Caraka Benua … siapa yang tidak jatuh cinta pada pria itu.
Tampang? Tidak perlu ditanya, boleh bersaing dengan para model papan atas.
Karir? Di usia 33 tahun sudah menjabat sebagai direktur Mega Hotel, boleh dibilang cemerlangkan?
Pintar? Lulusan S1 Harvard dan S2 di Stanford university, itu bisa menjadi salah satu aset untuk mendapatkan keturunan sejenius Pak Habibi.
Mapan secara materil? Oh ayolah, dengan posisi direktur hotel bintang lima saja gajinya sudah selangit ditambah lagi dia adalah putra sulung dari Rudi Mahesa, salah satu konglomerat Indonesia dengan kerajaan hotel, resort, dan juga retail terbesar di Indonesia. Jadi jangan bertanya soal material yang tak bakalan habis selama tujuh turunan.
Jadi, ya ... wajar saja kalau banyak perempuan dari berbagai kalangan berlomba untuk menjadi Nyonya Caraka Benua atau minimal jadi kekasihnya, termasuk para karyawan perempuannya yang bermimpi untuk menjadi Cinderella abad ini. Kecuali aku. Tolong catat itu, kecuali ... A-K-U.
Kenapa aku tidak termasuk dalam golongan fans garis keras pria yang notabane nya adalah atasku?
Oh, ayolah! Ini dunia nyata, Munaroh!
Kenyataannya dunia ini tak seindah kisah-kisah Disney, FTV atau drama Korea yang banyak menceritakan anak orang kaya pacaran sampai nikah dengan orang miskin. Apalagi seperti film India yang saking indahnya walaupun disakiti masih saja sempet-sempetnya nyanyi sambil lari-lari di bawah hujan, ataupun seperti judul sinetron dimana tukang cilok pacaran sama pengusaha muda yang kaya melintir.
Nih ya, di dunia nyata hal macam itu jaraaa … ng banget terjadi. Bukannya tidak ada, tapi jarang. Kita ambil contoh, Lady Diana, istri Pangeran Charles yang disebut-sebut sebagai Cinderella abad 20, tapi akhirnya? Setelah bertahan beberapa tahun akhirnya beliau cerai dengan sang Pangeran karena sang Pangeran selingkuh dengan perempuan lain, atau mau contoh yang terbaru? Anaknya Pangeran Charles dan Lady Diana yaitu Pangeran Harry yang menikahi Megan Markel yang disebut sebagai Cinderella abad 20, tapi akhirnya? Mereka mengundurkan diri dari status keluarga kerajaan dan melepas semuanya demi cinta. Ya, dari gosip yang beredar sih alasan mereka mengundurkan diri dari keluarga kerajaan adalah karena pihak kerajaan tidak menerima status dan latar belakang si Cinderella.
Nah, dari kisah Lady Diana dan Megan Markel kita bisa melihat kalau jadi Cinderella itu belum tentu bakal happily ever after kaya di film ataupun cerita-cerita novel. Jadi aku hanya ingin bersikap realistis saja, daripada sudah jatuh cinta secinta-cintanya, udah melayang ke awang-awang tahunya malah jatuh ke dasar bumi. Beuh, pasti sakit bangetkan itu?!
Tapi semua rencana itu berantakan ketika suatu hari sang Pangeran memerlukan seorang penerjemah bahasa Jepang, dan aku yang kebetulan besar di Jepang di dapuk menjadi penerjemah dadakan dalam kunjungan kerja bersama para calon investor ke Aceh selama satu minggu.
“Lulusan bisnis UI dengan IP yang cukup memuaskan, menguasai 2 bahasa asing, tapi kenapa kamu jadi resepsionis?” Pak Bos bertanya sambil bersandar santai dengan cangkir kopi di tangan kanannya, sesekali dia menyesap kopi hitam kental membuatnya terlihat seperti model yang tengah shooting iklan kopi.
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya sambil menyesap kopiku yang langsung menghilangkan segala kelelahan setelah perjalan jauh, dilanjut dengan serangkaian kunjungan kerja ke tempat proyek dan rapat dengan para pengembang.
“Di dunia nyata orang pintar akan kalah dengan orang yang memiliki koneksi, dan orang yang memiliki koneksi akan kalah dengan orang yang beruntung … tapi sayangnya saya tak memiliki keduanya. Koneksi dan keberuntungan.” Aku menyesap kopiku sebelum melanjutkan ucapanku.
“Waktu kuliah, memakai jas almamater dengan lambang universitas terkenal merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bahkan mungkin orang lain akan melihat takjub hanya dengan melihat jas almamater kita, tapi ketika kita lulus … ya, kita harus bersaing dengan ribuan pencari kerja yang di antara mereka ada yang memiliki pengalaman jauh lebih banyak dari kita, memiliki kepintaran jauh lebih pintar dari kita, dan jangan lupakan dua golongan yang tadi … memiliki koneksi dan keberuntungan. Jadi dengan diterima menjadi resepsionis di hotel berbintang lima sebetulnya saya lebih beruntung daripada rekan-rekan lain yang mungkin masih mencari kerja. Ya, minimal saya bisa membayar cicilan motor matic saya.”
Pak Bos tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Apa menurutmu saya memiliki dua faktor itu? Koneksi dan keberuntungan.”
“Hahaha, apa ini pertanyaan jebakan?”
Pak Bos tersenyum mendengar pertanyaanku. “Tidak … saya hanya ingin mendengar pendapatmu saja.”
Aku terdiam beberapa saat memikirkan jawaban yang mungkin jebakan. Hei! Aku tak ingin dipecat hanya karena salah menjawab. Ingat cicilan si merah yang selalu terdepan belum lunas!
“Iya, Bapak memiliki keduanya,” jawabku jujur. “Tapi … tidak ada yang salah dengan itu kalau memang mempuni. Selain koneksi dan keberuntungan Bapak juga orang yang sangat mampu untuk melakukannya. Perusahaan tidak mungkin akan seperti sekarang kalau Bapak tidak mampu,” lanjutku cepat-cepat dari pada dia salah paham.
“Maksud saya, kalau kita punya relasi dan kita mampu kenapa tidak? Sekarang saya akan bertanya, kalau misalnya, Bapak, memiliki satu posisi yang kosong di perusahaan dan kebetulan, Bapak, memiliki kenalan seseorang yang dianggap mampu untuk mengisi posisi itu. Bapak, akan memberikannya pada orang itu kan daripada kepada orang yang baru, Bapak, kenal yang kita bahkan tidak tahu orang itu mampu apa tidak, jujur apa tidak.”
Dia menatapku beberapa saat kemudian mengangguk.
“Tapi, sebentar … bagaimana, Bapak, tahu kalau saya lulusan bisnis UI?”
“Kamu lupa kalau saya, Bos? Dan Bos bisa melihat data karyawannya sendiri.”
“Ckk! Curang.”
“Hahaha, curang kenapa?”
“Bos bisa melihat data pribadi bawahannya, tapi bawahan tidak bisa melihat data pribadi bosnya.”
“Hahaha, makanya jadi Bos.”
“Sayangnya orangtua saya bukan pemilik perusahaan, jadi satu-satunya cara untuk saya menjadi bos adalah ada pengusaha yang amnesia dan memberikan saya warisan.”
“Hahaha.”
“Atau menikah dengan pengusaha, tapi lupakan saja ide yang satu ini saya masih berharap pada yang amnesia.”
“Kenapa? Bukankah semua perempuan berharap menikah dengan pengusaha?” dia bertanya sambil menyesap kopinya kembali.
“Iya betul, tapi tidak semua pengusaha mau menikah dengan perempuan dari golongan di bawah mereka … di dunia nyata adalah orang kaya menikah dengan orang kaya, pengusaha akan menikahkan anaknya dengan anak pengusaha lainnya demi kemajuan perusahaan mereka, mungkin.”
Dia terdiam menatapku beberapa saat. Apa aku salah bicara?
“Ya ampun! Maaf, Bos, bukannya nyindir.” Aku meringis menyadari kesalahanku. “Tapi, itu kenyataannyakan?”
Dia terdiam beberapa saat kemudian tersenyum. Senyum yang menyimpan rasa pedih, “Iya, itu kenyataannya,” jawabnya sambil menyesap kopi. “Miris bukan disaat semua orang melihat kita hanya sebagai putra dari seseorang, keluarga pun melihat kita hanya sebagai alat untuk ekspansi bisnis.”
Aku terdiam menatapnya yang tersenyum miris sambil menyesap kopi, ternyata memiliki harta berlimpah, nama tersohor tidak menjamin kebahagiaan
.
“Kenapa tidak menolak?”
Dia mengangkat alis mendengar ucapanku.
“Maksud saya, kalau Bapak merasa keberatan untuk dijadikan alat ekspansi bukankah Bapak bisa menolak? Orangtua Bapak tidak seegois itukan dengan mengorbankan kebahagian anaknya demi perusahaan?”
Dia menghela napas berat. “Sayangnya, iya, mereka seegois itu.”
Aku terdiam beberapa saat kemudian meringis. “Ternyata menjadi putra konglomerat belum tentu enak ya.”
“Hahaha … ya, dalam hidup semua ada plus minusnya kan.”
“Pak Bos benar, minimal anak konglomerat tidak perlu pusing mikirin cicilan motor.”
“Hahaha, itu salah satunya.” Dia menyesap kopi yang tinggal setengah. “Tapi … kenapa kamu memanggil saya Pak Bos?”
“Hahaha, iya, Pak Bos, kalau yang lain manggil Bapak … Mas Bos.”
“What? Seriously?”
“Hahaha, iya, Bapak tuh banyak fansnya di kantor, hampir semua karyawan perempuan jadi fans Bapak dan berharap jadi Cinderella.”
“Jangan katakan kalau kamu menjadi bagian di antara mereka.”
“Maaf, tapi Bapak harus kecewa, karena saya benci cerita Cinderella.”
“Kenapa? Bukankah itu mimpi semua anak perempuan menikah dengan seorang Pangeran?”
“Seperti saya bilang tadi, ini dunia nyata … salah satu buktinya ya …” Aku merentangkan ke dua tanganku ke depan dimana Pak Bos berada membuatnya tetawa.
“Hahaha, kamu itu terlalu realistis, kali-kali bolehlah kita bermimpi.”
“Cicilan motor tidak bakal lunas dengan hanya bermimpi, Bos.”
“Hahaha.” Dia tertawa sambil menggelengkan kepala, kemudian menghabiskan kopinya. “Mau bertaruh?”
“Bertaruh?” tanyaku bingung, aku bahkan menghentikan mengunyah pisang goreng saking bingungnya mendengar ucapannya.
“Iya bertaruh. Kalau saya menang kamu harus mengabulkan semua permintaan saya dan kalau saya kalah, saya akan mengabulkan semua permintaanmu.”
Aku terdiam sambil mengunyah pisang goreng dengan perlahan. “Termasuk melunasi cicilan si merah?”
“Termasuk melunasi cicilan motormu.”
“Dan apa yang kita pertaruhkan?” tanyaku penasaran. Aku bersandar sambil menatapnya yang tersenyum jahil menatapku.
“Selama tujuh hari ini saya akan membuatmu berharap kalau kamu adalah Cinderella.”
Aku terdiam beberapa saat kemudian tertawa. “Hahaha, maksudnya, Bapak akan membuat saya jatuh cinta sama Bapak dan berharap menjadi Cinderella?”
“Exactly!”
Aku terdiam kemudian kembali tertawa. “Hahaha, penawaran yang menggiurkan mengingat saya tak perlu lagi memikirkan cicilan motor, tapi tidak!”
“Lho kenapa? Kamu takut benar-benar jatuh cinta pada sayakan?”
“Well, walaupun itu bukan alasan utamanya, tapi ya … hei! Jangan tertawa, Bos, saya hanya ingin melindungi hati saya saja.”
“Jadi kamu mengakui kalau kamu takut jatuh cinta padaku dan benar-benar berharap jadi Cinderella?”
Aku? Dia bahkkan sudah mulai mengganti panggilan jadi aku? Ckk, dasar player.
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, mungkin saja akhirnya Bapak yang akan jatuh cinta pada saya.”
Dia tersenyum sambil mengangguk seolah menertawakan kekonyolanku. Dan itu memang konyol, seorang Caraka Benua tidak akan mungkin jatuh cinta kepada seseorang sepertiku kan?
“Kalau begitu kenapa kita tidak lakukan saja taruhan ini.”
Aku diam beberapa saat memikirkan ini. Tentu saja taruhan ini menggiurkan, tapi tetap saja.
“No, thanks.”
“But why?”
“Aku tak ingin bermain dengan hati. Ok, seperti yang Bapak bilang, anggap saja akhirnya saya benar-benar jatuh cinta dan berharap jadi Cinderella, terus? Tidak akan mengubah apapunkan? Sang Cinderella akan tetap menjadi resepsionis dan Sang Pangeran akan menikah dengan putri dari kerajaan lain, meninggalkan Cinderella yang hatinya telah dia curi.”
Dia terdiam beberapa saat dengan mata menatapku, entah apa yang ada dipikirannya hingga mengusulkan taruhan yang jelas-jelas terlalu beresiko untukku.
“Minimal Cinderella bisa melunasi motornya.”
“Hahaha, selama Sang Pangeran tidak memecatnya, Cinderella bisa melunasi motornya sendiri.”
“Hahaha.”
Bersamaan dengan itu terdengar suara adzan ashar membuatku dan Pak Bos berjalan menuju masjid tak jauh dari tempat kami minum kopi.
Lihat? Akan sangat mudah untukku jatuh cinta padanya, selain memiliki tampang yang rupawan, kemapanan dari segi materil, dia juga ternyata sangat menyenangkan untuk menjadi teman ngobrol. Aku yang baru saja mengenalnya bisa dengan mudah merasa nyaman di dekatnya, dan yang paling memungkinkanku untuk dengan mudahnya jatuh cinta padanya adalah karena dia tak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Bukankah dia bisa menjadi calon imam yang luar biasa?
Tapi aku lebih menyayangi hatiku dan aku tak ingin bermain-main dengan hati dan perasaanku.
****
Haiii ... maaf hiatusnya sedikit lama, setelah kita berpetualang dengan Arga, lanjut Senja, kini kita menapaki dunia Caraka dan Kirana si perempuan realistis.
Selamat membaca ...
Love
A.K
Udara dingin menusuk sampai tulang membuatku merekatkan jaket. Matahari belum juga keluar dari peraduan ketika aku keluar dari hotel, dan berjalan menuju bukit tak jauh dari sana untuk menangkap momen matahari terbit dengan pemandangan danau laut tawar. Sebuah danau yang sangat luas sehingga menyerupai lautan.
Aku tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan untuk melihat pemandangan yang jarang bisa ku lihat ketika di Jakarta, jadi aku akan melakukan apa saja agar tidak ketinggalan moment berharga itu termasuk memilih kedinginan daripada tidur lagi kembali setelah sholat subuh di bawah selimut yang nyaman.
Tapi semua itu terbayar ketika perlahan sinar kemerahan sang surya menampakan kemegahannya, dengan takjub aku menatap keindahan alam di hadapanku. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu, ku ambil ponselku dan menghubungi seseorang. Cukup lama untuk panggilanku akhirnya diangkat.
“Kalau tidak penting gue benar-benar akan ngebunuh lo!”
Muka bantal Siska, sahabatku, langsung menghiasi layar ponselku.
“Hahaha, bangun woi! Lihat nih cantikkan?!” Ku edarkan ponselku supaya Siska bisa menikmati pemandangan alam seperti aku.
“Ckk! Video call subuh-subuh cuma mau pamer matahari terbit?”
“Tapi ini keren, Sis!”
“Keren itu kalau bisa lihat langsung. Lha, ini kalau lihat dari video call gini apa bedanya kaya lihat foto dari mbah G atau acara travel di TV?”
“Oh, iya ya, hahaha.”
“Besok lagi kalau mau lihat sunrise ajakin tuh Bos gantengnya jadi gak gangguin orang subuh-subuh gini.”
“Apaan sih.”
“Hahaha, lumayankan dingin-dingin gini bisa modus minta dipeluk sekalian.”
Siska mulai ngaco membuatku kembali mengingat pembicaraan ku dan Pak Bos kemarin tentang taruhan yang tentu saja tidak ku setujui, aku tak ingin bermain-main dengan hatiku terutama ketika menyadari kemungkinan ku untuk menang dalam taruhan ini sangat kecil.
Seperti saat ini entah sengaja atau tidak, tapi Pak Bos menunjukan perhatian-perhatian kecilnya seperti membukakan tutup botol minumku ketika kami sarapan di hotel, membukakan pintu mobil untukku yang membuatku menatapnya kemudian menggelengkan kepala ketika melihatnya yang hanya tersenyum jahil.
Seharian ini kami berada di proyek, bertemu dengan beberapa orang yang akan bertanggung jawab dengan kebun kopi dan jeruk yang akan di tanam di sana, serta pembangunan taman bunga. Mr. Takeda dan tim baru akan datang beberapa hari lagi jadi kami harus memastikan semua rencana telah tersusun rapi dan matang.
“Lapar?” tanya Pak Bos ketika jam sudah menunjukan pukul tiga siang. Ingin ku jawab,
“Menurut L?” Oh ayolah! Makanan yang terakhir masuk ke dalam perutku adalah saat sarapan tadi, secangkir kopi dan roti.
“Tidak, Pak, saya masih kenyang karena sarapan tadi pagi … sepotong roti dan secangkir kopi, persis seperti judul novel-novel romantis,” sindirku tajam membuatnya menatapku beberapa saat kemudian tersenyum.
“Sebentar lagi, oke?”
“Tenang saja, Pak, sebentar lagi magrib kok anggap saja sekalian buka puasa.”
“Kamu puasa?” tanyanya dengan sorot mata jahil. “Katanya tadi sarapan.”
“Ya, anggap saja itu sahur.”
“Hahaha, oke-oke sebentar lagi kita makan, sabar ya,” ucapnya sambil mengacak-acak rambutku santai membuatku mematung. Apa yang dia lakukan? Oh, ya Tuhan, jangan bilang dia sedang melakukan aksinya berusaha membuatku menjadi Cinderella?
Tapi sepertinya hanya aku yang ke ge-er-an karena dia sepertinya menganggap itu bukan hal luar biasa, buktinya dia kembali menekuni dokumen-dokumen di hadapannya dengan serius.
“Bos.”
“Hmm?”
“Bos tidak sedang menjalankan misi membuatku menjadi Cinderella kan?” Aku dan rasa penasaranku yang tidak bisa kubendung, membuatnya menatapku kemudian tertawa.
“Hahaha, kalau misalnya iya bagaimana?”
Aku menganga mendengarnya.
“Kita tidak sepakat tentang taruhan itu, ingat? Jadi sebaiknya, Bos, lupakan semua jurus-jurus player yang biasa Bos gunakan untuk membuat perempuan klepek-klepek karena itu tidak akan berpengaruh untukku.”
Dia terdiam menatapku.
“Mau bertaruh lagi?” Dia tersenyum jahil.
“Tidak, terimakasih.”
“Hahaha, tenang saja kalau aku sampai mengeluarkan semua jurusku, kamu tak mau lepas dariku.”
Aku menggelengkan kepala sambil berdecak.
“Dasar playboy.”
“Kamu mengataiku playboy?”
“Maafkan ketidak sopanan saya, Pak. Saya memang jarang nonton acara gossip, tapi saya memiliki Ibu yang hobi banget nonton acara gosip dan wajah Bapak terlalu sering wara-wiri di acara itu dengan prestasi jadian-putus-jadian-putus dengan sederet model dan artis papan atas.”
Dia terdiam beberapa saat kemudian meringis sambil berkata, “Apa sesering itu?”
Dengan wajah sama meringisnya aku mengangguk, “Iya, sesering itu.” Membuatnya kembali meringis kemudian tersenyum. “Jadi, Bos, sebaiknya jangan bermain-main dengan hati seorang perempuan, terutama hati saya atau Bapak akan menerima karmanya.”
“Kalau karmanya secantik dan semenyenangkan kamu sih, aku akan dengan senang hati menerima itu.”
Aku kembali menganga kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Dasar player.”
“Hahaha, maaf … iya, aku janji tidak akan mengeluarkan jurus-jurusku kepadamu, deal?”
Aku terdiam beberapa saat menatapnya berusaha melihat kesungguhan di dalam matanya. “Oke, deal! Tidak ada taruhan lagi?”
“Tidak ada taruhan lagi,” ulangnya sambil tersenyum, yang membuatku ikut tersenyum.
“Dan sebaiknya kita makan sekarang atau sebentar lagi Bu Yessi akan menghubungi kemudian memarahi saya karena membiarkan Bos kesayangannya telat makan.”
Dia melihat jam tangannya. “Baiklah, kita istirahat sekalian shalat ashar.”
“Alhamdulillah ya Allah!” seruku sambil berbalik kemudian berjalan meninggalkan Pak Bos yang berjalan di belakangku sambil tertawa.
*****
Hari ke lima, seperti hari sebelumnya setelah sholat subuh aku bersiap untuk berjalan ke bukit belakang hotel, tapi dua hari ini aku menikmati matahari terbit dengan Pak Bos yang maksa ikut setelah aku bercerita tentang tempat itu.
“Sebentar,” ucapnya ketika dia membuka pintu kamar hotelnya yang berada persis di sebelah kamarku.
Sepertinya dia baru selesai sholat, dia melipat sejadah dengan wajah segar dan rambut sedikit basah bekas wudhu. Masyaallah, gantengnya pol-polan deh, seperti ada neon di belakang tubuhnya yang membuatnya terlihat bercahaya.
“Ayo!”
Aku menggelengkan kepalaku menyadari kalau tadi aku sempat terpesona dengan sosoknya yang baru selesai sholat subuh. Oh ayolah, siapa yang tidak akan terpesona melihat cowok ganteng, baik terus rajin sholat? Aku tidak munafik, tentu saja aku juga tertarik tapi aku tahu posisiku karena sayangnya cowok itu terlalu jauh dari jangkauan.
Ok, aku jelaskan tentang jauh dari jangkauan yang ku maksud. Aku hanya seorang staff resepsionis sedangkan dia adalah seorang direktur. Jadi jarak dari staff ke direktur itu terhalang oleh senior staff, supervisor, senior supervisor, asisten manager, manager, general manager, baru deh direktur. Ada 8 tingkat yang harus dilalui! Kalau dari ukuran jarak itu sama saja aku ada di posisi mili meter, nah si bos ada di posisi kilo meter, jadi biar posisinya sama harus dikali atau dibagi 1.000.000! Jauhkan, Munaroh!
Itu hanya dari segi posisi jabatan di kantor saja, belum lagi dari segi yang lain. Makanya dari pada nanti aku harus berdarah-darah karena sakit hati, lebih baik dari awal aku membentengi hatiku agar tidak jatuh cinta pada sang Pangeran.
“Kamu sering lihat matahari terbit kaya gini?” tanyanya ketika kami menikmati cahaya matahari yang perlahan mulai menghangatkan bumi mengusir kabut yang menyelimuti.
“Dulu, ketika masih kuliah beberapa kali saya ikut naik gunung sama teman-teman pencinta alam, tapi sekarang tidak ada waktu lagi.”
“Sibuk nyari buat cicilan si merah?”
“Hahaha, iya.”
Kami terdiam beberapa saat menikmati pemandangan subuh yang disuguhkan kota Takengon di atas ketinggian. “Indah bukan?”
“Iya, di Jakarta tidak ada tempat seperti ini.”
Aku mengangguk setuju. “Kadang kalau tugas malam pas lagi istirahat saya suka naik ke rooftop untuk menikmati pemandangan lampu-lampu kota. Itu lumayan bagus lho, Bos, apalagi pas lagi punya masalah tenang banget di atas sana. Udara dingin, pemandangan yang indah cukup bikin perasaan kembali tenang.”
“Asal jangan lompat saja.”
“Saya tidak seputus asa itu, Bos.”
“Hahaha.”
“Sepertinya hidupmu sangat menyenangkan, tak pernah ada masalah berarti dalam hidupmu.”
“Kata siapa, Bos? Semua orang pasti punya masalah masing-masing, punya tingkat kesulitan masing-masing. Allah akan memberikan cobaan sesuai kemampuannya … masa iya anak SD dikasih soal ujian anak SMA kan nggak mungkin, Bos.”
“Tapi kadang walau kita sudah SMA sekalipun kita belum tentu bisa menjawab soal-soal ujian itu.”
Dia berkata dengan mata menerawang ke arah danau yang kini sudah diterangi cahaya matahari, membuatku terdiam beberapa saat. Matanya yang biasa memancarkan sinar jahil ketika sedang menggodaku, atau serius ketika dihadapkan dengan pekerjaan, kini terlihat hampa, dan itu terlihatnya begitu sedih.
“Bukan tidak bisa, Bos, hanya saja kita belum menemukan rumus yang tepat untuk menjawabnya.” Dia mengubah posisinya menghadapku. “Nah, yang harus kita lakukan untuk bisa lulus tes adalah belajar, cari rumus yang tepat untuk menjawab soal-soal. Di sinilah pentingnya kita ikhtiar, kalau kita sudah berusaha ini-itu, tapi belum bisa menjawabnya kita tanyalah sama yang ngasih soal, minta clue jawaban yang benarnya. Kalau yang ngasih soal sudah lihat kita ikhtiar, usaha ini-itu, dan akhirnya minta jawaban dengan sunggung-sungguh pasti dikasih. Di sinilah kita perlu tawakal alias berserah diri, berdoa yang sungguh-sungguh minta jawaban dan jalan keluar dari segala masalah kita, pasti Allah kasih.”
Dia terdiam beberapa saat kemudian mengangguk kemudian tersenyum. “Aku jadi ragu, sebenarnya siapa yang lahir duluan di antara kita.”
“Makanya sekali-kali nonton Mamah Dedeh, jangan nonton Doraemon mulu.”
“Hahaha.”
Matahari sudah menampakan diri seutuhnya ketika kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Oh iya, aku belum membaritahu bagaimana sweetnya Pak Bosku itu. Dia masih membukakan tutup botol minumku, membukankan pintu mobilnya untukku, bahkan dia akan menjulurkan tangannya untuk membantuku melewati jalan yang terjal ketika kami di lokasi proyek atau seperti saat kami ke puncak bukit belakang hotel.
“Percayalah ini bukan jurus yang biasa ku gunakan untuk membuat para perempuan klepek-klepek,” ucapnya ketika aku memicingkan mata menatapnya yang berlaku manis.
“Jadi jurus apa yang biasanya digunakan untuk membuat perempuan klepek-klepek?” tanyaku sambil menyerahkan botol minumku untuk dia buka. Itu menjadi kebiasaanku ketika akan membuka minuman aku akan menyerahkan padanya yang tanpa bicara apapun langsung membukakannya untukku, kalau tidak dia akan mengambilnya langsung dari tanganku kemudian membukanya.
“Aku tak perlu melakukan apapun,” jawabnya sambil menyerahkan botol minumku. “Dengan tampang seperti ini dan nama Mahesa cukup untuk membuat perempuan manapun klepek-klepek … ah! Jangan lupa kartu ajaib tanpa limit.”
“Hahaha.” Aku tertawa terbahak-bahak mendengar kenarsisannya, yang sebenarnya itu memang benar. Tampang, penampilan dan kekayaannya cukup membuat perempuan dari kalangan manapun mengantre untuk bisa menjadi kekasihnya.
“Aku serius, karena itulah aku tak tahu apa ada perempuan yang benar-benar mencintaiku karena diriku sendiri bukan karena nama dan kekayaan orangtua.” Dia terdiam menghembuskan asap rokok kemudian menatap asap putih itu dengan mata kosong sebelum akhirnya sorot mata jahil itu kembali menatapku. “Kalau masalah tampang ini mah bonus dari Allah yang nggak bisa diganggu gugat lagi, dari orok udah cakep.”
Aku tersenyum mendengar candaannya walaupun ku tahu dia hanya berusaha menutupi kegalauan hatinya.
“Pasti ada yang akan mencintai kita apa adanya. Ya, walaupun tidak bisa kita pungkiri kalau bebet dan bobot seseorang itu seolah menjadi syarat utama dalam mencari pasangan, terutama buat para orangtua. Dan Bos memiliki itu semua.”
“Menantu idamanan banget ya?”
“Saya tidak akan menyangkal hal itu,” ucapku jujur membuatnya tertawa.
“Hahaha.”
“Tapi kalau menurut saya pribadi walaupun Bos bukan putra dari Rudi Mahesa, Bos masih bisa sukses kok. Dengan kepintaran dan sifat pekerja keras seperti ini saya yakin usaha apapun juga pasti akan berhasil.” Dia terdiam menatapku kemudian tersenyum. “Jadi, Bos, tenang saja di dunia ini pasti akan ada wanita beruntung yang bisa mencintai Bos apa adanya.”
Dia terdiam beberapa saat kemudian tersenyum. “Bagaimana dengan kamu, siapa laki-laki beruntung yang mendapatkan hatimu.”
“Hmmm … sayangnya laki-laki beruntung itu entah masih berada dimana sekarang, mungkin berada di belahan dunia lain sedang memersiapkan diri supaya menjadi imam yang baik untuk saya.”
“Atau mungkin sudah berada di sampingmu saat ini dan kamu sendiri yang sedang merubah dia menjadi lebih baik lagi.”
Aku terkejut mendengar ucapannya, beberapa saat kami hanya saling pandang sebelum akhirnya aku tertawa sambil menggelengkan kepala.
“Kenapa tidak, jodoh tidak ada yang tahu siapa tahu aku benar-benar jodohmu.”
Aku kembali tersenyum sambil meneguk air minumku hingga setengah. Kenapa tenggorokanku tiba-tiba terasa kering ya?
“Ya, memang jodoh tidak ada yang tahu, tapi saya terlalu mencintai hati saya, Bos. Saya tidak ingin hati saya terluka apalagi diumur sekarang, kayanya sudah bukan waktunya lagi kalau saya patah hati karena putus cinta.”
“Darimana kamu tahu kalau kita akan putus kalau misalnya jadiaan.”
Aku baru akan membuka mulutku ketika ponselnya berbunyi dengan nama Anggi terpampang di layar ponselnya membuatku tetawa.
“Hahaha, feeling tuh dia, Bos, takut pangerannya selingkuh sama Cinderella,” ucapku sambi tertawa dan berjalan lebih dulu menuju hotel.
Tentu saja aku tahu, tak perlu seorang peramal untuk melihat dimana hubungan kami akan berakhir kalau seandainya aku nekad menerima tantangannya.
****
Hari ke enam, Tuan Takeda sang calon investor dan tim datang ke Takengon untuk melihat lokasi resort, membuat kami seharian berada di proyek. Mempresentasikan langsung di lapangan tentang apa yang akan kami bangun di sana, dan diakhiri dengan penandatangan surat kerjasama dan investasi antara Caraka Benua Mahesa dan Tuan Takeda.
Hari ke enam selain terjadi hal yang penting, tapi juga merupakan hari terakhir kami di Aceh, yang artinya besok kami akan kembali ke Jakarta, kembali ke rutinitas seperti sebelumnya, kembali ke Kirana Az Zahra sang resepsionis dan Caraka Benua sang Direktur.
“Ah, rasanya antara bahagia dan sedih juga besok kita kembali ke Jakarta.”
“Sedih kenapa?”
“Karena tidak lagi bisa menikmati matahari terbit di bukit belakang hotel, tidak bisa lagi menikmati udara yang dingin dan segar, tidak bisa lagi menikmati matahari terbenam sambil menikmati secangkir kopi gayo, tidak—”
“Tidak bisa ditemani pria yang tampan yang menambah semua suasana itu menjadi memorable.”
Aku menatapnya sambil tertawa tak percaya dengan kepercayaan dirinya yang tinggi.
“Hahaha … sepertinya sangat beruntung sekali ya saya ini,” sindirku membuatnya tersenyum.
“Sangat beruntung,” ucapnya sambil menyeruput kopi hitam yang kental.
Saat ini kami baru selesai makan malam dan seperti biasa, setelah makan malam kami akan duduk di balkon kamar hotel menikmati hembusan angin, bertemankan secangkir kopi dan pemandangan langit malam Takengon yang bertabur bintang.
Jangan berpikiran macam-macam! Dia duduk di balkon kamarnya dan aku duduk di balkon kamarku. Bukankah sudah ku katakan kalau kamar kami bersebelahan? Jadi setiap malam selama seminggu ini kami akan duduk seperti ini sambil bercerita apa saja.
“Kamu masih mau berteman denganku kan sekembalinya kita ke Jakarta?” Saat ini dia bersandar di pagar balkon menghadapku yang duduk di kursi rotan yang ada di balkon.
Kami terdiam beberapa saat dengan mata saling mengunci sebelum aku mengangguk sambil tersenyum membuatnya ikut tersenyum.
“Dan satu lagi, di luar jam kerja tolong jangan panggil aku, Bapak, aku terlalu muda untuk menjadi ayahmu, dan jangan panggil Bos. Ingat di luar jam kerja kita berteman!”
“Hahaha, kebiasan, Bos.”
“Kitakan sudah berteman, jadi panggil Caraka saja, atau Benua seperti yang lain.”
Aku terdiam memikirkan sarannya kemudian meringis sambil menggeleng.
“Kenapa?”
“Bos, jarak umur kita itu bukan setahun dua tahun, tapi Bos sudah SD ketika saya dengan cantiknya lahir ke dunia, jadi tidak sopan rasanya kalau manggil nama.”
Dia terdiam kemudian mengangguk sambil tersenyum jahil. “Kalau begitu panggil Abang? Jangan deh kaya tukang siomay. Kakak? Jangan deh kaya SPG di mall-mall. Aa? Hmmm, nanti dikiranya anak buah Aa Gym. Mas? Ah, terlalu umum.”
“Hahaha, jadi mau dipanggil apa dong?”
“Apa ya?” Dia terlihat berpikir dengan serius membuatku tersenyum menatapnya.
“Sayang? Babe? Atau Honey juga boleh.”
“Hahahaha …” aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. “Atau seperti anak SD sekarang yang manggilnya Ayah-Bunda?”
“Boleh tuh, biar tidak kalah sama anak SD.”
“Hahahaha … iiih, geli.” Aku bergidik membayangkan panggilan sayang anak-anak zaman sekarang. Dulu ketika SD boro-boro tahu ayah-bunda, ayah-bundaan, yang ada umur segitu masih suka main masak-masakan sambil berantakin perabotan Mamah.
Dia ikut tertawa sebelum akhirnya kami kembali terdiam menikmati kopi yang kini mulai dingin.
“Ceritakan tentang keluargamu?”
“Saya sudah pernah cerita, giliran Bos dong yang cerita.”
“Tidak ada yang menarik tentang keluargaku.”
“Bos benar, saya sudah sering membacanya di majalah atau nonton di TV, dan sepertinya sudah khatam juga waktu baca profil perusahaan.” Dia mengaguk sambil menghembuskan asap rokok. “Kalau begitu cerita tentang masa remaja Bos saja.”
“Masa remaja? Tidak ada yang menarik tentang masa remajaku.” Dia menatapku sambil tersenyum dengan mata terlihat menerawang. “Waktu remaja boleh dibilang aku tuh bandel.”
“Bos, bandel? Seriusan?” Aku tak percaya menatapnya yang tertawa.
“Iya, dari mulai balapan liar, tawuran, pernah kulakukan.”
“Serius?” Aku menganga masih tidak percaya.
“Hahaha, serius, terus kamu pikir aku waktu remaja kaya gimana?”
“Ya … tipe-tipe ketua osis yang pintar, kesayangan para guru gitu.”
“Hahaha, para guru malah sudah kesal banget. Kalau bukan karena aku penyumbang medali olimpiade terbanyak dan ayahku bukan salah satu donatur terbesar, sekolah sudah mengeluarkanku dari dulu.”
“Hahaha, tidak terbayangkan.”
“Dulu aku benar-benar anak yang berengsek, beberapa kali ditangkap polisi karena balapan liar, tapi aku tak peduli karena tahu orangtuaku pasti akan membebaskanku kembali walau apapun kesalahan yang kulakukan, jadi ya … begitu deh. Namanya juga anak yang kurang perhatian dari orangtuanya, jadi ya, bagaimana caranya aku mencari perhatian itu walaupun dengan cara yang salah.”
Aku terdiam mendengarkannya yang tersenyum kecut sambil menghisap rokok kemudian menghembuskan asapnya pelan.
“Dari kecil hidupku sudah diatur. Berteman dengan siapa, nanti sekolah di mana, kuliah ambil jurusan apa, benar-benar dipersiapkan untuk meneruskan usaha keluarga, sampai … menikah dengan siapa.”
Dia kembali terdiam, matanya kini menatap langit malam yang bertaburkan bintang lebih banyak dari yang biasa ku lihat di langit Ibu Kota.
“Karena tahu hidupku telah diatur itulah aku bisa hidup semena-mena karena tahu orangtua tak akan mungkin membiarkan rencananya berantakan … miris bukan?”
Aku terdiam dan hanya tersenyum, karena tahu itu bukanlah suatu pertanyaan, tapi pernyataan yang dia buat sendiri.
“Aku bahkan baru belajar agama ketika kuliah di luar. Saat itu ada seorang teman dari Jerman, dia sangat gembira ketika mengetahui aku dari Indonesia dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Dia bertanya apa aku muslim? Aku jawab iya, karena berdasarkan KTP aku memang muslim, walaupun jarang sekali aku sholat apalagi ngaji. Matanya berbinar ketika mengetahui kalau aku seorang muslim, tanpa ragu dia memelukku dan mengatakan kalau aku saudara seimannya, setelah hari itu dia mengikutiku ke mana pun aku pergi berharap bisa belajar agama islam lebih dariku, padahal dari segi keimanan aku rasa dia lebih bagus dariku. Dia lebih rajin sholat daripada aku, lebih mengenal huruf hijaiyah dari pada aku.”
Dia terdiam sebentar untuk menghisap rokoknya kembali.
“Aku berkata jujur kalau ilmu agamaku masihlah sangat rendah tak ada yang bisa aku ajarkan padanya. Dia diam, tapi kemudian tersenyum sambil berkata kalau begitu kita belajar agama bersama-sama, jadi dari sanalah aku mulai belajar tentang islam.”
Aku tersenyum mendengar ceritanya.
“Hidayah itu datang tidak mengenal kapan dan dimana. Hidayah itu Allah turunkan untuk orang yang benar-benar ingin berubah dan Bos salah satunya. Mungkin kalau teman Bos yang orang Jerman itu ngajaknya ketika Bos masih SMA, yang ada tuh orang Jerman malah diajakin tawuran atau balapan liar.”
“Hahaha.” Dia tertawa sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Allah tahu waktu yang tepat ketika Bos dikira siap untuk berubah, maka saat itulah Allah menurunkan hidayah-Nya. Semua ada waktunya, Bos, waktu yang benar-benar tepat.”
Dia mengangguk-anggukan kepala sambil menyeruput kopinya.
“Bos, maaf nih ya, Bos, kalau saya tidak sopan, tapi saya penasaran banget, Bos tahu sendiri kalau saya penasaran saya tidak bisa menahannya.”
“Bukannya selama ini kamu memang sudah tidak sopan.”
“Ih, kapan saya tidak sopan?”
“Hahaha, kamu itu karyawan paling kurang ajar yang saya kenal.”
“Ckkk, bukan kurang ajar, Bos, tapi jujur … kalau yang lain kan iya-iya saja, manut gitu saja mungkin karena takut sama Bos, atau mau menjilat Bos.”
“Memang kamu tidak takut?”
“Kalau saya tidak salah kenapa takut, Bos kan orangnya baik banget.”
“Nah, itu kamu baru menjilat saya.”
“Hahaha, bukan menjilat, Bos, tapi jujur.”
Dia tertawa sambil menggelengkan kepala. “Mau nanya apa?”
Beberapa saat aku ragu, tapi aku tak tahan lagi aku benar-benar penasaran!
“Bos, tahu kalau Bos sudah dijodohkan dari dulu?”
Dia mengagguk. “Tahu,” jawabnya sambil menatapku.
“Terus kalau tahu kenapa Bos pacaran sama perempuan lain? Tunangan Bos tidak marah gitu lihat Bos sama perempuan lain?”
“Aku tidak tahu siapa yang dijodohkan denganku. Dulu Big Boss pernah bilang, aku boleh pacaran dengan perempuan lain asal jangan serius karena dia yang akan mencarikan perempuan yang akan menjadi istriku nanti, karena itulah aku sengaja berhubungan dengan banyak perempuan berharap siapapun yang dijodohkan denganku akan mengetahui kalau aku laki-laki berengsek jadi dia memutuskan perjodohan ini.”
“Dan … apa rencana itu berhasil?”
Dia meringis sambil menggeleng. “Tidak, salahku sendiri sih punya pesona yang begitu luar biasa jadi perempuan tak mungkin menolakku bahkan kalau aku berengsek sekalipun.”
“Hahaha.”
“Kecuali kamu, Kirana Az-Zahra, kamu perempuan pertama yang tak terpengaruh dengan pesonaku.”
“Hahaha.” Aku kembali tertawa sambil mengangguk. “Itu menunjukan kalau pesona Bos itu tidak secetar yang Bos kira.”
“Ckk ... kamu membuat kepercaya diri ku turun.”
“Hahaha, baguslah biar Bos tidak terlalu narsis.”
Dia berdecak sambil menyulut batang rokok keduanya. “Jadi katakan padaku apa yang membuatmu kebal terhadap pesonaku?”
Aku kembali tertawa sambil menggelengkan kepala. Ya Allah kenapa makhluk di hadapanku ini begitu narsis?
“Karena saya tidak menyukai lelaki kaya.”
“What? Seriously?” Aku kembali tertawa melihatnya menatapku tak percaya.
“Kenapa? Apa aneh ada perempuan yang tidak menyukai lelaki kaya? Ah! Yang perlu digaris bawahi adalah kekayaan yang diwariskan dari orangtuanya, ya... tipe-tipe Pangeran seperti, Bos.”
“Tapi kenapa? Aku pikir semua perempuan menyukai pria kaya.”
“Tidak denganku. Aku lebih suka lelaki pekerja keras yang sukses dengan kemampuannya sendiri.”
“Apa menurutmu aku tidak seperti itu?”
Aku terdiam kemudian mengangguk. “Bos adalah seorang pekerja keras dan juga berbakat, seperti yang saya pernah bilang, saya yakin kalau Bos bisa sukses dengan kemampuan Bos sendiri bahkan kalau itu tanpa dukungan dari orangtua, Bos.”
“Jadi apa yang membuatmu tidak tertarik denganku.”
“Hmmm … jujur?”
Dia mengangguk serius.
“Karena nama dan kekayaan orangtua Bos.”
Dia mengerutkan keningnya bingung.
“Dari cerita Bos saja saya sudah bisa mengambil kesimpulan kalau orangtua Bos adalah pengambil keputusan dan perencana dalam hidup Bos, dan saya tidak ada dalam rencana hidup Bos yang telah diatur oleh orangtua Bos. Dan pada akhirnya kalau kita benar-benar bersama. Bos, akan dihadapkan pada pilihan saya atau orangtua Bos? Dan saat itu tiba saya tahu siapa yang akan Bos pilih.”
Dia terdiam menatapku beberapa saat. “Bagaimana kamu tahu siapa yang akan aku pilih.”
“Karena Bos adalah anak yang berbakti pada orangtua, sebandel-bandelnya Bos, Bos tidak pernah menentang atau menolak kemauan orangtua walau itu menyakiti diri Bos sendiri.”
Dia masih terdiam menatapku dengan sebatang rokok di jarinya yang telah terbakar setengah.
“Kerena itulah dari awal saya sudah disuntik imun terhadap pesona Bos.”
Dia mendengus tertawa. “Apa hanya imun terhadapku saja?”
“Tidak, tapi imun terhadap semua Pangeran.”
Dia kembali terdiam menatapku penuh selidik. “Aku curiga, apa kamu pernah sakit hati oleh pria kaya?”
“Hahaha, tidak.”
Ya, memang bukan aku yang disakiti secara langsung, tapi itu pun menyakitiku secara tidak langsung dan sangat memengaruhi terhadap cara pandangku terhadap orang-orang kaya.
“Jadi, bagaimana tunangan Bos? Pasti cantik.”
“Kami belum bertunangan, dan … ya, dia cantik.”
“Baguslah, bukankah akan mudah untuk mencintai gadis cantik.”
Dia mendengus membuatku mengerutkan kening sambil menatapnya yang hanya diam sambil menghisap rokok dan menghembuskannya secara perlahan, terlihat menerawang dengan berbagai macam pikiran yang entah apa.
“Apa kamu benar-benar tidak merasakan apapun padaku? Oh, ayolah, masa sedikit saja tidak merasa ser-seran gitu kalau kita lagi berduan seperti sekarang ini.”
“Hahaha, sudah malam, Bos, saya tidur duluan.” Aku berdiri pamit.
“Hei! Jangan kabur, KIirana Az-Zahra, jawab dulu pertanyaanku.”
“Hahaha, selamat malam Bos.” Aku melambaikan tangan sambil masuk meninggalkannya yang ikut tertawa. Tak perlu ku jawab pertanyaan itu karena ku tahu dia hanya mencoba mengalihkan pembicaraan dengan bersikap jahil seperti biasanya.
Apa tidak pernah ada perasaan lebih ketika saat bersamanya?
Hmmm … entahlah, tapi ku rasa imunku sudah mulai menipis.
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!