NovelToon NovelToon

The Sketchbook

Bab 1

Vita Anastasya, seorang gadis tinggi, dengan rambut panjang coklat gelap, iris mata sewarna dengan karamel, berjalan di sepanjang jalan sepi menuju rumahnya. Ini adalah lingkungan barunya. Baru dua hari yang lalu ia tiba di sini. Jakarta. Sebelumnya ia tinggal di Surabaya bersama neneknya, sedang orang tua dan adiknya tinggal di Bandung. Ia pindah ke sini karena ayahnya di pindah tugaskan ke sini, dan ia sudah bosan tinggal jauh dari orang tuanya.

Dulu, ia pernah tinggal di sini. Dari usianya baru tiga tahun hingga ia berusia 10 tahun. Sebentar lagi usianya akan genap delapan belas tahun. Jadi, sudah delapan tahun ia meninggalkan tempat ini. Sudah lama sekali. Tapi jujur saja, ia tak begitu senang kembali ke sini. Ia lebih suka tinggal di tempat yang lebih tenang dan damai. Mungkin seperti pedesaan di negara subtropis seperti Inggris. Ia suka sekali negara itu.

Vita memindahkan plastik berisi semangka yang dibawanya ke tangan kiri. Kenapa semangka harus seberat ini?  Pikirnya. Lagi pula kenapa adiknya ingin makan semangka hari ini? Kenapa tidak besok saja saat ibunya akan pergi belanja? Menyebalkan sekali. Padahal rencananya sore ini adalah menonton drama Korea.

Tangan Vita merogoh tas coklat cukup besar yang disandangnya. Dikeluarkannya sebuah ponsel pintar. Tanpa memandang jalan, Vita memerhatikan ponsel sembari melangkah. Setiap detiknya, langkahnya semakin kecil dan kecepatannya kian rendah.

Keningnya langsung berkerut ketika satu titik air jatuh di atas layar ponselnya. Ia menurunkan ponsel dari depan wajah, lalu kepalanya mendongak. Nah, kenapa hujan harus turun sekarang?

Cepat-cepat Vita memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, lalu ganti ia mengeluarkan sebuah payung berwarna merah muda. Untung ia ingat untuk membawa payung saat pergi tadi. Ia ini ‘kan selalu update, jadi ia tahu jika akhir September adalah awal musim hujan untuk tahun ini. Ia memang menghabiskan banyak waktunya untuk menonton drama Korea, menggambar sketsa, dan menguntit Justin Bieber melalui media sosial, tapi ia tetap tahu info BMKG yang mengatakan jika akhir September tahun ini adalah awal musim hujan. Dan menurut prakiraan cuaca, sore ini akan turun hujan.

Vita membentangkan payungnya. Tepat pada saat itu, seseorang berlari dari jalan di seberang sisi Vita menuju ke arahnya, dan ikut berteduh bersama di bawah payung yang ia bentangkan.

“Boleh gabung, kan?” tanya laki-laki itu, usianya mungkin tak jauh dari Vita sendiri. “Tasku gak tahan air, nanti buku-bukuku jadi basah kalo aku gak neduh.” Senyumnya mengembang saat ia berbicara pada Vita. Ramah.

Selama laki-laki itu berbicara Vita hanya memandangi laki-laki itu. Ia masih terkejut karena laki-laki itu tiba-tiba berada di bawah payung yang sama dengannya. Jika orang itu adalah orang yang dikenalnya ia tak akan merasa aneh. Tapi orang ini benar-benar tak dikenalnya. Membuatnya canggung. Apalagi dia bukan perempuan.

“Gak masalah, ‘kan?” tanya laki-laki itu, senyumnya mulai memudar.

Vita menggelang. Ia baru menyadari jika laki-laki itu memakai seragam SMA.

Kembali ia mengarahkan wajahnya ke muka. Semua gerutuannya dalam hati tadi telah lenyap tanpa sisa. Ia hanya diam. Otaknya pun lebih hening dari sebelumnya. Tak tahu harus memikirkan apa.

Selama jangka waktu lima belas menit itu, hingga ia mendapatkan taksi dan meminjamkan payungnya pada laki-laki itu, ia sama sekali tak mengatakan sepatah kata pun selain ‘bawa aja payungnya’ sebelum naik taksi. Ia juga tak mengerti kenapa ia meminjamkan payung pada orang asing, padahal belum tentu mereka akan bertemu lagi. ‘Kan lumayan harga payung.

***

Ramai sekali suara hujan yang terdengar oleh Rafka Anggara yang tengah duduk di birai jendela kamarnya dengan punggung tersandar santai. Jendela yang hanya boleh di buka oleh dirinya sendiri, tidak dengan orang lain. Karena ia tak suka orang lain memasuki kamarnya.

Wajahnya yang begitu tampan, datar tanpa ekspresi. Dengan mata berwarna hitam kelamnya, ia memandangi setiap bulir air yang jatuh menimpa halaman depan. Sesekali ia menyeka rambutnya ke belakang. Ia pikir musim hujan akan mulai pada bulan depan, seperti tahun kemarin.

Rafka mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana abu-abunya. Sebentar saja ia menarikan jari-jarinya dengan lincah di atas layar ponsel, lalu kembali memasukannya ke dalam saku. Setelah itu Rafka beranjak dari jendela. Ia berjalan mendekati lemari pakaian, dan menarik salah satu kaus lengan panjang dari antara lipatan pakaian.

Rafka melirik jam yang tergantung di salah satu sisi dinding kamarnya sembari mengenakan sepatu yang sudah  diambilnya dari rak. Ia akan pergi sebelum ayahnya tiba ke rumah. Ia tak ingin bertemu dengan ayahnya terlalu sering, itu membuat tekanan darannya naik. Jadi, lebih baik ia pergi. Terlalu lama di rumah ia bisa stroke.

Dalam beberapa langkah Rafka telah menggapai gagang pintu kamarnya. Begitu ia menariknya, seorang wanita paruh baya dengan satu tangan memegang nampan susah payah dan tangan lainnya berhenti di depan wajahnya dalam posisi akan mengetuk.

“Maaf, Den.” Cepat-cepat wanita itu menurunkan tangannya.

“Gak pa-pa, Bi.”

“Den Rafka mau ke mana?” tanya asisten rumah tangga itu. “Udah Bibi bawain makan.”

“Saya mau keluar sebentar,” jawab Rafka, “Bibi taro’ makanannya di dalem aja.”

“Tapi ‘kan, Den...”

Rafka langsung melesat pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi. Langkahnya terkesan panjang-panjang. Ketika menuruni tangga, Rafka bahkan seperti berlari.

Ia punya banyak alasan untuk menghindari ayahnya. Ia punya banyak alasan untuk pergi ketika tahu ayahnya akan datang. Orang-orang yang tak tahu mungkin akan mengatakan jika ia adalah anak yang kurang ajar, tapi jika mereka tahu, tak akan ada yang mau memiliki ayah seperti ayahnya, apalagi mengatakan ia kurang ajar.

“Anterin saya, Pak,” kata Rafka, pada supir yang sedang duduk santai menikmati kopi panasnya.

“Ke mana, Den?” Supir itu langsung berdiri. Kopi panasnya telah menyingkir dari tangannya dengan berat.

“Cepetan aja.” Ia berkata seperti itu karena ia sebenarnya tak punya tujuan. Jadi, ia akan memikirkannya di jalan nanti. Kalau memang tak menemukan tujuan juga, mungkin ia akan pergi ke rumah teman Genta.

Rafka menyandarkan punggung pada sandaran kursi mobil selesai pintu mobil  tertutup. Tangannya menghela ponsel dari saku celananya. Setelah itu ia hanya diam memandangi ponselnya, membiarkan supirnya menyetir tanpa tujuan.

“Anterin saya ke rumah Genta aja, Pak,” Rafka akhirnya memutuskan tujuannya.

***

Pintu terbuka. Wajah gadis kecil muncul dari balik pintu. Umurnya mungkin sekitar delapan atau sembilan tahun. Ia cantik. Terlihat aktif dan talkactive. Rambutnya di ikat dua dengan rapi, dihiasi pita kecil berwarna merah muda.

“Kok, pulangnya sore banget, Kak?” tanya gadis itu pada laki-laki yang baru saja menutup payung.

Ekspresinya terlihat lebih lega daripada sebelumnya mengetahui jika kakaknyalah yang mengetuk pintu.

Gadis kecil itu, Andien, menyingkir membiarkan kakaknya, Andra Hermawan—sebagaimana yang tertulis di bedge seragamnya—masuk ke dalam rumah. Ia baru sadar jika kakaknya itu membawa payung berwarna merah muda. Dari mana kakaknya mendapatkan itu? Tidak mungkin dari rumah ini, karena ia tahu tak ada payung berwarna merah muda seperti itu di rumah ini. Lagi pula, kakaknya ‘kan tak pernah mau membawa payung ke sekolah.

“Dari mana Kakak dapet payung itu?” tanya Andien tepat ketika Andra meletakan payung yang dibawanya ke tempat payung di dekat pintu.

“Nemu di jalan.”

Andien mendengus. Sangat sedikit kemungkinannya jika kakaknya menemukan payung itu. Ia kecil, tapi ia tidak bodoh.

Ia jadi benar-benar penasaran dari mana kakaknya mendapatkan benda itu? Tak mungkin kakaknya itu mendapatkan payung dari pacarnya. Ia begitu tahu jika kakaknya itu tidak punya pacar. Heran juga kenapa. Padahal kakaknya itu cukup tampan menurutnya, juga tinggi, dan putih. Selain itu kakaknya selalu menjadi juara umum di sekolah, seperti kata ibunya. Tetapi kenapa kakaknya tidak laku?

“Mama mana, Ndien?” tanya Andra, melangkah medahului adiknya.

“Ke rumah Bu RT sebentar.”

“Kenapa kamu gak ikut?”

“Males. Banyak ibu-ibu. Mereka itu sering gemes sama Andien, sering dicubit-cubitin.”

Andra, mendengus.

Andien terus mengikuti Andra hingga ke kamar. Ia harus mengejar jawaban yang layak untuk pertanyaannya tadi. Tidak bisa ia menyerah begitu saja. Seandainya payung itu memang milik pacar kakaknya, atau setidaknya milik perempuan yang dekat dengan kakaknya, ia dan ibunya akan punya bahan untuk menggoda kakaknya.

“Kakak mau ganti baju, Ndien,” ujar Andra, yang baru menyadari jika Andien terus mengikutinya.

“Kasih tahu dulu.”

“Apaan?”

“Dapet payungnya dari mana?” tanya Andien keras kepala. Wajah mungilnya nampak lucu sekali.

Dengan sabar Andra menghembuskan napas perlahan. “Kamu tahu tante-tante yang di kompleks sebelah, yang suka pake lipstik warna ijo?”

Andien mengangguk.

“Kakak ketemu dia di jalan mau pulang,” ucap Andra sembari menggaruk kepalanya, “terus dia minjemin payungnya, karena dia mau naik taksi. Udah?”

Aneh, ada sedikit senyum di sudut bibir Andra saat mengungkapkan penjelasannya.

“Udah.”

“Cepetan keluar.”

Andien langsung berbalik meninggalkan kakaknya sendiri.

***

Bab 2

Suara langkah Vita menggema di sepanjang koridor yang senyap. Koridor itu kosong, hanya Vita yang menghuninya. Matanya menjelajah sekeliling, mencari-cari di mana kelas barunya, XII IPA 1—seperti kata wali kelasnya kemarin.

Sebenarnya Vita rasa ia salah jurusan, seharusnya ia masuk kelas Bahasa saja, bukannya IPA. Ia berpikir begitu bukan karena merasa ia tak punya kemampuan dalam bidang ilmu pasti, ia hanya merasa mulai tertarik pada Bahasa. Akhir-akhir ini ia sering terpikir untuk menjadi novelis. Lagi pula, ia sangat suka pada novel. Ia menghabiskan banyak waktunya bergelung di tempat tidur dengan mata yang tak beralih dari halaman-halaman novel.

Vita menunduk melihat apakah tali sepatunya lepas, karena sepatunya terasa longgar. Dan ternyata tidak. Ia mengembalikan kepalanya ke posisi semula. Langkahnya melambat saat menyadari ada seseorang yang berjalan dari arah yang ia tuju.

Dari mana munculnya orang itu? Sejak tadi ia memandang ke depan tak ada seorang pun yang terlihat? Tidak ada persimpangan koridor yang dapat dilihatnya.

Astaga. Apa orang itu manusia? Atau hantu?

Semakin dekat jarak Vita dan laki-laki itu, semakin pendek langkah Vita. Vita menggenggam erat kedua tali tasnya dengan kepala tertunduk, berharap jika laki-laki itu seorang manusia, bukan hantu atau sejenisnya. Ia akan terus menunduk seperti ini, sampai ia cukup yakin jika laki-laki itu bukan hantu, atau saat jaraknya sudah cukup jauh dari laki-laki itu.

Menghianati keputusan awalnya, Vita menegakkan kepalanya ketika laki-laki itu berada satu kaki di muka.

Awalnya laki-laki itu juga menunduk seperti dirinya, hanya saja laki-laki itu memandangi ponsel.

Ah, kenapa ia bodoh sekali, itu berarti laki-laki itu manusia. Mana mungkin hantu memiliki ponsel!

Kemudian laki-laki yang sempat Vita kira adalah hantu itu juga mengangkat dan menolehkan wajah pada Vita. Dan kau tau apa yang Vita rasakan?

Aneh.

Itu adalah hal pertama yang dirasakan oleh Vita, aneh. Seperti ada sesuatu yang menyeruak dari dalam dirinya. Sesuatu yang merasa tak sabar karena otaknya tak cukup cepat. Itu membuatnya tak nyaman. Jujur saja, ia bukan orang berotak lambat.

Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Vita berhenti. Ia menurunkan tangannya yang menggantung di tali tas. Tanpa sadar ia menggigit bibirnya—hal yang selalu dilakukannya saat ia sedang berpikir keras, dan itu jarang terjadi. Ia adalah tipe orang yang berupaya menjauhkan diri dari keharusan berpikir keras yang akan membuatnya stres dan berakibat pada menurunnya sistem imun yang memang sudah tak begitu baik.

Perasaan tak asing pada laki-laki itu membuatnya merasa aneh dan tak nyaman. Namun siapa dia? Itu masalahnya. Vita berpikir keras mengingat-ngingat apa yang tak asing dari laki-laki itu. Kenapa ia merasa tak asing?

Belum pernah ia berpikir sekeras ini. Apa ia berbalik dan langsung bertanya saja untuk memastikan apa ia mengenal laki-laki itu? Ia merasa tak nyaman membiarkan dirinya penasaran.

Vita berbalik, dan menyadari jika laki-laki itu sudah melangkah lebih jauh. Mungkin ia akan ingat nanti, putus Vita, dan kembali melanjutkan perjalanan menuju kelas.

Kenapa aku malah inget panda, ya?

***

Vita berdiri di depan kelas yang tak mengacuhkannya sepenuhnya.

Ralat, tak semua penghuni kelas barunya tak mengacuhkannya, ada tiga orang yang memerhatikan dirinya—terhitung wali kelasnya, Ibu Kanya. Orang pertama, seorang laki-laki yang sekonyong-konyong menumpang di bawah payungnya tiga hari yang lalu. Orang kedua, laki-laki yang muncul entah dari mana pagi tadi.

“Silahkan duduk Vita,” persilah wali kelasnya yang bertubuh gempal dan berwajah lebar yang dihiasi kacamata.

Anggukkan kecil Vita berikan sebagai respon dari ucapan Ibu Kanya. Kemudian ia langsung menuju bangku kosong di belakang laki-laki pertama dan terpisah satu baris dengan laki-laki kedua. Di kelas ini setiap murid duduk perseorangan. Ada tiga puluh murid orang, termasuk dirinya. Enam baris dan lima kolom.

Vita melepaskan tasnya. Pandangannya tertuju ke depan, mendapati jika wali kelasnya sudah mulai menulis judul bahasan kelas hari ini. Vita pun mengeluarkan buku Fisikanya, lalu membuka lembar yang masih kosong. Sebenarnya ia tak akan mencatat, ia hanya merasa sedang diperhatikan maka dari itu ia melakukan hal ini.

Vita menopang kepalanya dengan sebelah tangan, sedang tangan lainnya bergerak menggambar sesuatu di lembar belakang buku Fisikanya. Gambar mata laki-laki kedua.

Sepertinya ia harus tahu nama laki-laki itu dulu, pikir Vita sambil menggambar, agar lebih mudah untuk mengingat. Tapi bagaimana jika laki-laki kedua hanya orang yang berpapasan dengannya di jalan? Mana mungkin nama bisa membantu. Lagi pula kenapa ia harus repot mengingat-ingat orang yang berpapasan dengannya di jalan secara tak sengaja? Sungguh perbuatan tak berguna.

Suasana tenang dalam kelas membuat Vita samakin merasa dipaksa untuk mengingat laki-laki kedua. Tangannya bergerak semakin cepat, semakin cepat, hingga akhirnya ia melepaskan pensil dalam genggamannya.

Ia meluruskan pungggung serta kepalanya, matanya memandang langsung pada sketsa mata di buku. Begitu mirip dengan yang asli. Bibir bawahnya ia gigit, kedua alisnya mendekat. Berpikir keras. Bahkan, untuk pertama kalinya ia seperti bisa mendengar otaknya bekerja begitu keras. Terdengar seperti, ‘tek, tek, tek’ tak terhitung jumlahnya.

Kepala Vita jatuh ke atas meja. Oke, ia menyerah. Terserah siapa laki-laki kedua itu. Anggap saja ia pernah tak sengaja bertemu laki-laki itu pada suatu waktu di masa lalu, di suatu tempat yang tidak perlu diingat. Hanya tak sengaja.

Tapi...

Lama Vita tak menegakkan lagi kepalanya. Di dalam otaknya, keputusan terus berubah setiap detik. Apa ia harus berusaha mengingat laki-laki kedua atau menganggap tak pernah merasa tidak asing. Ia heran kenapa harus repot-repot memikirkan ini. Di luar kemauannya.

“Siapa. Siapa. Siapa. Siapa,” terus-menerus Vita bergumam pelan, sambil menghantam-hantamkan keningnya dengan lembut ke meja,

“Siapa. Siapa. Siapa. Siap—”

“Rumus gaya Coloum!”

Secepat kilat Vita meneenggakkan tubuh dan kepalanya, kemudian berkata: “‘F’ sama dengan ‘k’ di kali ‘q1’ di kali ‘q2’ per ‘r’ kuadrat.”

“Tadinya gue kira lo sinting atau apa,” ucap suara yang terdengar asing bagi Vita. Dan ia langsung menyadari jika orang itu bukan wali kelasnya.  Mana mungkin suara Ibu Kanya seperti suara laki-laki. Lambat sekali ia sadar.

Vita menoleh dan sedikit menengadahkan kepala. Hampir saja ia memasang tampang paling bodoh. Kau tahu, ‘kan? Mata melebar, mulut ternganga, dan sebagainya. Syukur itu tak terjadi, hanya nyaris saja.

“Ternyata lo pinter juga, ya,” ujar laki-laki kedua dengan senyum, senyumnya manis sekali. matanya baru kembali dari papan tulis. “Gue seneng, loh, kalo ada orang yang lebih pinter di kelas ini daripada tetangga lo.”

Tetangga?

“Gue Rafka.”

Vita melirik pada label nama yang menempel pada seragam laki-laki itu.

“Rafka aja, gak pakek Anggara,” tambah laki-laki itu mengikuti arah pandangan Vita.

Vita tak menanggapi satu pun ucapan laki-laki yang kini diketahui sebagai Rafka. Nama itu asing baginya. Ia yakin tak punya kenalan, teman, atau sebangsanya yang bernama Rafka. Jadi, siapa laki-laki ini sebetulnya?

“Kita pernah kenal gak, sih?” tanya Rafka tanpa terduga.

Nah. Rafka juga merasa tak asing padanya. Ia tambah yakin sekali bahwa mereka pernah kenal sebelumnya. Akhirnya ada sesuatu yang cukup pasti antara dirinya dan Rafka. Tapi kenapa ia tak bisa mengingatnya sama sekali? Ia ini ‘kan punya daya ingat dengan kapasitas dan kualitas tinggi.

“Kok, gue ngerasa kenal sama lo, ya.”

Vita hanya menggeleng seperti orang bodoh.

“Enggak tahu atau enggak kenal?”

“Aku enggak tahu.”

Vita kembali memandang ke depan. Pantas saja Rafka berdiri menghampirinya, ternyata wali kelasnya sudah keluar kelas.

“Lo gak tahu Bu Kanya udah keluar?” tanya laki-laki itu, dengan senyum senang. “Wah, kita bisa jadi temen baik, ya, Cha.”

“Cha?”

“Ya... Anastasya bisa di panggil ‘Cha’ kan?”

***

Ini cerita udah selesai, jadi kalo mau up-nya cepet votenya juga harus lancar.

Bab 3

Vita memandang layar laptop-nya dengan fokus. Tangan kanannya ia gunakan untuk memegang apel yang digerogotinya bagian kulit luarnya. Sedang tangan kirinya menggerakkan kursor yang mengarah pada link website yang akan dibukanya. Dalam satu kali klik website itu langsung terbuka. Sebuah gambar sekolah yang pertama kali menampakkan diri. Itu adalah gambar sekolah barunya.

Apel yang telah bersih dari kulit, Vita simpan kembali dalam piring yang berisi beberapa apel yang sudah ‘bersih’ dan masih ‘kotor’. Ia mengambil lagi apel yang masih berkulit dan mulai mengupasnya secara manual. Sambil melakukan hal itu Vita terus menggulung layar laptop-nya ke bawah, hingga sampai pada gambar pria yang mungkin sedikit lebih tua dari ayahnya, yang merupakan pemilik sekolahnya sekarang. Pria itu mirip seseorang, tapi ia tidak ingat siapa.

Lama Vita membaca hal-hal yang bisa di baca di laman website sekolahnya. Apel-apel yang dikulitinya semuanya telah bersih sama sekali, tak ada bekas kulitnya yang hijau satu titik pun lagi.

Sekarang, setelah memakan kulitnya, ia akan memakan dagingnya. Ia sendiri heran kenapa suka memakan apel dengan cara begini. Entah dari mana ia mendapatkan insprasi menikmani buah apel seperti ini.

Baru saja Vita akan melakukan gigitan pertama pada apel ‘bersih’ nya, ibunya sudah berteriak memanggilnya.

“Vita!”

Vita menjauhkan sedikit apel dari mulutnya, lalu menjawab sambil berteriak, “Iya!”

“Susunin buku-buku kamu dalam kardus itu, kalo gak Mama buang!”

“Astaga,” ucap Vita, ia langsung berdiri dan meletakkan kembali apel dari tangannya. “Aku udah ngumpulin novel-novel itu dari SD, masa mau di buang.”

Sembari menggerutu Vita mengambil gunting dari dalam laci meja belajarnya. Ia akan menggunakannya untuk membuka lakban yang melekat pada kardus yang diisi novel-novelnya.

Apa yang ibunya pikirkan hingga mau membuang novel-novelnya? Ia sudah menghabiskan uang banyak untuk membeli semua novel ini. Setengah uang sakunya sejak SD hingga kini terinvestasi pada novel-novel ini. Ia bahkan lebih menyayangi novel-novel ini daripada semua buku pelajarannya.

Untuknya, semua novel ini adalah teman-temannya yang paling setia, yang tidak pernah berubah, dan tak akan pergi meninggalkannya saat ia tak ingin mereka pergi. Saat ia butuh penghiburan, novel-novel ini yang selalu ada untuknya. Terutama Harry Potter. Novel itu sudah seperti pacarnya, yang selalu dicarinya bila sedang butuh teman dan penghiburan.

Asal tahu saja, Vita tak pernah punya teman sejak ia SD. Dulu ia sedih sekali karena tak ada yang dapat di ajak bermain, sehingga ia hanya bisa membaca buku yang ia bawa, atau menggambar sesuatu di kelas saat semua orang bermain di luar ruangan. Sampai ia tumbuh semakin besar semuanya masih tetap seperti itu, tapi ia tak pernah bersedih lagi. Jika orang-orang memang tak ingin berteman dengannya, ia tak akan memaksa, ia akan menciptakan sendiri suasana yang membuatnya nyaman dan tetap bahagia walau tanpa teman. Ketika dalam suasana hati yang buruk ia hanya akan berpikir kalau ia ini mengeluarkan aura kebencian yang membuat orang-orang disekitarnya menolaknya, atau setidaknya bersikap seolah ia adalah makhluk transparan.

Atau jangan-jangan ia ini memang trasparan?

Vita mengelompokkan buku di lantai sesuai abjad inisial judul novel. Karena ia punya ratusan novel, pekerjaan ini akan memakan waktu sangat lama. Bisa-bisa saat ia selesai apelnya sudah membusuk di dalam piring sama.

Cahaya matahari di dalam kamar Vita semakin redup. Gelap du luar kian pekat. Vita sudah membuka kardus terakhirnya. Ia bekerja sangat cepat. Tumpukan novel-novel meninggi di masing-masing abjad.

Saat selesai Vita menyapukan rambutnya yang sudah bebas dari ikatan ke belakang. Ia baru sadar jika buku-buku sketsa lama dan celengannya tidak ada. Hanya ada beberapa buku sketsa lama yang tercampur dalam kardus-kardus novel. Ia ingat jika ada kardus yang lumayan besar yang isinya hanya buku sketsa lama dan celengan. Nah, masalahnya sekarang di mana keberadaan kardus itu. Apa ibunya sudah membuangnya diam-diam? Atau kardus itu tertinggal?

Vita berdiri. Kepalanya pusing sekali. Ia sudah terlalu lama menunduk. Dengan langkah gontai ia mendekati meja belajarnya dan menghempaskan dirinya pada kursi belajar yang empuk dan dapat berputar. Tangannya menghela piring buah lebih dekat, kemudian mengambil satu buah apel yang sudah menguning secara keseluruhan.

Dalam temaram senja dalam kamarnya, Vita mengunyah dengan lahap buah apelnya yang sejak tadi sudah menunggu untuk dinikmati. Ia sungguh lapar. Saat seperti ini, ia jadi ingat satu hal yang sering sekali dilupakannya, makan siang. Dan ia melupakannya lagi hari ini. Hal ini sangat aneh mengingat ia ini sangat suka mengunyah, tapi ia hampir selalu lupa untuk makan siang.

***

Hari kedua di sekolah tidak buruk. Ini bahkan bisa di bilang cukup baik. Setidaknya ada dua murid yang sudah mengajaknya mengobrol. Kemarin Rafka, sekarang Andra.

Hal pertama yang Andra tanyakan padanya adalah: Kamu yang minjemin payung waktu itu, ‘kan?

Ia mendapat kesan jika pertanyaan itu sudah dihafalkan. Andra cukup cepat saat menanyakan hal itu dan tak ada kata yang meleset sama sekali. Itu memang hanya teorinya, tapi biasanya lidahnya sering terpeleset saat mengatakan hal yang belum direncanakannya dengan cepat. Bisa saja itu hanya terjadi padanya, tidak pada Andra. Entahlah.

Jawabannya hanya ‘ya’, tak ada tambahan lainnya, kemudian guru datang. Percakapan selesai.

Sejak pertama masuk ke kelas ini, ada satu dari beberapa hal yang Vita perhatikan tentang Andra. Bahwa laki-laki itu terus didekati oleh gadis bernama Reina yang duduk di baris sebelah laki-laki itu.

Pikiran tentang Andra langsung tersapu dari otaknya ketika ia menoleh, mendapati bangku Rafka kosong.

Apa laki-laki itu tidak masuk? Apa laki-laki itu sudah biasa seperti ini? Tidak ada orang yang bisa ditanyainya, hanya dirinya sendiri. Lagi pula kenapa ia terus memikirkan laki-laki itu. Sepertinya sejak kemarin ia sama sekali tak bisa meletakkan Rafka sedikit jauh dari pikirannya. Hampir hanya laki-laki itu yang terus-menerus berputar di kepalanya. Apa Rafka semenarik itu?

Vita tersenyum kecil. Lucu sekali. Sejak kapan ia mulai tertarik pada seseorang yang ada disekitarnya? Selama ini ia hanya tertarik pada Justin Bieber, Harry Potter, dan beberapa aktor drama Korea. Semuanya adalah orang-orang yang tak ada di sekitarnya, beberapa bahkan fiktif belakang. Hanya orang-orang itu yang hidupnya cukup menarik baginya, tidak pernah ada yang lain sebelumnya.

Suasana begitu hening di dalam kelas selama jam pelajaran. Berbeda sekali jika yang mengajar adalah guru Matematika kemarin siang. Pagi ini ia bahkan bisa mendengar suara langkah yang mendekat ke kelasnya. Jadilah ia berkali-kali menoleh ke pintu, sembari samar-samar berharap Rafka akan datang. Vita tidak menyadari hal itu.

Tanpa membereskan buku-buku yang ada di mejanya, Vita beranjak dan menghela novel dari dalam lacinya begitu guru yang mengisi kelasnya keluar. Tak ada yang bisa dikerjakannya, lebih baik ia mencari tempat yang tenang dan melanjutkan bacaannya. Dan itu lebih baik daripada ia terus-menerus menoleh ke pintu. Lehernya akan sakit nanti.

Vita menaiki anak-anak tangga di setiap lantai hingga ia tiba di lantai yang paling sepi dari lantai-lantai sebelumnya. Ia kira ini adalah lantai terakhir. Ruangan di sini kelihatannya tidak terlalu banyak digunakan. Dan yang ada di hadapannya ini adalah jajaran anak tangga terakhir. Sedangkan yang ada di atas sana adalah atap. Itu pasti.

Vita duduk di anak tangga kelima dari bawah. Dibukanya halaman terakhir yang di bacanya, dan ia mulai tertunduk senyap. Sangat senyap. Hanya hembusan napasnya yang pelan dan teratur yang terdengar.

Beberapa saat kemudian...

“Mau dengerin?”

Vita langsung menoleh dengan spontan. Astaga. Ia benar-benar terkejut. Rafka sudah duduk di sisinya sembari mengulurkan sebelah earphone. Ia  tidak menyadari saat Rafka melangkah mendekat. Ia yang terlalu fokus membacakah atau Rafka yang melangkah tanpa suara seperti ulat bulu?

“Sejak kapan kamu di sini?”

“Lima detik yang lalu,” jawab Rafka, disertai senyum menyenangkan.

“Dari?”

Rafka menunjuk ke atas. Vita mengikuti arah tunjuknya.

Tiba-tiba Rafka memasangkan sebelah earphone ke telinga Vita. Sesuatu yang tak pernah Vita alami sebelumnya. Terkejut pasti, tapi melihat Rafka yang sudah kembali fokus pada ponselnya, ia pun ikut kembali fokus pada novelnya.

Laki-laki itu bersenandung kecil mengikuti lagu yang terputar.

“Kita beneran gak kenal sebelumnya?”

Tanpa menoleh Vita menjawab, “Aku gak tahu.” Jawabannya masih sama seperti kemarin.

Tak lama kemudian Rafka berkata pada Vita, “Boleh liat playlist lo gak?”

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!