Di dalam ruang hampa yang kosong dan gelap, dia menemukan dirinya, terperangkap tanpa bisa melihat apa-apa - tak bisa melakukan apa-apa, yang tersisa hanyalah kesadaran dirinya.
…
"Ha! Aku, siapa?" Oh, aku manusia."
Untuk waktu yang cepat, serpihan ingatan secepat kilat masuk, menyatu dalam kepalaku bagaikan sebuah pazel. Namun, tak ada yang memberikan informasi berguna.
"Meskipun begitu, Apa-apaan tempat ini? Aku tidak bisa melihat apapun, apa yang terjadi padaku? Apa aku sudah mati? Hah, kelihatannya aku memang sudah mati… aku sudah mati kan? Halo, Siapapun, seseorang, bisa tolong jawab pertanyaanku."
Dengan 50% rasa takut, dan 50% kebingungan, aku mencoba untuk mengingat sesuatu yang dapat berguna.
"Percuma, aku sama sekali tak bisa mengingat apa-apa."
Hanya berselang singkat setelah itu, tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikiranku.
"Ha!" aku sedikit terkejut. "Aku ingat, kalau tak salah namaku adalah Fuma. Tapi, kenapa hanya itu?"
Aku kembali berpikir.
"Oke, aku sudah tahu namaku, sekarang apa lagi?"
Memikirkan tentang apa yang sebetulnya terjadi padaku, sebuah suara bisikan terdengar - suara yang kecil, namun terdengar cukup berat.
"Bangun, bangun, bangun," bisik suara kecil itu berulang kali dalam kegelapan.
"Bangun? memangnya sekarang ini aku sedang tertidur?"
"Kalau tidak segera bangun, kau benar-benar akan merasakan yang disebut dengan kematian!" gertak suara kecil itu.
…
Seorang remaja yang berusia sekitar 17 tahun dengan rambut hitam pekat, mata sayu yang berwarna coklat, terbangun. Menemukan dirinya sedang menatap langit-langit yang sama sekali tak ia kenali.
…
Setelah tersadar, segera aku duduk dengan posisi salah satu tangan menopang tubuh bagian atasku - mataku berkeliling mencoba memeriksa sekitar, berusaha mencari tahu di mana, dan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Yah, walaupun aku sudah tahu itu akan percuma karena aku sama sekali tak mengingat apapun selain namaku.
"Apa yang sebenarnya terjadi oi? Aku juga tak mengenali tempat ini?" gumamku kebingungan.
Saat masih tenggelam dalam rasa kebingungan, tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang. Tak butuh kekuatan super untuk mengetahui diriku sedang dalam bahaya yang sangat besar.
Oi oi, apa-apaan para monster yang mengelilingiku ini?!
…
Sosok pertama adalah seorang monster berbadan besar dengan sebuah taring panjang hingga keluar dari mulutnya.
Sosok yang kedua juga seorang monster yang memiliki tubuh sedikit lebih besar dibanding monster pertama, wajah runcing serta lidah panjang keluar dari mulutnya.
Sosok ketiga, memiliki tubuh yang gemuk dan badan yang lebih kecil di banding monster lainnya. Tapi yang membuatnya menyeramkan adalah kapak besar yang digenggam kedua tangannya.
Memakai baju zirah serba hitam yang menutupi seluruh tubuh dan kepalnya, sosok ke-empat malah terlihat keren. Pandanganku tertuju pada pedang besar yang tersarung di punggungnya.
Terakhir adalah wanita yang mirip dengan seorang penyihir, memiliki tubuh yang seukuran dengan manusia normal, serta topi kecil biru kehitaman yang menutupi kepalanya.
…
Wanita penyihir ini terlihat tak terlalu menakutkan bagiku.
Saat aku berpikir sambil menatap penyihir tersebut dengan wajah tercengang, kurasa. Tiba-tiba saja penyihir tersebut berbicara dengan nada yang seolah sedang menggodaku, "Jangan meremehkanku meski aku memiliki tubuh yang lebih kecil dari yang lainnya, booocah," katanya tersenyum menatap ke arahku.
Aku sontak saja terkejut, "Apa kau bisa membaca pikiran seseorang?"
"Entahlah, menurutmu bagaimana?".
Tiba-tiba saja salah satu dari mereka berbicara memotong pembicaraanku dan wanita penyihir ini, "Sesese, siapa bocah ini? tiba-tiba muncul dengan lingkaran sihir aneh?" sahut monster yang memiliki lidah panjang.
Sihir? apa maksudnya? aku benar-benar tak menge-
"Sesese, bocah sialan, aku sedang bertanya kepadamu! Apa kau sedang mengabaikanku, ha?!" lanjut kesal monster berlidah panjang.
Aku langsung tersadar dari renunganku.
Meskipun terkejut, aku mencoba untuk tetap tenang dan menjawabnya dengan benar. "Aku tidak mengerti apa yang kau maksud dengan lingkaran sihir. Sebenarnya, aku juga tidak tahu kenapa bisa berada di sini."
"Sesese, bocah ini, boleh kubunuh?!" tanya monster berlidah panjang.
Apa-apaan montster ini? Bukankah aku sudah menjawabnya dengan benar?
"Jangan dulu," sela tiba-tiba monster yang mengenakan zirah berwarnah hitam. Dia menatapku dari dalam helm besinya. "Jangan bilang kau adalah mata-mata dari kerajaan Geomor?" tanyanya dengan aura intimidasi yang keluar dari tubuhnya.
Udara tiba-tiba menjadi berat.
Aku yang merasakan aura mencekam itu tanpa sadar menjawab pertanyaan yang di berikannya. "Aku bukanlah mata-mata, aku bahkan tak tahu apa itu kerajaan Geomor yang kau maksudkan," untuk sesaat tubuhku merinding tanpa sebab yang jelas.
Sebagai balasannya, dia berbalik, menatap wanita penyihir yang berada di sampingnya. "Bibi penyihir, katakan bocah ini berbohong atau tidak?"
Sang wanita penyihir tersenyum, menatap balik ke arahnya, "Siapa yang kau panggil bibi? Giro," tak mau kalah, sang wanita penyihir juga mengelurkan aura intimidasi.
Kelihatannya nama monster berziarah ini adalah Giro.
Seolah tak terganggu dengan aura intimidasi sang penyihir, Giro berbicara dengan biasa. "Jawab saja, dia tadi berbohong atau tidak."
"Aku tidak tahu dia mata-mata atau bukan, tapi yang pasti, dia tidak berbohong mengenai ketidaktahuannya tentang Kerajaan Geomor, kau puas?" jawab sang wanita penyihir setengah-setengah.
Di luar dugaan, dia membelaku.
Aku menatap sang wanita penyihir, "Terima kasih nona penyihir, jika kau bisa mendengarnya, aku berterima kasih padamu," batinku.
Penyihir itu hanya membalasku dengan sebuah senyuman hangat di wajahnya.
Sekarang, bagaimana caraku lolos dari situasi ini? Masalah utamanya adalah sang wanita penyihir, dia bisa membaca pikiran seseorang, dan saat ini pasti dia masih membaca pikiranku.
Tiba-tiba, terdengar suara dari atas.
Masuk ke dalam jangkaua pendengaranku, akupun menoleh ke arah suara itu, sebuah sosok yang masih terlihat samar-samar - yang sepertinya sedari tadi sedang mengawasiku.
Perlahan menampakkan sosoknya saat menuruni tangga, ketakutan menghampiriku. Sepasang kaki besar yang memiliki cakar tajam, badan yang lebih besar dari monster-monster yang lain, pedang besar yang menempel di punggungnya, dan kepala yang mirip dengan seekor serigala - aku belum menyebutkan mata merah menyalanya.
Tanpa sadar, kelima monster tadi berbaris dan membungkuk. Untuk aku sendiri? Aku hanya tercengang hingga monster besar tersebut tiba di hadapanku.
"Tidak peduli dia mata-mata atau bukan, dengan memasuki ruanganku tanpa izin, berarti dia sudah siap untuk mati!" Kata monster itu dengan suara keras dan berat.
Aku, untuk kesekian kalinya, lagi-lagi terkejut. Tanpa sadar, secara refleks tubuhku perlahan mundur dari sosok yang menyeramkan tersebut, tapi monster itu sudah mengayunkan pedang besarnya dari atas menuju ke arahku.
Aku benar-benar ketakutan. Aku ingin menghindarinya, tapi tubuhku tak dapat di gerakkan.
Apa aku akan mati? Aku pasti akan mati kan?
Aku menggelengkan kepalaku.
Di momen yang singkat ini, otakku bekerja lebih cepat dari biasanya.
Tetap tenang, pikir, pikir, berpikir! Bagaimana cara agar aku bisa selamat dari situasi ini? Di hadapanku terdapat sebuah monster besar yang akan membunuhku, tapi, melihat sifat kelima monster yang membungkuk, tak salah lagi dia adalah Raja di sini. Sekarang pikirkan, cara yang membuat Raja untuk menghentikan pedangnya adalah…"
"T-tunggu," kataku dengan susah payah, suaraku serasa tak mau keluar.
kejadian selanjutnya? Tak diduga monster tersebut menghentikan pedangnya yang sudah menyentuh rambutku.
"Ada apa bocah?!" tanya monster itu.
Aku sadar ini mustahil, tapi aku tidak bisa memikirkan cara yang lain.
Membulatkan tekad, mulutku terbuka, "Aku ingin menantangmu BERDUEL!" Aku berhenti sejenak. "Jika aku menang, kau harus melepaskanku, dan jika kau yang menang, kau bebas melakukan apapun padaku."
"Kenapa aku harus menerima tantangan bodohmu itu? Tanpa berduel pun aku bisa melakukan apapun terhadapmu," kata monster itu.
Oke. Semuanya masih berjalan lancar, sang penyihir juga terlihat tak akan ikut campur. Kalau begitu, sekarang tinggal menciptakan sebuah situasi dimana dia tak bisa menolak tantanganku.
Dengan wajah yang tersenyum dan penuh percaya diri, aku mulai berbicara, "Apa kau takut bertarung dengan seorang bocah yang tak bersenjata di wilayahmu sendiri?" kataku meremehkan.
"Hooh, Kau bocah yang lumayan berani. Tapi, asal tahu saja kau hanya memperlambat waktu kematianmu," monster itu berhenti sejenak. "Satu hal lagi, cara kau memancingku untuk berduel, tidak buruk juga," dia tersenyum sambil menaruh pedang besarnya kembali ke punggungnya.
Ternyata monster ini lebih pintar dari kelihatannya.
Tiba-tiba Sang Raja Monster berteriak dan memberikan perintah kepada bawahannya. "Siapkan pelindung! Dan juga, beri bocah ini sebuah senjata."
"Baik!" jawab serentak kelima monster yang ada di dekatku.
…
Aku diberikan sebuah pedang oleh Giro, berselang singkat setelah itu, Giro pergi menjauh di ikuti oleh ke-empat sosok lainnya. Para monster itu kecuali sang penyihir pergi ke setiap sudut ruangan, ketika mereka sampai di posisi masing-masing.
"Terwujudlah, pelindung maha kuat!" dan itulah yang mereka katakan.
Hei hei, apa-apaan lelucon ini? Pertujukan drama?
Aku ingin tertawa namun aku masih ketakutan.
Ke-empat monster itu mengucapkannya secara bersamaan dengan salah satu tangan mereka yang menyentuh lantai, tiba-tiba cahaya muncul dari tempat yang di sentuh oleh tangan mereka.
Dinding tipis transparan mulai terbentuk dari 4 sudut ruangan - tempat setiap monster itu berada, perlahan mulai menyatu satu sama lain, hingga akhirnya membentuk sebuah ruangan berbentuk persegi.
Tak sampai di situ, sang penyihir menyentuh dinding itu dari luar, tiba-tiba dindingnya berubah warna menjadi merah.
Setelah mengamati sekitar, aku kembali menatap Sang Raja Monster yang saat ini berada di depanku dengan jarak di antara kami kira-kira 3 meter. Aku dan dia sudah berada tepat ditengah-tengah ruangan, mengambil posisi bertarung kami masing-masing, pertanda pertarungan akan segera di mulai.
Di dalam dinding ruang pelindung transparan yang berwarna merah, aku dan Raja Monster berdiri saling berhadapan dengan tatapan tajam satu sama lain.
"Sebelum kita bertarung, ada hal yang ingin kutanyakan padamu?" kataku, "Kau yakin para bawahanmu itu akan melepaskanku setelah aku mengalahkanmu?"
Jangan sampai setelah aku menang, hal yang tak diinginkan terjadi. Sedia payung sebelum hujan.
"Bocah, apa kau sedang menghinaku?" balas kesal monster itu.
Apa yang di bicarakan monster ini? Menghina?
Berkat perkataannya, aku hanya terdiam sambil memasang wajah yang kebingungan.
"Dengar baik-baik bocah sialan, walaupun penampilan kami seperti ini,"
Penampilan tak ada hubungannya bukan? Atau mungkin ada? Dan juga, jangan memanggilku bocah paman monster, namaku Shi- Fuma, Fuma!
Potongan ingatan yang sesekali masih muncul, sedikit menggangguku.
"…aku adalah orang yang tidak pernah mengingkari janjiku, tidak seperti kalian para manusia yang dengan mudahmya mengingkari janji kalian. Jadi, tidak perlu khawatir, bawahanku pasti akan melepaskanmu. Itupun jika kau berhasil menang."
Benar juga…
Tanpa sadar aku sedikit tersenyum, menyadari peluang kemenanganku yang di bawah rata-rata.
"Bocah, cepat sebutkan namamu!"
"Fuma?"
"Ragnarok! itu adalah namaku."
Oh, nama yang ba-
"Duel Dimulai!"
Tepat setelah monster yang menyebut dirinya Ragnarok mengatakan itu, dia melompat dari tempatnya, menerjang ke arahku.
Serangannya di buka dengan dengan sebuah pukulan uppercut yang membuatku seketika terlempar cukup keras ke belakang.
Sial! Aku bisa melihat serangannya tapi…tubuhku tak bisa merespon dengan baik.
Dengan sedikit bersusah payah, aku berusaha berdiri kembali.
Ragnarok dengan cepat kembali berlari ke arahku, melancarkan pukulan menyamping dengan tangan kanannya.
Terlihat, tapi…
Bukk! atau apapun bunyinya.
Aku lagi-lagi terlempar.
Dengan posisi yang masih terbaring, terlihat Ragnarok tak menunggu dan segera berlari menuju ke arahku, lagi.
Ragnarok melompat, membuatnya berada di atasku dengan kedua kaki besarnya, berusaha menginjakku. Aku yang masih dalam posisi terbaring memaksakan tubuhku untuk bergerak.
Bergeraklah tubuhku! Siaal!
Lantai bergetar, suara retakan terdengar ketika kaki Ragnarok mendarat di atasnya.
Aku berhasil menghindari serangan itu dengan menggelindingkan badanku ke arah samping.
Fiuh, tadi itu hampir saja.
Sibuk mengeluh, sebuah pukulan dengan cepat mengarah ke wajahku.
Bergerak, ayo bergerak tubuhku!
Entah kenapa, aku dapat melihat serangan Ragnarok. Secara refleks menunduk dan melangkah ke depan, aku menghindari pukulan itu. Tak menunggu lama, aku melancarkan serangan balasan dengan melompat dan melesatkan sebuah pukulan menggunakan tangan kiriku - pukulan yang mengarah ke wajah Ragnarok.
Bukk!
Pukulanku mengenai wajah-
Eh?
Ragnarok tak bergeming sama sekali, menyadari hal itu, segera setelah mendarat aku dengan cepat melompat ke belakang untuk menjaga jarak aman.
"Lumayan," kata Ragnarok dengan gabungan nada santai dan meremehkan.
Ragnarok mengeluarkan pedang besarnya.
Woi, melawanmu tanpa menggunakan senjata sudah merepotkan asal kau tahu.
Tanpa basa basi, serangan pertama pedang Ragnarok mengarah kepadaku, sebuah ayunan pedang dari arah kanan tepat mengincar leherku.
Gawat!
Tanpa pikir panjang, aku langsung membungkuk dengan tangan kiri menopang beban tubuhku. Angin yang cukup kencang berderu, di sebabkan ayunan pedang besar Ragnarok yang melewati atas kepalaku. Untuk sesaat, aku merasakan sesuatu menjalari tulang sumsumku, membuatku merinding tanpa alasan yang jelas.
Bahaya. Apa aku sedang ketakutan? Yah sudah pasti aku ketakutan bukan?
"Glek."
Aku menelan ludahku sendiri.
Sadar bahwa satu serangan saja yang mengenaiku sudah cukup untuk membuatku terbunuh. Dengan kaki dan tangan kiriku sebagai tumpuan, aku melompat ke belakang - dengan cepat membuat tubuhku kembali seimbang tepat setelah mendarat sambil bersiap menerima serangan selanjutnya dari Ragnarok.
Keringat mengalir dari pelipisku, turun ke wajah dan akhirnya menetes ke lantai melalui daguku. Tepat setelah itu, Ragnarok melancarkan serangan keduanya, ayunan pedang dari atas, siap membuat tubuhku terbelah menjadi dua bagian.
Aku bergeser ke samping untuk mengindari serangan tersebut, lantai retak akibat serangan yang tak mengenai sasaran itu.
Tapi tak sampai disitu, Ragnarok langsung memutar tubuhnya, mengayungkan pedangnya ke belakang, dan membuat serangan dari arah sebaliknya, aku yang tak mengira serangan itu sadar tak dapat menghindarinya.
"Tch!"
Suara dentingan terdengar saat kedua pedang kami saling berbenturan.
Tapi di luar dugaan, aku terlempar cukup jauh ke samping akibat tak kuat menahan kekuatan ayunan pedang besar Ragnarok.
Aku berusaha untuk berdiri kembali, namum tangan kananku masih gemetar akibat menahan serangan barusan.
"Hahh… hahh… hahh," aku berusaha mengatur kembali nafasku yang sudah semakin menipis.
Sial! Aku tak menyangka perbedaan kekuatan kami akan sebesar ini.
Yang bisa kulakukan saat ini hanya menatap dengan kewaspadaan penuh padanya.
…
Nafas yang tak beraturan, wajah yang penuh dengan keringat, tangan yang gemetaran, mungkin itulah kondisiku saat ini.
"Hooh, kau memiliki tatapan yang bagus," kata Ragnarok, "Akan kuubah tatapanmu itu menjadi tatapan keputusasaan!"
Apa dia baru saja memujiku?
Tanpa memberi waktu lebih banyak kepadaku untuk beristirahat, Ragnarok langsung berlari ke arahku untuk melancarkan serangan berikutnya. Kanan, kiri, atas, bawah, serangan demi serangan terus menghujaniku tanpa henti. Aku yang belajar dari kesalahan tadi, hanya berusaha berlari dan terus menghindari serangan demi serangan dari Ragnarok.
Meskipun begitu, ada yang terasa menjanggal, seiring berjalannya pertarungan, serangan Ragnarok semakin lama semakin cepat dan kuat, akupun semakin tak bisa mengimbangi gerakannya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Serangan monster ini semakin cepat dang kuat seiring berjalannya waktu.
Menghindari tebasan pedang yang datang, aku menunduk, dan dengan nafas yang terengah-engah melompat ke belakang untuk sekali lagi menjaga jarak.
Tidak, bukan itu! bukan serangannya yang bertambah cepat dan kuat, tapi staminaku yang semakin lama semakin berkurang. Bukan hanya dari segi kekuatan, aku juga kalah dari segi daya tahan kah? Sekarang apa yang harus kulakukan?
Pertarungan masih saja berlanjut dengan Ragnarok yang mendominasi, aku masih saja terus berlari dan menghindar, membuat staminaku semakin lama semakin berkurang.
Aku tidak boleh terus seperti ini!
Tak butuh waktu lama, pertarungan yang monoton di antara kami akhirnya berubah dengan aku yang melakukan kesalahan. Atau setidaknya mungkin itulah yang terlihat.
Saat aku mencoba menghindari serangan Ragnarok yang berikutnya, aku kehilangan keseimbangan kakiku, membuatku mulai terjatuh kebelakang, Ragnarok yang melihat itu tak menunggu lama langsung mengayungkan pedangnya dengan sekuat tenaga dari arah atas.
Ha, ini dia, aku hanya bisa memasang senyum kecil dan menerima kematianku dengan bahagia.
…
Bercanda.
Aku menggunakan pedangku untuk menopang tubuhku yang hampir terjatuh, setelah itu segera mengambil momentum dan menghindar, dalam sekejap mata keadaan menjadi terbalik.
Kesempatan emas!
Aku langsung mengayungkan pedangku menuju leher Ragnarok yang sedang berada dalam jangkauan.
…
Darah menetes kelantai menandakan seranganku yang berhasil mengenai sasaran.
Tch! Gagal kah?
Tanganku bergetar hebat selagi aku memperkuat genggaman tangannku.
Tebasanku memang berhasil mengenainya, tapi serangan itu mengenai lengan kiri Ragnarok, bukan lehernya.
Sebelum seranganku tadi mengenai lehernya, Ragnarok dengan cepat melompat ke belakang, membuat lehernya selamat tapi lengan kirinyalah yang menjadi korban.
Jika bertanya padaku, itu adalah tebasan yang cukup dalam, tapi tak sampai membuat lengan Ragnarok terputus, aku gagal mengambil kesempatan emas barusan - kesempatan yang tidak akan terjadi untuk kedua kalinya.
"Kelihatannya aku terlalu meremehkanmu bocah," sahut Ragnarok menaruh pedangnya di punggungnya. "Siapa sangka kau akan berpura-pura kehilangan keseimbangan untuk membuatku lengah. Tapi, bukan itu yang membuatku terkejut. Kau yang mampu memikirkan sebuah rencana meskipun dalam situasi yang sesulit tadi, aku saja mungkin tak bisa melakukannya," dia memujiku.
Termakan pujiannya, akupun membalasnya. "Kalau soal itu, terima kasih."
"Karena itulah! Aku akan melawanmu dengan serius kali ini, sebaiknya kau bersiap bocah!" tegas Ragnarok memegang pedang dengan kedua tangannya.
Jadi dia belum serius? Dan juga, apa tangannya tidak sakit sama sekali?
Ragnarok kembali berlari menuju ke arahku, tapi gerakannya sudah tak secepat tadi, itu mungkin karena lengan kirinya yang terluka.
Aku yang bisa di bilang sudah terbiasa dengan serangan super cepat Ragnarok tadi, dapat menghindarinya dengan cukup mudah, bahkan aku juga sempat melancarkan beberapa serangan balasan, meski tak ada satupun yang mengenainya hingga saat ini.
Pertarungan antara aku dan Ragnarok masih terus berlanjut, dan sepertinya sebentar lagi mencapai puncaknya. Ragnarok menyerangku dari bawah, akupun menghindarinya dengan melompat ke atas, tiba-tiba membuka mulutnya, perlahan di dalam mulut Ragnarok muncul sesuatu yang menyala.
Aku merasa hal yang buruk akan segera terjadi.
Dengan cekatan aku mendarat di atas pedang Ragnarok yang masih terayun, menggunakannya sebagai pijakan untuk melompat ke belakang.
Tak butuh waktu lama firasat burukku menjadi kenyataan, sebuah semburan api yang cukup besar keluar dari mulut Ragnarok.
Jika tadi aku tidak segera melompat kebelakang , mungkin sekarang aku sudah hangus terbakar - mungkin kataku.
Jadi itu yang dia maksud melawanku dengan sungguh-sung-
Tiba-tiba Ragnarok sudah berada tepat di depanku, dia menggunakan api tadi untuk menutupi pandanganku terhadap dirinya, ayunan pedang besar dari bawah ke atas menyerangku.
Gawat! Aku tak akan sempat menghindarinya!
Tanpa berpikir lebih lama lagi, aku menggunakan pedangku untuk menahan serangan Ragnarok, dan kejadian selanjutnya sudah tertebak.
Aku terlepar jauh ke belakang sampai akhirnya menabrak dinding pelindung, kepalaku terbentur dengan sangat keras hingga aku dapat merasakan darah keluar dari sana, pedang yang kugunakan patah, kepalaku mulai terasa pusing, perlahan, pandanganku mulai kabur, tak lama setelah itu, aku tak sadarkan diri dengan tangan yang menggenggam pedang patah. Kurasa.
Pemandangan pertama yang aku lihat saat tersadar - aku sudah berada dalam sebuah ruangan yang gelap, di depanku terdapat sebuah bola hitam kecil yang mengambang seakan tak terpengaruh oleh yang namanya gravitasi.
"Aku, di mana? Apa yang terjadi padaku?
…
"Ah aku ingat, kepalaku berdarah akibat terbentur di dinding dan tak sadarkan diri setelah itu. Aku pasti sudah mati di bunuh oleh monster sialan itu. Sial! Padahal kupikir aku sudah bisa menang melawannya!" aku membuat mataku berkeliling, "Jadi ini yang di rasakan seseorang setelah meninggal huh? Sangat berbeda dari bayanganku selama ini."
Kesunyian yang berkuasa di ruangan ini seketika lenyap oleh suara yang tiba-tiba terdengar. Suara yang entah datang dari mana - suara yang tidak asing bagiku. Entah kenapa, aku serasa pernah mendengarnya, tapi di mana?
"Kau belumlah mati, dan kau juga belum kalah dalam duel itu. Sekarang ini, tubuhmu sedang tak sadarkan diri, dan sebentar lagi akan dihantam oleh monster yang kau lawan dalam duel, kurasa," kata suara misterius itu.
"Siapa? Tunjukkan dirimu! Jangan menjadi seorang pengecut!" teriakku merasa sedikit panik.
"Menyebut dirimu sendiri dengan sebutan pengecut, kau benar-benar bodoh ya? Aku sekarang berada tepat di depanmu," jawab suara misterius itu.
"Maksudmu kau adalah bola hitam kecil itu?"
Aku memfokuskan pandanganku ke arah bola hitam itu.
"Ya, itu aku."
"Hmm, jadi begitu. Aku punya banyak pertanyaan untukmu… apa ya-?"
"Kau tidak punya banyak waktu sekarang, aku akan menjawab semua pertanyaanmu setelah kita bertemu lagi nanti. Untuk sekarang, dengarkan dan ingat baik-baik yang aku akan katakan. 'kau bisa menggunakan sihir', cukup bayangkan saja, maka sihirmu akan muncul dengan sendirinya. Nah, sekarang cepat bangunlah!"
"Hah? Tunggu dulu, aku belum sele-"
Bola hitam kecil itu perlahan mulai menghilang dalam pandanganku. Seketika aku menjadi sadar kembali dengan Ragnarok yang sudah berada di depanku
Wuuuss!
Pedang besar Ragnarok sudah terayun.
Awas saja jika kau berbohong bola kecil sialan! Aku bisa menggunakan sihir, aku bisa menggunakan sihir, aku bisa menggunakan sihir!
Aku terus mengulang kata-kata itu didalam pikiranku.
Bayangkan, bayangkan, bayangkan!
Suara dentingan terdengar.
Pedang Ragnarok tiba-tiba terhenti oleh sesuatu yang berbentuk seperti akar pohon yang menggeliat menahan serangan tersebut.
Memasang wajah kebingungan, Ragnarok memutuskan melompat ke belakang untuk menjaga jarak.
Aku sendiri juga masih terkejut, saat ini tubuhku sedang di kelilingi oleh aura hitam, lantai tempatku berdiri juga berubah menjadi hitam, dan dari situ muncul sesuatu yang bergerak menggeliat, mirip dengan sebuah akar pohon atau malah tentakel gurita? Unjung dari benda ini sangat runcing dan berwarna hitam.
…
Penyihir yang ada di luar dinding pelindung itu ikut terkejut, sementara ke-4 monster lainnya? Mereka hanya terdiam, itu kerena mereka menutup mata dan berusaha berkonsentrasi agar pelindungnya tidak rusak.
Dengan wajah terkejut wanita penyihir itu berkata, "Itu! Sihir kegelapan?! Bukan, sihir kegelapan tak seperti itu, berarti sihir itu adalah… banyangan? Ya! Tidak salah lagi, itu sihir bayangan! Aku tak pernah menyangka bisa melihat sihir bayangan yang disebut-sebut sangat langka di tempat seperti ****ini****."
Sementara di dalam dinding pelindung, pertarungan yang sebenarnya baru saja akan di mulai.
…
"Jadi ini yang namanya sihir huh?" tanyaku pada diriku sendiri selagi menatap tanganku yg dipenuhi aura berwarna hitam, "Jika yang dikatakan bola hitam kecil itu benar, maka…"
Salah satu dari bayangan hitam berbentuk akar pohon di sekitarku tiba-tiba memanjang menuju ke arah Ragnarok.
Ragnarok yang melihat itu terlihat tak terkejut sama sekali. Dia menggunakan lebar pedangnya untuk menahan serangan bayanganku. Tapi, tepat sebelum membentur pedang Rangnarok, Aku membuat bayangan hitamku berhenti dan sedikit merubah arahnya menuju ke bawah, kemudian langsung menusuk kaki kanan milik Ragnarok.
"Argghhh!"
Suara teriakan besar terdengar dari Ragnarok, dengan cepat dia menyemburkan api dari mulutnya dan membakar bayangan yang menyerang kakinya.
Bayanganku terbakar dan segera menghilang, Aku yang melihat itu sedikit terkejut.
Bayangan dapat dibakar oleh sebuah api? Seharusnya tidak kan?!
Membuang jauh pikiranku itu, aku memilih untuk fokus pada pertarunganku saja.
Lupakan semua hal yang tidak penting, diriku.
Ragnarok yang sekarang bukannya marah ataupun kesal, dia malah tersenyum puas dan kelihatan mulai bersemangat.
"Oi bocah, sebutkan namamu sekali lagi?" tanya Ragnarok.
"Fuma?" jawabku kebingungan.
"Baiklah Fuma! Antara Elemen Bayangan milikmu, atau Elemen Api milikku, kita lihat mana yang lebih kuat!"
Tiba-tiba udara di dalam ruangan ini berubah menjadi lebih panas dari sebelummya, aura merah keluar dari tubuh Ragnarok, matanya juga tiba-tiba berubah menjadi kobaran api, tak sampai di situ, pedang besarnya mulai di selimuti aura merah yang terlihat panas.
Tak ingin di desak seperti sebelumnya, aku menyerang Ragnarok lebih dulu. Kali ini bukan hanya satu, tapi empat bayangan berujung runcing mengarah ke Ragnarok. Tapi Ragnarok sudah tak di posisinya tadi, saat sadar, aku sudah terlempar akibat tebasan pedang Ragnarok, membuatku sekali lagi terbentur cukup keras di dinding pelingdung.
Meringis kesakitan, aku berusaha untuk segera bangkit.
Tubuhku masih terhubung satu sama lain, mungkin itu karena aura hitam yang menyelimutiku. Tapi tetap saja aku merasa kesakitan, dan bagian tubuh yang terkena serangan Ragnarok tadi terasa seperti sedang terbakar.
Aku berusaha untuk bangkit kembali, namun Ragnarok tak membiarkannya, sebuah tebasan dari atas menghantam tubuhku, membuat lantai di bawahku hancur berkeping-keping.
"Ugh!" Sekali lagi, aku meringis kesakitan.
Belum puas, serangan Ragnarok belum selesai, setelah tubuhku terbentur di lantai, dia menendangnya dengan sangat keras, membuatku terlempar sekali lagi.
"Ah! Sakit, sakit, benar-benar sakit! Sial! Kenapa setiap kali aku berfikir akan menang, akhirnya selalu seperti ini?" aku mengeluhakan itu dalam pikiranku.
...----------------...
Kondisi tubuhku saat ini benar-benar buruk, aku kesulitan untuk bernafas, pendarahan di kepalanku semakin parah, di tambah tubuh yang penuh dengan luka bakar, pandanganku juga sudah mulai buram, sebentar lagi mungkin aku sudah tak sadarkan diri.
"Aku sudah muak dengan akhir seperti ini, kali ini akan kupertaruhkan semua yang kumiliki pada serangan berikutnya!" gumamku sambil berusaha untuk berdiri kembali.
Setelah berhasil berdiri, seluruh aura hitam yang menyelimuti tubuhku perlahan menghilang, semuanya berkumpul pada pedang patah yang masih berada di tangan kananku. Pedang yang tadinya berwarna putih, kini berubah menjadi sebuah pedang yang memancarkan aura hitam pekat.
Seakan tak mau kalah, Ragnarok yang melihat itu juga melakukan hal yang sama, seluruh aura merah yang mengelilingi tubuhnya menghilang, pedangnya sekarang juga diselimuti aura merah menyala.
"Ini akan menjadi serangan penghabisan! Mari kita lihat sihir Element siapa yang lebih kuat!" teriak Ragnarok.
Aku dan Ragnarok sekarang tidak memiliki pertahanan apapun, keheningan sesaat terjadi di ruangan persegi, sampai…
"Kemari!" teriak Ragnarok
"Haaaaaaa!"
Aku tak berteriak, hanya Ragnarok.
Berlari menuju ke arah satu sama lain, Aku dan Ragnarok saling mengayungkan pedang kami.
Suara dentingan pedang lagi-lagi terdengar, hempasan angin yang kuat tercipta setelahnya, saat kedua pedang kami saling berbenturan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!