NovelToon NovelToon

Hanya Sebuah Pernikahan

Bab 1 perkenalan tokoh

Hanya Sebuah Pernikahan

Perkenalkan namaku Arina Dwi Renata. Secara fisik aku bertubuh mungil dengan tinggi tidak sampai seratus lima puluh centimeter alias hanya 145 saja. Berat badan hanya 30 kilogram. Bisa dibayangkan aku memiliki postur tubuh sebaya anak SMP. Aku lulusan S1 di perguruan tinggi negeri di kotaku. Sekarang aku bekerja di perusahaan swasta di kotaku. Aku menjalani hari - hari biasa saja. Impianku juga tidak muluk-muluk hanya membina rumah tangga dengan damai dan bahagia. Kenyataannya tidak seindah impianku.

Disaat semua kakak dan adikku sudah menikah aku tak kunjung menikah. Setiap kali aku keluar selalu saja jadi bahan ghibah yang empuk buat para pejuang ghibah. Bagaimana tidak ? Di usia yang sudah memasuki kepala tiga tidak kunjung menikah dan tidak pernah terlihat memiliki pacar. Kemana - mana selalu dengan ibuku yang menemani.

Sering kita mendengarkan jawaban dari pertanyaan

" Kamu kalau menikah memilih pria yang mencintaimu apa dengan pria yang bertanggung jawab?"

"Kamu memilih menikah dengan orang yang mencintaimu apa yang kamu cintai?"

Inilah jawaban dari semua pertanyaan pertanyaan yang dulu sering aku dengar. Aku memilih menikah dengan pria yang mencintaiku. Setidaknya itu menurutku. Aku memilih menikah dengan pria yang mempunyai sifat selalu bertanggung jawab.

Tentu jawaban setiap orang selalu berbeda tergantung dengan takdir yang mereka jalani. Di dalam cerita ini, jawabannya menurut segi pandanganku saja dan juga karena pengalamanku.

Menjalani masa kecil dari keluarga sederhana dan bahkan mungkin kurang. Membuat aku hidup tidak terlalu memikirkan materi. Cukup untuk makan itu sudah membuat aku senang. Ibu membuat makanan - makanan kecil yang dititipkan di warung - warung dan di kantin - kantin sekolah dekat rumah.

Lahir, tumbuh dan dibesarkan dari keluarga broken home. Membuat aku selalu berkata pada diriku sendiri untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri tanpa harus meminta dan bersandar pada laki - laki.

Melihat ibu yang kesulitan secara ekonomi setelah ayahku menikah lagi. Beliau harus bersusah payah membiayai kami anak - anaknya untuk tetap bisa sekolah bahkan sampai ke perguruan tinggi.

Melihat kakakku yang dengan suka rela berhenti bekerja. Menjadi ibu rumah tangga biasa, karena mengikuti suami. Membesarkan buah hati mereka. Di tengah perjalanan rumah tangganya ternyata harus kecewa dan harus berjuang lagi. Menjadi tulang punggung ekonomi keluarga karena suaminya berselingkuh. Hartanya habis terkuras oleh wanita simpanannya

Melihat adikku memiliki keluarga kecil. Hidup bahagia walau dengan keadaan yang naik turun, karena masih menanggung biaya kebutuhan dari keluarga suaminya.

Tiga contoh rumah tangga diatas. Membuat aku memantapkan hatiku untuk tetap bekerja, setelah aku menikah kelak.

Dari semua yang aku pelajari, di sanalah aku selalu berharap dan berdoa bertemu dengan jodohku kelak. Pria yang bisa menerima aku apa adanya dan bertanggung jawab.

Impianku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami yang sangat bertanggung jawab. pada diriku istrinya dan anak - anak kami kelak.

Entahlah siapa yang salah dalam pernikahan yang aku jalani ini. Aku atau suamiku ? Biarkanlah orang yang menilai dengan sudut pandang mereka sendiri. Aku hanya menjalani takdirku yang sudah di digariskan untukku.

Dari awal pernikahan yang salah dan harus berakhir dengan aku " meninggalkannya ". Merupakan sebuah keputusan yang benar - benar membuat aku harus kuat menjalani hari - hariku dan membesarkan kedua buah hatiku.

Arti kata meninggalkan suamiku. Bukan berarti meninggalkan suamiku yang sebenarnya. Bukan meninggalkan dia karena cerai dalam ketukan palu hakim. Bukan meninggalkannya karena aku lari dengan pria lain. Mencari pria yang lebih baik dari suamiku secara fisik dan psikis. Tapi aku meninggalkannya dalam segala hal. Dalam pikiranku. Dalam tindakanku bahkan mungkin aku mengajari anak - anakku hidup tanpa ayah mereka. Belajar tidak mengenal kata ayah. Belajar tidak merindukan ayah mereka. Belajar tidak melibatkan ayah dalam semua kegiatan. Aku dan anak - anakku ingin bahagia dengan cara kami sendiri.

Mungkin sebagian menganggap aku bodoh. Kenapa harus bertahan dengan rumah tangga yang kacau ? Jawabannya adalah karena anak - anakku. Aku tidak bisa memisahkan mereka dari ayah kandungnya, dari ayah biologisnya. Didalam pikiranku aku takut memberikan ayah tiri untuk anak - anakku. Banyak pikiran dalam benakku. Bagaimana kalau aku menikah lagi ? Apa suami baruku bisa menerima dua anakku yang bukan darah dagingnya ? Karena itulah aku memilih menutup diri untuk tidak mencari laki - laki lain, walau kehidupan rumah tanggaku hancur. Aku sudah senang memiliki sepasang anak yang tampan dan cantik yang membuat hari - hariku bahagia.

Kalau ditanya " Apa aku sanggup menjalani hari - hariku? " jawabannya adalah sulit. Membesarkan dua anak dalam keadaan ekonomi yang sulit. Berpura - pura bahagia. Berpura - pura seolah olah aku dalam keadaan baik - baik saja. Berpura-pura selalu bisa menahan emosi yang bergejolak untuk berontak ditengah-tengah masyarakat yang memandang cerai sebagai suatu aib. Berpura - pura bisa tersenyum setiap hari. Andai ada ahli gestur tubuh yang melihat foto-foto ku, tentu bisa dengan mudah menebak kalau aku tertekan. Kalau aku hanya pura - pura bahagia. Bahkan mungkin bisa menebak kalau aku sudah lelah berpura - pura bahagia dalam kehidupan pernikahanku.

Andai aku sanggup memegang status janda. Andai aku sanggup menderita karena kata perceraian. Andai aku tidak takut dengan pandangan sebelah mata dari orang - orang, yang selalu berkata " pasti karena janda yang gatal. " Andai aku berani berkata kepada anak - anakku, kalau aku memilih berpisah dengan ayahnya. Andai aku bisa menjelaskan kepada anak - anakku apa arti pernikahan dan apa arti perpisahan. Mungkin aku memilih langkah bercerai dengan suamiku.

Tetapi kenyataannya aku tidak sanggup. Ternyata sulit sekali membuat menjadi nyata berdiri di atas kaki sendiri. Didalam harapan - harapan kosong. Didalam hati kecilku. Aku tetap berharap, aku bisa terus bersama dengan suamiku. Membesarkan anak - anak kami. Menua bersama dalam satu atap, seperti pasangan suami istri pada umumnya. Duduk bersama ketika sore hari menikmati senja dengan menyeduh teh dan menikmati biskuit. Pergi berbelanja bersama ke pasar, berdiskusi besuk masak apa?

Tiap kali khayalan - khayalan itu datang di pikiranku. Hatiku lah yang sakit karena semua tinggal khayalan. Kenyataan yang ku hadapi jauh dari itu. Jauh dari kata suami istri yang sebenarnya.

Pilihan yang aku ambil adalah meninggalkan dia. Menjadi batu saat dia ada di depanku. Menjadi pohon pisang saat di tempat tidur. berbicara hanya seadanya. Tanpa ada perdebatan. Tanpa ada kata tapi, jangan, nanti dulu. Aku tidak pernah kirim pesan atau telepon lebih dulu dengan suamiku. Aku hanya menjawab saja telepon darinya dan hanya menjawab saja pesan - pesan yang masuk darinya, tidak lebih dari satu kalimat kata Y dan T saja.

Bersambung,...............

Mohon dukungan dan like.

Mohon maaf kalau ada typo dan dalam pengolahan kata. karena masih pemula.

sampai bertemu dengan cerita selanjutnya.

Bab 2

Mas Ravi tersenyum melihat kedatanganku, dan aku balas dengan senyuman yang manis.

" Sudah lama mas ?" sambil meletakkan tas. Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan mas Ravi.

" Lumayan," jawabnya dengan melihatku dan tersenyum lagi. "Aku ada perjalanan ke luar kota, ke Bandung mungkin sampai dua Minggu. Aku juga akan pulang sebentar ke rumah ibu". Sambungnya setelah posisi dudukku berhadapan dengannya.

" Kok mendadak sekali mas ?" tanyaku heran karena tidak biasanya tugas mendadak seperti ini.

" Iya ada kunjungan ke kantor pusat. Aku harus menemani manajer."

Hening sejenak. Setelah makanan tiba kami tidak membahas apa - apa karena mas Ravi tidak suka makan dengan mengobrol. Tidak baik katanya.

Mas Ravi adalah lelaki yang sudah tujuh tahun ini menemaniku. Wajahnya seperti laki laki Jawa pada umumnya. Hitam manis dengan tinggi 180 cm, membuatnya semakin terlihat gagah.

Memang aku tidak terlalu mengekspose mas Ravi keteman - temanku atau keluargaku atas permintaan mas Ravi. Aku setuju - setuju saja. Toh lebih baik seperti ini yang penting hubungan kami lancar.

Aku tidak terlalu perduli dengan omongan orang. Memang seusiaku yang sudah memasuki kepala tiga sudah seharusnya aku punya keluarga dan punya anak.

Mas Ravi tidak pernah menyingung masalah pernikahan denganku. Demikian juga aku. Keluh lidahku, setiap kali ingin meminta atau bertanya bagaimana hubungan kami ini. Jujur, sebenarnya aku juga ingin menikah. Ingin punya anak yang lucu - lucu. Tetapi mas Ravi tidak pernah membahas masalah pernikahan denganku. Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Cita - citanya yang ingin menjadi orang yang sukses.

Setiap kali kami bertemu. Mas Ravi selalu bercerita tentang pekerjaannya........... pekerjaannya...........dan selalu pekerjaannya. Entah kenapa aku selalu menjadi pendengar yang setia untuknya ? Memberikan semangat untuknya. Membantunya menyelesaikan tugas - tugasnya sebagai kepala divisi perencanaan.

Seperti pertemuan hari ini dengannya. Mas Ravi mengatakan akan menemani managernya ke luar kota dan akan mampir ke kota asalnya. Seakan ada celah untukku membahas masalah yang lebih mendalam pada hubungan kami.

" Mas tidak kepingin ngajak aku ?" tanyaku ragu pada mas Ravi

" Aneh kamu Rin, inikan perjalanan dinas bukan traveling," Mas Ravi menjawab dengan terkejut dengan keinginanku

" Mas Ravi kan mau ke rumah ibu mas, aku ingin ikut bertemu ibu mas, boleh ?" setengah mendesak aku pada mas Ravi dan menatap netra hitamnya

Wajah datar mas Ravi langsung memberiku isyarat untuk jawaban yang akan aku dengar. Hatiku langsung menciut. Aku langsung menundukkan wajahku merasa malu dengan apa yang aku tanyakan barusan. Sebuah kata penolakan yang akan aku terima belum terlontar dari mulut mas Ravi. Hatiku sudah teriris terlebih dahulu.

" Jangan dulu Rin, aku belum siap kearah sana,"

" Beri aku waktu Rin........Aku ingin sukses dulu.........Aku ingin berkarir dulu..........". Suara mas Ravi tertahan dan pelan menjawab pertanyaan ku

" Aku ingin punya anak mas. Sama seperti teman-temanku," pintaku bernada sedih. " Aku ingin menikah mas. Sama seperti perempuan lain yang punya suami," kembali dengan nada memelas aku ucapkan kalimat tersebut dan menatap netra mas Ravi.

Tanpa aku sadari, kata - kata itu yang terlontar dari mulutku. Aku juga tidak tahu kenapa keinginan mendalam ku yang seharusnya hanya aku yang tahu. Seharusnya tidak boleh keluar dari mulutku untuk mas Ravi. Ternyata keluar begitu saja. Seperti air yang menjulang tinggi di sumber oasis Padang pasir.

Perasaan ku berkecamuk antara bingung dan lega karena bisa mengutarakan apa yang aku inginkan selama ini.

Entahlah aku tidak tahu. Aku salah atau tidak, menyampaikan keinginanku pada mas Ravi. Tapi, tidak bolehkah aku yang sudah berumur tiga puluh satu ini dan sebentar lagi tiga puluh dua menginginkan suatu pernikahan ? Apalagi pada pasangannya yang sudah lama dalam membina hubungan ?

Tidak terasa air mataku jatuh. Aku takut mas Ravi marah dan meninggalkan aku. Aku sangat mencintai mas Ravi. Karena itulah aku tidak pernah menuntut apa - apa dari mas Ravi. Baik itu materi atau yang lainnya. Aku berpikir kalau aku terlalu banyak menuntut, mas Ravi akan meninggalkan aku dan memilih gadis lain yang lebih segalanya dari aku. Apalah aku yang hanya wanita biasa dibanding teman - teman sekantor mas Ravi yang cantik - cantik.

Aku juga semakin malu dengan perkataan ku pada mas Ravi. Aku mengangkat wajahku menguatkan hatiku menatap mas Ravi. Hanya helaan nafas panjang dan berat yang mas Ravi berikan padaku. Wajahnya tetap datar dan tenang.

Mas Ravi berdiri dari tempat duduk dengan gerakan yang wajar. Seolah tidak mendengar apa yang barusan aku katakan. Seolah - olah tidak terjadi apa - apa. Seolah tidak tahu perasaanku yang bergejolak.

" Aku harus packing sekarang. Besuk pagi - pagi sekali aku berangkat." Mas Ravi tidak memandangku dan berkata dengan suaranya yang datar. Seakan aku tidak ada di depannya.

Aku tidak bisa berkata apa - apa. Hanya tatapan mata yang terus melihatnya, sampai mas Ravi keluar dari cafe ini.

Aku masih duduk terdiam mematung. Berusaha menahan air mataku yang semakin deras. Notif di HP ku berbunyi. Aku melihat ada notif dari M Banking yang menandakan ada uang masuk di rekeningku.

...Tak lama HP ku berbunyi lagi. Ada pesan WA dari mas Ravi. Aku membacanya dengan perasaan kecewa...

..." Aku barusan transfer uang untuk bayar makanan dan uang jajan untukmu selama dua minggu aku keluar kota." ...

...Selalu dengan cara seperti ini mas Ravi mengalihkan pertengkaran kami. Kadang aku sampai menolak pemberiannya. Uang pemberian mas Ravi selalu aku simpan. Aku tidak pernah menyentuh atau memakai uang pemberiannya. Aku merasa uang dari gaji ku sudah cukup untuk hidupku satu bulan. Hidup dengan orang tua dan di kota kecil seperti ini, cukup bagiku dengan uang dua setengah juta....

...Aku mengagumi mas Ravi dia tetap menghormati ku dan menjagaku. Dia selalu berkata akan melakukan semuanya setelah menikah. Itulah yang membuat aku tetap bertahan dengan mas Ravi. Hanya satu yang kurang dari mas Ravi tidak pernah mau membicarakan pernikahan denganku...

Aku memarkirkan sepeda motor matic pemberian mas Ravi di ruang tamuku. Rumahku memang kecil tidak ada garasi. Di rumahku ada dua motor yang satu punya bapak dan punyaku.

Ibu langsung menyambut ku begitu mendengar suara motorku. Wajah sakit beliau terlihat jelas, berusaha berdiri dari duduk beliau.

" Ibuu jangan berdiri nanti tidak kuat. " seruku panik pada ibu.

" Ibu masih kuat kok, ibu nungguin anak ibu. " Tetapi yang dikatakan ibu tidak sesuai dengan keadaan beliau yang pucat pasi.

" Arin sudah datang kok bu, sekarang kan masih jam sebelas malam."

" Iya tapi ibu kuatir nak, Arin kok tumben terlambat sampai malam apa ada lembur?" ibu berusaha untuk berbaring kembali dengan bantuan ku.

" Iya Bu. Arin, lembur ada barang toko yang datang," jawabku gugup karena berbohong.

Ibuku seolah tahu kalau aku membohongi beliau. Begitulah ibuku beliau sangat sabar. Berusaha memahami kami anak - anaknya.

Ibu tidak pernah bertanya padaku apa aku punya pacar atau tidak ? Tapi aku yakin beliau bisa merasakan apa yang aku rasakan. Beliau bisa mengetahui kalau aku punya pacar. Hanya tidak berani bertanya kepadaku karena takut aku tersinggung.

minta dukungan dan like nya.......

sampai ketemu pada bab berikutnya.

bab 3

Semalam dan sampai pagi ini Mas Ravi tidak menghubungiku. Aku memakluminya, begitulah cara mas Ravi kalau kami sedang bertengkar atau ada masalah. Dia menghindar dan tidak menghubungiku. Setelah beberapa hari barulah menghubungiku seakan - akan tidak terjadi apa - apa.

Sekarang sudah jam sepuluh pagi. Aku sudah di toko tempat aku bekerja dari jam delapan tadi. Mencatat keluar masuknya barang dan menghitung barang.

Disinilah di tempat aku bekerja. Aku bertemu dengan Mas Ravi. Kantor Mas Ravi selalu membeli ATK di toko tempatku bekerja. Karena pembelian yang selalu banyak, jadi tidak melalui toko tapi langsung ke gudang di tempatku.

Aku ingat Mas Ravi datang ke tempatku. Sopir toko yang biasa mengantar barang ke kantor mas Ravi sakit. Mas Ravi tidak bisa menunggu lama dengan ATK yang dia pesan. Dia langsung mendatangi kami.

" Mbak barangnya sudah ready?" tanyanya waktu itu.

" Iya mas sudah. Cuma Pak Antok nya sakit jadi agak terlambat. "

" lni masih cari supir pengganti," aku berusaha menjelaskan duduk permasalahannya pada Mas Ravi waktu itu.

" Gak papa, Mbak. Sekalian saya bawa."

" Ini saya juga dari toko bangunan cek barang," Mas Ravi kembali mempertegas pernyataannya.

Dari pertemuan singkat itulah Mas Ravi meminta no HP ku. Komunikasi kami semakin sering. Mas Ravi sering mengirimkan pesan. Sekadar bertanya sudah makan belum ? Jangan angkat barang yang berat - berat karena aku perempuan. Kami sering bertemu sampai sekarang memasuki tujuh tahun kebersamaan kami.

Aku

( Assalamualaikum, Mas sudah sampai Bandung? )

Itulah kalimat yang aku tulis setelah berkali - kali. Mengetik, menghapus, mengetik lagi dan menghapus lagi. Mencari kalimat yang tepat dan topik yang sesuai dengan kondisi tegang antara aku dengan Mas Ravi.

Lama tidak mendapatkan balasan dari Mas Ravi membuat aku berusaha melupakan kalau aku mengirimkannya pesan.

Sampai sore hari pun Mas Ravi tidak menjawab pesanku. Aku hanya berpikir positif, mungkin mas Ravi masih sibuk dengan pekerjaannya.

Di rumah ini aku juga sibuk dengan kesehatan ibuku yang semakin memburuk. Kami memutuskan untuk membawa ibu ke UGD. Selama mas Ravi di luar kota, selama itu juga ibuku menjalani rawat inap di rumah sakit. Menjalani perawatan yang intensif. Ibu sakit maag akut. Begitu diagnosis dokter ketika memberitahukan kepada kami.

Aku

(Assalamualaikum..........)

( Mas ibuku sakit. )

Aku mengirim pesan pada mas Ravi. Sekitar sepuluh menit baru mas Ravi memberi jawaban.

Mas Ravi

( Sakit apa ? )

Aku

(Mag akut, mas. Ibu rawat jalan )

Mas Ravi

( Kamu juga harus banyak istirahat. Jaga pola makan karena menjaga orang sakit juga berat. )

Aku

( Iya Mas terima kasih banyak )

Aku tersenyum dengan balasan Mas Ravi yang sangat mendukungku. Selama ibu di rumah sakit aku izin berkerja. Bersyukur aku, pemilik toko tempat aku bekerja sangat baik. Beliau mengijinkan aku merawat ibu di rumah sakit.

Tanganku masih asik memainkan HP ketika ibu memanggil namaku dengan suara yang tertahan.

" Rin........Rin..........ke sini....."

" Iya Bu, " jawabku berjalan mendekati ibu. Aku duduk di sisi ranjang menghadapkan badanku pada ibu yang berbaring.

Ibu tersenyum dan meraih tanganku.

" Ibu punya empat anak. Ibu berat denganmu, Nak........."

Ibu tidak melanjutkan kata - katanya hanya air mata deras sebagai lanjutannya. Serta merta aku langsung merangkul ibuku, terbawa suasana ikut menangis juga.

" Ibu jangan bilang begitu. Arin sudah besar," terbata - bata dan tetap dalam posisi memeluk ibu. Menangis tanpa suara hanya air mata yang membasahi kedua pipiku.

" Ibu berat Rin........ Kamu yang jaga siapa Ayahmu seperti itu tidak bisa diharapkan. Kakak - kakak dan adikmu sudah menikah ibu tidak khawatir. Kamu yang kuat ya, Nak......," petuah beliau dengan suara lemah.

Aku hanya menangis dengan menggelengkan kepalaku. Berharap tidak terjadi apa - apa dengan ibuku. Jujur aku masih belum siap jika terjadi hal paling buruk sekalipun. Aku belum siap ya Tuhan....... Izinkan aku lebih lama lagi dengan ibuku.

Kembali dengan suara rendah ibu berkata, Carilah suami yang baik, Nak. Rezeki semua ada yang mengatur tapi kalau kita tidak usaha tetap tidak akan datang dengan sendirinya. "

Aku tetap memeluk ibuku dengan menangis sambil membelai rambut ibuku yang sudah jauh dari kata hitam.

" Arin..... kalau kau punya pasangan, Arin akan tegar. Arin mau ya cari pasangan hidup," Ibuku kembali berkata lirih.

"Ibu mohon, Nak. Jangan bekerja terus. Perasaan kasih sayang kita nanti akan dicurahkan ke siapa?" nasihat ibu lagi tetap dengan uraian air mata yang tak kunjung berhenti.

Keluh lidahku. Ingin aku bercerita pada ibu, kalau aku mempunyai teman yang selama ini mengisi hari - hariku selama tujuh tahun. Ingin rasanya aku berkata dengan bangga kepada ibuku. Memperkenalkan Mas Ravi kekasihku. Bercerita kalau Mas Ravi pria yang baik. Tetapi entah kenapa aku lebih memilih diam. Lebih memilih memeluk ibuku dari pada harus bercerita tentang Mas Ravi. Aku tetap memegang janjiku pada Mas Ravi. Tidak mengatakan atau bercerita pada siapapun tentang hubungan kami.

Ibu terus saja menangis tersedu - sedu dan menatap iba padaku. Mungkin ibu merasa kasihan padaku karena keadaanku. Sejujurnya aku juga kasihan pada ibuku. Tentu beliau sangat menderita memikirkan tentang masa depanku yang juga belum bertemu dengan jodoh. Bahkan teman lelaki pun aku tidak punya. Hanya Henry yang akhir-akhir ini sering ke rumah. Itu pun karena Henry kepala gudang di tempatku. Anak pemilik tempat aku bekerja. Usianya sepuluh tahun di bawahku. Ibuku dengan jelas dapat melihat kami hanya berteman saja. Karena itulah ibu tetap cemas dengan keadaanku.

" Rin.......apa kamu kuat menjalani semua sendiri?" kata - kata ibuku seakan menjadi cambuk di hatiku. Pertanyaan yang ternyata membuat aku takut. Jika benar - benar itu terjadi bagaimana dengan diriku? Apa aku benar - benar kuat sendiri tanpa ibu, tanpa suami ?

" Kan ada Jhoji Bu, Arin tidak sendiri," jawabku menenangkan ibuku.

Walau dalam hatiku bergetar. Bibir ini terbata - bata berkata pada ibu. Ibuku dengan jelas dapat melihat aku hanya mengalihkan pembicaraan.

Jhoji adalah keponakan laki - laki ku, anak dari kakak pertamaku. Sekarang kelas lima SD. Jhoji diambil ibuku untuk diasuh sejak usianya 16 bulan, karena keadaan ekonomi kakak pertamaku yang sulit. Aku sudah bercerita tentang kakak perempuanku. Walaupun keadaan kami juga pas - pasan ibu tetap mengambil Jhoji karena kakakku juga mempunyai bayi kembar yang berusia dua bulan.

" Arin, itu lain Nak. Kamu bisa hidup dengan Jhoji tapi tetap kamu harus menikah, harus punya suami. " ibu menangis dengan suara yang terbata - bata.

Aku tidak tega melihatnya. Betapa berdosanya aku yang sudah membuat ibuku menderita karena cemas dengan keadaanku. Alangkah piciknya aku hanya karena sebuah ancaman akan ditinggalkan Mas Ravi. Aku tidak bisa berbuat apa - apa. Aku tidak bisa berkata yang sebenarnya pada ibuku. Dadaku sesak seakan diremas - remas. Sakit sekali. Kasian sekali dengan organ tubuhku yang yang bernama hati. Begitu berat menanggung perdebatan antara bercerita pada ibuku atau tidak. Aku membaringkan badanku di ranjang sempit ini. Tubuhku miring ke kiri, ke arah ibuku sambil tanganku tak bisa melepaskan pelukan pada ibuku. Aku tetap menangis tak bersuara. Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan....... bantu aku ya Tuhan.

bersambung........

mohon dukungan, kritik dan sarannya karena masih pemula.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!