NovelToon NovelToon

My Lecturer

Menikah

Aku masih memandang nanar cermin besar yang ada dihadapanku. Kebaya putih dan riasan pengantin sudah melekat sempurna di tubuhku. Harum melati dan bunga kantil menusuk lekat hidungku.

Siapa yang tidak ingin menikah? Sudah pasti, semuanya ingin. Namun, berbeda denganku. Aku terpaksa menikah dengan kakak ipar sekaligus dosenku sendiri. Pernikahan ini, sama sekali tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya.

Sebuah permintaan terberat dari kakakku, harusku kabulkan demi kebahagiannya. Aku dan pak Aksara terpaksa menerima permintaan tersebut, dengan beberapa kesepakatan yang kami buat, tanpa sepengetahuan orang lain tentunya. Poin terpenting dari kesepakatan itu adalah.

"Mika, ayo keluar. Penghulunya sudah datang." Ibu mengagetkanku.

"Iya, Bu sebentar." Aku mengusap air mataku yang hampir jatuh dengan tisu.

Langkahku gamang menuruni anak tangga satu persatu. Ruang tamu yang sudah disulap dekor pengantin membuat hatiku semakin nanar. Belum lagi, saat mataku bertabrakan langsung dengan mata kakakku yang tengah duduk di kursi roda.

Kakakku mengidap penyakit kanker rahim stadium empat. Dokter memvonis dia satu tahun setelah pernikahan mereka. Rambut kakakku juga sudah habis karena proses pengobatan yang harus dia jalani.

Aku mendaratkan tubuhku di samping pak Aksara yang sudah duduk dengan setelan jas pengantinnya. Pernikahan ini, hanya dihadiri keluarga besarku dan keluarga besar pak Aksara.

Sebelum penghulu mengucapkan ijab. Aku melirik kakakku dengan ekor mataku, hatiku tersayat. Aku tahu, kak Lila pasti sangat berat dengan semua ini. Dia juga sempat mengusap air matanya kasar, saat dia tahu aku meliriknya. Ibu juga menangis saat menatapku.

Aku menghembuskan napas pelan. Penghulu mulai merapalkan kalimat ijabnya. Aku menggenggam kuat rokku sendiri, untuk menahan rasa sakit hati yang sekarang aku rasakan. Air mataku lolos begitu saja, saat mendengar pak Aksara mengucapkan kalimat yang hampir sama dengan si penghulu.

Kata sah yang terdengar di telingaku begitu menyakitkan. Penghulu menyuruhku untuk mencium tangan suami baruku, sebagai bentuk baktinya. Aku mengikuti arahannya, meski dengan air mata yang terkadang masih terjatuh.

Cincin pernikahan melingkar di jari manisku.

Selepas acara, aku masuk kamar dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak lagi peduli dengan air mataku yang merusak riasan di wajahku. Rasa sesak di ulu hati membuatku sangat hancur.

Aku masih tidak menyangka dengan permintaan konyol kakakku itu. Vonis dokter membuat kakakku kehilangan akal, hingga membuat permintaan ini. Aku tahu, kak Kalila masih sangat mencintai pak Aksara, begitu juga dengannya.

Tubuhku sudah terbaring di atas kasur, setelah membersihkan diri di bawah guyuran sower. Ketukan pintu terdengar saat aku akan memejamkan mata. Aku beranjak membukakan pintu.

"Pak Aksa," pekikku.

"Kalila yang menyuruh Saya tidur denganmu."

Aku mempersilahkan dia masuk ke dalam kamarku. Kalau biasanya kamar pengantin baru akan memiliki dekor romantis. Sekarang, berbeda denganku yang hanya berdekor seperti biasanya alias tidak ada riasan apapun di kamarku.

"Pak Aksa bisa tidur di sofa." Aku melemparkan selimut tebal di sofa kamarku.

Aku menjatuhkan tubuhku di kasur dan menarik selimut sampai bahu. Aku sangat gugup karena ini baru pertama kalinya aku tidur satu ruangan dengan seorang lelaki.

Beberapa menit kemudian, kasurku sedikit bergerak. Aku melihat pak Aksara sudah berbaring di sampingku.

"Pak, Saya tidak rela kasur ini di tempati oleh Bapak." Aku mendorong tubuhnya dengan kedua kakiku, kuat.

Dia mengadu kesakitan karena tubuhnya terjatuh di lantai. Aku melihat pak Aksa bangkit dari lantai.

"Saya tidak biasa tidur di sofa," ujarnya dan membaringkan kembali tubuhnya di atas kasurku.

"Pak ingat kesepakatan Kita." Aku sangat kesal karena dia menarik bantal gulingku.

"Saya juga tidak akan menyentuh kamu, karena hanya Kalila yang ada di hatiku untuk selamanya."

Poin kesepakatan kami untuk tidak saling bersentuhan satu sama lain, apalagi melakukan hal-hal layaknya suami istri. Poin terpentingnya lagi adalah 'ayo untuk tidak saling jatuh cinta'.

Aku tidak tahu respon apa yang harus kulakukan. Ada rasa senang karena aku yakin, pak Aksa tidak menyentuhku. Ada juga rasa sakit, karena aku telah menikah dengan orang yang tidak pernah aku bayangkan.

Aku mendengar dengkuran kecil dari pak Aksara. Aku menarik selimutku sampai menutupi seluruh tubuhku. Tubuhku gusar karena tidak bisa tidur mendengar dengkuran pak Aksa. Jadi, aku memutuskan untuk tidur di sofa.

Ponselku yang ada digenggaman berdering. Aku menggeser tombol hijau saat melihat Bastian yang menghubungiku. Bastian adalah pacarku di kampus.

"Dari pagi susah banget dihubungi," ujarnya melalui sambungan telepon.

"Maaf ya, paket dataku habis. Baru sempat beli nih." Bastian tidak tahu tentang pernikahanku.

"Bukannya di rumah ada wifi?"

"Lagi error. Kamu lagi apa?" Aku tidak sanggup lagi untuk berbohong. Jadi, aku mengalihkan pembicaraan.

"Habis nugas. Besok berangkatkan?"

"Iya."

Setelah teleponan hampir satu jam. Aku memutuskan untuk tidur karena hampir tengah malam. Lucu bukan? Sudah resmi menjadi istri orang lain, tapi masih berhubungan dengan pacarnya sendiri.

Kalau saja yang ada di ranjangku sekarang adalah Bastian. Sudah pasti, aku akan memeluknya mesra. Namun, sialnya dia mantan kakak iparku sendiri.

Tubuhku menggeliat saat mentari pagi mengenai mataku. Siapa yang sengaja membuka gorden jendela? Ah! Tubuhku terasa sakit karena tidur di sofa. Aku melihat jam yang ada diponselku.

"Sial! Sudah setengah tujuh." Aku bergegas ke kamar mandi, tetapi pintunya terkunci.

"Siapa di dalam?" Aku menggedor-gedor pintu kencang.

Aku bangun kesiangan. Hari ini ada mata kuliah pagi yang diampu oleh pak Romi yang super killer. Aku masih berusaha menggedor pintu kamar mandi. Sampai, seorang lelaki yang hanya melilitkan handuknya keluar dari tempat itu.

"HAAAA!" teriakku gaduh.

"Berisik." Pak Aksa membekap mulutku.

"Bapak kenapa di sini?" tanyaku sewot.

"Kamu lupa? Kalau tadi malam saya tidur di kasur kamu."

Aku meraba tubuhku sendiri geli. Jangan-jangan pak Aksa.

"Bener-bener pikun ya kamu." Pak Aksa menonyor jidatku kasar.

"Minggir!" perintahnya.

Aku segera masuk kamar mandi. Tidak ada waktu untuk mandi, jadi aku hanya cuci muka dan gosok gigi saja. Beruntung pak Aksa sudah meninggalkan kamarku.

Aku mengganti celana kulot dan baju kuliah seadanya, make-up seadanya, dan beranjak pergi ke kampus dengan menggunakan sepeda motorku. Kenang-kenangan dari almarhum ayahku. Jarak dari rumah ke kampus memakan waktu setengah jam.

"Sesuai kesepakatan perkulian awal, ketelambatan maksimal hanya lima belas menit." Itu suara pak Romi saat aku baru saja membuka pintu kelas.

Aku melirik jam diponselku. Ternyata sudah pukul 07.20 WIB. Dengan pasrah, aku keluar kelas tanpa diabsen. Aku memilih duduk di deretan kursi yang ada di depan kelas, untuk mengumpulkan napas sejenak.

Saat aku sedang duduk, datanglah Bastian dengan napas tergoboh-goboh. Dia berhenti tepat di depanku.

"Kamu telat juga?" tanyanya sambil tertawa kecil.

"Aku kesiangan." Menyengir kuda.

Aku dan Bastian duduk sambil menertawakan kekonyolan kita berdua. Teman-teman bilang, kita berjodoh. Namun, jika mengingat statusku yang baru, membuatku merasa bersalah akan hubungaku dengan Bastian.

Aku belum siap menyakiti dia. Biarkan berjalan apa adanya. Pak Aksa juga tidak akan marah denganku, jika aku mencintai orang lain.

"Kalian kenapa di luar?" tanya pak Aksa yang tiba-tiba datang di hadapan kami.

"Kami kesiangan Pak." Bastian menjawab ramah. Sedangkan, aku masih diam.

Pak Aksa berlalu begitu saja, memasuki kelas di sebelahnya. Sekarang aku tahu, setiap hari senin dia mengajar di kelas sebelahku.

"Tumben pak Aksa telat." Bastian nampak heran.

Aku hanya mengangkat kedua bahuku, sebagai bentuk jawaban. Aku pura-pura tidak tahu, padahal dia telat karena kecapean karena acara pernikahan kami kemarin sore.

Terima kasih sudah membaca ❤

Spidol

Aku dan Bastian memutuskan pergi ke kantin untuk mengganjal perutku yang masih kosong. Gara-gara kesiangan, aku tidak sempat sarapan.

"Kak Lila apa kabar?" tanya Bastian.

Bastian tahu dengan kondisi kakakku. Dia juga tahu, kalau pak Aksa adalah kakak iparku. Hanya saja, dia tidak tahu status kami yang baru.

"Belum ada perubahan. Tapi kemarin sempat rawat inap di rumah sakit lagi." Aku mengunyah makananku.

Rawat inap itu, yang menjadi awal mula pernikahan ini terjadi. Kak Lila seperti sudah menyerah dengan penyakitnya. Dia memintaku untuk segera melangsungkan pernikahanku dengan pak Aksa.

"Pulang kuliah, aku mampir ke rumahmu ya."

Aku kaget mendengar kalimat itu yang tiba-tiba.

"Kenapa kaget gitu?" tanya Bastian yang peka terhadap ekspresiku.

"Tidak apa-apa. Kamu sudah lama enggak mampir soalnya." Aku mencoba menghilangkan rasa gugupku.

Bastian memang sering main ke rumahku. Namun, akhir-akhir ini aku melarangnya, saat kak Lila mulai memintaku untuk menikah dengan pak Aksa.

"Habis ini antar aku print tugas, yuk." Aku mengiyakan ajakan Bastian, karena aku juga belum sempat mencetaknya.

Kelas selanjutnya adalah mata kuliah pak Aksa. Dosen yang selalu dihindari kebanyakan mahasiswa jurusan ini. Selepas makan, aku dan Bastian langsung mencetak tugas dari pak Aksara di area jurusan.

"Mik, pak Aksa masuk enggak?" tanya Vino mahasiswa yang tak kunjung lulus gara-gara mata kuliah pak Aksa.

"Masuk kok, dia tadi ngajar di atas." Aku duduk di baris ke dua.

"Malas banget, kalau pak Aksa yang ngajar. Gue semester kemarin, dapat E dimata kuliah ini," ocehnya di belakang mejaku.

Aku dan Bastian hanya mendengarkannya, tanpa merespon. Kebanyakan mahasiswa ingin cepat lulus, tapi ya gitu, banyak alasan dan cobaan.

Menunggu pak Aksa datang, aku dan Bastian asyik menonton vidio horor dikanal youtub, aku hanya berani menonton vidio horor animasi, selebihnya big no! Sebenarnya, kelas masih terlihat kosong, baru lima orang di kelas ini.

Jangan tanya kenapa, aku dan Bastian sudah masuk ke kelas ini. Benar, jawabannya karena aku terusir dari kelas pak Romi. Demi tidak mengulangi hal yang sama, aku dan Bastian terpaksa menunggu di kelas pak Aksa lebih awal. Pak Aksa dan pak Romi tidak jauh beda, kalau masalah waktu.

"Mikaaa," teriak Rere yang baru muncul dari pintu. Dia habis mengikuti mata kuliah pak Romi.

"Berisik!" Aku menutup kedua telingaku.

"Bas, pindah dong," pinta Rere.

Bastian menuruti kemauan Rere. Dia pindah di kursi samping Vino.

"Pak Romi gila ya, padahal dia juga baru lima menit sampai di kelas. Eh giliran kamu datang malah diusir."

"Iya gitu, hormon orangtua mah beda." Aku menimpalinya dengan cendaan.

"Pak Aksa masih muda, tapi sama kaya pak Romi." Rere tersenyum puas.

"Pak Aksa tua sebelum waktunya." Aku dan Rere tertawa sampai mengeluarkan suara.

Sepertinya mahasiswa yang mengambil mata kuliah pak Aksa sudah masuk kelas semua tanpaku sadari. Ada dua puluh mahasiswa di mata kuliah ini, sedikit memang. Tinggal lima belas menit lagi mata kuliah akan dimulai, tapi pak Aksa sudah masuk kelas.

"Titip tugas, males ketemu hantu dua kali." Rere menyodorkan makalah ke mejaku.

"Sembarangan, gitu-gitu dosenmu." Aku mengambil makalah individu milik Rere.

"Mau nitip nggak, Bas?" Aku menawarkan bantuan ke Bastian.

"Bareng ke depan saja."

Aku dan Bastian mengumpulkan tugas di depan meja pak Aksa. Aku tidak peduli dengan tatapan pak Aksa yang lumayan mematikan itu. Dalam perjanjian sudah jelas, kalau aku masih bisa berpacaran dengan Bastian.

Aku juga tidak terlalu berharap dengan kehadiran pak Aksa. Pernikahanku dengan dia hanya untuk membuat orang yang sama-sama kita cintai bahagia.

Kalau kalian tanya, kak Lila sama pak Aksa sudah cerai? Jawabannya, tentu sudah. Kak Lila yang memaksanya, dia hanya ingin melihat pak Aksa bahagia. Katanya.

Aku masih menganggap pak Aksa sebagai dosen dan kakak iparku. Sekarang, dia tengah menjelaskan salah satu mata kuliah yang menyangkut tentang linguistik, sesuai jurusanku.

"Aww," ringkihku saat tertimpuk spidol.

Semua mata tertuju padaku. Aku terkena spidol yang dilempar oleh pak Aksa. Sebenarnya, dia tidak benar-benar mengarahkan spidol itu ke arahku. Namun, karena Vino duduk di belakangku, jadi aku yang terkena imbasnya. Sempat-sempatnya Vino tertidur, di kelasnya.

"Maaf, Mik saya tidak sengaja." Pak Aksara sudah berdiri di samping meja Rere.

"Tidak masalah pak." Aku memegangi pipiku yang sakit.

Sial! Kalau saja ini di rumah sudah pasti kuadukan ke ibu. Ini namanya KDRT. Aku hanya bisa membatin saja di depan dosen killer ini.

Pak Aksa pergi meninggalkanku. Dia menjelaskan lagi materi yang sempat terpotong karena ulah Vino.

Karena pelajaran pak Aksa hanya 2 sks jadi, cepat selesai. Satu SKS 45menit, jadi pak Aksa mengajar di kelasku selama 90menit, Bagi yang suka dosen macam dia akan terasa cepat, tapi bagi golongan sepertiku pasti serasa seratus tahun lamanya. Aku lega banget terbebas dari kelas horor ini. Meskipun, kalau ada pak Aksa pasti ada tugas, tetapi setidaknya aku tidak lagi merasakan hal horor.

Seluruh mahasiswa bergegas keluar dari ruang ini, kecuali aku dan Bastian. Tunggu! Di depan masih ada pak Aksa di mejanya, dia terlihat sibuk menutup laptopnya.

Aku dan Bastian baru bersiap untuk keluar, tetapi langsung dipanggil oleh pak Aksa.

"Mika, Bastian." Aku dan Bastian segera menghampirinya.

"Mik, maafin saya soal yang tadi."

"Iya pak, saya sudah memaafkan."

Meskipun, aku dan pak Aksa tinggal bareng satu atap karena dia adalah mantan kakak iparku, tapi kami jarang berkomunikasi. Jadi, masih terlihat kaku. Panggilannya juga masih pak kalau di rumah, tapi kadang kak Aksa kalau di depan kakakku, meski terdengar aneh.

"Tolong, makalah teman-teman kalian bawakan di meja saya." Aku terlihat ogah-ogahan.

"Kalau disuruh sama dosen, apalagi dia kakakmu. Harusnya, gercep dong." Bastian mengusap kepalaku lembut dihadapan pak Aksa. Dia menyadari kekesalanku.

Pak Aksa tidak akan cemburu, atau apapun itulah. Di dalam hatinya masih ada nama Kak KALILA dengan jelas.

Aku mengambil sisa makalah yang dibawa oleh Bastian. Kami mengekori langkah pak Aksara, sebenarnya makalahnya tidak terlalu berat. Kalau Bastian yang bawa semuanya juga tidak masalah, aku bawa cuma formalitas saja. Daripada, kosong tangannya.

"Terima kasih." ujar pak Aksara kepada kami setelah tiba di ruangannya.

Aku dan Bastian bergegas pergi ke tempat parkir. Sesuai rencana Bastian, dia ingin mampir ke rumahku. Mata kuliah pak Aksara, menjadi mata kuliah terakhir di hari senin.

"Assalmu'alaikum." Aku membuka pintu rumah yang ikuti oleh Bastian.

"Wa'alaikumussalam." Kak Lila menjawab salamku.

Rupanya kak Lila lagi duduk di depan akurium yang ada di ruang tamu. Aku mencium punggung tangan kakakku yang duduk di kursi roda. Begitupun, dengan Bastian.

"Kok Bastian ke sini? Dia belum tahu tentang," bisiknya menggantung.

"Bas, duduk dulu. Aku mau buat minuman." Aku meninggalkan Bastian di ruang tamu.

Kak Lila mendorong kursi rodanya ke dapur, sesuai kemauannya. Tenang, kursi rodanya sudah modern kok, jadi cukup tekan tombol, kakakku bisa menghampiriku dengan mudah.

"Kamu enggak kasih tahu, Bastian?" tanyanya.

"Kak, pernikahan ini kemauan kakak. Jadi, Bastian tidak berhak tahu." Aku menurunkan volume suaraku.

"Aku tahu kakak tidak rela melepaskan kak Aksa. Bagitupun, aku yang tidak rela melepaskan Bastian." Aku menahan air mataku.

Sekarang, dua es sirup rasa jeruk berada ditanganku. Aku mengantarkan minuman ini ke ruang tamu.

Jika aku terlihat jahat terhadap kakakku, maaf. Tapi, dia juga jahat memaksaku untuk menerima kehadiran pak Aksa.

Terima kasih sudah mau baca.❤

Berpapasan

Aku menghampiri Bastian yang ada di ruang tamu. Minuman dan makanan ringan aku suguhkan ke Bastian.

"Kak, temani ngobrol Bastian dulu. Aku mau mandi."

Kak Lila datang menemani Bastian, itu sudah menjadi hal biasa ketika Bastian main ke rumah.

"Kamu tadi tidak mandi, pas kuliah?"

"Tidak sempat, Bas." Aku berlalu meninggalkan mereka. Aku percaya kalau kak Lila tidak akan membocorkan tentang pernikahanku dengan pak Aksa.

Aku menaruh tas gendongku di meja belajar. Sial! Bahkan aku lupa mencopot cincin nikah ini pas kuliah. Beruntung Bastian dan Rere tidak menyadarinya. Aku langsung menaruh cincin tersebut di laci nakas.

Aku bergegas mandi dan mengganti pakaian santai. Tadinya, Bastian mau mengajakku jalan, tapi aku tolak dengan alasan mager. Moodku buruk, akibat pernikahan kemarin.

Selepas mandi aku menemui Bastian kembali dengan pakaian yang lebih santai. Kakakku sudah masuk ke kamar saat aku tiba di ruang tamu.

Jam dinding di rumahku menunjukkan angka satu. Artinya, Kak Lila harus meminum obatnya. Aku kembali meninggalkan Bastian sebentar untuk memberi obat ke kakakku yang sudah berada di dalam kamarnya.

"Kak, minum obat. Sudah jam satu." Aku memberikan segelas air putih ke kak Lila.

Kak Lila masih berbaring di ranjangnya. Aku menuntunnya duduk untuk meminum obat. Sebenarnya, aku tidak tega melihat keadaan kakakku. Hanya saja, kalau mengingat pernikahan itu, rasanya. Sudahlah!

Setelah kakakku istirahat, aku kembali lagi menemui Bastian yang masih main di rumahku.

"Mik, kalau habis sidang skripsi nanti. Kita tunangan dulu yuk," ajaknya yang membuatku gugup.

"Terserah kamu, tapi kita bahkan belum membuat skripsi sama sekali."

"Iya kan, berencana dulu. Apa salahnya." Aku akan membuatnya semakin kecewa.

Bas, maafin aku. Aku belum bisa mengatakan yang sesungguhnya. Aku belum siap melepaskanmu.

"Kok kamu nangis?" Bastian mengusap air mataku yang mendadak jatuh.

"Terharu saja," elakku.

Aku menangis karena telah tega membohongi Bastian. Namun, aku tidak bisa berbuat apapun sekarang. Aku hanya ingin membuat kak Lila bahagia, dengan kondisinya sekarang.

"Aku pulang ya. Ada kumpulan teater." Bastian pamit dengan mengecup ujung kepalaku.

"Hati-hati ya." Aku melambaikan tangan saat Bastian melangkah pergi menuju motornya.

Disaat itulah, aku melihat pak Aksa sudah berdiri di depan mobilnya. Apa dia tadi melihat Bastian menciumku? Aku tidak peduli, hati kami sama-sama sudah terisi.

Bastian juga sepertinya sadar dengan kehadiran pak Aksa. Sebelum dia naik di atas motornya, dia sedikit membungkukkan badan untuk menyapanya pak Aksa.

Aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu. Membuka laptop untuk menonton drama di atas kasur, sebelum menjamah tugas kuliah.

Tok tok tok

Pasti itu ketukan dari pak Aksa.

"Masuk, enggak dikunci," teriakku dari kamar.

Pak Aksa masuk dengan wajah dingin. Namun, itu sudah menjadi hal biasa bagiku, di kelas pun dia masang wajah yang lebih seram.

"Kalau pacaran jangan dibawa ke rumah. Tidak enak sama tetangga. Apalagi status kamu sudah berubah" Aku sedikit menghiraukannya.

"Dengar tidak!" Pak Aksa menaikkan volume suaranya, membuatku kaget sendiri.

"Iya, dengar. Lagian bapak kenapa pulang? kan baru jam segini." tanyaku yang masih fokus dengan drama Korea.

"Saya mau ngisi seminar di kampus sebelah. Kebetulan habis ngajar kelas kamu, saya kosong. Jadi, pulang sebentar untuk," ucapannya terhenti.

"Untuk apa? Untuk lihat kondisi kak Lila. Dia habis minum obat." Aku memotong ucapannya.

"Maaf, tidak sempat lapor ke pak Aksa. Soalnya tadi ada Bastian." Aku melanjutkan menonton drama.

Pak Aksa pergi meninggalkan kamarku. Terdengar mesin mobil menyala, pak Aksa pergi lagi untuk mengisi seminar.

Jika pak Aksa pergi, aku selalu melaporkan kondisi kakakku, tentunya secara diam-diam tanpa sepengetahuan kakakku. Pak Aksa masih sangat mencintainya. Jadi, jangan berharap aku bisa terselip di hati pak Aksa.

Setelah menonton drakor selama satu jam. Aku bersiap mengerjakan tugas kuliah untuk lusa. Aku sebenarnya, tipe orang yang melakukan sesuatu seperti Roro Jongrang. Alias, mengerjakan tugas dalam waktu satu malam. Namun, dengan kondisi sekarang tidak bisa.

Kak Lila terkadang sering drop secara mendadak. Jadi, aku harus menjaganya bersama ibu di rumah sakit jika pak Aksa lagi kerja.

Gedubrakkkk

Suara itu muncul dari kamar Kak Lila. Aku yang sedang mengerjakan tugas segera berlari menuju sumber suara itu.

"Kakak!" teriakku panik saat melihat kondisi kakakku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!