasar keras kepala

Leon terdiam beberapa saat sebelum menarik senyum. "Kau tidak mau mengakui kesalahanmu, Nona? "

"Aku 'kan memang tidak salah!" balas Shevana keras kepala.

Leon menganggukkan kepala sembari menatap lekat Shevana. Manik elangnya sedari tadi tidak lepas dari bibir mungil milik wanita itu. Kedua sudut bibirnya tertarik menunjukkan seringainya. "Hmm.. Baiklah, aku tidak akan memaksa. Menurutmu, hukuman apa yang pantas untuk wanita keras kepala sepertimu, Nona?" Sindir Leon.

Leon mengambil satu langkah maju, melihat itu Shevana mengernyitkan dahi. Dan sebelum Shevana sempat membalas ucapan pria itu, Leon sudah lebih dulu menempelkan bibirnya - mencium bibir yang sedari tadi menarik perhatian nya. Shevana mematung merasakan benda kenyal itu mulai ******* bibir bawahnya.

Damn! It’s my first kiss!!.

"Bukankah itu Leonel Stevano? Pewaris tunggal Stevano Internasional?"

"Ah, benar. Bukankah dia gay? Lalu siapa wanita itu?"

"Owh.. Apapun itu aku tetap iri pada wanita beruntung itu."

Suara kasak-kusuk mulai terdengar memenuhi indera pendengaran Shevana. Dengan gerakan cepat Shevana mendorong tubuh kekar pria itu sehingga ciuman mereka terlepas. Shevana menatap Leon tajam dengan mengusap bibirnya kasar, kemudian dengan kuat Shevana melayangkan slim bagnya kearah pria brengsek yang sudah berani mencuri ciuman pertamanya.

"Brengsek! Aku akan membunuhmu, Cabul!" Pekik Shevana memaki Leon yang malah dengan santainya mengusap pelan bibir bawahnya.

"Manis." gumam Leon semakin membuat Shevana meradang.

"Damn! Mati saja kau brengsek! Pergi kau ke neraka!" Erang Shevana semakin membabi buta menyerang Leon mulai dari memukulnya juga tendangan yang terus dia lakukan tanpa henti.

Melihat itu Leon malah tersenyum geli, membiarkan Shevana melakukan aksi bar-barnya yang justru terlihat lucu bagi Leon.

Well.. Menarik

Pengunjung yang sedari tadi menyaksikan perdebatan mereka berdua dibuat terkejut dengan keberanian Shevana. Ada yang memandangnya khawatir ada juga yang menatapnya tidak terima.

Leon menangkap tangan Shevana ketika wanita itu berhenti untuk mengatur napas. Leon menarik sudut bibirnya.

"Jika kau penjaga nerakanya, aku tidak keberatan untuk kesana." Balas Leon dengan cepat.

Shevana berdecih, mencoba melepaskan genggaman Leon dari tangannya. "Devil! Dengar, aku tidak sudi dan tidak akan pernah sudi berada satu tempat yang sama denganmu lagi. Ingat itu baik-baik." Sunggut Shevana kesal.

“Ah.. Itu memang nama tengahku." Leon melirik orang kepercayaannya di kejauhan.

"Tenang saja, aku pastikan kita akan bertemu lagi, Nona. Ingat baik-baik itu juga. See you, Nona Bar-bar."

“Apa katamu? Bar-bar, huh?!” Pekik Shevana.

Leon hanya menyinggungkan senyum sebelum berbalik menuju Limussion yang teraparkir tidak jauh dari tempatnya. Orang kepercayaannya, Jordan Scott yang biasa di panggil Jordan itu membukakan pintu penumpang untuk Leon ketika Leon sudah sampai di tempat.

Sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil, Leon menyempatkan diri menoleh ke arah Shevana yang masih menatapnya nyalang. Entah mengapa melihat Binar kekesalan dalam manik hijau itu Leon merasa lebih bersemangat. Leon mengerling ketika Shevana balas menghujamnya tajam kemudian masuk kedalam mobil sembari memerhatikan Shevana dari kaca mobil.

"That Devil!" Geram Shevana sembari meremas slim bagnya kesal.

Leon mengulas senyum tipis. Expresi wanita itu benar-benar unik.

Tidak! Sejak kapan dia menganggap sikap wanita unik?  Leon menghela napas, Ini bukan dirinya.

"Apa yang bisa saya lakukan kepada Wanita itu, Tuan?" tanya Jordan mengalihkan atensi Leon.

"Cari tahu informasi mengenai wanita itu Jordan. Aku mau sebelum jam makan siang data itu sudah ada di mejaku." Ucap Leon dengan nada bossynya.

Jordan mengangguk singkat. "Baik, Tuan muda."

**

"Well.. Jadi dia bekerja di kantor cabang perusahaan Stevano?" tanya Leon tanpa mengalihkan atensi pada berkas ditangannya.

"Menurut data yang tertera pada arsip perusahaan memang benar, Tuan." jawab Jordan lugas.

Leon menyeringai misterius, "Ah.. Kenapa aku baru tahu ada wanita bar-bar sepertinya yang bekerja dengan Stevano?" Leon meyeringai, "Yeah, untuk selanjutnya laporkan kegiatan apa saja mengenai wanita itu."

"Sorry, Sir?"

Leon menatap Jordan lurus. "Aku tahu kau mendengarnya, Jordan. Laporkan segala hal apapun mengenai wanita itu selama aku tidak bersamanya. Kau boleh kembali." jelas Leon yang dibalas anggukan Jordan.

"Baik, Tuan." Jordan kemudian menundukkan kepala hormat sebelum berlalu keluar.

Leon kembali melihat berkas dimana seluruh data Shevana tertera. Ingatannya menerawang kejadian tadi, tatapan marah serta ucapan pedas dari bibir manis wanita itu benar-benar sangat berdampak untuk seorang Leonel Stevano.

Shevana Maurer. Nama yang cantik untuk wanita bar-bar sepertinya. Yeah, ini akan menjadi lebih menarik.

***

STEVANO INTERNASIONAL, MANHATTAN | USA AT 09 : 45 AM.

Pagi yang cerah namun tidak untuk Shevana.

Kemarin adalah hari terburuk bagi Shevana. Belum lagi dia tidak bisa tidur dengan tenang semalam.

Dan juga .. Mengapa harus sekarang sidak kunjungan pemilik perusahaan?!

Hampir 2 tahun selama Shevana bekerja, baru kali ini CEO mereka benar-benar menunjukan wajahnya di depan publik. Berita ini juga masih hangat di perbincangkan para pegawai disini. Tapi tidak untuk Shevana. Dia sama sekali tidak mempedulikan itu, Shevana lebih memilih memejamkan mata seraya menelungkupkan wajah pada lipatan tangannya.

Shevana sangat mengantuk dan dia butuh tidur saat ini.

"Sheva, come on! Kau ini.. Ada kunjungan pemilik perusahaan mengapa kau malah tiduran disini, huh?" pekik Flora teman dekat sekaligus partner kerja Shevana yang biasa di panggil Flo itu menarik tangan Shevana hingga sang empunya terpaksa membuka mata.

"Aku mengantuk, Flo. Biarkan aku tidur sebentar, okay?" balas Shevana menyorot Flora malas.

Flora berdecak kesal. "Ck! bisa, tapi nanti setelah penyambutan. Jangan biarkan CEO kita menganggap kau tidak profesional Sheva, Ayo." jawab Flora dengan menarik kuat Shevana yang belum ada niatan untuk berdiri dari duduknya.

Terdengar decakan malas dari bibir ranumnya. Shevana melangkah gontai mengikuti Flora yang menarik tangannya menuju auditorium.

Mereka berdiri di barisan ketiga. Tadinya Flora mengajak Shevana untuk berada di baris depan, katanya agar dia bisa leluasa melihat wajah CEO mereka, tetapi Shevana menolak, dia tidak suka terlihat mencolok. Apalagi, Shevana sama sekali tidak tertarik akan hal ini, Shevana bahkan mengancam untuk melanjutkan tidurnya jika Flora masih saja tetap memaksa. Hingga akhirnya Flora menurut saja.

Sembari menunggu kedatangan bos besarnya, Flora terlihat memerhatikan Shevana yang berada di sebelahnya. "Begadang lagi, huh?" bisiknya pelan.

"Tidak. Aku hanya tidak bisa tidur semalam, dan baru bisa tidur jam 3 pagi tadi." balas Shevana balas berbisik.

"Memangnya apa yang kau pikirkan sampai tidak bisa tidur semalaman?"

"Aku.. " ucapan Shevana menggantung. Dia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya 'kan? Jika Flora tahu dia pasti akan mencercanya dengan heboh.

"Kenapa?" tanya Flora penasaran.

"Tidak apa-apa, Aku hanya tidak bisa tidur saja." jawab Shevana tidak sepenuhnya berbohong. Dia memang tidak bisa tidur, tetapi alasan utamanya adalah pria brengsek yang selalu muncul di setiap Shevana memejamkan mata.

Gezzz.. Bagaimana mungkin Shevana bisa melupakan orang yang sudah mencuri ciuman pertamanya? Jawabannya sudah pasti tidak mungkin. Apalagi dia seorang yang sama sekali tidak Shevana kenal.

Ya, Lord.. Shevana ingin segera melupakan kejadian itu. Sungguh.

"Kau yakin tidak ada yang ingin kau ceritakan padaku, Sheva?"

Flora sangat tahu dengan sifat sahabatnya itu. Shevana bukan seorang yang mudah menceritakan masalahnya kepada orang lain, bahkan, meski itu dirinya.

"Tidak, Flo. Kenapa kau meragukanku seperti itu?" tanya Shevana balas berbisik.

Sebelum sempat membalas, mereka menoleh ke arah Lidya saat wanita cantik yang terkenal dengan sifat genitnya di kantor ini berseru kesal. "Hey! bisakah kalian diam? mengganggu saja."

Flora melirik kesal, "Memangnya kau tidak berisik, huh? sedari tadi memekik heboh membicarakan seseorang yang bahkan belum terlihat."

"Setidaknya aku tidak berbicara hal tidak berguna seperti mu!"

"Apa kau tidak punya kaca? yang kau lakukan juga sama tidak bergunanya asal kau tahu!"

Suasana kembali hening ketika suara langkah kaki terdengar memasuki auditorium. Disana terlihat pria tampan bersetelan hitam dengan sepatu senada yang terlihat mahal. Berjalan penuh wibawa di ikuti beberapa bodyguard dengan badge hitam perpaduan warna silver Stevano di belakangnya. Dia memandang dengan tatapan mengintimidasinya. Membuatnya di akui sebagai sosok yang harus di segani.

Para pegawai terlihat menundukkan kepalanya memberi hormat. Tetapi tidak dengan mereka yang masih berargumen di belakang sana.

Seketika tatapan elangnya menjurus ke arah mereka yang sedang berdebat kecil. Leon mengenali salah satu wanita yang berada di sana. Perlahan senyumnya terbit, ternyata tidak perlu repot untuk menemukan wanita bar-bar itu.

Leon melangkahkan kaki mendekat. Mereka masih belum menyadari kehadiran Bos besarnya, hingga suara berat terdengar mengalun membuat mereka serentak menoleh ke arah sumber suara.

"Apa ada yang salah di sini?" tanya Leon dengan suara beratnya.

Sontak mereka terkejut terpana ketika melihat disana berdiri seorang pria tampan dengan balutan jaz yang pas membungkus tubuhnya yang kuat. Tapi tidak dengan Shevana, dia terlihat menunjukkan tatapan terkejut bercampur tidak sukanya.

Untuk apa pria berengsek itu disini?! Gumam Shevana dalam hati.

"Kita bertemu lagi, Nona bar-bar. " Sapa Leon dengan tersenyum miring.

"Kau .. " Shevana merapatkan bibir, tidak tahu harus bagaimana. Terlebih, pria itu berada tepat didepannya. "Untuk apa kau ada disini?" tanya Shevana dengan mendengkus tidak suka.

"Apa aku tidak boleh mengunjungi perusahaanku sendiri?" tanya Leon dengan menaikkan sebelah alisnya.

Shevana membolakan mata.

Oh, shit! jangan bilang..

"Seperti yang kau pikirkan, Nona." ucap Leon seakan tahu apa yang ada di kepala wanita itu.

Jadi dia adalah CEO-nya? pemilik perusahaan tempatnya bekerja?!

"Ya, Tuhan .. Bagaimana bisa?" gumam Shevana pelan.

Leon menarik sudut bibirnya- menyeringai, "Sudah aku katakan kita akan bertemu lagi, bukan? Menurutmu, ini suatu kebetulan atau memang takdir, Nona Shevana Maurer?"

'Double shit!! Dari mana dia tahu namaku?

Ah .. Shevana lupa. Untuk ukuran orang sepertinya hal semacam ini tentu bukan suatu hal yang sulit, bukan?!

Okay, Shevana tahu setelah hari ini hidupnya tidak akan sedamai biasanya. Dia bisa pastikan itu.

Ya, Lord.. Shevana ingin menghilang saja.

🌹

HOPE YOU LIKE!

TERIMAKASIH SUDAH MEMBACA!

Saya berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian, mohon untuk selalu support saya terus. Dengan cara like, coment and follow Ya!

TANGKYUUU DEAR 🌹

MORE INFO SILAHKAN FOLLOW AKUN SAYA BERIKUT DENGAN IG @r_quella99

BIG LUV❣️

ANN_💋

Bagian Dua Mendapatkan mu

Shevana merasa risih dengan tatapan para karyawan yang terang-terangan memandangnya. Ini semua karna tingkah pria brengsek itu yang sesuka hati mencuri kecupan di pipi kirinya sebelum berlalu ke ruang Direktur.

Mereka yang menyaksikan itu mulai menerka dan bergosip tentang adanya hubungan tersembunyi antara Shevana dengan sang direktur.

Hmm.. Pantas saja Shevana tidak begitu tertarik dengan pria yang selama ini mendekatinya. Ternyata karena Shevana sudah memiliki pria hebat di sampingnya'. pikir mereka.

Shevana menghela napas kemudian berbalik berlalu menuju kubikelnya. Dia tidak memedulikan tanggapan serta presepsi orang-orang terhadapnya. Shevana sudah teramat pusing memikirkan bagaimana kelanjutan kedamaian selama dirinya menghabiskan sisa kontrak kerjanya.

'Haish.. Menyebalkan! ini semua karena pria sinting itu!! Dan sialnya.. mengapa harus dia yang menjadi Bosku!' gerutu Shevana dalam hati.

Langkahnya terhenti ketika seseorang menarik tangannya. "Masih tidak ada yang ingin kau ceritakan padaku, Sheva? Atau kau sudah tidak lagi menganggapku, huh?!" ucap Flora meminta penjelasan.

"Jangan sekarang, Flo. Berikan aku waktu untuk istirahat sebentar, okay? Aku sangat lelah kau tahu." jawab Shevana memohon.

Flora menatap Shevana lekat, lalu membuang napas. "Baiklah.. Aku akan memberimu waktu. Tapi, setelah itu pastikan kau menceritakan semuanya, Sheva. Aku menunggumu." balas Flora menyerah melihat raut kelelahan di wajah sahabatnya itu. Shevana hanya mengangguk, kemudian berlalu.

Shevana menelungkup kan wajah pada lipatan tangannya. Rasa kantuknya tadi berubah menjadi kebingungan. Dia tidak bisa berpikir jernih. Dia benar-benar membutuhkan istirahat.

"Sheva.. Kau di panggil Sir. Arnold keruangannya."

Shevana yang baru hendak memejamkan matanya mengangkat wajah mendengar suara Samantha.

"Aku? Ada apa memangnya?"

Samantha mengendikkan bahu, "Entah .. mungkin tentang proyek desain promo bulan depan, itu kau yang menangani, bukan?"

Shevana mengangguk, "Ah.. iya, itu aku. Baiklah, terima kasih, Samantha."

Samantha mengganguk kemudian kembali ke mejanya.

Setelahnya Shevana mulai menelisir dokumen di mejanya, mencari berkas-berkas yang sudah dia kerjakan sebelumnya. Ketika sudah mendapat berkas yang dia cari, Shevana menepuk kedua pipinya agar tidak terlalu terlihat lesu sebelum beranjak menuju ruang manager.

Flora yang melihat Shevana menenteng dokumen bertanya, "kau mau kemana, Sheva?"

"Sir. Arnold memanggilku, Mungkin ingin membahas desain promo bulan depan. Sudah, ya, aku pergi dulu."

Flora mengangguk paham. "Jangan ceroboh, Sheva. " ucap Flora mengingatkan.

Shevana hanya terkekeh pelan sembari mengacungkan ibu jarinya.

Tidak membutuhkan waktu lama Shevana sampai ditempat. Shevana kemudian langsung di sambut sekertaris managernya, dan mengatakan bahwa managernya sudah menunggunya di dalam. Shevana mengucapkan terima kasih sebelum mengetuk pintu, setelah mendapat jawaban dia lalu membukanya.

"Anda memanggil saya, Sir?"

Arnold mengangguk singkat, "Silakan duduk, Sheva." ucap Arnold mempersilakan.

Shevana melirik tidak suka melihat seseorang yang duduk di sofa sudut ruangan sembari menopang kaki dengan seringaian yang tercetak jelas di wajah tampan itu. Shevana memutar bola mata jengah.

Dia lagi. Sepertinya aku harus membiasakan diri melihat nya mulai sekarang. ucap batinnya.

"Begini, Sheva. Mengenai proyek desain yang kau kerjakan saya sudah membaca dan menelitinya. Dan saya suka dengan pekerjaanmu."

Shevana merasakan keganjalan ucapan Dino.

"Terimakasih, Sir. Padahal, saya belum memberikan salinan mengenai data terkait. Ini.. " Shevana menyerahkan dokumen yang dia bawa lalu di terima Arnold dengan senyuman.

"Saya juga berterima kasih atas kerja kerasmu selama ini, Sheva. Oleh sebab itu juga, Pak Direktur ingin menaikkan posisimu."

"Sorry, Sir?"

"Beliau meminta kau untuk di pindah tugaskan ke perusahaan pusat. Dan beliau ingin kau menjadi sekretarisnya disana." ucap Arnold menjelaskan.

Shevana membolakan mata terkejut. "Maksud anda, saya akan pindah tugaskan ke perusahaan pusat untuk menjadi sekertaris Direktur, begitu?"

"Ya, seperti itu, Sheva. Saya yakin kau mampu. Mulai besok kau sudah bisa bekerja disana. Jadi sekarang kau bisa mengemasi barang-barang mu."

"Tapi.. mengapa harus saya, Sir? Saya tidak memiliki keahlian dalam pekerjaan sekretaris, Sir." balas Shevana berusaha menolak.

Leon yang mendengar itu menyahut. "Aku sendiri yang akan membimbingmu, jangan khawatirkan itu, Nona."

Shevana mendelik sebal mendengar ungkapan sok baik hatinya pria arogan itu.

"Tetap saya tidak ada kemampuan untuk itu, Sir." jawab Shevana tetap pada pendirianya.

Arnold yang tidak mengerti situasi antara Shevana dengan sang direktur tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya menjalani perintah, dengan berusaha menjelaskan peraturan kantor.

"Begini, Sheva, untuk kali ini kami dari perusahaan cabang tidak memiliki hak untuk tetap menahanmu disini setelah apa yang pemimpin katakan, maka dari itu ketetapan kau untuk pindah adalah final. Jadi maaf, dan Saya sangat berterima kasih atas kerja kerasmu selama ini." ucapnya final.

Shevana hanya bisa tertunduk lemas, menghembuskan napas berat sebelum akhirnya menganggukan kepala seakan mengerti. "Baiklah, Sir. Saya tidak ada kuasa untuk menolak itu. Saya juga berterima kasih untuk bimbingannya selama saya disini." jawab Shevana pasrah.

Leon yang melihat itu semakin melebarkan seringaiannya.

I got you, Dear.

Shevana melemparkan tatapan tajam ketika melihat seringaian yang terpantri di wajah Leon. Dia tidak bisa berbuat banyak, setidaknya sebelum kontrak kerjanya selesai. Shevana menghela napas panjang kemudian beranjak keluar.

Shevana terlihat menggerutu. Dia sangat kesal dengan keputusan seenaknya ******** itu hingga tidak sadar Leon mengikutinya ketika dia berjalan keluar.

"Apa begini reaksimu mendengar kau naik jabatan?"

Seketika Shevana menoleh ke belakang dan menemukan Leon tidak jauh darinya.

"Memangnya apa yang kau harapkan saat tahu aku harus menjadi sekertaris mu?" ketusnya.

Menyeringai, Leon berkata." Memberiku satu ciuman sepertinya akan terdengar lebih bagus."

"Dalam mimpimu, Devil!" jawab Shevana menghentakan kaki-berjalan cepat meninggalkan Leon yang terkekeh pelan di belakang sana.

"Ana.."

"Pergi sana!"

Shevana mencebik lalu bergerak cepat menuju kubikelnya.

Flora yang melihat perubahan wajah Shevana mengernyitkan dahi kemudian menghampirinya. "Ada apa denganmu, Sheva?"

Shevana mendesah panjang, "Aku merasa seperti kehilangan jiwaku, Flo." jawab Shevana lesu.

"Bicara yang benar. Apa maksudmu?"

"Ah .. Aku ingin mencekiknya!" Shevana meracau tidak jelas.

"Hey! Sadarlah, bodoh! Katakan ada apa?" tanya Flora mencubit pelan pipi Shevana.

"Ah! Sakit Flo .." rengek Shevana memanyunkan bibir.

"Maka dari itu bicaralah yang benar! Kau membuatku penasaran saja!"

Shevana menghela nafas lelah. "Mulai besok aku sudah tidak bekerja disini, Flo."

Flora mendelik, nampak terkejut. "Apa kau dipecat? Tapi kenapa? bukankah kau mengerjakan pekerjaanmu dengan benar?" tanya Flora mencercanya.

"Bukan, Flo. Dengarkan aku dulu, Okay? jangan memotong ataupun berteriak, mengerti?!"

Flora mengangguk paham.

"Begini .. Pertama, aku tidak dipecat. Kedua, Aku tidak bekerja disini lagi besok, melainkan di pindah tugaskan ke perusahaan pusat .. "

Shevana mengangkat satu tangan tanda berhenti. Flora yang hendak mengajukan pertanyaan kembali bungkam saat melihat gelengan kepala Shevana.

"Dan yang lebih parahnya, di sana aku akan bekerja menjadi sekertaris pria arogan itu. Ugh.. Flo, aku tidak mau. Lalu aku harus bagaimana?" jelas Shevana panjang lebar.

"Tunggu.. Siapa yang kau maksud dari 'pria arogan' itu?"

Shevana mendengkus, "Siapa lagi kalau bukan direkturmu?"

"Mr. Leonel Stevano?"

"Kau sudah mengatakan jawabannya, Flo."

Flora menatap Shevana lekat, "Sheva, Kau tidak di pecat, melainkan kau di angkat menjadi sekertaris direktur mulai besok. Begitu maksudmu?"

Shevana mengangguk lemas.

"Ya, Seperti itu. Jadi aku harus bagaimana?" jawab Shevana dengan nada merengek.

"Kau itu yang bagaimana! Bukankah seharusnya kau senang? dan lagi, ini sebuah kesempatan bagimu, Sheva. Bekerjalah dengan benar disana, jangan ceroboh, dan mulai kurangi sikap keras kepalamu itu. Okay?" Petuah Flora menasehati.

Shevana menggeleng lemah, "Kau tidak mengerti, Flo .."

"Apa yang tidak aku mengerti? Aku tahu kau punya sedikit urusan pribadi dengan direktur kita, tapi, ini bukan tentang privasi, Sheva. Kau harus profesional. Aku tahu kau pasti mampu. Jangan kecewakan aku, mengerti?"

"Ta__"

Ucapan Shevana terhenti ketika Flora mengusap sisi kepalanya lembut.

"Jangan mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi, Sheva. Kau tidak akan pernah tahu kejutan apa yang sedang menantimu jika kau tidak mencobanya. Kau harus percaya bahwa Tuhan selalu memiliki rencana indah untuk umatnya. Kau hanya perlu berusaha semampumu, untuk urusan lain itu sudah bukan kuasamu."

Shevana balas menatap Flora lekat-lekat. Tatapan itu.. Shevana tidak pernah bisa mengelak dari segala petuah Flora. Shevana cukup tahu Flora selalu membimbingnya dalam hal benar dan selalu menyemangatinya.

Tetapi..

"Baiklah, aku akan mencoba semampuku. Oleh karena itu bantu aku, okay? Aku tidak akan mengecewakanmu." jawab Shevana memaksakan senyum.

Setidaknya, Shevana sudah mencobanya.

Flora balas tersenyum. "Good girl. Jadi apa yang bisa ku bantu? Katakan saja."

"Bantu aku membereskan barang-barangku. Aku hanya akan membawa beberapa dokumen penting, sisanya, kau bisa berikan kepada penggantiku nanti."

"Baiklah .. Ayo cepat kerjakan agar kita bisa merayakan kenaikan jabatanmu." seru Flora semangat.

Shevana menatap Flora cukup lama, saling bertukar senyum sebelum akhirnya tertawa bersama.

Ah, Shevana akan merindukan sosok seperti Flora nantinya.

Di saat mereka tengah berjalan untuk pulang. Shevana melirik Flora melalui ekor matanya, dia terlihat ingin menceritakan kejadian sebenarnya antara dia dengan Leon sang direktur. Namun, Shevana cukup bimbang. Dia bingung harus memulai dari mana.

"Katakan, Sheva. Apa ada sesuatu yang menganggumu? Aku berjanji tidak akan menceritakan pada orang lain. Kau bisa memegang ucapanku." ucap Flora jengah melihat Shevana yang sedari tadi mencuri pandang ke arahnya.

"Aku tahu."

Shevana terdiam cukup lama.

"Jangan memaksa dirimu. Aku bisa menunggumu siap." Flora mengulas senyum simpul kemudian mengajak Shevana kembali berjalan pulang.

"Leonel Stevano.." ucapan Shevana membuat langkah Flora terhenti. "Dia pria yang mengambil ciuman pertamaku. Entah aku yang ceroboh atau memang dia yang brengsek, intinya aku sangat membencinya. Ketika melihatnya, memory kejadian ketika dia menciumku terlintas jelas dalam ingatan."

Flora nampak terkejut, "Ya, lord! Bagaimana bisa? Mengapa kau tidak memberitahuku?!"

"Bukan aku tidak ingin memberitahumu, hanya saja, kejadian itu juga baru terjadi kemarin dan aku belum sempat bercerita."

"Apa mungkin Dia menyukaimu?"

"Aku rasa tidak mungkin, Flo. Bahkan, kita baru bertemu kemarin karena kecerobohanku yang menabraknya dari belakang. Dia menyukaiku itu sungguh suatu hal mustahil."

"Apanya yang mustahil? Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan, Sheva."

Shevana menarik napas dalam, "Ah, sudahlah. Aku tidak mau membahas pria brengsek itu."

"Apa itu yang membuatmu tidak bisa tidur semalam?"

"Aku ingin berkata tidak. Namun, sayangnya, iya."

Flora menghembuskan napas penjang, "Aku tahu kau tidak suka padanya, bahkan, mungkin saat ini kau membencinya. Tapi kau harus tetap profesional, Sheva. Dalam pekerjaan kau harus bisa mengontrol diri. Jangan buat hal itu menghalangi karirmu. Dan lebih berhati-hatilah saat bersamanya. Mengerti?"

Shevana mengangguk lemah kemudian merentangkan kedua tangan memeluk Flora yang turut melakukan hal sama. "Akan ku usahakan. Terimakasih, Flo. Kau memang yang paling mengerti diriku."

"Karena aku sahabatmu, bukan begitu?"

Shevana mengulas senyum, "Tentu. Kau memang yang terbaik."

Bagian Tiga Gadis rewel

STEVANO MULTINASIONAL, MANHATTAN | USA. AT 09:15 AM

Pandangan Shevana menelisir bangunan megah yang di pijakinya. Dalam dua tahun dia bekerja, baru kali ini dia benar-benar menginjakkan kaki di perusahaan pusat. Setelahnya, Shevana kembali melanjutkan langkahnya menuju resepsionis.

"Ada yang bisa saya bantu, Miss?"

Shevana mengangguk singkat sembari mengulas senyum, "Ah, ya. Saya Shevana Maurer, pegawai pindahan dari perusahaan cabang."

Resepsionis itu mengangguk. Namun, sebelum resepsionis itu menjawab, seorang pria tampan terlihat menghampiri Shevana.

"Nona Shevana Maurer."

Shevana mengalihkan atensi kemudian mengernyit, "Ya?"

"Saya Jordan Scot. Tangan kanan Mr. Leonel Stevano. Anda di minta untuk langsung ke ruangan Direktur, Nona. Mari ikut saya." ucap Jordan menunjukkan jalan kemudian mereka memasuki elevator yang akan membawa mereka naik.

Sebenarnya Shevana sedikit bingung, padahal, Shevana bahkan belum bertanya dan menjelaskan maksudnya berada disini, lalu mengapa tangan kanan pria itu sudah menghampirinya?

"Maaf, tapi bagaimana anda tahu jika saya mencari Mr. Stevano?"

"Kurasa anda cukup pintar untuk mengerti posisiku, Nona." jawab Jordan singkat.

Shevana mengangguk seakan mengerti, "Apa Mr. Stevano tidak memiliki sekertaris, Sir?"

"Tentu punya, hanya saja, dia di tugaskan hanya untuk menangani jadwal dan pekerjaan selama di kantor." jelas Jordan seraya melangkah keluar ketika pintu elevator terbuka. "Dan lagi, Nona. Panggil saya Jordan saja."

Shevana hanya mengangguk singkat.

"Lalu, mengapa dia memperkerjakan saya sebagai sekertarisnya, jika sudah ada yang menangani itu?"

"Saya tidak ada hak untuk menjawab, Nona. Anda bisa bertanya kepadanya sendiri."

Jordan menghentikan langkah ketika sampai di sebuah ruangan dengan pintu kaca yang dapat memperlihatkan isi ruangan.

"Ini ruangan Mr. Stevano?"

Jordan menggeleng pelan sembari menahan senyum, "Lebih tepatnya ini adalah ruang tamu khusus ketika ada Klien yang menunggu Tuan muda selesai dari pekerjaannya."

Menunggunya selesai dari pekerjaan?

Oh, ternyata pria itu benar-benar arogan.

Jordan kemudian berjalan menuju pintu bercat hitam di sudut ruangan lalu membukanya. "Silahkan masuk." ucap Jordan mengalihkan atensi Shevana dari pengamatannya mengenai ruangan khusus ini.

"Ah, iya. Terimakasih."

Jordan menganggukkan kepala kemudian menutup pintu kembali sebelum berlalu pergi.

"Kau terlihat manis menggunakan rok span itu." sapa Leon pertama kali ketika melihat Shevana sudah berdiri tidak jauh darinya.

"Apa anda membutuhkan kata terimakasih dariku, Sir?"

"Tidak."

"Baguslah. Karena saya juga tidak berniat mengucapkan itu." balas Shevana dengan sedikit nada yang masih terdengar kesal.

Leon terkekeh pelan, "Selalu galak seperti biasanya."

"Jangan bertingkah seolah kau sudah lama mengenalku, Sir."

Leon berdecak, "Aku tidak suka caramu memanggilku. Panggil aku Leon."

"Saya tidak bisa, karena anda atasan saya." balas Shevana berusaha sopan.

Leon menatapnya lekat, tajam dan penuh intimidasi. "Aku tidak menerima penolakan, Nona. Dan jangan menggunakan saya-anda jika bersamaku." ucap Leon tegas.

''Tidak bisa, Sir. Itu terdengar tidak sopan." ucap Shevana mulai kesal.

"Jadi kau menolak?"

"Tidak. Saya hanya melakukan seperti yang para pegawai lainnya lakukan."

Mendengar jawaban Shevana Leon menarik senyum. Sedari awal, Shevana bukanlah tipe wanita yang mudah di patahkan argumennya. Selain keras kepala, Shevana juga merupakan wanita berprinsip. Dia bukan seorang yang mudah menerima perintah dari orang lain.

Dari mana Leon tahu? Tentu saja dari informasi yang dia cari. Untuk itu sedikit banyak Leon sudah mengertinya. Leon kemudian bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekat ke arah Shevana yang sudah mengambil satu langkah mundur.

"Anda mau apa?"

"Wanita keras kepala sepertimu harus di beri pelajaran, bukan?" tanya Leon meraih pinggang Shevana mendekat

Seketika Shevana melotot. Menahan tubuh Leon guna memberi jarak antara tubuh bagian atas mereka.

"Kau jangan macam-macam denganku, ya!" ancam Shevana sembari berusaha melepaskan diri.

Leon menarik senyum, "Aku tidak akan macam-macam denganmu. Hanya satu macam."

Setelahnya Leon kembali memanggut bibir Shevana ketika wanita itu hendak membalas ucapannya.

Shevana menegang. Berkedip dua kali lalu mengumpat ketika menyadari dia kecolongan lagi.

Sial! Dia menciumku lagi!!

Leon melepaskan ciumannya, dia hanya mencium dengan sedikit mencecap rasa manis dari bibir ranum milik Shevana. Menghukumnya karena berani menentang perkataannya. Leon mendekatkan wajah, lalu berbisik. "Jika kau memanggilku dengan sebutan Sir dan mengunakan saya-anda lagi, saat itu juga aku akan menciummu. Mengerti?!" ucap Leon menekankan.

Mendengar ancaman Leon, seketika Shevana mengatupkan bibir.

"Okay-okay, Sa .. Umm, maksudku, aku mengerti." Shevana mencoba melepaskan diri. "Sekarang lepaskan aku."

Leon pun tersenyum puas mendengar itu, dengan berat hati melepaskan rengkuhannya.

"Good girl." ucapnya mengelus puncak kepala Shevana.

Shevana yang merasa jengkel menepis tangan Leon. "Jangan memberantaki rambutku!" ucap Shevana kesal.

Leon hanya tersenyum tipis.

"Ah, iya. Mejamu ada di sana." Leon menunjukkan sebuah meja di sudut ruanganannya yang sudah tertata rapi. "jika ada pekerjaan yang tidak kau mengerti, jangan sungkan untuk bertanya."

Shevana mengerutkan dahi. "Sebentar.. maksudmu di sana itu mejaku?" tanya Shevana memastikan.

Leon mengangguk.

"Jadi kita satu ruangan?!" pekik Shevana tidak sadar.

"Aishh.. Pelankan sedikit suaramu, Ana. Dan, ya, kita satu ruangan." jawab Leon lugas.

"Kenapa harus menjadi satu? kenapa tidak beda ruangan saja, seperti meja sekertaris yang ada di depan, misalnya?" tanya Shevana memprotes.

Leon mengendik acuh, "Tidak. Karena kau memang sekertaris khusus untukku. Dan tugasmu hanya mengatur jadwalku dengan selalu berada di sampingku."

"Mengapa harus begitu?! Aku tidak mau berada disisimu setiap waktu."

"Itu sudah menjadi pekerjaan mu, Ana. Jadi jangan memprotes."

"Tunggu.. namaku Sheva, bukan Ana." ralat Shevana yang menyadari pangilan Leon terhadapnya.

"Bodoh! "

"Kau yang bodoh! " sentak Shevana galak.

Leon membuang napas, berusaha sabar menghadapi wanita keras kepala ini. "Coba kau gabungkan perkataanmu tadi."

"Kata yang mana?" balas Shevana tidak mengerti.

"Ana juga namamu, lebih tepatnya nama belakangmu. Bukankah namamu Shevana? Jadi tidak salah jika aku memanggilmu, Ana."

Shevana yang mendengar penjelasan Leon terdiam. "Iya juga. Itu nama belakangku, hanya saja terasa asing untukku." gumamnya menyadari.

"Tetap saja, aku merasa asing dengan panggilan itu."

"Sudahlah. Jangan mempermasalahkan hal sepele seperti ini. Bagiku, mau Sheva atau Ana sama saja, kau tetap menjadi, Ana-ku."

Shevana mengangkat satu alis, "Ana-mu?"

Leon menatapnya lekat. "Ya. Kau adalah Ana-ku. Milikku."

"Aku bukan barang!"

Leon memasukkan kedua tangan kedalam saku celana, "Memang bukan. Kau wanitaku. Ingat selalu itu, Ana." ucap Leon mengklaimnya.

Sebelum sempat angkat bicara. Terdengar suara ketukan, membuat Shevana mengurungkan niat untuk memprotes kepemilikan yang dengan se'enaknya saja di deklarasikan Leon beberapa detik lalu. Kemudian berjalan menuju mejanya sendiri.

Apa-apaan dia! Se'enaknya saja mengklaim orang lain. Huh! Dasar Singa sinting.

Jordan masuk setelah mendapatkan izin, terlihat dia seperti ingin menjelaskan sesuatu dengan membawa beberapa dokumen.

"Maaf menganggu, Sir. Saya hanya ingin memberitahu kabar tentang pengajuan perluasan saham yang ada di Bali."

Leon mengangguk mempersilakan.

"Perusahaan Hans group telah mengajukan adu banding untuk proyeksi perluasan tanah saham di Bali, Sir. Kabar itu sedikit mempengaruhi ketetapan saham yang seharusnya sudah di pindah namakan mengalami sedikit kendala."

Leon hanya mengangguk - tampak biasa saja.

"Biarkan saja. Kita lihat seberapa menariknya penawaran yang mereka lakukan. Bukankah, seharusnya kau sudah tahu jika penawaran kita sudah lebih dari angka perkiraannya? Lagipula, hanya membutuhkan 20% saham lagi untuk mengakuisisi wilayah timur."

Jordan mengangguk singkat.

"Jangan khawatirkan mengenai itu. Lebih baik kau atasi bursa saham wilayah New York untuk perusahaan inti. Lagipula, Dapat atau tidak saham itu, bukanlah suatu kerugian yang besar." jawab Leon dengan nada songgongnya.

Shevana yang sedari tadi sedikit mencuri dengar percakapan mereka memutar bola matanya malas.

Huh! Sombong sekali si Singa itu.

Jordan menganggukkan kepala mengerti mendengar jawaban Leon, kemudian undur diri untuk melanjutkan pekerjaannya.

Tak lama, bunyi telepon terdengar. Leon menekan tombol interkomnya.

"Ada apa?"

"Saya ingin mengkonfirmasikan jadwal rapat Anda sepuluh menit dari sekarang, Sir." Ucap Liara, sekertaris Leon yang berada di ruangan samping.

"Ya, saya segera kesana. Kau sudah memberikan laporan itu kepada Shevana, bukan?"

Shevana yang mendengar namanya di sebut, melihatnya dengan tatapan tidak mengerti.

"Sudah, Sir. Kemarin setelah anda meminta salinan berkas-berkas yang anda minta, saya sudah langsung mengirimkan dokumennya kealamat Nona Shevana. Sesuai yang anda perintahkan."

Tanpa mengucap terimakasih, Leon memutuskan panggilan sepihak.

Leon berdiri, mengancingkan jasnya yang sedikit terbuka.

"Kau ikut aku, Ana." ajak Leon dengan suara beratnya.

Shevana yang tengah menyusun laporan mengernyit, "Kemana?"

"Ke ruang meeting. Kau sudah mempelajari berkas yang di berikan Liara, bukan?"

"Ah, itu. Iya aku sudah mempelajarinya. Tapi, apakah aku harus ikut denganmu? Aku sedikit tidak siap" jawab Shevana ragu.

"Jangan khawatirkan apapun. Tidak ada yang berbeda. Cukup mendengarkan dan catat hal-hal penting seperti biasanya kau rapat."

Shevana mengangguk, kemudian berdiri mengikuti Leon dari belakang.

Leon yang melihat itu berbalik, "Jangan berjalan di belakangku." ucapnya menarik tangan Shevana berdiri di sampingnya.

"Tapi.."

Ucapan Shevana Shevana menggantung ketika menyadari dirinya berada di depan elevator khusus.

"Sebentar, aku tidak mau naik elevator ini." ucap Shevana menolak.

"Lalu kau mau naik elevator mana?" tanya Leon tidak mengerti dengan gadis membingungkan ini.

"Aku akan naik elevator karyawan. Kita bertemu disana."

"Memang apa bedanya menaiki elevator ini dengan elevator karyawan? Kita hanya akan rapat, mengapa kau membuatnya merepotkan seperti ini?" tanya Leon sedikit kesal.

Shevana mendengkus, "Sudahlah. Kau tidak akan mengerti. Jika kau ingin masuk, silahkan masuk sendiri, aku akan menaiki elevator biasa." ucap Shevana sebelum berbalik menuju elevator karyawan.

Melihat itu Leon menyerah. Dia berbalik dan memilih mengikuti wanita membingungkan itu. Leon membenci hal ini. Namun, kenapa dia tidak bisa menolak?

"Mengapa kau mengikutiku?" tanya Shevana saat melihat Leon berada di belakangnya.

"Hanya ingin."

Shevana menatapnya menelisik.

"Apa kau mengagumiku? Hingga menatapku seperti itu?"

Shevana memutar mata jengah." Kau terlalu banyak berpikir!"

Elevator berhenti, Shevana kemudian masuk diikuti Leon dibelakangnya. Namun Shevana mengernyit ketika melihat ada tiga karyawan yang menunggu pintu terbuka namun mereka tetap diam.

Setelah pintu tertutup. Shevana bertanya, "Mengapa mereka tidak masuk?"

"Aku tidak suka bau parfum mereka. Karena itu, ketika mereka melihatku, mereka tidak akan naik." jawab Leon santai.

Shevana yang mendengar itu terpengarah.

Wuah.. Singa ini sudah sangat arogan 'kan?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!