NovelToon NovelToon

MEMORI YANG HILANG

Prologue

1 Januari, 5 tahun lalu...

..."Berjanjilah kalau kau akan hidup dengan baik tanpaku... Berjanjilah, atau aku akan sangat membencimu."...

...***...

Matanya terbuka untuk pertama kalinya. Hampir seminggu ia memejamkan mata. Kecelakaan itu memang merenggut kesadarannya selama beberapa waktu. Bukan hanya orang-orang yang meramalkan bahwa ia mungkin tidak akan pernah bangun lagi, namun tenaga medis juga hampir pasrah. Menyerah.

Tapi mata kecoklatan itu terbuka tepat setelah ia bermimpi panjang. Sebuah mimpi yang akan merenggut berbagai macam kenangan masa lalunya di masa yang akan datang. Sayangnya ia tidak ingat mimpi itu. Kecuali matanya yang tiba-tiba berair seolah ingin menangis.

Ia menatap sekeliling ruangan dan merasa asing dengan tempat ini. Tapi melihat beberapa lilitan kabel yang menyambungkan tubuhnya pada peralatan medis di beberapa sisi membuatnya menyadari satu hal.

Dia tidak berada di kamarnya yang hangat dipertengahan bulan Desember.

Semua ini asing. Bukan hanya sekitarnya, lingkungannya, namun juga keadaan hatinya. Apa yang baru saja terjadi pada dirinya? Kenapa ia malah terbaring di rumah sakit yang dingin ini?

Apakah ia baru saja akan mati?

...***...

"Anak anda mengalami amnesia."

Itu yang dikatakan Dokter Al pada Liliana. "Kami sudah memeriksa pasien. Benturan yang terjadi saat kecelakaan sangat keras. Akibatnya pasien tidak akan mengingat tentang masa lalunya."

"Apakah anak saya akan melupakan saya juga, Dok?"

"Tentu. Tapi keluar dari konteks ini, saya yakin pasien tidak akan melupakan ikatan di antara dirinya dan kedua orang tuanya. Awalnya ini mungkin akan berpengaruh pada kehidupan sehari-hari antara anda dan anak anda. Tapi saya rasa, itu tidak akan terlalu bermasalah. Kecuali untuk lingkungan yang lebih luas seperti pekerjaan atau lingkungan sosial. Anda hanya perlu menemaninya dan perlahan mengingatkan pasien dengan hal-hal kecil yang tidak terlalu memaksa ingatannya untuk bekerja lebih keras." Seru Dokter Al.

Liliana mengangguk paham. "Apakah ingatan anak saya tidak akan kembali sama sekali?"

Dokter Al melihat hasil pemeriksaannya pada sebuah kertas, mengamati, lalu mengangguk-angguk. "Dalam hal ini, hanya keajaiban yang terjadi, Bu Liliana. Anda bersyukur putra anda masih selamat. Apapun yang terjadi, apakah pasien akan mengingat masa lalunya atau tidak, setidaknya anda dan suami anda, juga saya, sudah melakukan yang terbaik."

Bekas tangis pada wajah perempuan cantik itu masih ada. Matanya membengkak mengkhawatirkan putranya yang baru saja mengalami kecelakaan. Mobilnya masuk jurang setelah menabrak pembatas jalan. Liliana nyaris kehilangan putra tunggalnya akibat insiden tersebut. Rasa leganya baru muncul setelah tepat seminggu pasca kecelakaan, putranya yang koma bangun dari tidur panjangnya. Namun dengan keadaan yang tidak pernah Liliana duga. Bahwa putranya akan melupakan semua memori dan ingatannya hanya dalam waktu sekejap saja.

"Kami menduga, putra anda sengaja menabrakkan diri pada pembatas jalan. Berdasarkan bukti-bukti yang berhasil kami kantongi, juga beberapa saksi di TKP, kami menyimpulkan bahwa pewaris Hars Corporation sengaja untuk mengakhiri nyawanya sendiri."

Liliana ingat jelas, itu yang dikatakan polisi dua hari setelah kecelakaan. Dan tepat saat itu, ia merasa jantungnya seperti mau lepas. Anaknya? Benarkah anaknya memang berniat mengakhiri hidupnya hanya karena masalah yang Liliana ikut campur di dalamnya semalam sebelum kecelakaan?

...***...

^^^Bab ini kupersembahkan untukmu^^^

^^^yang dalam lelah tetap mendukungku.^^^

^^^IG : @_yuanitaaw^^^

|Bagian 1|

20 Desember

Lima tahun kemudian

Dalam sebuah ruangan kantor yang lampunya sengaja diredupkan, seorang pria duduk di samping jendela. Pandangannya jauh mengamati gedung-gedung tinggi yang sejajar dengan gedungnya dengan tatapan kosong. Sebenarnya ia sedang menunggu sebuah pesan. Lebih tepatnya kabar dari seseorang. Di atas pangkuannya ada sebuah ponsel, yang ia tinggu-tunggu untuk berbunyi. Abiyasha Harsa, menatap layar ponselnya. Benda itu berkedip-kedip dan bergetar saat menunjukkan satu pesan masuk.

Akhirnya!

Abiyasha meraih ponsel tersebut, secepat kilat membuka pesan dari orang suruhannya tersebut. Lalu terperangah saat membaca isinya.

Pesan masuk : Erland

22.08 Wib

...Aku belum menemukan dia!...

Hanya satu kalimat tersebut yang mampu membuat Abiyasha merasa seseorang meninju perutnya hingga membuatnya mual. Hanya satu kabar itu mampu membuat dadanya terasa tersumbat sehingga ia kesulitan bernapas.

Tidak mau menunggu lama, Abiyasha langsung menekan tombol hijau. Menghubungi Erland yang entah ada di penjuru mana. Terdengar beberapa kali nada sambung sampai kemudian Erland berdehem dan mengucapkan halo.

"Halo, Erland. Ini aku. Kenapa kau masih belum menemukannya?" seru Abiyasha. Langsung ke topik pembicaraan mereka.

Erland sekali lagi berdehem. Lalu pria itu terdengar membuka-buka sebuah kertas. "Aku tidak yakin, Bi. Tapi ciri-ciri yang kau berikan benar-benar sulit. Seperti tidak ada informasi apapun tentang seseorang dalam foto yang kau berikan padaku beberapa hari lalu. Aku juga kelimpungan."

"Cari lagi sampai ketemu!" perintah Abiyasha. Ia merasa nyaris frustasi.

Erland terkekeh. "Seandainya dia sudah kutemukan, kau mau apa?"

Abiyasha memijat alisnya yang mendadak berkedut. "Aku tidak tahu."

"Kau benar-benar aneh, teman. Kau memberiku sebuah foto, memintaku menyelidikinya, sedangkan kau tidak mengenalnya dan bahkan kau tidak tahu mau apa. Lalu kenapa kau susah-susah membayarku, Bi?"

Abiyasha tahu Erland sedang bercanda, dan ia sedang tidak ingin meladeninya. Tapi meskipun begitu, Abiyasha tetap tersenyum kecil. "Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa sangat penasaran sekali."

"Apa ini ada kaitannya dengan masa lalumu?

"Aku tidak ingat," jawab Abiyasha.

"Ah, aku lupa. Kau tidak ingat sama sekali soal masa lalumu gara-gara kecelakaan konyol itu. Baiklah," desah Erland.

Abiyasha mengusap wajahnya dengan kasar. "Ya, kau benar sekali. Aku memang konyol."

"Baiklah," jeda sejenak. "Omong-omong kau masih suka mimpi buruk?" tanya Erland

"Untuk beberapa waktu, ya. Aku sering terbangun dengan napas tersengal-sengal di tengah malam. Mungkin itu efek dari kecelakaanku. Jadi aku ingin tahu apa orang yang kucari ini ada hubungannya dengan masa laluku atau tidak."

"Abi, kusarankan agar kau lupakan sesuatu yang membuatmu tertekan dan mulailah dekat dengan Amara. Kau tidak tahu, kan, betapa dia sangat menyukaimu sejak lama?"

Amara lagi. Amara lagi. "Erland!" sergah Abiyasha kesal.

"Baiklah-baiklah, teman. Aku akan mencari informasi sebanyak mungkin. Sekarang pulanglah. Ibumu meneleponku barusan dan bertanya apa aku sedang bersamamu atau tidak. Aku, kan, bukan pacar gelap yang menyembunyikanmu. Jadi tolong katakan pada Ibumu untuk tidak merecokkiku, oke?"

"Baik. Terima kasih!"

Setelah itu telepon ditutup. Abiyasha masih belum beranjak dari tempatnya. Mendadak kalimat Erland berputar-putar dalam benaknya.

Benar, kenapa pula ia harus repot-repot mencari seseorang yang bahkan tidak ia kenal? Dan kenapa pula saat ini bukannya berkencan dengan wanita lain, ia malah duduk melamun dan menunggu sambil bertanya-tanya bagaimana kabar dari seseorang yang sedang ia cari?

Siapa dia?

Tidak mau menunggu lama dan larut dalam lamunannya, Abiyasha bangkit dari tempatnya, meraih jasnya yang ada pada sandaran kursi kerja, lalu bergegas untuk pergi.

***

Yasmine Abichara menyesap cappuccino-nya. Wanita berbaju hijau dengan rambut pirang yang dibiarkan tergerai itu sedang menunggu seseorang. Rio Diwangkara, pacarnya. Pria itu bilang akan menemuinya tepat pukul dua siang di kafe O'brien. Namun Rio belum juga datang meskipun Yasmine sudah datang sejak lima belas menit yang lalu.

Ponsel pria itu tidak aktif. Itu yang dipastikan Yasmine setelah mengecek ponselnya dan memutuskan untuk menelepon pria itu lima detik yang lalu. Yasmine mendesah, tidak ada yang salah dari Rio. Pria itu sangat baik hati. Tidak pernah sekalipun Rio memperlakukannya secara kasar. Intinya, Rio adalah sosok pria yang sangat ideal untuk menjadi pacarnya. Kecuali keterlambatannya itu.

Lima menit kemudian, pintu kafe berdenting. Menandakan adanya pengunjung yang datang. Yasmine menoleh dan mendapati Rio sedang melambaikan tangan di ujung sana. Yasmine tersenyum. Ikut melambaikan tangan.

"Hai!" Rio mendekatinya, memeluk Yasmine sebentar, lalu mengambil posisi duduk di depan wanita itu. "Maaf, aku terlambat. Jalanan macet!"

Yasmine mendesah. "Alasanmu klise, Rio."

Rio tertawa sumbang. "Kau sudah pesan makan?"

"Tidak, aku sudah makan sebelum datang ke sini!" Yasmine menggeleng. Rio mengangkat tangan untuk memanggil waiters dan memesan kopi hitam untuk dirinya sendiri.

Yasmine menyesap cappuccino-nya lagi saat waiters datang beberapa menit kemudian. Sejujurnya lidahnya sulit menerima jenis kopi selain cappucino. Di luar gerimis. Yasmine berdoa dalam hati semoga hari ini tidak hujan. Ia tidak suka suara gemuruh petir, kilat, dan basah. Entah mengapa.

"Kau sibuk akhir-akhir ini?"

Yasmine yang tadinya sibuk dengan pikirannya sendiri menoleh ke arah Rio. Pria itu tersenyum, seperti biasa. Terkadang, Yasmine bingung, bagaimana mungkin Rio mau menunggunya dan sabar menghadapinya. Padahal...

"Eh, tidak. Kenapa?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya takut mengganggumu kalau kau sibuk dengan mengajakmu keluar hari ini. Kudengar besok kau sudah mulai bekerja di perusahaan barumu. Jadi aku khawatir kau merasa terbebani."

Selain menjadi tipikal pria yang ideal, Rio juga sangat pengertian. Mereka sudah berpacaran selama beberapa tahun, dan tidak pernah Yasmine melihat Rio marah. Pria itu lebih banyak merasa tidak enak pada Yasmine untuk banyak hal. Seperti saat ini misalnya.

"Rio. Apa yang kau bicarakan? Aku sama sekali tidak merasa keberatan. Akhir-akhir ini aku memang sibuk. Aku jadi sedikit sulit menghubungimu. Tapi aku sama sekali tidak berniat begitu," jelas Yasmine. Besok dirinya memang mulai bekerja pada sebuah perusahaan properti di Jakarta sebagai seorang sekretaris. Tapi tentu saja hal itu tidak membuatnya merasa kalau ia terganggu dengan Rio seperti yang pria itu katakan tadi."

"Kalau begitu, apa kau ingat hari apa ini?"

Yasmine menggeleng. "Sepertinya hari ini bukan hari ulang tahun Pablo," Yasmine menyebut nama kucing kesayangan Rio yang lahir di bulan Januari bukan Desember seperti sekarang ini. "Seingatku kau tidak berulang tahun, dan aku tidak melewatkan apapun."

"Tapi hari ini adalah tanggal perayaan anniversary kita tepat yang ke tiga tahun."

Deg! Yasmine mengangkat kepalanya. Matanya langsung menatap ke manik mata Rio yang gelap di hadapannya. Pria itu tersenyum. Tapi Yasmine tahu Rio tidak benar-benar tersenyum. Perlahan ada perasaan bersalah yang teramat sangat mendadak menggelayuti hatinya. "Oh, Rio... A-aku..." Kesulitan bicara, Yasmine hanya menggerak-gerakkan tangannya.

"Kau lupa? Sekarang tanggal 20 Desember!"

Ya. Yasmine tidak ingat sama sekali. Yasmine memang pelupa. Tapi ia tidak menyangka kalau dirinya akan sekejam itu dengan melupakan hari penting ini. "Rio, maafkan aku. Aku salah. Aku... Aku tidak ingat sama sekali."

"Tidak apa-apa, Yash," Rio meraih tangannya. Menggenggamnya pelan. "Aku tahu kau sangat sibuk. Aku harus maklum."

"Maafkan aku, Rio. Aku benar-benar payah," Yasmine merasa air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.

"Hsssh. Kenapa kau menangis? Aku tidak marah padamu. Aku hanya mengingatkanmu, Yash."

"Aku menangis karena..."

Karena kau sudah begitu baik, karena sudah mencintaiku sebesar itu, dan karena pada detik ini pun aku masih belum bisa membalasnya.

"...karena aku melupakan hari ini, Rio. Maafkan aku. Kau berhak marah."

Rio tersenyum. "Tidak, Yasmine. Aku tidak akan marah padamu. Aku sudah senang kau bertemu denganku. Aku tidak marah."

Yasmine mengusap air matanya. "Kau tidak marah? Benar-benar tidak marah?" tanya Yasmine.

"Tidak!" Rio menggelengkan kepalanya. "Meskipun ya, pada awalnya aku memang sangat bersemangat datang ke kafe dengan harapan kau akan mengingat hari spesial kita. Tapi kalau kau tidak ingat apapun, aku tidak bisa marah."

"Rio... Maaf..."

Rio mengangguk. "Lupa itu hal yang wajar. Aku tidak masalah."

Tangisan Yasmine berubah menjadi senggukan. Wanita itu terisak-isak. Ia merasa sangat bersalah. Rio memeluknya. "Aku tahu ini bukan saat yang tepat," seru Rio kemudian. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari dari balik jaketnya. "Mungkin ini terlalu tergesa-gesa. Tapi aku ingin memberikan ini." Rio mengulurkan kotak dalam tangan Yasmine.

Yasmine menatap kotak yang dengan mudah bisa ditebak apa itu isinya. Cincin. "Rio... Ini..."

"Aku tahu masih ada jarak dalam hatimu untuk aku meskipun kita sudah lama menjalin hubungan. Aku hanya ingin merubah arah hatimu, Yash."

Seandainya aku pun bisa mengubahnya...

Air mata Yasmine tumpah saat Rio memasangkan cincin mungil itu pada jari manis kanannya. Yasmine merasa ada satu beban berat karena entah mengapa hatinya tidak bisa bahagia meskipun Rio sudah di sampingnya. "Rio, aku..."

"Aku tidak butuh jawaban sekarang," Rio tersenyum. "Jangan membuat pernyataanku sebagai sebuah beban. Aku hanya ingin kau mengetahui apa yang aku ingin katakan padamu."

Yasmine menatap cincin mungil tersebut. Mengelusnya perlahan. Wanita itu menenggelamkan dirinya pada bahu Rio. Menangis pelan di sana. "Terima kasih, Rio. Karena sudah mencintaiku sedemikian besar. Terima kasih..." itu yang Yasmine katakan untuk mewakili perasaannya.

Hujan mulai turun, dan Yasmine menangis dalam pelukan Rio.

Seandainya aku mampu mengubah arah hatiku, mungkin semuanya tidak akan sesakit ini.

Seandainya aku bisa mengabaikan apa yang tertulis dalam hatiku, mungkin segalanya akan lebih mudah.

***

^^^Bab ini kupersembahkan untukmu,^^^

^^^yang dalam lelah tetap mendukungku.^^^

^^^IG : @_yuanitaaw^^^

|Bagian 2|

Dalam sebuah mansion dengan pelataran halaman depan yang luas, mobil sedan hitam terlihat masuk. Tidak lama kemudian, seorang pria bersetelan jas abu-abu keluar dari kursi pengemudi. Setelah melepas jas yang membuatnya kegerahan, Abiyasha memijat tengkuknya. Pekerjaan hari ini cukup melelahkan. Menandatangani kontrak dengan buyer asal Korea bukanlah hal yang bisa dientengkan, mengingat koleganya adalah seorang yang sulit dimanipulasi. Namun bukan Abi namanya kalau ia tidak bisa menangani masalah itu semua.

Dengan mudah, buyer asal Korea itu tertarik dengan produknya, dan mau menandatangani kontrak darinya. Itu semua berkat keahlian Abiyasha dalam mengolah kata, data, dan produk agar sesuai dengan keinginan buyer.

Tapi semuanya sedikit kelimpungan karena sekretaris sekaligus asisten pribadinya, Tarissa harus cuti karena bersalin. Abiyasha merasa ia sedikit bingung dengan jadwal yang rumit hasil karyanya sendiri. Biasanya, Abiyasha selalu terbiasa tepat waktu berkat Tarissa. Namun karena kelahiran anak ketiganya, Tarissa tidak bisa mengurus detail sekedule harian miliknya yang berantakkan.

Kabarnya, besok akan ada yang menggantikan Tarissa selama sekretarisnya itu menjalani masa cuti pasca bersalin. Namun ia tidak tahu siapa seseorang yang akan menggantikan pegawai lamanya. Bukan tanpa alasan, saat wawancara, Abiyasha memang tidak mengajukan permintaan bertemu atau tes dalam bentuk apapun. Ia sudah cukup sibuk tanpa harus menambah pekerjaannya dengan berbagai wawancara. Alhasil ia menyerahkan semuanya pada pihak HRD.

Abiyasha mengetuk pintu jati yang diukir dengan aksen jawa sedemikian rupa tersebut pelan. Pintu dibuka, seorang wanita tua menyambutnya dengan senyum teduh. "Eh, Mas Abi!" sapa pembantu rumah tangga keluarga ini, Bi Ida.

"Halo, Bi. Apa kabar?" sapanya basa-basi pada wanita yang telah mengabdikan hidupnya pada keluarga Harsa sejak lama itu.

"Ah, saya baik, Mas. Ngomong-ngomong kenapa jarang ke sini? Nyonya kangen sekali dengan Mas Aba," papar Bi Ida.

Abiyasha tersenyum simpul. "Sekarang, di mana Ibu?"

"Di taman belakang. Sedang ngobrol dengan Tuan."

Setelah mengucapkan terima kasih dan meninggalkan Bi Ida di ruang tamu, Abiyasha melangkahkan kakinya masuk melewati ruang tengah, lalu melewati jembatan kecil yang menghubungkannya pada taman di sebelah kanan, hingga pria itu menemukan kedua orang tuanya sedang duduk santai di kursi kayu.

Abimana Harsa dan Liliana Harsa sedang mengobrol ringan. Abiyasha tersenyum. "Wah, Tidak ada yang menyadari kedatanganku rupanya."

Abimana dan Liliana menoleh. Mendapati putra mereka yang biasanya jarang berkunjung, kini menyapanya. "Lho, Bi. Kau di sini? Kenapa tidak menelepon dulu?"

Abiyasha memeluk Ibunya, lalu ayahnya dengan bergantian. "Aku hanya mampir sebentar, Bu. Ibu apa kabar? Halo, Ayah."

"Kabar kami baik," jawab Liliana. "Kau baru pulang? Kalau tadi kau menelepon, Ibu pasti bisa masak dulu."

Abiyasha duduk di samping ayahnya. "Biarkan dia, Liliana. Abi tidak butuh masakanmu lagi, sebentar lagi dia akan menikah," kekeh Abimana.

Abiyasha mengangkat alisnya tinggi. "Apa maksudnya itu?"

"Kau sebentar lagi, kan, akan bertunangan dengan Amara. Kau pikir apa?" balas Liliana.

"Bertunangan?!" Abiyasha tertawa sumbang. "Jangan bercanda. Aku tidak mungkin bertunangan dengan Amara, Bu."

Abiyasha tidak pernah membayangkan kalau ia akan bertunangan dengan Amara. Bukan tanpa alasan Abiyasha menolak perjodohan yang sudah disepakati dua belah pihak keluarga, tapi memang Abiyasha tidak pernah memiliki perasaan pada wanita yang ia kenal sejak kecil dan sudah ia anggap adik bungsunya itu.

Wajah Abimana mengeras. "Kau menolak bertunangan dengan Amara? Bukannya kalian sudah mengenal sejak kecil?"

"Ya, sepertinya begitu. Tapi aku tidak pernah membayangkan akan hidup dengannya."

"Kau bercanda?!" sergah Abimana. "Kau pikir Amara tidak mencintaimu sejak kalian masih remaja? Kau pikir keluarganya akan menerima perlakuan semacam ini?"

Abiyasha memijat pangkal hidungnya yang mendadak berdenyut. "Ayah, aku mohon. Aku dan Amara tidak memiliki hubungan apapun. Ayah salah berasumsi tentang kami."

"Tapi, Nak. Kau tahu, kan, Papi Amara sudah banyak membantu keluarga kita. Dia yang sudah membuatmu dan ayahmu ada di posisi sekarang ini. Akan sulit kalau kau menolak perjodohan ini hanya karena egomu. Lagipula Amara wanita yang baik, berasal dari keluarga terpandang, dan dia sangat cantik. Apa yang kau inginkan?"

Abiyasha merenung. Ada satu hal yang ia inginkan. Cinta. Dan Abiyasha tidak pernah merasakan adanya letupan bahagia saat bertemu dengan wanita lain termasuk Amara, atau merasakan dadanya berdenyut-denyut sakit karena melihat orang yang ia cintai merasa sedih, atau merasa damai bersama wanita lain. Itu cinta dan ia belum pernah merasakannya.

"Amara memang wanita yang baik, tapi sepertinya aku tidak mencintainya," Abiyasha tersenyum miris. "Aku bahkan tidak tahu apa iti cinta. Sejak lima tahun pasca kecelakaan itu aku tidak mengingat apapun, Bu. Mungkin hatiku menolak mengakui adanya cinta."

"Tapi kau bisa belajar mencintai Amara!"

Abiyasha menggeleng, menyingsing lengannya, dan melangkahkan kakinya perlahan. "Aku tidak tahu," katanya. "Tapi seandainya aku bisa mengenal hal-hal semacam itu, aku akan sangat bahagia. Kalau begitu, aku harus pulang. Selamat malam."

Abiyasha melangkahkan kakinya keluar dari taman tersebut. Meninggalkan orang tuanya yang menatap miris ke arahnya.

...***...

Yasmine menatap bayangannya di cermin. Matanya bengkak karena terlalu lama menangis. Ia tidak tahu kenapa dirinya harus menangisi hal-hal yang tidak mungkin dapat terulang kembali seperti masa lalu. Ini sudah malam, nyaris pagi, tapi Yasmine tetap tidak bisa memejamkan mata. Ia ingat bagaimana baiknya Rio saat bersamanya. Pria itu seseorang yang selalu mencintai dan menemaninya sejak bertahun-tahun. Tapi nyatanya, Yasmine tetap mengecewakannya.

Demi Tuhan, bahkan pria itu sudah melamarnya. Lalu apa? Kenapa hatinya tidak bahagia? Tidak peduli sekeras apapun Yasmine mencoba mencintai pria itu nyatanya semuanya masih tetap sama. Arah hatinya.

Yasmine mengelus cincin yang terpasang pada jari kanannya. Dalam keremangan cahaya kamar ia melihat ketulusan Rio untuk selalu bersamanya. Dan lagi-lagi dadanya sesak mengingat hal itu.

Yasmine tahu, pria itu sudah mati-matian untuk bertahan dengannya. Selama ini Rio srlalu melakukan yang terbaik yang pria itu bisa untuk Yasmine. Tapi tetap saja, semuanya masih saja sama. Dalam hati, ada perasaan kasihan sekaligus bingung pada Rio. Yasmine bertanya-tanya kenapa Rio masih saja mau bertahan dengan dirinya padahal selama ini pria itu tahu kalau Yasmine tidak lagi percaya akan cinta.

Kejadian di masa lalunya telah merenggut sebagian angan Yasmine akan dicintai dan mencintai. Namun di situ Rio datang, sebagai pria humoris dan menyenangkan. Sebagai teman dan sahabat baik. Menemani Yasmine saat Yasmine sendirian. Mencintainya dengan sepenuh hati pula.

Tapi kebodohan dirinyalah yang selalu menyakiti Rio perlahan. Entah sampai kapan Rio akan menemaninya. Entah sampai kapan pula hatinya akan seperti ini. Yasmine tidak tahu.

"Rio, terima kasih karena sudah begitu banyak memberiku cinta. Sedang aku hanya bisa memberimu luka..."

...***...

^^^Bab ini kupersembahkan untukmu^^^

^^^yang tidak pernah lelah menggenggam tanganku.^^^

^^^IG : @_yuanitaaw^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!