NovelToon NovelToon

Our Destiny : Your Eyes

Pertemuan

...Aku tidak tahu apa itu cinta....

...Tapi ketika aku menatap matamu,...

...aku menyadari sesuatu yang hangat dalam hatiku....

Sore yang cerah di salah satu kota kecil yang terletak di Prancis.

Ditengah dedaunan yang gugur, Morgan berjalan melintasi ruangan musik setelah sekolahnya selesai. Ruangan musik yang jarang digunakan karena telah ada yang baru didekat aula sekolah.

Morgan mendengar sebuah nyanyian yang lembut dari seorang wanita ditengah ruangan musik.

Dengan rasa penasaran, Morgan lalu mendekat dan mengintip dari celah pintu masuk dan menyaksikannya bernyanyi,

"I love the way you carrying me through the snow.

The blue light illuminating your face.

I found myself when I fall in love with you ...."

Nyanyiannya tiba-tiba terhenti karena dia sepertinya sadar bahwa Morgan sedang menyaksikan dirinya bernyanyi dari celah pintu masuk yang berbunyi saat pintunya terbuka sedikit.

Menyadari dirinya sudah ketahuan, Morgan melarikan diri sejauh mungkin.

Namun Morgan senang telah mendengar seseorang bernyanyi sebagus itu.

Setelah kejadian itu, Morgan berhasil mengingat wajah gadis itu dengan baik.

Morgan berusaha memerhatikan dan menjaga gadis itu dari kejauhan hingga meneliti apa yang disukai gadis itu.

Keesokan harinya setelah pulang sekolah,

Morgan melihat gadis itu menjatuhkan pulpennya didekat pagar sekolah ketika gadis itu berlari memasuki mobil orang tuanya.

Morgan mendekat dan melihat pulpennya bergambar King Julien sehingga Morgan tahu apa yang disukai gadis kesukaannya.

*****

Morgan memandang kearah langit yang begitu suram, mungkin akan turun hujan. Morgan memutuskan untuk pergi ke sebuah toko yang jaraknya cukup jauh dari sekolahnya untuk membeli sebuah payung, berjaga-jaga jika gadis yang disukainya tidak membawa payung, karena sebelumnya Morgan melihat gadis itu menunggu di perpustakaan yang akan tutup sebentar lagi.

Ketika Morgan dalam perjalanan kembali ke sekolahnya, hujan deras yang diprediksinya akhirnya turun juga.

Langkah demi langkah ditempuh Morgan hanya untuk memberikan seorang gadis yang disukainya sebuah payung, lengkap dengan kurikatur favoritnya, King Julien.

Morgan berlari dan terjatuh berkali-kali sehingga membuat lutut dan sikunya terluka.

Namun Morgan tetap berlari dan ingin memberikan payung itu pada gadis yang disukainya.

Moergan melihat gadis itu duduk seorang diri di teras perpustakaan yang telah tutup.

Akhirnya Morgan tiba didepan gadis itu. Morgan langsung meyodorkan payung kepada gadis itu.

Setelah Morgan tahu bahwa gadis itu sudah memegang payungnya, Morgan berlari kembali menembus derasnya hujan dengan badan yang terluka.

Morgan memandang kearah belakang, dan melihat gadis itu malah mengejarnya, "jangan mengejarku, gunakanlah payung itu." Morgan berteriak dari jauh.

Dan ya, nampaknya gadis itu baru melihat kearah payungnya dan berhenti berlari.

Dengan perasaan senang dan gembira, Morgan kembali kerumahnya yang berjarak 30 menit berlari dengan menembus derasnya hujan.

Morgan tiba dirumahnya yang cukup kecil. Setiap kali hujan deras, rumah Morgan selalu saja terkena banjir setinggi mata kakinya.

Namun Morgan tidak pernah mengeluh dan selalu bersyukur.

Morgan merasa bahwa hari itu adalah hari yang terbaik, hari dimana perasaannya terungkap bukan dengan satu katapun, namun dengan pembuktian dan kepedulian.

Hari-hari berlalu, sejak kejadian saat hujan waktu itu, dirinya dan gadis itu sering berpapasan dari kejauhan ketika berada disekolah dan melemparkan senyuman malu.

Morgan adalah seorang anak SMA yang memiliki hobi menulis, entah itu menulis novel, menulis lagu, menulis buku hariannya.

Hari-hari Morgan dihabiskan dengan menulis disudut perpustakaan sekolahnya.

Suatu saat ketika Morgan mengarahkan pandangannya ke sudut lainnya didekat sebuah pot bunga, Morgan melihat gadis yang disukainya sedang duduk disana juga.

Hati Morgan jadi berbunga-bunga dan bahagia setelah melihatnya.

Bahkan ketika Morgan mendengar dirinya bernyanyi diruangan musik, Morgan sengaja selalu menemaninya dibelakang pintu masuk.

Sepertinya gadis itu tahu akan keberadaan Morgan dan menerima hadirnya Morgan disana bersamanya.

Morgan secara diam-diam mengambil alat perekam milik Ayahnya dan merekam suara gadis itu dari kejauhan. Meskipun hasil rekamannya kurang bagus, namun suaranya yang indah tetap dapat terdengar jelas.

*****

Pengunguman kelulusan telah tiba bagi angkatan Morgan dan gadis itu.

Morgan meninggikan pandangannya dan melihat gadis itu ditengah kerumunan.

Morgan melihat gelang ditangannya dan ingin memberikan gelang buatannya sendiri kepada gadis itu, gelang yang sama yang ada pada tangan kirinya.

Morgan menembus kerumunan dan mencari ditempat gadis itu berada sebelumnya, dan tiba-tiba Morgan sudah berdiri didepan gadis itu.

Bayangan mata rose dan rambut golden berdiri didepannya tersenyum.

"Hai, aku Morgan Collins. Aku telah membuat sebuah gelang untukmu, pakailah dan kau pasti terlihat cantik. Oh iya, ada sesuatu yang ingin kusampaikan, namun tidak disini, aku akan menunggumu hari ini di jembatan Lyons," ucap Morgan kepada gadis itu dan menyodorkan gelang yang ada ditangannya kepada gadis itu.

Gadis itu terlihat tidak terlalu mendengar apa yang Morgan katakan karena keramaian disana.

Namun Morgan yakin dia pasti mendengar kalimat terakhirnya dengan jelas.

Sebelum gadis itu berkata-kata, Morgan dengan polosnya berlari menjauh darinya menembus kerumunan siswa yang sedang bersorak gembira merayakan kelulusannya.

Akhirnya sorakan itu telah usai dan semua siswa dipulangkan. Morgan mempersiapkan dirinya berpakaian rapi dengan sebuah bunga ditangannya hanya untuk bertemu gadis kesukaannya.

Morgan berlari sekuat tenaga ke jembatan Lyons didekat sekolahnya dan menunggu gadis itu disana.

Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga waktu menunjukkan pukul sembilan malam gadis itu tak pernah muncul.

Malam ini cuacanya terasa begitu dingin. Morgan tetap bertahan dan menunggu disana.

Ditengah harapan yang masih belum redup, kota Lyon tiba-tiba didera hujan yang deras sehingga membasahi Morgan yang duduk ditrotoar jembatan itu.

Morgan ingin menunggu lebih lama lagi, namun tiba-tiba terdengar langkah dari arah kanan Morgan mendekat padanya.

Ada sebuah payung yang melindungi Morgan dari hujan lebat.

Morgan menadahkan pandangannya keatas dan berharap itu adalah gadis yang disukainya, namun itu adalah sahabatnya, Angela.

Angela kebetulan melintas disana dan mendatanginya ditengah hujan deras untuk mengajaknya pulang.

Morgan sempat menolak hingga menangis di pundak Angela. Namun akhirnya Morgan memutuskan untuk kembali setelah duduk dan menunggu disana selama tujuh jam.

Setelah hari itu, Morgan setiap hari selalu pergi ke jembatan itu lengkap dengan pakaian rapinya dan sebuah bunga mawar yang makin hari semakin melayu.

Morgan khawatir jika gadis itu tiba disana dan menunggu Morgan.

Selama sebulan penuh, Morgan setiap hari selalu kesana.

Tiba-tiba disaat terakhir selama sebulan menunggu, doa Morgan terkabulkan.

Morgan melihat bayangan gadis itu didalam sebuah mobil yang melintas didepannya.

Morgan melihatnya dan mengejarnya dari belakang, namun mobil itu terlalu cepat dan dengan sekejap menjauh darinya.

Morgan melihat arah mobil itu menuju ke kota Paris. Morgan tahu bahwa mustahil baginya bisa pergi ke Paris seorang diri, dan memutuskan untuk menyerah dihari yang sama.

Dua tahun berlalu setelah saat itu, Morgan sedang menyanyikan lagu-lagu yang ditulisnya setelah hari dimana dia menyerah pada cinta pertamanya dulu.

Angela sahabatnya, merekam Morgan dengan diam-diam dan menguploadnya ke sebuah platform.

"Morgan Collins - Our Destiny" ketik Angela di judul lagu itu.

6 hari berlalu ketika Angela membuka kembali platform itu, video Morgan bernyanyi sudah menembus angka 8 juta penonton dan terus bertambah seiring waktu.

Nama Morgan Collins secara tiba-tiba terkenal diseluruh Prancis, bahkan dunia.

Morgan akhirnya dikontrak sebuah label musik terkemuka yang berada di Paris, Prancis.

Hari-hari Morgan yang sebelumnya penuh dengan patah hati dan kekurangan, kini Morgan menjadi terkenal diseluruh penjuru.

Akhirnya Morgan bisa pergi ke Paris, namun disaat dirinya telah menyerah untuk cinta pertamanya.

Morgan memiliki penyakit pada jantungnya, mengikuti ayahnya yang juga mempunyai riwayat penyakit jantung.

Namun sementara ini semuanya baik-baik saja dan masih belum ada keluhan, meskipun terkadang Morgan merasakan nyeri dan mengharuskan dirinya menemui Jessica, dokternya.

*****

5 tahun setelahnya di Kota Paris, Prancis.

Malam yang gemerlap menghiasi Kota Paris dilengkapi dengan pesona romantisnya.

Alunan musik orkestra klasik menemani keheningan Aula New Paris yang sudah dipenuhi para tamu undangan yang mengenakan topeng.

Semua orang dalam acara itu tidak mengenal satu sama lain karena tujuan acara itu adalah untuk mempertemukan sebuah cinta tanpa memperdulikan bentuk wajah.

Morgan Collins yang memilih menggunakan topeng singa berbalut mahkota menyumbangkan permainan melodi finger style dari lagunya.

Alunan melodi yang lembut dari petikan jemari Morgan membuat suasana didalam Aula itu semakin romantis.

Setelah menampilkan 2 lagunya, akhirnya Morgan dapat bergabung dalam kerumunan dan mencari pasangan dansanya.

Morgan melirik ke sudut Aula New Paris dan melihat seorang wanita menggunakan gaun putih dihiasi dengan rambut golden yang berbinar-binar, lengkap dengan topeng kupu-kupu biru.

Entah kenapa, pandangan mata Morgan selalu tertuju padanya. Wanita ini terasa berbeda dan istimewa dipandangan Morgan.

Morgan menembus kerumunan dan melangkahkan kakinya menuju kepada wanita itu.

Akhirnya Morgan berada tepat didepannya. Wanita itu terasa seperti sedang menunggu Morgan datang padanya.

"Halo. Maukah kau berdansa denganku?" Morgan menjulurkan lengannya kearah wanita itu dan tersenyum padanya.

Wanita itu membalas senyumannya, menggengam tangan Morgan, dan menerima tawaran Morgan.

"Baiklah," jawab wanita itu. Morgan membawanya tepat ke tengah Aula sambil menggenggam erat tangannya.

Mereka mulai berdansa dibawah sorot lampu berwarna biru yang dihiasi dengan pantulan kaca.

Dibalik topeng kupu-kupu itu, Morgan menatap kedua matanya yang berwarna rose cerah.

Wanita itu memegang tangan dan pundak Morgan. Dan Morgan memegang pinggangnya dan tangannya juga, lalu menggiring gerakan kaki dan tangannya.

Morgan dan wanita itu berdansa dengan sangat serasi, seperti setiap gerakan sudah bersatu menjadi sebuah irama.

Mereka berdua terhanyut dalam alunan melodi yang indah dari musik orkestra romantis.

Morgan berkali-kali merasakan jantungnya berdebar-debar. Ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama tidak merasakan getaran.

Morgan meninggikan tangannya dan membuat wanita itu berputar dengan anggun didepannya.

Semua hadirin yang melihat Morgan dan wanita itu terkagum-kagum dengan gerakan mereka dan mulai memberikan ruangan untuk mereka berdua.

Setelah musik berhenti, seluruh hadirin bersorak kepada Morgan dan wanita itu karena menari dengan indah.

Nuansa romantis dan semua kehangatan malam itu telah berakhir. Morgan mengantarkan wanita itu keluar Aula dan melihatnya menuruni anak tangga.

Ketika wanita itu sudah mendekati tangga yang terakhir, topengnya terjatuh. Namun wanita itu tidak menghiraukannya dan tetap berjalan menjauh.

Morgan tidak sempat melihat wajah wanita itu karena wanita itu membelakanginya dan pergi.

Namun, topeng kupu-kupu birunya tertinggal disana.

Morgan turun dan mengambilnya lalu menyimpannya dengan baik.

Morgan mencium aroma rose melekat pada jarinya yang menggenggam jari wanita itu dengan erat.

"Aku penasaran siapa wanita itu. Getaran yang ada padaku ketika berdansa bersamanya sungguh bergejolak. Suatu hari, aku yakin akan menemukan dirinya dan mengembalikan topeng ini padanya."

Morgan tersenyum dan memandang bulan yang sedang purnama diatasnya dari depan Aula New Paris.

"Rambut golden dipadukan dengan mata berwarna rose ...."

Kebetulan

...Bukan rancangan diriku ataupun dirimu, namun semesta yang mengizinkan kita....

Gemerlap cahaya malam dari Kota Paris menyambut Vivian Wisse dalam perjalanannya menuju Aula New Paris.

Aula yang diterangi berbagai cahaya biru dan ungu seakan mengundangnya masuk lebih dalam.

Vivian berdiri diujung Aula dan melihat acara yang indah itu seorang diri, tanpa ada yang menemaninya.

Ketika Vivian mendengar suara petikan gitar telah berhenti, dirinya memandang seorang pria bertopeng singa yang tadi memainkan gitar sedang berjalan kearahnya.

Entah ini perasaan Vivian saja atau kenyataan, pria itu benar-benar berjalan mendekati dirinya yang sedang mematung.

Akhirnya pria itu tiba benar-benar didepannya.

"Hai, maukah kau berdansa denganku?" Pria itu menyodorkan tangannya pada Vivian sambil tersenyum padanya.

Vivian melihat kilatan cahaya biru menghiasi senyum pria itu dengan indah.

"Baiklah," jawab Vivian tersenyum pada pria itu dan meletakan tangannya dalam genggaman pria itu.

Pria itu membawa Vivian ke tengah Aula yang dipenuhi dengan pantulan cahaya berkilau, hingga membuat perasaan Vivian menjadi tenang dan damai.

Vivian memegang pundaknya dan tangan kirinya ada dalam dekapan jari pria itu.

Alunan melodi romantis yang klassik membuat gerakan kaki mereka menjadi sebuah irama.

Gerakan demi gerakan tercipta dan membuat Vivian terhanyut dalam dekapan dansa bersama pria itu.

Pria itu meninggikan tangannya diatas kepala Vivian dan membuat Vivian berputar dengan anggun didepannya.

Genggaman lembut tangan pria itu membawa Vivian lebih jauh kedalam getaran perasaan.

Vivian memandang kedua mata biru pria itu yang begitu indah, hingga seperti berbicara pada hati Vivian, seperti membuat perasaannya merasakan getaran lagi.

Getaran yang muncul begitu saja hanya karena sebuah tatapan yang diikuti dengan alunan irama kaki mereka.

Vivian terus memandang kearah mata pria itu hingga musiknya berhenti.

Akhirnya, suasana romantis didalam Aula telah usai.

Pria itu belum membuka topengnya, hingga Vivian merasa cukup penasaran padanya.

Namun, Vivian merasa misteri adalah sebuah tantangan yang menyenangkan, jadi Vivian tidak menanyakan siapa pria itu.

Dalam genggamannya, pria itu mengantarkan Vivian keluar hingga kedepan Aula dan mencium kedua tangan Vivian.

Ketika Vivian menuruni anak tangga, topeng kupu-kupu birunya melonggar hingga membuat topeng itu terjatuh dari wajah Vivian.

Namun Vivian tidak terlalu memperdulikan itu karena dia memiliki banyak topeng.

Lagi pula, jika Vivian berbalik dan wajahnya dilihat pria itu, pria itu takkan penasaran lagi padanya dan mungkin akan membuat pria itu memandangnya sebagai orang biasa.

Malam yang penuh dengan misteri dan kenangan sekali bertemu pada pria itu telah usai.

Vivian kembali ke mansionnya dan mulai tidur.

Ketika Vivian tidur, dirinya memimpikan kenangan ketika dia menyukai seorang anak culun yang berdiri di celah pintu masuk dan menyaksikannya bernyanyi.

"Mata biru pria itu ...."

.....

Hari minggu telah tiba, kehangatan matahari menyinari mansion Keluarga Wisse.

Meskipun awan cukup tebal, namun Vivian tetap akan pergi ke toko buku yang berada di pusat Kota Paris.

Vivian berasal dari keluarga yang mampu, tapi Vivian tidak suka menyetir mobilnya sendiri.

Vivian lebih menyukai bus dan mengantri seperti orang-orang biasa.

Ketika tiba di toko buku, Vivian mencari beberapa novel yang paling sedikit dibeli, biasanya berada di pojok dari toko buku.

Menurut Vivian, karya-karya yang belum banyak terekspos adalah kesukaannya.

Biasanya karya-karya yang jarang dibeli orang, adalah karya yang memiliki kejutan didalamnya. Banyak sekali rahasia & keseruan tersendiri ketika membaca novel yang belum terkenal, seperti merasa eksklusif pada novel tersebut.

Setelah Vivian membeli beberapa buku, akhirnya ia keluar dan berjalan-jalan kaki disekitar Kota Paris.

Vivian tiba di sebuah halte yang sepi, terletak dibawah sebuah pohon.

Saat Vivian sedang menuju halte tersebut, hujan yang cukup deras tiba-tiba muncul.

Vivian berlari kearah halte dengan tergesa-gesa, ia takut jika buku-buku yang dibelinya basah.

Namun ketika berlari, Vivian tergelincir hingga membuat lutut kirinya terluka.

Dengan susah payah menahan rasa perih, akhirnya Vivian berteduh dibawah halte itu.

Sayangnya, Vivian tidak membawa plester dan p3k hingga Vivian hanya menahan sakit tanpa mengobati luka di lutut kirinya.

Ketika Vivian duduk dan menunggu hujan yang tidak kunjung berhenti, seorang pria yang memegang payung tiba di halte itu.

Pria itu sepertinya akan menunggu bus yang sama dengan Vivian.

"Lututmu terluka." Pria itu menyapa Vivian dan mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Ternyata itu adalah plester untuk luka.

"Ini." Pria itu menyodorkan plesternya pada Vivian dan kembali menatap kearah hujan deras.

"Terima kasih," jawab Vivian dan langsung menempelkan itu pada lukanya.

Setelah melihat Vivian sudah memasang plester pada lukanya, pria itu tiba-tiba berdiri dan berlari menembus derasnya hujan.

Pria itu kembali menatap Vivian dari kejauhan dan mengarahkan telujuknya ke sebuah payung yang ditinggalkannya yang berada disamping Vivian.

Vivian mengarahkan pandangannya ke payung itu dan berusaha memanggil pria yang meninggalkannya, namun pria itu sudah menghilang ditengah derasnya hujan.

Vivian yang bingung lalu mengambil payung itu dan berjalan ke stasiun kereta bawah tanah.

Ternyata halte yang disinggahinya sudah ditutup, Vivian baru menyadari itu setelah melihat sebuah halte lainnya jauh dibelakangnya.

Namun disana banyak orang yang berdesakan hingga membuat Vivian memilih menaiki kereta bawah tanah.

Mengingat kejadian itu, Vivian kembali mengenang sebuah kenangan masa lalunya ketika masih SMA.

Vivian memandang kereta bawah tanah yang berjalan perlahan menembus gelapnya terowongan.

Didalam kereta, ketika Vivian mulai merasakan kesepian, ia mulai menyandarkan bahunya dan menangis, ia merasakan sesuatu yang kosong, sesuatu yang membuatnya ingin menangis dan kadang benar-benar membuatnya menangis.

Semua ini bermula saat Vivian masih menjalani pendidikan di SMA.

Pada suatu sore ketika pulang sekolah, Vivian mengunjungi ruangan musik sekolahnya dan berlatih sendiri.

Vivian memilih saat keadaan kosong karena Vivian merasa terganggu ketika ada orang lain, sehingga Vivian tidak bisa menampilkan peformanya dengan baik.

Alunan tuts piano mulai mengisi keheningan aula musik. Vivian menutup matanya dan mulai bernyanyi dengan lembut. Kata demi kata diucapkan dengan penuh irama dan ketulusan.

Namun ditengah dunianya, Vivian mendengar suara pintu masuk aulanya terbuka.

Vivian mengarahkan pandangannya ke pintu masuk dan ada seorang pria yang sedang memerhatikannya dari kejauhan, dia menggunakan kacamata dan berdandan seperti seorang kutu buku, lengkap dengan kerah yang terkancing hingga ke leher dihiasi dengan dasi kupu-kupu.

Karena menilai dari penampilannya, Vivian tahu bahwa pria ini bukanlah orang yang jahat, bahkan dia terlihat lucu karena dia seperti terhanyut dalam alunan melodi Vivian.

Vivian ingin memanggilnya untuk bertanya apakah lagunya bagus, namun pria itu malah melarikan diri ketika Vivian baru saja melambaikan tangannya.

Vivian tersenyum dan menggelengkan kepalanya melihat bagaimana reaksi berlebihan pria culun itu.

Hari-hari berlalu, ternyata Vivian sering melihat pria itu menulis di sudut perpustakaan seorang diri. Hingga Vivian hapal kapan dan jam berapa pria itu ada disana.

Suatu saat Ketika ingin pulang dari perpustakaan, Vivian melihat kelangit begitu mendung dan suram, tiba-tiba hujan deras membasahi seluruh Kota Lyon. Vivian duduk dan menunggu didepan perpustakaan yang telah tutup.

Vivian mengarahkan pandangannya dari arah hujan deras didepannya, dan melihat seorang pria culun berkacamata yang sering diamatinya sejak kejadian di aula musik sedang berlari kearahnya dengan sebuah payung ditangannya. Pria itu beberapa kali terjatuh karena derasnya hujan dan licinnya jalan yang dilaluinya.

Akhirnya pria itu tiba tepat didepan Vivian dan Vivian melihat kedua lutut dan siku dari pria itu terluka.

Tanpa sempat mengatakan apapun, pria itu menyodorkan payung yang dibawanya kepada Vivian dan berlari kembali menerobos derasnya hujan.

Vivian berlari mengejarnya namun pria itu berbalik dan berteriak, "gunakan itu, jangan berlari sepertiku!"

Setelah mendengarkan itu Vivian baru melirik payung yang dipegangnya, di payung itu memiliki kurikatur kartun favorit Vivian, King Julien.

Setelah hari itu, perasaan Vivian semakin tumbuh dan berkembang. Vivian dan pria culun itu sering melirik dengan senyuman dari kejauhan, entah saat diruangan musik pria itu menyaksikan dari celah pintu dan Vivian tahu persis bahwa ada dia disana, entah saat di perpustakaan tatapan mereka bertemu tanpa sengaja dan membuat mereka menjadi salah tingkah.

Tapi anehnya, tidak satupun dari mereka berdua berani mendekat ataupun mengajak berbicara, Vivian merasa nyaman dengan hal ini karena Vivian cukup pemalu, terlebih pria itu juga mungkin merasa nyaman dengan jarak yang jauh.

Hari-hari menyenangkan telah berlalu, hingga saatnya tiba untuk pengunguman kelulusan. Akhirnya pria itu mendatangi Vivian dan memberikannya sebuah gelang yang ikatannya tidak begitu rapi, mungkin karena itu dibuat olehnya sendiri. "Aku ... " ucap pria itu.

Namun Vivian tidak dapat mendengar dengan baik karena mereka sedang berada ditengah kerumunan anak-anak SMA yang merayakan kelulusannya disebuah aula sekolah.

Tiba-tiba setelah mengucapkan beberapa kata, pria itu langsung pergi dan bayangannya hilang dalam kerumunan.

Sepertinya pria itu mengucapkan namanya dan seperti berkata bahwa dia akan menunggu Vivian disuatu tempat.

Namun Vivian tidak dapat mendengar dengan jelas siapa namanya dan dimana mereka akan bertemu nanti, jadi Vivian memutuskan untuk mencarinya dikerumunan.

Pria itu tidak ditemukan dimanapun, Vivian tidak tahu siapa namanya dan bagaimana bisa menghubunginya nanti.

Sebulan setelah kelulusan Vivian, orang tua Vivian harus segera pindah ke Paris dan melanjutkan bisnis obat biologis milik kakeknya. Vivian harus ikut karena di Kota Lyon tidak ada keluarga mereka lagi. Dengan berat hati, Vivian mengikuti semua kemauan orang tuanya untuk pindah ke Paris.

Dalam perjalanan, hujan turun begitu deras dan disertai angin yang cukup kencang.

Ketika Vivian melintasi jembatan Lyons, Vivivan melihat seseorang yang sedang duduk di trotoar seperti orang yang kehilangan tujuan hidup.

Saat ingin memperhatikan lebih dekat dari jendela mobilnya, fokus Vivian teralihkan ke panggilan video dari kakeknya yang merindukan cucunya.

Akhirnya semua berlalu hingga tujuh tahun lamanya, Vivian sering mencarinya namun Vivian benar-benar lupa akan wajahnya, bahkan namanya tidak diketahui.

Selama tujuh tahun, Vivian masih menyimpan perasaan pada pria itu dengan baik.

Hari demi hari Vivian berharap semesta mempertemukan mereka dan Vivian dapat merasakan bahwa dirinya lengkap lagi.

"Baiklah, saatnya beranjak." Vivian menghapus air matanya dan keluar dari kereta.

Kota Paris masih hujan, untungnya payung yang diberikan pria itu masih ada di tangannya, jadi Vivian dapat berjalan tanpa takut basah ke mansionnya.

Sepanjang perjalanan, Vivian melangkahkan kakinya dan bermain dengan genangan air.

Perasaan bahagia saat dirinya dapat sendiri dan menikmati hujan yang turun dengan lembut.

"Aku baru ingat, pria itu bermata biru. Itu mengingatkanku pada ... seseorang ...."

Kecelakaan

...Pertemuan kita, semuanya, aku percaya itu adalah sebuah rancangan yang indah....

Cuaca hari ini cukup mendung, awan-awan berkumpul dan menggumpal.

Mungkin hari ini akan turun hujan.

Entahlah, apapun itu, Morgan tetap ingin pergi ke sebuah toko buku dan membeli beberapa buku Best Seller.

Toko buku berada tidak jauh dari apartemen Morgan, hanya cukup turun kebawah lalu menyebrangi jalan, maka ia sudah sampai di toko buku langganannya.

Morgan sebenarnya adalah seorang artis senior yang telah mengeluarkan puluhan album musik.

Bahkan karya-karya musikalnya banyak mendapat penghargaan, salah satunya adalah lagunya yang berjudul "Our Destiny".

Lagu ini telah mendapat penghargaan Best Song Of Decade.

Namun, Morgan lebih menyukai sebuah buku.

Entah itu novel, buku sains, hingga buku-buku puisi lengkap menghiasi lemari-lemari apartemennya.

Langkah Morgan akhirnya tiba di depan toko buku langganannya.

Ketika ingin masuk, Morgan melihat seorang gadis yang memiliki rambut golden sedang memilih buku di sudut toko.

"Sudut toko? Semua yang ada disana adalah buku-buku yang tidak laku," pikir Morgan saat berjalan masuk.

Morgan berjalan ke deretan beberapa buku best seller bulan ini untuk membeli semuanya.

Ketika Morgan keluar dari toko buku, Morgan memandang keatas dan melihat langit yang begitu mendung dan suram.

Morgan berlari ke sebuah cafe untuk memesan kopi latte hazelnut, kopi kesukaannya.

Morgan duduk di sudut cafe, disamping jendela yang menghadap ke arah jalan.

Di seberang jalan dari cafe itu, Morgan melihat halte yang telah lama tutup karena halte itu berada cukup jauh dari pemukiman apartemen sehingga otoritas kota membuat halte yang baru didekat apartemen.

Morgan memandang awan, lalu hujan yang deras akhirnya turun juga membasahi semua daratan Kota Paris, menutupi setiap sudutnya dengan rintikan air yang turun.

Morgan menyesap latte nya dan membaca sebuah buku novel yang baru dibelinya.

Didepan buku ini terdapat sebuah quotes bertuliskan, "Jodohmu dapat berada dimana saja, bahkan didepanmu.

Kau takkan pernah menyadari jika kau baru saja akan melihat dan bertemu dengannya."

Morgan tersenyum setelah membaca quotes ini, ya, karena Morgan telah menjalin beberapa hubungan, namun semuanya tidak berjalan dengan baik hingga harus berpisah.

Ketika Morgan membaca quotes itu, Morgan memandang keluar jendela dan melihat gadis yang membeli buku disudut toko sebelumnya sedang berlari menembus derasnya hujan.

Karena terlihat buru-buru, gadis itu tergelincir dan jatuh.

"Kurasa dia akan terluka jika jatuh seperti itu. Mengapa dia malah menunggu bus di halte yang telah berhenti beroperasi? Kurasa aku harus memberitahukannya."

Morgan keluar cafe dan masuk ke sebuah toko yang berada disebelah cafenya.

Morgan berniat untuk membeli plester, namun ketika hendak keluar, Morgan melihat payung yang di letakkan didepan pintu toko, jadi Morgan membeli payung sekaligus untuk diberikan pada gadis yang terluka itu.

Morgan sebenarnya sempat ragu untuk mendatangi gadis itu, Morgan merasa khawatir jika gadis itu menolak dan bahkan mengira dirinya orang jahat.

Namun, quotes yang baru saja dibacanya tadi memberikan Morgan semangat untuk tetap maju.

Lagi pula, Morgan berniat baik, jadi apa salahnya jika Morgan mencoba.

Langkah demi langkah yang dilalui Morgan terasa tidak meyakinkan, seperti niat baiknya takkan tersampaikan sesuai harapannya.

Anehnya, kaki Morgan justru terus melangkah maju dan menentang pikiran Morgan yang ingin mundur dan berlari kembali.

Perlahan mendekat dan mendekat, akhirnya Morgan tiba didepan halte itu lalu Morgan langsung duduk disebelah gadis itu dengan jarak yang cukup jauh.

Ketika Morgan sudah berada di sebelahnya, tatapan Morgan dan gadis tiba-tiba itu bertemu.

Mata rose yang cerah terpancar dalam tatapan gadis itu hingga membuat jantung Morgan berdebar.

Morgan duduk dan memandang kearah lutut kiri gadis itu.

Ternyata kaki kirinya benar terluka.

Sepertinya gadis ini tidak membawa obat ataupun plester untuk menutup lukanya.

Benar saja apa yang diprediksikan Morgan sebelumnya bahwa gadis ini akan terluka setelah tergelincir seperti itu.

Ragu-ragu namun cukup berani, Morgan merogoh kantong celananya dan mengambil sebuah plester.

"Lututmu terluka. Halte ini telah tutup, pergilah ke halte di seberang sana," tutur Morgan kearah gadis itu lalu memberikannya sebuah plester.

Morgan cukup lama menunggu gadis itu mengambil plester yang diberikannya, namun akhirnya gadis itu tersenyum dan mengambil plester dari tangannya.

"Terima kasih," nadanya lembut membalas kebaikan Morgan.

"Baiklah, karena aku sudah membeli sebuah payung dan sekaligus ingin memberitahukannya bahwa halte ini telah tutup, sebaiknya aku pergi dan meninggalkan payung ini disini.

Semoga gadis ini keluar dari halte ini dan pergi ke halte diseberang sana atau menggunakan kereta bawah tanah," pikir Morgan berdiri lalu pergi menembus derasnya hujan menuju kafe di sebrang jalan.

"Oh iya, apa dia tahu bahwa aku meninggalkan payungnya?" Morgan membalikkan badannya dan mengarahkan jari telujuknya ke arah payung yang ada diujung halte.

Morgan melihat gadis itu memandang ke payung tersebut, jadi Morgan melanjutkan perjalanannya menuju cafe.

"Morgan, kenapa kau basah seperti ini? Kau bisa sakit." Angela memasangkan handuk pada Morgan dan menyuruhnya untuk masuk ke lantai 2 cafe miliknya untuk menghangatkan dirinya.

Morgan duduk diatas dan memandang keluar.

Morgan melihat gadis itu membuka payungnya dan mulai berjalan menjauh.

Seberkas senyuman terpampang di bibir Morgan setelah membantunya.

Akhirnya, gadis berambut golden itu menghilang dibalik derasnya hujan dari pandangan Morgan.

Sepertinya gadis itu akan menuju ke stasiun kereta bawah tanah, karena Morgan melihat halte bus yang baru dipenuhi banyak orang yang berteduh.

"Dia cantik," gumam Morgan dalam hatinya.

"Hei Morgan! Sedang apa kau melamun?" Angela mengagetkan Morgan yang benar-benar sedang melamun memikirkan gadis itu.

"Oh tidak, aku hanya menikmati hujan yang turun ini." Morgan kembali menyesap latte nya dan mulai mengobrol dengan Angela, sahabatnya.

...

Hujan yang lebat akhirnya telah berhenti. Matahari kembali bersinar tepat diatas kepada mereka.

"Morgan, apa kau lapar?"

"Ya, lagi pula ini sudah siang. Kita belum makan siang."

"Aku tahu dimana restoran yang menyajikan makanan enak! Ayo kita pergi kesana. Lagi pula matahari telah muncul." Angela menarik tangan Morgan dan membawanya keluar memasuki mobil Angela.

Biasanya, pada hari minggu pagi Morgan dan Angela akan berjogging, namun karena hujan yang cukup deras membatalkan rencana mereka.

"West Side Paris ... dimanakah restoran itu? Kurasa ada disekitar sini," ucap Angela yang mengemudi sambil melihat ke sekelilingnya.

Ketika Morgan dan Angela melintasi sebuah taman, mobil mini coupe biru tiba-tiba berbelok dengan tajam didepan mereka hingga hampir menabrak kendaraan mereka.

"Huh, hampir saja. Bagaimana bisa seseorang mengendara ugal-ugalan seperti itu?!"

Angela yang merupakan seorang polisi hendak menghentikan mobil itu dan menasehatinya, namun Morgan menenangkannya dan menyuruhnya tetap jalan dan mencari tujuan mereka.

Ketika melanjutkan perjalanan, Morgan memandang jalanan disampingnya yang penuh dengan aroma hujan, semua itu mengingatkan Morgan pada seseorang.

"Mata gadis itu ... mengingatkanku pada seseorang. Rambut goldennya, senyumannya, dan tatapannya ... semuanya, aku menyukainya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!