Masih tersisa bekas pesta pernikahan yang cukup mewah, Embun baru saja selesai mandi dia mengenakan kimono berwarna biru muda dengan corak mawar.
"Mas?" panggilnya dari luar setelah mengetuk pintu bath room.
Namun tak mendapatkan jawaban apa pun, sekali lagi dia mengetuk dan tak seberapa lama kemudian pintu itu terbuka lebar.
Di tatapnya wajah dingin yang malas membalas tatapan Embun, dia tahu jika pernikahan ini hanyalah sebuah paksaan kedua orang tua mereka.
"Mas -"
Gerakkan tangan pria itu membuatnya tercekat, kemudian tangannya mengibas udara seolah sedang memberi perintah mundur beberapa langkah.
Embun memundurkan langkahnya seiring dengan langkah suaminya yang melangkah maju.
"Pernikahan ini sudah terlaksana, bukan?" tanya pria itu dengan enteng, dia membuka kimono mandinya membiarkan Embun menatap punggung kekarnya.
"Iya, Mas."
"Orang tua mu senang?"
"Maksudnya Mas?"
"Hm," dibalik punggungnya itu dia tersenyum sinis, "Kenapa kau begitu naif? Apakah kau memang menginginkan pernikahan ini?"
Embun terdiam, sejujurnya dia memiliki seorang kekasih namun hubungan mereka kandas setelah tahu jika dirinya akan dinikahkan dengan pria yang sedang berdiri di hadapannya saat ini.
"Aku membencimu, wanita yang berasal dari keluarga tak tahu malu seperti kalian!" imbuhnya penuh penekanan pada kalimat tak tahu malu.
Bola mata Embun membulat tak percaya, lututnya gemetaran. "Ma- mas?"
"Berhenti memanggilku dengan sebutan menjijikkan seperti itu. Aku sudah menikahi mu seperti apa yang di inginkan oleh keluarga masing-masing," dia membalikkan tubuh menatap tajam pada gadis yang terdiam sedang berusaha mencerna semua kalimat yang keluar darinya.
"Mulai detik ini kau bukan lagi istriku!" tepat saat pintu kamar terbuka, ibu mempelai wanita membelalak serta nampan yang ada ditangannya terjatuh dengan suara nyaring yang membentur lantai.
Prang!
"Pengacaraku akan mengurus perceraian ini!" ucap Agra dengan ringan tanpa mau bernegosiasi.
Begitu terkejutnya mendapatkan talak hingga membuat Embun tak mendengar suara nampan yang jatuh itu.
"Tidak!" teriakan ibu Embun mengejutkan Embun, namun tidak dengan pria yang saat ini menjadi mantan menantunya, "Agra, apa yang kau lakukan, Nak?"
Dengan cemas ibu mendekatinya mencoba meraihnya namun Agra langsung mundur selangkah, membuat mantan ibu mertuanya itu terdiam di tempat dengan cucuran air mata.
Ibu menatap Embun yang tertunduk dalam diam dengan mata yang menganak sungai, sandiwara apalagi ini, pikirnya.
"Bun, cepat jelaskan apa ini? Mengapa dia Menceraikanmu dimalam pertama kalian menjadi suami istri?" getir, hati yang tadinya sudah sangat bahagia malah berubah menjadi bencana.
Dadanya terasa sakit saat melihat putrinya itu menggeleng pasrah, dia juga tidak tahu jadi percuma saja jika menanyakannya.
Egois, Agra melangkah membuka koper lalu memakai pakaian lengkapnya. Seolah tak sudah tak sudi lagi memiliki hubungan dengan mereka, dia pergi begitu saja setelah meraih gawainya.
Agra melewati dua wanita yang terhanyut kedalam kesedihan itu, dia menelefon seseorang dan memintakannya untuk segera menyiapkan pesawat pribadi menuju sebuah Negara luar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Embun terduduk lemah di lantai dengan pandangan matanya yang mengabur akibat air mata yang tak mau berhenti membanjirinya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Ibu dengan sedikit emosi, "Jelaskan padaku kenapa dia Menceraikanmu? Kau lihat di luar sana, cepat lihat!" paksa ibu sambil menarik tangan putrinya namun tak direspon, "Lihat diluar sana masih terdapat sisa pesta pernikahan kalian, apa yang akan dikatakan tetangga jika mereka tahu putriku telah di ceraikan di malam pertamanya?!" teriaknya memecah keheningan kamar, masih diiringi tangisan.
Malam ini hanya ada air mata di antara keduanya.
Dua tahun pun berlalu, hari ini merupakan tepat satu bulan Embun bekerja di sebuah perusahaan ternama di ibu kota Jakarta, Brilian Group.
Tanpa mengetahui siapa CEO dari perusahaannya ini, Embun disibukkan dengan berbagai lembaran dokumen diatas mejanya.
Menumpuk, semakin lama semakin banyak mungkin ini merupakan salah satu penyambutan bagi anak baru di kantor.
"Hi Embun, tolong kau ambil alih ya... sudah jam dua belas, aku mau makan dulu."
Belum lagi tugas dari manager yang harus ia selesaikan, mau menolak tapi takut. Nyalinya menciut saat melihat jabatan mereka lebih tinggi darinya, dan juga sebenarnya takut di pecat.
"Em ya baiklah akan ku selesaikan, nanti, setelah pekerjaanku selesai."
"Ya terserah kau saja, asalkan setelah aku kembali nanti, semua berkas ku sudah harus selesai. Mengerti Embun sayang?" seru Ana terkekeh, ah senang sekali rasanya sudah begitu lama tidak mendapatkan mainan baru.
"Iya, An. Aku mengerti."
Embun menghela napas lega sesaat setelah Ana melenggang pergi darinya, diusapnya wajah dan juga dada dengan sabar.
Gawai di dalam lacinya bergetar, ada pesan masuk dari ibunya.
"Pulang tepat waktu, ingat jangan pergi kemanapun. Malam ini akan ada pertemuan dengan keluarga besar Wilson."
Ah, lagi-lagi dia di jodohkan. Bahkan tragedi dua tahun lalu itupun masih terngiang jelas di dalam benaknya.
Bayang-bayang masa lalu selalu menghantuinya sehingga membuatnya begitu takut untuk membuka lembaran baru, membina mahligai rumah tangga.
Terlebih lagi calon suaminya yang kali ini tak pernah ia lihat seperti apa wajahnya, apakah dia memiliki perangai yang baik atau malah sebaliknya.
Ibunya memang gila harta, jadi mungkin saja itu yang menyebabkan Agra tak menyukai mereka sehingga memilih untuk menceraikan Embun saat malam pertama mereka.
***
Akhirnya setelah menyelesaikan semua pekerjaan yang menumpuk tiba juga waktunya untuk pulang.
Jam kantor menunjukkan pukul lima sore, diatas kursi yang ia duduki, Embun meregangkan tubuhnya sejenak merelaksasikan otot-otot tubuhnya, "Engh..." lalu menghela nafas panjang, dia beranjak dari duduknya lalu menatap rekan kerjanya yang lain.
"Semuanya, sudah waktunya untuk pulang... aku pulang duluan ya." senyumnya perlahan sirna saat manager datang dengan wajah kesalnya.
"Pulang, pulang, ... pulang!" dia membentak kuat membuat Embun terhentak kaget, dan mundur beberapa langkah.
Sebuah map cokelat bergaris hitam itu ia lemparkan tepat mengenai dada Embun, "Selain pulang apakah tidak ada lagi yang kau pikirkan, hah!"
Semuanya terdiam, kecuali Ana, dia menyeringai senang.
"Ma- manager, apa salah saya?" tanya gadis itu dengan nada bergetar.
"Laporan itu kau yang mengerjakannya, kan? Memangnya kau itu tidak punya otak hah! Bagaimana bisa kau menukar nilai kontrak yang seharusnya. Jika sekretaris tuan muda tak meneliti, kau pikir kau sanggup untuk mengganti rugi semua kerugiannya?!"
Manager wanita berbadan setengah gemuk dengan kacamata bingkai tebal itu sejenak menghela napas kasar, sedang berusaha menyeimbangkan antara detak jantung dan napasnya.
Kemudian dia membenarkan posisi kacamatanya lalu menuding wajah Embun, "Perbaiki itu semua, besok pagi sebelum jam sembilan sudah harus ada di mejaku."
Embun mengangguk bahkan dengan tangan dan kedua kakinya yang gemetaran, bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal se-ceroboh ini.
Dengan sedikit keberanian dia menatap rekan kerjanya yang sedang menunduk, begitu pun juga dengan Ana yang mendadak menunduk saat edaran mata Embun menjangkaunya.
Embun keluar dari kantor ruangan kerjanya dengan sudut matanya yang basah, dirinya berpikir untuk lembur setelah acara pertemuan keluarga selesai. Di luar kantor sudah ada Taxi online yang ia pesan tiga puluh menit yang lalu, dia masuk ke dalam dan meminta pak sopir Taxi untuk segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sesuai dengan apa yang dikatakan ibunya jika hari ini dia akan bertemu dengan calon suaminya, di sebuah restoran.
“Kita sudah sampai nona,” ucap pak sopir menyadarkannya dari lamunan, entah apa yang sedang gadis itu lamun kan.
Embun segera turun dari Taxi online--nya setelah selesai membayar ongkos, lalu dia menggeleng pelan dan berharap acara hari ini bisa dengan cepat selesai, agar dirinya bisa fokus lembur memperbaiki laporan keuangan yang wajib direvisi.
Dia masuk melangkahkan kakinya, dan terhenti saat ia masuk ke dalam restoran dimana semuanya sepi, matanya mengabsen setiap meja yang kosong.
“Benar kok, restoran ini sama dengan alamat yang dikirimkan ibu”.
Tak lama kemudian di tatapnya pria berbalut jas hitam dengan potongan rambut yang rapi, Embun tertegun saat melihatnya mendadak mengangguk hormat pada dirinya. ‘Siapa dia?’ gumam Embun.
Gadis itu mengikuti segera masuk ke dalam sebuah ruangan yang telah di pesan khusus.
“Se-selamat sore, tuan ... Sa- saya Embun –“
“Aku tidak bertanya padamu,” tuan muda memotong dengan cepat dan kembali menyeringai, seringaian nya seolah sedang memberitahukan seberapa bodohnya dia di hadapan mereka, “Perkenalkan namamu!” seru tuan muda kepada sekretarisnya yang dibalas dengan anggukan pelan dan mulai memperkenalkan diri.
“Nama saya Alister, nona... nona bisa memanggil saya sekretaris Al.”
Demi apa pun juga, kedua tangan Embun yang ada di bawah kolong meja sudah berkeringat dingin.
‘Haha. aku malah ingin bertepuk tangan tepat di kepalamu!’ Embun benar-benar tidak tahan dengan sikap keduanya, dia ingin segera pulang ke rumah dan memarahi ibunya.
“Bukankah kau sudah pernah menikah?” Rendra menyeringai, dia memajukan tubuhnya ke dekat meja, “Lalu, kau masih berharap pernikahan yang di dasari perjodohan ini akan terjadi? Kau berharap seperti itu? Why?”
‘Tidak perlu menyebutkan status pernikahan, bisa, kan?!’ “Karena saya wanita yang cukup beruntung terpilih sebagai calon istri anda, tuan.
“Aku tidak akan bertanya mengapa kalian bercerai,” tuan muda terkekeh sedetik kemudian dia kembali ke posisi awalnya, “Melihat sikap ibumu yang gila harta, siapa pun juga bisa menduganya.”
“Alister, berikan padanya. Aku tidak mau dia membunuhku akibat kebodohannya.”
“Baik, tuan,” Alister mengangguk dan segera memberikannya selembar map biola, di dalamnya tercatat dengan jelas berapa kali sehari ia harus mencuci tangan, membersihkan diri, mengingat tuan muda kita ini memiliki kecintaan akan kebersihan.
Banyak sekali lembaran kertas yang harus ia baca, sudah seperti buku panduan medis untuk menjaga kebersihan diri.
“Ah ya, aku sama sekali tidak menyukai nama mu, bagaimana jika aku memberikanmu nama yang sangat bagus?” Rendra diam sejenak, dia berdiri dan beranjak dari duduknya, berpindah tempat membelakangi gadis itu, “Pookie!”
Embun geram sekali, bagaimana bisa nama terbaik yang diberikan ayahnya malah di ganti sesuka hati sang tuan muda? Pookie? Nama apa itu?
“Baiklah, karena hari ini aku sangat senang... Aku akan mempercepat hari pernikahan kita, 5 hari dari sekarang,” tandas Rendra yang langsung pergi meninggalkan ruangan, di ikuti Alister yang juga segera mengeluarkan botol pump putih berisikan gel, handsanitizer.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!