*
*
Suara musik yang menghentak menggema di seluruh ruangan temaram pada malam itu. Puluhan orang bergoyang mengikuti irama ceria. Tak terkecuali Angga.
Setelah beberapa gelas minuman beralkohol ditenggaknya, pemuda 22 tahun itu turun ke lantai dansa, mengikuti alunan musik, berbaur dengan pengunjung klub lainnya yang mencari kesenangan yang sama. Melupakan permasalahan hidup sebentar saja dari tengah malam hingga menjelang pagi.
*****
Bugh!!
Sebuah bantal melayang menimpa kepala Angga yang masih terbenam di tempat tidur nyaman miliknya. Ayahnya, Raja Mahendra sudah kehabisan akal mendidik anak bungsunya tersebut. Dia bahkan kini sudah tak mau mendengar apapun yang dikatakannya walau pria 60 tahun itu berteriak didepan telinganya sekalipun.
Anggara Yudistira, usia 22 tahun. Mahasiswa jurusan ilmu ekonomi, anak bungsu dari keluarga Mahendra. Pemilik beberapa bengkel ternama di kota Bandung.
Tumbuh dalam keluarga yang cukup berada membuatnya menjadi pribadi yang manja. Belum lagi sejak kecil segala keinginannya selalu terpenuhi karena keluarganya memang dilimpahi materi yang jauh melebihi orang lain.
Orangtuanya selalu memanjakan dia, terlebih lagi ibunya. Apapun yang Angga minta sudah pasti dikabulkan.
Namun semuanya berubah ketika di usia 13 tahun, Citra, sang ibu yang selalu mengasihinya harus pergi meninggalkannya untuk selamanya karena mengidap kanker serviks stadium akhir.
Angga kehilangan sandaran. Ayahnya tak berpengaruh apa-apa baginya. Pria itu hanya mampu memberikan materi yang melimpah untuk meredam segala kelakuan putra bungsunya tersebut.
"Anak kurang ajar!! kali ini apalagi yang kamu lakukan? apa tidak cukup dengan mempermalukan aku dengan segala kebodohanmu?" Raja berteriak kencang.
"Ayah berisik!!" Angga menggumam dalam tidurnya.
"Cepat bangun! dan segera lanjutkan kuliahmu!! Atau kamu keluar dari rumah ini dan hiduplah menggelandang dijalan!" Raja berteriak lagi.
"Ck!! Ancaman nya itu itu aja. Nggak ada kata-kata lain apa?" Angga bangkit, dengan malas dia berjalan menuju kamar mandi.
Dua puluh menit kemudian pemuda dengan tinggi 180cm itu telah rapi dengan pakaian modisnya. Rape jeans berwarna biru yang terlihat berantakan namun tampak sempurna membungkus kaki panjangnya. Dipadukan dengan kaos putih polos dilapisi jaket kulit berwarna hitam. Mengenakan sepatu Converse berwarna senada, dia menenteng helm fullface berwarna merah senada dengan warna motor CBR kesayangannya.
"Jangan berkeliaran dijalan. Kuliah lah dengan benar! contoh kakakmu, dia bahkan menjadi lulusan terbaik."
Angga memejamkan mata, rahangnya tampak mengeras. Ini kesekian kalinya mereka, terutama ayahnya membandingkan dirinya dengan sang kakak.
Sagara Mahendra yang berusia 27 tahun. Pria kebanggaan keluarga. Sagara menjadi tumpuan keluarganya dalam mengurus usaha sang Ayah. Pria yang selalu bisa diandalkan.
Angga tak menjawab sepatah katapun, dia melengos meninggalkan sang ayah yang masih terengah menahan kemarahan karena baru saja tadi pagi mendapat laporan dari sahabat sekaligus dosen kampus tempat Angga kuliah, bahwa putra bungsunya tersebut sudah sebulan ini tidak mengikuti mata kuliah manapun. Terakhir dia diketahui hanya mengisi absen, setelah itu pergi entah kemana.
"Sarapan dulu, Angga!" panggil seorang perempuan paruh baya namun masih cantik itu, yang baru saja keluar dari dapur.
Angga tak menjawab, hanya mendelik.
"Hargai lah ibumu!" Raja kembali berteriak.
"Cih, Ibu. Aku tak punya ibu. Ibuku sudah meninggal karena kelakuan Ayah!" jawab Angga tanpa rasa takut sedikitpun.
Raja tersentak. Kemudian mencengkeram krah jaket kulit milik anaknya tersebut dan menariknya hingga pemuda itu terhuyung kearahnya, dan
Plak!!
Tamparan keras mendarat di pipi pemuda 22 tahun itu hingga kulit putihnya kini berwarna merah padam.
"Ayah!!" Ratna, sang istri histeris mendapati pertengkaran antara suami dan anak tirinya tersebut. Ini sudah yang kesekian kalinya dalam bulan ini. Semakin hari, mereka semakin sering bertengkar karena hal-hal yang dibuat Angga dianggap sudah sangat keterlaluan.
"Ada apa ini?" Sagara muncul dari ruang tengah mendapati keributan yang berlangsung pada pagi hari itu.
"Lihatlah anak bodoh ini. Dia bahkan tak menghargai ibunya, kelakuannya sudah tidak bisa dimaafkan lagi, Gara!" Raja mengadu kepada anak pertamanya.
Sagara menghela napas pelan, "Dek, tolonglah."
"Gue nggak ada urusan sama lu, kak. Lu urus aja nih mereka." Angga membalikkan tubuh. Meninggalkan mereka bertiga.
"Anak kurang ajar!!" Raja berteriak.
"Stop, Yah!" Sagara menyela.
"Sebaiknya kamu keluar saja dari rumah ini. Daripada semua uang yang aku keluarkan sia-sia. Kamu tidak usah kembali lagi kemari!" Raja berucap lagi.
Angga menghentikan langkahnya, kemudian memutar tubuhnya kembali menghadap sang ayah yang masih diliputi kemarahan.
"Dengan senang hati." katanya, kemudian segera pergi.
"Angga!! Dek," Sagara bergegas mengejar, mengikuti langkah lebar adiknya. Pria itu mencoba mencegah kepergian Angga.
"Lu nggak usah dengerin ayah, lu tahu ayah suka marah. Tapi jangan gini lah!" katanya, berdiri di depan motor yang kini telah dinaiki adiknya. Menghalangi jalannya.
"Minggir, kak. Gue mau pergi."
"Dek!!" Sagara menahan motor yang telah dinaiki adiknya. Berharap pemuda itu tak mengikuti emosinya.
Namun ternyata kali ini Angga tak bisa lagi menahan diri. Dia menghidupkan mesin, suara raungan motornya segera menggema diseluruh halaman rumah. Mengintimidasi sang kakak yang masih berdiri menahan kepergiannya.
Sagara menghela napasnya pelan.
Akhirnya Sagara mengalah, dia melepaskan tangannya dari stang motor sang adik. Bicara dalam keadaan seperti ini takan membuahkan apa-apa. Pria itu membiarkan Angga pergi dari rumah dengan motornya melesat membelah jalanan kota pagi itu.
Dulu, Angga adalah anak yang menyenangkan. Dia baik dan ramah walaupun memang sangat manja. Tapi semuanya berubah sepeninggal ibu mereka.
Angga menjadi sulit diatur. Menarik diri dari keluarga, terutama dari ayahnya. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan, namun Angga selalu tampak marah kepada ayahnya tersebut. Selain karena mereka memang sering bertengkar karena alasan sepele.
*
*
*
Angga terbangun tepat sore hari saat matahari mulai menguning. Dia menoleh ke sebelah kiri, tampak Fikka masih terlelap. Pergumulan siang tadi membuat mereka berdua kelelahan.
Bercinta dalam keadaan marah membuatnya memiliki tenaga lebih besar dari biasanya. Fikka sampai memohon beberapa kali untuk berhenti setelah gadis itu tumbang lebih dulu.
Angga terkekeh. Menatap wajah cantik kakak kelasnya ini. Rambutnya sedikit kusut. Bibirnya masih bengkak akibat perbuatannya beberapa jam yang lalu. Tapi membuatnya terlihat semakin seksi. Dadanya dipenuhi bercak merah bekas ciuman. Angga menyentuh bercak merah itu dengan ujung jarinya.
Fikka mengerang dalam tidurnya.
"Shit!!" sesuatu dibawah sana kembali mengeras. Angga bangkit. Memutuskan untuk membersihkan diri. Berdiam lebih lama disini akan membuatnya kembali menerjang Fikka tanpa ampun. Dan itu akan sangat berbahaya. Stok pengaman di laci kakak kelasnya sudah habis.
********
Angga duduk ditepi ranjang mengusak kepala untuk mengeringkan rambut basahnya dengan handuk yang dia temukan dibalik pintu kamar mandi.
Tiba-tiba sepasang lengan kurus melingkari pinggangnya. Telapak tangannya yang hangat menyentuh perutnya yang berotot. Sesuatu yang kenyal dan lembut menempel di punggungnya yang telanjang.
"Lu pergi sekarang?" Fikka dengan suara parau.
"Yeah ..."
"Kenapa nggak disini aja? Gue seneng kok tinggal bareng lu." Fikka menempelkan wajahnya di pundak kokoh Angga.
"Hmm .. gimana lu nggak seneng, lu bisa tiap hari mainin gue." jawab Angga, acuh.
Fikka tergelak. "Terus, lu mau kemana habis ini?"
"Nggak tahu, mungkin ke tempatnya Andra dulu."
Angga melepaskan tangan Fikka yang betah melingkari pinggangnya. Pemuda itu bangkit dan meraih pakaian miliknya yang teonggok dibawah tempat tidur. Memakainya didepan Fikka tanpa sungkan. Mereka sudah terbiasa menatap satu sama lain dalam keadaan telanjang.
"Gue pergi." Angga setelah pakaiannya lengkap menempel ditubuh sempurnanya.
"Lu nggak sun gue dulu?" Fikka menggoda.
"Ck!! yang tadi nggak cukup!?" Angga mendekat.
Fikka hanya tersenyum.
Namun tetap saja Angga membungkuk untuk memberikan ciuman perpisahan pada kakak kelasnya yang seksi itu.
"Gue pergi, ya?" Angga mengulang perkataannya sambil membalikkan tubuh, keluar dari apartemen milik Fikka.
Sementara gadis cantik itu mengangguk sambil megap-megap setelah menerima ciuman perpisahan dari adik kelas tampannya tersebut.
*
*
*
Bersambung ...
hai, kita ketemu lagi😄😄
*
*
"Yakin lu mau berhenti kuliah? sayang tinggal setahun lagi, bro!" Andra ketika sahabatnya tiba dan bercerita tentang kejadian tadi pagi dirumah.
"Yakin lah. Lagian, mana bisa gue bayar kuliah. Selama ini gue hidup dari uang bokap gue. Terus setelah sekarang gue keluar dari rumah emangnya lu bisa jamin dia masih mau biayain kuliah gue?" jawab Angga dengan malas.
"Makannya nurut sama orang tua kenapa? jangan kelayapan Mulu!! lu kalau nggak ada bokap, udah di DO dari tahun kemaren."
"Ck!! lu sama aja kayak dia. banyak bacot!!"
"Hadeh. .. lu harusnya bersyukur, lu lahir di keluarga yang sangat berkecukupan. lu bisa minta apapun yang lu mau dan mendapatkannya dengan mudah. Diluar sana banyak anak yang bahkan untuk sekedar sekolah Sampai SMA aja susahnya minta ampun."
Angga terdiam.
"Gue nih, Saking pengen kuliah sampai bela-belain sambil kerja. karena nyadar nggak mungkin minta sama orang tua gue yang cuma pekerja kasar di kampung."
"Orang tua lu nggak senyebelin bokap gue." sergah Angga, menyandarkan tubuh tingginya di sofa.
"Siapa bilang? setelah mereka tahu gue bisa nghasilin duit, hampir tiap Minggu mereka nelfon, bilang nggak punya inilah, itulah, adek-adek gue nggak punya seragam lah, buku lah. atau ada kegiatan luar sekolah yang butuh duit gede lah. lu kira nggak pusing?"
Angga tergelak. "Untung gue nggak punya adek." ucapnya, mengejek.
"Sialan lu!" Andra melemparkan bantal ke kepala sahabatnya itu.
"Ndra, gue ikut kerja lah." Angga dengan tiba-tiba.
"Hah? kerja?" Andra terkejut.
Angga mengangguk.
"Lu yakin?" Andra menatap sahabatnya itu seakan tak percaya. Seorang Angga Yudistira meminta pekerjaan kepadanya.
"Udah gue putusin, gue akan pergi dari rumah. Dan nggak mungkin kan tua Bangka itu ngasih gue bekal hidup. orang dia kelihatannya benci banget sama gue."
"Yakin lu mau kerja bareng gue?" Andra meyakinkan.
Angga mengangguk lagi.
"Kerja itu capek tahu. Lu mending berubah jadi anak yang baik, terus nurut sama bokap . bikin dia terus ngalirin duit nya ke elu. daripada harus capek-capek kerja."
"Hilih, ... ogah gue. jadi anak baik bukan karakter gue. baru mikirin nya aja gue geli. Cukup Sagara yang jadi anak baik. gue mah ogah."
"Pea!!" mendorong kepala Angga dengan ujung telunjuknya.
"Ndra, gue serius." Angga penuh harap.
Andra terdiam.
"Lu yakin?"
"Yakinlah, be*go!!" Angga menendang kaki sahabatnya yang seperti tak percaya dirinya mampu melakukan hal yang baru saja dia katakan.
"Oke. tar gue cariin kerjaan yang cocok sama lu." Andra kemudian mengangguk.
"Tapi jangan yang capek-capek, gue kan nggak biasa." Angga menawar.
"Heleh, baru aja mau gue cariin lu udah ngelunjak." sebuah bantal melayang lagi ke arah Angga. "Mana ada kerjaan yang nggak capek. ML aja bikin capek."
Pemuda 22 tahun itu tergelak. "Tapi enak."
"Mesum!!" Andra kembali mendorong kepala Angga hingga pemuda itu terjengkang ke sandaran kursi sambil tertawa.
"Kayaknya gue ada kerjaan yang cocok buat mengimbangi otak lu yang mesum itu." Andra mengutak-atik ponsel ditangannya.
"Apaan?"
"Tar malem lu ikut gue."
"Kemana?"
"Ada deh. pokoknya lu ikut gue. Ada kerjaan yang cocok sama passion lu."
"Passion gue emang apaan?"
"ML sama cewek yang
lebih tua kan passion lu, nyet!" Andra tergelak.
"Apaan? lu mau jual gue ke tante-tante yang miara lu?" Angga menjengit, merasa ngeri sendiri dengan pikirannya.
Andra tertawa. "Pan elu bilangnya pengen kerjaan yang gak capek tapi enak. ini cocok sama lu."
"*****!!! gue mesti ngelayani emak-emak gitu? najis gue!! sebutuh-butuhnya duit ogah gue musti gitu. Mendingan gue numpang di apartemennya Fikka aja. Gak perlu kerja. Tapi gue bisa hidup enak."
"Si pea!! pelanggan gue bukan emak-emak kali, nyet! tapinya tante-tante kesepian yang lakinya jarang dirumah, terlalu sibuk ngurusin bisnis diluar negri." jelas Andra.
"Sama aja. emak-emak."
"Bukan, be*go!!" Andra mengumpat. "terus ada lagi teteh-teteh jomblo yang nggak sempet menjalin hubungan karena karirnya yang melesat jauh. dan nggak bisa diimbangi sama cowok-cowok yang ngejar mereka."
Angga tergelak. Membayangkan dirinya harus bercinta dengan perempuan yang lebih tua darinya. Walaupun selama ini pada kenyataannya dia memang sering berkencan dengan gadis yang lebih tua seperti Fikka yang notabene adalah kakak kelasnya di kampus. Atau Vinna seorang SPG kosmetik yang usianya terpaut tiga tahun dari dirinya. Dan beberapa perempuan lainnya yang tidak dia ingat namanya saat bertemu di klub. Yang sering ber-one night stand dengan dirinya, dan kesemuanya rata-rata berusia lebih tua darinya.
Angga tidak ingat kapan dia berkencan atau setidaknya dekat dengan seseorang yang berusia setara bahkan lebih muda dibawahnya.
Seleranya seperti lain dari yang lain. Pemuda itu tidak tertarik dengan gadis yang seumuran ataupun yang lebih muda. Menatap perempuan yang lebih tua selalu membuat jantungnya kebat-kebit, memacu adrenalinnya ketika mampu membuat perempuan-perempuan itu bertekuk lutut di hadapannya. Apalagi sampai memohon untuk tidur dengannya.
Angga terkekeh.
Sebuah tendangan keras mendarat di kakinya.
"Dasar mesum!!" Andra kembali mendorong kepala sahabatnya itu.
"Lu bisa jamin gue nggak bakalan ngelayani emak-emak?" Angga meyakinkan.
"Iyalah."
"Deal!!" Angga mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
"Deal!!" Andra menyambutnya, kemudian mereka tertawa.
*
*
*
Pada malam hari, Andra dan Angga tiba di depan sebuah villa di kawasan puncak, Bogor setelah menempuh waktu empat jam dari Bandung.
Dua pemuda tampan itu disambut ceria oleh beberapa perempuan setibanya mereka di halaman villa tersebut. Seorang perempuan yang kira-kira berusia sekitar 38 tahunan, dengan dandanan modis ala sosialita bahkan merangkul pundak Andra dengan antusiasnya.
"Kamu lama banget sih... kangen tahu!!" perempuan itu merajuk degan manja. Angga tiba-tiba merasa merinding mendengar suara manja perempuan itu. Seketika dia ingin tertawa terbahak-bahak, namun ingat pesan sahabatnya sebelum mereka tiba di tempat tersebut.
"Lu harus jaga sikap, mereka nggak suka cowok yang kasar, apalagi tengil. Lu harus bisa kelihatan baik, imut dan manis. Mereka suka anak baik dan sopan." begitu katanya.
"Kenalin, ini temen yang Andra ceritain tadi siang, Tan." Andra membuka percakapan setelah berbasa-basi sedikit.
"Ohh ... ini.. Hmm..." perempuan itu menatap Angga dari atas kebawah. Tak butuh waktu lama, senyuman nakal terbit di bibir merahnya. "Not bad. Bawa masuk, sayang. Kita kenalin sama yang lainnya." katanya, kemudian melengos. Meninggalkan dua sahabat ini berdiri di ruang tamu, sementara dirinya menghampiri beberapa teman yang sedang berkumpul di ruang belakang.
"What?? not bad dia bilang?" Angga merasa kesal. Dia merasa disepelekan.
"Eezy, bro. Mereka belum kenal, lu kan masih fresh!!" Andra tergelak.
"Yeah, ... gue jamin, setelah mereka kenal, mereka bakalan teriak teriak manggil gue di ranjang saking enaknya.!!" Angga pun ikut tertawa.
Andra kemudian menarik sahabatnya itu untuk masuk kedalam villa luas itu. Dan seketika Angga tertegun. Didalam sana ada sekitar puluhan orang perempuan yang rata-rata berusia lebih dari tiga puluh tahun. Dilihat dari penampilan dan gaya mereka, jelas mereka bukan berasal dari kalangan biasa.
"Seriously?" Angga terkejut. Menatap puluhan pasang mata yang tertuju ke arah mereka. Sebagian dari perempuan-perempuan itu bahkan menjerit setengah histeris.
*
*
*
Bersambung....
apakah yang akan terjadi kepada Angga? hmmm.. otor jadi penasaran. Kalian penasaran nggak??
like koment sama vote kalo kalian juga penasaran. biar otor semangat untuk lanjutin cerita Angga nya.😘😘😘
*
*
Angga terbangun saat merasakan pergerakan disampingnya. Rasa hangat menjalari tubuhnya saat sebuah tangan kurus merayap melingkari pinggangnya.
Pemuda 22 tahun itu mengerjap berkali-kali. Memori diotaknta berputar mengingat kejadian semalam. Saat seorang perempuan cantik berusia 35 tahun mengerang dan berteriak dibawah kendalinya. Meracau tak karuan dengan bibir seksinya menyebutkan kata-kata erotis yang membuatnya sangat bergairah.
Menaklukan perempuan dewasa memang selalu membuatnya merasa sangat bergairah. Ah, bukan!! Mengapa otaknya selalu tertuju ke bagian itu?
Angga menggeleng. Lalu menoleh ke sebelah kiri, dimana perempuan itu masih terlelap.
Tante Wina.
Nama yang indah, sesuai dengan paras yang cantik khas campuran Eropa sepertinya. Dengan hidung mancung, alis tebal bermata bulat dengan iris coklat tua. Rambut berwarna agak kemerahan, entah alami atau ditimpa pewarna. Dengan kulit putih kaukasia yang terasa begitu lembut saat disentuh.
Dia perempuan pertama yang menawarinya dengan harga tinggi tadi malam, sebelum tante-tante yang lain berdatangan. Ah, dia merasa seperti anak anjing yang berada di petshop. Yang dilelang kemudian diserahkan kepada si penawar yang berani membayar dengan harga yang tinggi.
Huh!! petshop. Anak anjing? Angga terkekeh.
Tante Wina menggeliat. Bulu mata lentiknya bergerak-gerak lucu. Lalu kelopak mata indah itu terbuka lebar. Mendapati wajah tampan yang juga tengah menatap wajah ngantuknya.
"Kamu sudah bangun." ucapnya, dengan suara serak khas bangun tidur.
"Hmm ..." Angga menggumam.
Tante Wina bangkit, menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh telanjangnya, kemudian berjalan ke arah kamar mandi tanpa rasa malu sedikitpun.
Angga menatap dalam diam namun merasakan sesuatu dibawah sana terbangun saat tubuh molek itu berlenggok sensual dihadapannya. Angga kembali menggeleng.
Sepuluh menit kemudian, perempuan itu telah keluar dari kamar mandi dengan keadaan segar. Bathrobe putih yang melilit tubuh sempurnanya, dan rambut merah basah yang menguarkan aroma segar dan harum.
"Kamu, mandilah." perintahnya, dan dijawab dengan anggukan oleh Angga.
Pemuda itupun memasuki kamar mandi dan segera membersihkan dirinya.
*******
Sebuah amplop kecil berwarna coklat disodorkan Tante Wina kehadapan Angga. Sudah bisa ditebak isinya adalah uang.
Angga mendongak, menatap wajah cantik yang sedang berdiri dihadapannya. Kemudian matanya beralih pada amplop digenggaman perempuan cantik itu.
"Nanti, kalau saya telfon kamu bisa kan datang lagi?" katanya.
Angga masih menatap dengan pikiran yang, ... entah. Namun pemuda itu mengangguk, lalu meraih amplop di tangan Tante Wina, dan memasukkannya kedalam saku jaket kulit miliknya.
"Oke. Kamu masih mau disini? Karena saya harus segera pergi."
Angga hanya mengangguk.
Wina melenggang pergi, tapi dia sempat berhenti sebentar diambang pintu.
"Kamu tahu Angga, kamu sebaiknya belajar untuk bersikap ramah. Dan sesekali mengobrol. Karena hebat diatas ranjang saja nggak cukup." ucap Wina, seraya melenggang keluar dari villa yang dia sewa sendiri khusus untuk dirinya dan Angga malam itu.
Angga mengangkat satu alisnya keatas. "Apa dia bilang?"
*
*
*
Andra tertawa dengan keras ketika sahabatnya itu bercerita tentang kejadian dimana Wina mendiktenya soal sikapnya yang harus dirubah.
Harus lebih ramah apanya? Para gadis dikampusnya menyukai sosok laki-laki seperti dirinya. Yang cool dan tidak banyak omong. Tidak terlalu ramah tidak apa-apa. Justru mereka lebih senang mengejar laki-laki yang pendiam dan cuek seperti dirinya. Buktinya, banyak gadis yang dengan suka rela menyerahkan tubuh mereka.
Tidak pernah ada yang bisa mengaturnya sedemikian rupa. Apalagi orang yang baru saja dikenalnya dalam waktu satu malam saja.
"Yang lu hadapi sekarang beda, bro!"
"Ck!! tetep aja mereka hanya perempuan!"
"Lu nggak bisa samain Tante Wina sama cewek dikampus. Udah jelas mereka beda. Cewek dikampus maunya dimanja, diperhatiin sama dibaperin. Beda sama perempuan dewasa kayak Tante Wina."
Angga mendengus, lalu terdiam.
"Udah, kagak usah lu pikirin. Tar juga lu terbiasa beramah tamah sama mereka. Lama-lama lu bakalan pinter ngobrol dengan sendirinya." lanjut Andra.
"Gue ikut tidur disini dulu, ya. Sebelum bisa ngekos sendiri." Angga setelah beberapa lama terdiam.
"Lu yakin nggak mau pulang?" Andra menatap wajah sahabatnya yang kini agak murung.
"Yakin." jawabnya, tanpa keraguan.
"Serah lu deh. Pintu apartemen gue selalu terbuka buat lu. Tapi jangan bawa cewek kesini. haram buat gue." katanya, memperingatkan.
"Jiah, haram. Kek masuk mesjid aja haram. Gerayangi Tante Tante nggak haram. bawa masuk cewek lu bilang haram." Angga menendang kaki sahabatnya sambil mengejek.
"Serah gue dong, ini kan apartemen gue. klo lu mau bebas bawa cewek, sana lu sewa apartemen lu sendiri." ucapnya sambil melenggang pergi.
"Iye, tar kalo duit gue udah banyak."
Andra tak menjawab lagi. Pemuda itu masuk kedalam kamarnya dan membersihkan diri. Perjalanan dari Bogor ke Bandung memang lumayan melelahkan. Tapi sepadan, setidaknya untuk dirinya sendiri. Bulan ini dia sudah bisa mengumpulkan lebih banyak uang untuk di kirim kepada orangtuanya di kampung. Dia membayangkan dua adik kecilnya akan melonjak kegirangan saat sepeda baru mereka datang nanti. Dan tidak akan mendapat cibiran lagi dari tetangga karena selalu meminjam sepeda butut temannya. Andra tersenyum.
*
*
*
*
Angga menatap amplop coklat diatas meja. Dia belum membukanya sejak dari villa tadi pagi. Tidak tahu juga berapa isinya. Tapi dilihat dari ketebalannya mungkin jumlahnya lumayan.
Angga meraih amplop tersebut, kemudian membukanya. Tampak lembaran uang berwarna merah tersusun rapi. Bibir pemuda itu melengkung membentuk sebuah senyuman ketika telah mengetahui jumlah yang diterimanya.
"Not bad. Kayaknya gue bakalan suka kerjaan ini." Angga bermonolog, kemudian dia tergelak.
Banyak rencana diotaknya yang ingin segera dia realisasikan. Dia ingin hidup mandiri. Berada diatasnya kakinya sendiri. Tidak lagi tergantung kepada orang lain, apalagi kepada keluarganya. Tidak lagi menggantungkan hidup dari uang transferan Ayah ataupun kakaknya yang membuat dirinya bagai terhina.
Angga tersenyum kecut. Keluarga. Apa artinya itu untuk dia? Bukan, apa artinya dia untuk mereka? Sepertinya tidak ada. Hanya seorang anak yang kebetulan lahir didalam keluarga Mahendra yang mungkin tidak mereka inginkan.
Terserah saja, toh dirinya sudah membulatkan tekad akan meninggalkan itu semua. Kini yang dia pikirkan hanyalah bagaimana caranya bertahan hidup setelah ini. Jika memang jalannya harus seperti ini, biarkan saja begitu. Yang penting sekarang dia bisa bebas sebebas-bebasnya.
Membayangkan kehidupan bebas yang akan dia jalani. Terlepas dari bayang-bayang keluarga, terutama ayahnya. Apalagi mengingat dirinya tidak akan lagi menjadi bahan perbandingan dengan kakak laki-lakinya. Terutama, Takan lagi menatap wajah perempuan yang begitu dibencinya. Perempuan yang telah merenggut kebahagiaan ibu tercintanya. Perempuan yang dibawa ayahnya sesaat sebelum ibunya sekarat karena kanker serviks.
*
*
*
*
Bersambung ...
like
koment
vote!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!