NovelToon NovelToon

When Demon Child Become Human

␑| Karena Aku

Entah sudah berapa lama aku menjalani hidup.

Semuanya, terasa hambar.

Aku masih tidak mengerti dengan harapan yang ia ucapkan. Kenapa harus aku yang selamat? Mengapa hanya aku? Ia tidak memohon untuk dirinya sendiri?

Semua pertanyaan itu tak henti terlintas dalam pikiran.

Semakin banyak bertanya, semakin tidak menemukan jawaban.

Hanya satu yang pasti. Aku harus terus menjalani kehidupan, karena ia telah mengorbankan jiwanya demi aku.

Aku, yang ia harapkan bisa hidup normal.

Namun, apakah ini normal? Bahkan aku tidak akan mati.

Apa pun yang terjadi ... tak akan mati.

"Astaga, biar aku dipanggilkan ambulans!" Ibu itu mengucap dengan tergesa-gesa setelah aku menyelamatkan anaknya dari kecelakaan.

Wajar saja dia khawatir, tabrakan itu cukup keras sampai terasa remuk dan sakit di sekujur tubuh. Ditambah banyak darah menggenang di sekitar aku yang masih berbaring di atas dinginnya salju.

Tapi tetap saja tidak akan mati, hanya merasakan sakit ... seperti dulu.

"Tidak perlu, hanya butuh istirahat."

Ibu itu tak memedulikan apa yang aku ucapkan, mungkin sibuk menelepon ambulans.

Maka aku beralih pada hal lain.

"Tolong dokumen saya," ucapku dengan suara bergetar karena berusaha untuk berdiri.

"Nak, jangan terlalu memaksakan diri!" Sejenak aku mendengar suara berat yang samar dan terasa tubuhku ditahan, seperti ada yang berusaha membantuku bangun.

Lantas dengan susah payah aku mencoba mengumpulkan fokus. Ternyata seorang pria berbadan besar ada di dekatku.

Ah, aku tidak menyadari orang-orang sudah mengerubungiku sebab sebelumnya mata sungguh buram; juga pusing. Ditambah rasa sakit tak tertahankan.

Namun, seheboh itukah kecelakaan ini?

"Dokumen saya."

"Kak, maksudnya ini?" Seorang anak kecil--anak yang sudah aku selamatkan--menyodorkan map dokumen, dan tentu langsung kuterima.

Sudah rapi. Tapi saat berusaha untuk mengecek apakah isinya masih utuh, aku justru kesakitan. Tangan pun refleks terangkat lantaran berusaha menahan kepala yang terasa berat.

"Emblem itu ... kamu mahasiswa Vaughan?" tanya sang bapak setelah melihat map dokumen--berwarna hitam dan berlambang pohon corak emas--ketika aku berusaha mengecek isinya.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban tetapi mereka satu persatu mulai pergi, bahkan ada yang tergesa-gesa. Ibu tadi pun tidak menyelesaikan teleponnya.

"Kalau tidak mau dipanggilkan ambulans, Ibu pamit dulu, ya. Terima kasih sudah menyelamatkan anak Ibu. Ibu doakan yang terbaik untuk kamu sebagai gantinya."

"Bapak ada urusan, kamu tidak apa-apa ditinggal?"

"Ya, hanya butuh istirahat sebentar," jawabku untuk ucapan mereka semua.

Pelan-pelan bapak itu melepas rangkulannya, membuat badanku sedikit terhuyung. Aku pun berusaha untuk menahan pusing dan nyeri dengan menopang raga sekuat tenaga; bersandar pada tiang lampu jalan.

Tampaknya setelah mereka tahu dari mana aku berasal, aku ditinggalkan begitu saja.

Jika manusia normal, tertabrak mobil dan kehilangan darah sebegini banyak lalu ditinggalkan di pinggir jalan bukankah sedikit keji?

Beruntungnya aku berbadan kekal---ah, bukan beruntung, lebih tepatnya keabadian ini seperti kutukan.

Mereka mungkin juga mengira aku tak normal karena isu yang tersebar. Jika kau berurusan dengan murid dari Vaughan, kau akan sial seumur hidup.

Ada yang menganggap ini hanya rumor belaka, siapa juga mudah percaya dengan hal konyol seperti itu?

Nyatanya, mereka peduli pada isu tersebut dan memilih untuk mencari aman--menjauhi kami--karena banyak yang akan hilang ingatan mengenai identitas murid Vaughan, bahkan seorang ibu bisa lupa pada anak kandungnya tetapi tetangga mereka ingat. Itu sebuah keanehan 'kan?

Namun, Head Master menyatakan justru lebih baik seperti ini.

Ketika kita menjalankan misi, tidak ada yang mengganggu ataupun ikut campur. Jadi, tak perlu menghapus ingatan mereka tentang melihat kami menjalankan tugas.

Sebab Vaughan adalah organisasi rahasia, yang dapat masuk hanya melalui jalur undangan untuk mereka pemilik kemampuan khusus. Dengan diam-diam menjadi pahlawan; menyelamatkan manusia dari serangan para naga.

Pahlawan tanpa tanda jasa dan diperlakukan seperti sampah.

Spontan aku mendengkus. Tubuh pun merosot dari sandaran tiang. Aku bisa melihat kebulan napas dalam dinginnya malam.

Di bawah remangnya jalan yang sunyi, kini hanya ada aku. Sepi; dingin; sendiri; orang-orang menjauh, bukankah ini seperti dulu?

Untuk apa juga aku menjalankan sebuah kutukan bernama kehidupan? Lebih baik mati dengan tenang. Tidak perlu lagi merasakan sakit; merasakan derita; bisa menutup mata; beristirahat untuk selamanya.

"Aku lelah."

Terasa pendar mataku memburam, penglihatan mulai samar karena rasa sakit. Sakit di sekujur tubuh terlebih dalam hati.

Kini di balik pandangan iris hitam, rintik salju mulai menyelimuti. Memancingku untuk menaikkan tangan, membiarkan salju terjatuh dan meleleh pada telapak pucat yang tak henti bergetar.

Perlahan-lahan terasa darah dari kepala berhenti mengalir, cairan merah di jalan pun beku.

Aku menjadi ingat pertama kali mengenal jagat putih ini.

Waktu itu ... persis seperti sekarang.

Gumpalan kecil nan bersih turun dari langit. Terasa dingin, tapi ia menggenggam tanganku dan hangat mulai menjalar.

Aku pun masih ingat senyum itu dan suatu kelembutan ketika tangannya menyentuh pipiku. Bahkan saat badanku mulai bergetar, ia memelukku erat; memastikan terus merasa nyaman.

Ia mengatakan bahwa ini bernama salju, dan dingin ini yang membuat kebersamaan kami sangat berarti.

Namun, sekarang, seberapa keras aku mencoba menggapai ... hanya ada kekosongan.

Tak ada yang menggenggam tangan ini. Aku mencoba meraih hadapanku tapi apa? Tidak ada apa-apa di sini.

Hanya aku, sendirian.

Sedikit terasa tenggorokan seperti tercekik dan tanpa sadar, air mata mulai mengalir. Mungkin efek kembali diingatkan tidak ada lagi yang memastikan aku terus merasa aman dan tenteram. Maka aku mencengkeram dada, berharap rasa sakit pergi karena napas terasa sesak sekarang.

Tapi aku rindu saat itu, dan ingin kami bisa terus bersama; lebih memilih kembali di waktu itu daripada diberikan kehidupan ke dua kalinya.

Karena aku ... benar-benar tak siap akan kehilangan.

Aku tidak pernah siap ia tinggalkan karena bersamanya, aku mempelajari banyak hal.

Segalanya, penuh warna.

Dengannya, aku memiliki sesuatu untuk digenggam pada masa kini dan masa mendatang. Dan rasanya begitu hangat sampai melupakan masa lalu; begitu manis hingga tak terpikirkan akan perpisahan, sampai aku---

"Heh, hahahahahaha!"

Konyol sekali, aku yang membunuhnya tetapi aku juga merindukannya? Aku yang membuat kehidupanku sebegini sengsara! Kenapa sekarang berharap mendapatkan kebahagiaan?! Bodoh, jangan membuatku tertawa!

Dengan kasar aku menyeka air mata.

Tidak tahu berapa lama duduk bersandar di sini hingga putih sedikit membenam dan bercak darah di jalan tenggelam oleh salju lantaran waktu tak terasa sama sekali, bahkan beratus tahun menjalani hidup ... terasa sebentar.

Halnya, tak ada yang berarti saat melewati gulungan waktu.

Semuanya sama, kekosongan.

Kadang aku berpikir, bagaimana mengembalikan semua ke posisi semula? Tapi seberapa keras aku berusaha, semuanya nihil.

Tak ada lagi ia, dan lebih baik ... kembali telan semua perasaan ini secara mentah-mentah.

Aku pun mencoba mengecek dokumen yang profesor suruh kerjakan. Kesulitan Grade C. Semua aman dan tak ada yang hilang.

Ah, aku harus segera menyerahkan dokumennya.

Perlahan aku berusaha untuk bangun, tubuh rasanya jauh lebih baik daripada sebelumnya meski masih sedikit nyeri. Lantas dengan sempoyongan aku meniti jalan dalam beban salju ketika kaki mulai menyeret langkah, meninggalkan jejak di atas hamparan putih.

Lama kelamaan, kepala sungguh terasa berat sehingga aku hanya menunduk. Namun, air mata kembali menetes tanpa permisi dan melelehkan salju di bawah.

Tidak dapat dimungkiri, aku rindu; aku butuh; aku ingin belaiannya.

Aku ingin kasih sayangnya.

Mencoba menahan tangis, aku justru semakin merintih. "Sudah kukatakan ... sudah aku katakan, untuk apa aku hidup jika tidak ada engkau di sini? Untuk apa?"

␑| Misi

"Kenapa bisa begini?"

Kepalaku terasa pusing jikalau baru bangun langsung ditanyai, walau diriku sudah jauh lebih baik---ah, bisa dibilang pulih seutuhnya, tapi tidak tahu sudah berapa hari tinggal di ruang rawat.

Dan profesor terkejut ketika aku menyerahkan dokumen waktu itu, menyelesaikan misi mengumpulkan bukti keberadaan para Knight di Kota Garth.

Daripada terfokus survei yang aku kerjakan, beliau justru lebih terfokus kepadaku. Babak belur katanya, padahal sudah kukatakan sampai mulut terasa lelah ... aku baik-baik saja.

"Diserang oleh Knight? Atau yang lebih parah, ada Elite di sana?" Beliau tak henti bertanya.

"Bapak tidak membaca dokumen saya?"

"Red, Bapak lebih mengkhawatirkanmu."

"Kalau begitu untuk apa saya kerjakan misi itu? Tidak ada Knight di sana, terlebih Elite. Kasus banyak anak yang hilang karena ada organisasi kriminal. Apa itu ... perdagangan anak."

Aku mendengar embusan napas beliau. "Jadi, kamu sudah bereskan mereka?"

"Tidak ikut campur."

"Red, setidaknya kamu bisa laporkan kepada pihak berwajib." Mendengar itu tanganku menggenggam erat selimut dipangkuan.

Bukankah kalian sendiri yang mengatakan tidak boleh banyak ikut campur dengan manusia? Aku sedikit menggigit bibir bawah.

Kini Profesor Kaidan tidak lagi banyak bertanya untuk waktu yang cukup lama, tetapi beliau masih berdiri di samping kasur. Aku memutuskan untuk menoleh, orang tua itu berwajah melas tetapi tersenyum ketika aku memandangnya.

Senyum masam.

"Nanti Bapak urus sisanya."

"Detail saya tulis di sana."

"Iya nanti Bapak baca. Terima kasih, Red."

Aku mengeluarkan suara gumam sebagai jawaban.

Lalu bisa kudengar decit bangku yang ditarik, Profesor Kaidan pun mulai duduk di dekatku. "Jadi, kenapa kamu pulang dengan bersimbah darah? Seperti habis kecelakaan."

"Benar, kecelakaan."

"Apa yang terjadi?"

Sepertinya apa pun yang kukatakan tidak membuat profesor puas. Beliau tak henti memandangiku, seperti haus akan jawaban.

Akhirnya aku memutuskan untuk berterus terang.

"Ada anak kecil. Ia berjalan dekat jalan raya. Itu sudah malam dan berkabut karena salju, jalan juga sedikit licin hingga wajar saja ada mobil yang tergelincir. Refleks, saya mencoba menyelamatkan anak itu dan justru saya yang tertabrak."

Sepertinya jawabanku membuat Profesor Kaidan puas karena tak lagi berkata-kata, hanya tersenyum lebar hingga mata cokelatnya terpejam.

Seberapa menit kemudian beliau berkata, "Red, tindakanmu bagus. Bapak senang mengetahui kamu membantu orang lain tapi tolong perhatikan dirimu juga."

"Bapak, saya baik-baik saja." Ah, aku kembali mengatakannya.

"Iya. Bapak tahu kamu immortal, tapi hanya kamu yang bisa menjaga dirimu sendiri."

"Lebih baik saya terluka daripada orang lain yang mati."

"Red, lebih baik tidak ada yang terluka sama sekali," tegur Profesor Kaidan yang membuatku heran sampai memandanginya dengan memiringkan kepala.

Namun, lagi-lagi beliau berekspresi melas; sendu, dengan senyum yang dipaksakan.

Aku pun memilih untuk diam; hanya menunduk. Apa aku kembali berbuat salah?

Seketika suara detak jam dinding menggema ke seluruh ruang putih lantaran tidak ada dari kami yang berbicara, tapi Profesor Kaidan masih di sini; duduk di dekatku.

Beliau sepertinya mengkhawatirkanku karena jemarinya bertautan, seperti berpikir keras.

Aku berakhir merasa tak enak, padahal sudah meyakinkan bahwa aku baik-baik saja.

Setiap murid memiliki guru pembimbing. Meskipun organisasi rahasia, kami juga harus menuntut ilmu dasar karena akan bekerja atau berbaur bersama manusia normal dengan mengemban tugas khusus untuk melindungi.

Namun, aku perhatikan akademi Vaughan tidak seperti akademi pada umumnya.

Pelajaran dilakukan secara online, begitu juga dengan ujian karena kami terikat dengan misi. Hanya ujian umum dilakukan bersama anggota club, demi membangun kerja sama katanya.

Senior pernah mengatakan jumlah kami sedikit, maka harus bisa dekat dengan satu sama lain dan memiliki jalinan yang kuat. Itu mengapa setiap sesuatu terjadi, guru pembimbing langsung turun tangan.

Seperti Profesor Kaidan sekarang.

Setiap nyawa penting; setiap individu berharga, tapi bagaimanapun juga aku tak akan mati. Harusnya tidak perlu khawatir berlebihan tentangku.

Bahkan di antara manusia yang berbeda seperti mereka, aku paling berbeda. Asing dari yang paling asing.

Lantas aku mengembuskan napas panjang dan turun dari kasur---oh? Sepatuku di mana ....

"Sudah mau pergi?" tanya Profesor Kaidan yang aku jawab dengan suara gumam lainnya, "kenapa terburu-buru? Kamu tidak ada misi lainkan?"

Ah, akhirnya ketemu. Bergegas aku memakai sepatu hitam ini dan hendak melangkah ke luar. "Pulang ke club."

"Sebelum pergi, Bapak ada misi lain untukmu. Grade SSS."

Sontak derap langkahku tersentak.

Grade S adalah kesulitan paling tinggi, ditandai dengan spesial, bahkan ini ... biasanya keperluan mendadak yang berbahaya dan mengancam nyawa. Hanya orang berpengalaman yang boleh menjalankannya. Dulu ada senior dinyatakan hilang saat menjalankan misi Grade SS, terlebih ....

Aku langsung memandang Profesor Kaidan---eh, beliau tersenyum?

"Tertarik? Sini, duduk dekat Bapak."

Kalau aku tolak, orang lain bisa dalam bahaya. Aku pun duduk pada pinggir kasur dekat beliau.

"Sebenarnya misi Grade C kemarin Bapak berikan kepadamu bisa Bapak kerjakan sendiri, tapi karena ada kepentingan lain jadi Bapak berikan kepadamu. Murid yang menjalankan misi Grade S meminta bantuan dan mereka diserang oleh sekumpulan Pawn dan Knight."

"Mereka selamat?"

"Iya, cuma sekumpulan Pawn dan Knight, bukan masalah besar. Tapi ... ya, mereka sangat banyak. Ratusan."

Menimbang-nimbang apa yang profesor katakan, aku menutup mulut dengan tangan kanan. Apa Grade SSS-nya?

"Red, kita tidak tahu kapan King bangkit dari tidurnya. Pendahulu kita berhasil menyegel dia tapi makhluk kepercayaan King sudah menampakkan taring mereka. Jadi isu, peringatan, info, atau apa saja mengenai mereka tak bisa kita abaikan. Kita tidak tahu kapan mereka membangkitkan kembali si Genesis, menjadikan seluruh manusia sebagai budak. Bapak tidak bisa mengabaikan murid kita, ataupun survei yang kamu kerjakan itu."

Sebenarnya sudah sering mendengar ini dari EVE, hampir setiap hari. Namun, benar apa yang beliau katakan, tidak boleh mengabaikan informasi sekecil apa pun.

Lantas aku mengangguk mengerti.

"Nah, jadiii ... waktu Bapak membantu misi Grade S itu, Bapak kewalahan terutama tim medis kita karena banyaknya musuh, ditambah satu Elite muncul menyergap. Tiba-tiba, ada nona cantik datang membantu. Dia sama sepertimu. Akhirnya Bapak bawa ke sini. Misi Grade SSS kamu untuk menjaga dan menemani---"

"Bapak ingin membuat saya semakin susah?" sergahku sembari menyipitkan mata dan berdiri dari duduk.

"Red, kok kamu berkata begitu? Orangnya ada di sini."

Segera aku menoleh ke mana Profesor Kaidan melihat.

Ternyata gadis itu telah berdiri di dekat pintu, dengan tangan kanan mencengkeram kerah bajunya sendiri.

......................

...Seorang gadis tiba dan langsung menyaksikan pertarungan tepat di bawah kakinya...

...(Kisah Fate sebelum masuk Vaughan)...

...https://trakteer.id/applelikecaramel/showcase/permulaan-fate-pov-gvFN3...

␑| Cerita

Jika aku kembali menyakiti orang lain, aku semakin tidak bisa memaafkan diri sendiri lebih dari ini. Aku akan merasa susah.

Kalau tidak memiliki apa-apa maka tak akan kehilangan apa pun, lalu mati dengan keadaan sepi.

Seharusnya aku hidup seperti itu.

Sebab sampai sekarang pun masih bertanya kenapa harus hidup, apa gunanya?

Pada akhirnya aku merasa hampa. Ibarat boneka, hanya mengikuti arus panggung sandiwara tanpa arah dan tujuan.

Namun, sampai kapan?

Pasti sungguh menyenangkan mendapatkan sebuat pelukan; sebuah kehangatan; sebuah kasih sayang penenang hati.

Hal itu tiba, yang aku impikan datang.

Ia mengulurkan tangannya padaku, menyeretku keluar dari kegelapan. Dengannya, aku bahagia. Bersama, kami penuh tawa. Seluruh luka ini tertutup, pun kekosongan dalam hati terisi.

Itu pertama kalinya aku bisa menghirup udara dalam-dalam.

Namun, dengan kebodohanku pula kehilangannya.

Sungguh benci; dendam; geram, kepada diriku sendiri.

Benci. Benci. Benci.

Aku masih butuh semua itu, tahu?!

Sakit. Menyakitkan.

Benci.

Aku masih butuh kehangatannya, tetapi kenapa aku renggut? Kenapa aku membunuhnya?!

Benci. Benci.

Benci!

Prang!

Tanpa sadar aku kembali menghancurkan cermin di kamar dengan satu genggaman tangan, entah ini yang keberapa. Aku tak tahan melihat diriku sendiri.

Anak iblis!

Langsung aku membanting raga ke kasur, membiarkan tangan dengan beberapa potong beling masih menancap di sana.

Tidak sakit, atau mungkin aku sudah mati rasa.

Mata terasa berat tapi aku tak bisa tidur.

Bagaimana tidur dengan kondisi seperti ini? Terbebani.

Lantas mencoba menutup mata dengan lengan kiri. Lengan kanan aku biarkan bergelayutan pada samping kasur, darah segar masih menetes di sana.

Mendadak aku teringat kejadian kemarin siang ketika Profesor Kaidan menemuiku.

Gadis itu ... mungkin aku menyakiti hatinya.

Namun, apa ia ... ah, aku tak mengerti.

...****************...

Waktu itu, aku langsung bergegas pergi keluar ruang rawat. Melewati dia yang masih berdiri di dekat pintu; melihatku berlalu begitu saja.

Aku tidak berani membalas tatapan mata perak samar biru tersebut.

Malamnya aku menghabiskan waktu di balkon lantai atas perpustakaan, lantaran bisa melihat langit dengan jelas di sana.

Tanganku mulai mencoba meraih; telapak pucat juga menghadap, keindahan alam di atas sana. Sebab sampai saat ini aku masih berharap suatu saat---

"Star."

Mendengar itu aku langsung mengepal tangan, menariknya kembali ke posisi semula dan menoleh ke asal suara.

Gadis tadi siang.

"Seperti namamu, REDstar."

Aku mengembuskan napas panjang setelahnya. "Bukan, saya tidak punya nama. Itu hanya panggilan dari orang-orang."

Sejujurnya aku benci panggilan tersebut, tidak sesuai dengan diriku.

Tak seindah bintang.

Akhirnya aku mencoba mengganti topik. "Sudah larut, tidak tidur?"

"Belum mengantuk, perpustakaan juga tempat yang aku suka, jadi aku mengunjungi perpustakaan ini. Ternyata buku-buku di sini bagus juga."

Oh? Biasanya kalau aku tidak bisa tidur, ia--orang terkasihku--membacakan cerita dan ... memelukku.

Ah, mana mungkin aku memeluk gadis itu, yang sudah aku sakiti perasaannya ketika pertama bertemu.

"Mau mendengarkan sebuah cerita?"

Dia mengangguk.

Langsung aku duduk di sampingnya dan mulai bercerita ... tentang monster kecil.

Monster kecil yang ingin bebas dan belajar mengenai dirinya tetapi begitu bebas, hanya pedih dirasa.

Monster kecil yang manusia takuti; yang manusia sakiti.

Monster kecil yang hanya mengetahui bahwa manusia hanya memberikan rasa sakit.

Monster kecil yang memutuskan untuk menyendiri, hingga seorang perempuan menemukannya. Untuk pertama kalinya monster kecil merasakan kebahagiaan; cinta; kasih sayang; harapan, berkat perempuan tersebut.

Namun, kebahagiaannya sirna begitu saja ... oleh tangan monster kecil sendiri.

Dan hanya dalam satu hari itu pula, monster kecil kehilangan semuanya.

Putus asa dan ditelan kegelapan.

"Aku tidak kenal dengan cerita itu," ucapnya mendadak.

Sedangkan aku masih melihat langit. "Memang bukan cerita, tapi kisah nyata. Tentang---"

"Kamu."

Sontak aku memandangnya dengan heran, tapi gadis itu lanjut berkata, "Dan aku sangat yakin kau berbeda."

......................

...Dunia lain; ingatan yang samar; sebuah map dokumen hitam, itu semua ... tidak ada yang kebetulan....

...(Kisah Fate menjadi anggota Vaughan)...

...https://trakteer.id/applelikecaramel/showcase/tawaran-fate-pov-vU51s...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!