NovelToon NovelToon

Sahabatku Maduku

Bab Satu ...

Aku tak pernah mengira jika sahabat yang selama ini aku anggap saudara adalah maduku. Ia yang telah merebut kebahagiaanku bersama suami.

Namaku Melati. Aku lahir dari keluarga yang kurang mampu. Aku memiliki seorang sahabat, Lani namanya. Ia berasal dari keluarga yang cukup berada.

Aku anak yatim sehingga untuk biaya sekolah saja ibuku susah payah mencarinya. Ayah Lani-lah yang sering membantu biaya sekolahku. Sampai akhirnya kami berpisah karena Lani harus kuliah di luar kota mengikuti ayahnya yang pindah ke kota itu.

Setelah tamat SMU, aku bekerja disalah satu butik. Aku tak melanjutkan kuliah karena tak ada biaya. Di sinilah aku berkenalan dengan suamiku.

Kami berpacaran tidak lama, hanya tiga bulan, setelah itu Willy nama pacarku mengajak menikah. Aku pun menyetujuinya. Ternyata ibunya Willy kurang merestui hubungan kami. Hanya karena Willy mencintaiku, ibunya terpaksa merestui.

Pada bulan ketiga pernikahanku, ibuku meninggal dunia. Untung ada Willy yang selalu menghiburku. Satu tahun pertama pernikahanku, hidupku penuh kebahagiaan dan aku dikarunia seorang anak perempuan yang sekarang berusia satu bulan.

Lani yang libur kuliah, mendatangiku dan menginap di rumah. Di sinilah ternyata awal kehancuran rumah tanggaku. Tanpa curiga, aku membiarkan Willy dan Lani keluar berdua dengan alasan membeli keperluan bayi. Terkadang Lani-lah membantuku memasak buat suamiku.

"Kamu selain cantik, pandai memasak juga. Jarang wanita cantik kaya seperti mu pandai masak," puji suami di depanku.

"Lani memang wanita yang sempurna. Dia cantik, baik, cerdas, dan tak sombong walau dari keluarga berada," ucapku.

Semenjak hari itu, aku melihat Lani dan Willy makin akrab. Mereka sering tertawa bersama. Entah apa yang mereka bicarakan. Satu bulan lamanya Lani menginap di rumahku selama liburan kuliahnya.

Ketika akan pamit kembali ke kota tempat tinggalnya, Lani memelukku erat sambil berkata, "Maafkan aku Melati ... aku tak pernah bemaksud merebut kebahagiaanmu."

"Maksudmu apa, Lani?" tanyaku dengan perasaan yang mulai tak enak.

"Karena aku harus pindah ke luar kota jadi aku tak bisa bersamamu lagi. Seandainya aku masih di sini, pasti ayahku juga akan biayai kuliahmu juga."

"Nggak apa apa. Aku juga sudah bahagia dengan keluargaku saat ini."

"Aku pamit, jaga dirimu baik baik."

"Kamu juga hati-hati."

....

Dua bulan sudah berlalu sejak Lani kembali ke kota tempat tinggalnya. Ibu mertua mendatangi rumah kami.

"Melati, ibu harus mengatakan ini karena Willy tidak akan berani mengatakannya," ucap ibu mertua begitu ia duduk.

"Ibu mau mengatakan apa?" tanyaku mulai khawatir.

"Willy telah menikahi sahabatmu Lani sebulan yang lalu, karena Lani saat ini sedang mengandung anak Willy."

"Maksud Ibu apa ...?" tanyaku. Rasanya ingin menangis.

"Sewaktu Lani di sini, dia menjalin hubungan dengan Willy sehingga ia hamil. Willy harus bertanggung jawab. Ibu juga telah menikahkan mereka. Ibu minta kamu jangan pernah mengatakan pada orang tua Lani jika Willy suamimu, karena orang tuanya tahu Willy belum berkeluarga"

"Bu ... mengapa kalian tega melakukan ini padaku? Apa salahku?"

"Salahmu ... kau bukan berasal dari keluarga seperti Lani. Aku lebih senang punya menantu Lani. Aku harap kamu mengerti. Willy tak mau menceraikanmu, padahal ibu sudah memintanya atau kamu saja yang mengajukan cerai pada Willy. Ibu akan senang jika kamu melakukan itu. Ibu akan memberi biaya hidup buat anakmu sampai ia dewasa," ucap Ibu mertuaku

"Aku tak mungkin pisah dengan Willy, Bu!"

"Kalau begitu kamu harus mau dimadu dan ingat pesan ibu ... jangan sampai orang tua Lani tahu status Willy," ancam Ibu sebelum meninggalkan rumahku.

Aku akhirnya menerima semua penderitaan dalam hidupku. Perhatian Willy tetap sama, tetapi hatiku tak bisa dibohongi jika aku kecewa padanya.

Willy sering meminta maaf dan berlutut di kakiku. Ia mengakui kekhilafannya, tetapi aku tak bisa sepenuhnya memaafkannya.

Mungkin bagi orang yang mengetahui kisahku, mengatakan aku bodoh karena mau bertahan, tetapi aku tak bisa berbuat apa apa. Aku hanya sebatang kara di dunia ini.

Lani pernah mencoba menghubungiku, tetapi tak pernah aku tanggapi. Aku mencoba menjalani hidup ini dengan ikhlas. Mungkin takdirku memang begini.

Willy memenuhi segala kebutuhanku bahkan ia memberiku banyak kemewahan. Berbeda dengan Lani, walau Willy tetap memenuhi kewajibannya, tetapi ia hanya sesekali pulang ke tempat Lani.

Sampai saat ini anakku telah besar. Aku tak pernah menganggap ada Lani walau terkadang terpikirkan juga saat Willy mengatakan ia akan keluar kota. Aku tahu itu pastilah ia mengunjungi Lani dan anaknya.

Apakah ujian hidupku telah berakhir? Belum karena Willy bukan nya berubah, tetapi makin menjadi.

Aku akan menceritakan semua perjalanan hidupku pada bab-bab berikutnya.

Semoga semua yang membacanya dapat mengambil pelajaran dari kisah hidupku ini.

(Novel ini diambil dari kidah nyata)

...****************...

Bab Dua

Melati dan Lani berlari memasuki gerbang sekolah. Mereka agak terlambat karena tadi memang bangun kesiangan. Melati menginap di rumah Lani. Jika mereka sudah tidur bersama, bisa dipastikan akan begadang.

Banyak mata memperhatikan mereka. Bukannya Melati sombong, dia dan Lani termasuk siswi populer di sekolah karena wajah mereka yang cantik. Sebenarnya lebih banyak yang suka pada Melati. Mungkin karena gadis itu juga salah satu siswi yang pintar.

"Untung nggak telat. Lu, sih ngajak begadang terus kalau gue nginap," ucap Melati begitu sampai di kelas.

"Sesekali telat nggak apalah. Guru tak akan marah."

"Kalau lu, sih nggak apa-apa. Gue masa murid yang hanya bisa di sekolah ini karena beasiswa harus datang telat, bisa dicabut beasiswa gue nanti."

"Kalau beasiswa lu dicabut, bokap gue bisa, kok biayai sekolah lu."

"Bokap dan nyokap lu sudah terlalu banyak membantu gue selama ini. Mana mungkin gue mau merepotkan mereka lagi."

"Uang jajan gue juga masih cukup buat bayar sekolah lu."

"Lani, lu juga sudah terlalu banyak membantu gue. Gue malu harus terus minta bantuan."

"Lu kayak sama orang lain saja. Kan gue kembaran lu," canda Lani.

Begitulah Lani. Dia terlalu baik sebagai sahabat. Melati terkadang merasa iri dengannya. Ia anak yang cantik, baik, dan juga berasal dari keluarga mampu.

"Sudah diam! Guru sudah masuk tuh," tegurnya ketika melihat Lani masih ingin mengobrol.

Ketika jam istirahat, mereka berdua berjalan di lorong sekolah menuju kantin dengan mata yang banyak memandangi mereka. Lelaki mengagumi mereka, tetapi wanita lebih banyak memandang iri.

Baru memasuki kantin, Lani berbisik ke telinga Melati..

"Mel, lu lihat tuh di sudut kantin ada Bagas. Kita duduk dekat dia, ya."

"Malu, dong, Lan. Masa kita cewek yang nyamperin cowok?"

"Mengapa malu, Mel. Kan kita bukan mencuri," ucap Lani sambil berjalan menuju meja tempat di mana ada Bagas dan Bintang duduk.

Bagas dan Bintang juga termasuk cowok populer di sekolah itu. Bagas sang ketua Osis, sedangkan Bintang sang ketua basket.

"Hei, bolehkah kami duduk disini?" tanya Lani.

Bagas dan Bintang langsung memandang ke arah asal suara. Melihat ada dua orang cewek cantik, mereka langsung tersenyum.

"Boleh banget," jawab Bintang antusias.

Bagas memang menyukai Melati, sedangkan Bintang menyukai Lani.

"Duduklah, La!" ajak Bagas.

"Terima kasih," ucap Lani yang mengira Bagas menyapanya, sedangkan Melati hanya membalas dengan senyuman.

"Kamu sudah pesan makanannya La?" tanya Bagas.

"Belum. Emang kamu mau pesankan buatku?" tanya Lani senang.

"Maaf, Lan. Maksudku Mela," ucap Bagas.

"Jadi, ku dari tadi menyapa Mela bukan gue?" tanya Lani dengan ketus.

"Biar gue yang pesankan buat kamu, Lan," ujar Bintang coba menengahi keduanya.

"Boleh juga," jawab Lani, lalu menyebutkan pesanannya.

"Kamu mau makan apa, La? Biar aku yang beliin. Ramai banget tuh."

"Maaf, Bagas. Biar aku pesan sendiri. Nggak apa-apa, kok," ucap Melati.

"Biar aku saja. Kamu nggak usah sungkan begitu. Kalau cowok, akan lebih cepat dapat makanannya."

Melati akhirnya menyebutkan makanan yang ingin ia santap. Kantin memang sedang ramai sekali. Jadi, mungkin lebih baik Bagas yang pesan makanannya. Mereka berempat menyantap makanan masing masing. Setelah bel masuk kelas berbunyi, mereka menuju kelas masing masing.

"Gila! Bagas makin lama makin tampan saja. Jamu nggak naksir Bagas, 'kan Mel? Karena gue nggak mau bersaing dengan sahabat sendiri."

"Nggak, kok, Lan."

"Syukurlah. Gue harus dapat tuh cowok. Sekarang bisa saja ia jual mahal karena belum kenal siapa Lani. Nggak ada yang tak bisa gue dapatkan," ucapnya.

Setelah pelajaran usai, mereka berdua menunggu supir Lani yang akan menjemput. Bagas yang pulang dengan mengendarai motor, berhenti di depan mereka.

"Belum pulang, ya," sapa Bagas, "nunggu siapa?"

"Nunggu kamu. Gue bisa bareng, 'kan boncengan denganmu? Melati sudah ada yang jemput. Gue takut pulang sendiri," ucap Lani sambil mengedipkan matanya .

Lani berbisik pada Melati

"Lu pulang dengan pak Anto sendiri saja ya. Gue bareng sama Bagas." Lani langsung naik ke boncengan tanpa menunggu jawaban Bagas.

"Sudah Bagas. Ayo, kita berangkat sekarang!" ajak Lani.

"Apa nggak nunggu jemputan Melati datang dulu?"

"Nggak usah! Melati bisa sendiri, kok."

"La, aku jalan dulu, ya. Kamu nggak apa-apa nunggu sendirian?"

"Nggak apa-apa, Bagas. Kalian jalan saja duluan."

"Kamu hati hati, ya, La!"

"Iya, terima kasih," jawab Melati.

Melati melihat kepergian Bagas sampai mereka menghilang. Sebenarnya Melati juga menyukai Bagas, tetapi ia tak berani mendekati lelaki itu lebih dahulu. Ia merasa tak pantas seorang wanita yang terlebih dahulu menyatakan suka.

Melati juga selalu merasa kurang percaya diri jika menjalin hubungan dengan lelaki karena ia hanyalah seorang anak janda miskin. Pak Anto datang setelah Lani menghilang. Ia berhenti tepat di depan Melati.

"Non Melati, mana non Lani? Kok, sendirian saja?"

"Lani sudah pulang duluan bareng teman, Pak."

"Jadi, Non sendirian saja? Ayo, Non! Masuklah!"

"Aku naik angkot saja, Pak. Nggak enak sendirian saja."

"Nggak apa-apa, Non. Kan rumahnya berdekatan, dari pada Non naik angkot."

"Baiklah, Pak."

Sesampai dirumah, Melati turun. "Terima kasih, Pak," ucap Melati.

"Sama-sama, Non.. "

Melati masuk ke rumahnya, melihat ibunya sedang membuat kue.

"Selamat siang, Bunda. Lagi buat kue pesanan siapa nih?" tanya Melati sambil memeluk pinggang ibunya.

"Ini ada pesanan dari ibu Joko yang akan ada acara nanti malam."

"Melati ganti pakaian dulu, ya, Bunda baru Mela bantu."

"Kamu makan dulu baru bantu bunda."

"Bisa sambil makan, kok, Bun bantunya,"ucap Melati. Dia lalu masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian.

Setelah mengganti pakaiannya, Melati membantu ibunya. Begitulah keseharian Melati yang waktunya hanya dihabiskan buat belajar dan membantu sang ibu. Ibunya yang hanya seorang janda dengan tamatan ijazah SMP. Dia tidak bisa bekerja di kantor, hanya bisa berjualan kue dan membantu pekerjaan di rumah Lani.

Perkenalan Lani dan Melati berawal dari ibunya yang bekerja di rumah Lani sebagai tukang cuci dan menyetrika baju keluarganya.

Ketika itu mereka sama-sama ingin masuk ke SMP. Sejak saat itulah Melati dan Lani menjadi sahabat. Di mana ada Melati, pasti ada Lani. Orang tua Lani yang kasihan melihat ibunya harus bekerja keras untuk biaya hidup dan sekolah Melati sering membantu mereka dengan memberi uang lebih dari gaji yang dijanjikan.

****************************

Terima kasih buat yang telah membaca novel ini.

Bab Tiga

Lani semakin hari semakin tampak terus mendekati Bagas. Di mana ada Bagas, ia akan ada di sampingnya. Melati juga sudah melupakan rasa sukanya pada Bagas karena ia berpikir Lani dan Bagas telah berpacaran, apalagi mereka berdua berasal dari keluarga berada. Jadi, pasti cocok pikir Melati. Lagi pula Melati memang sudah bertekad tidak akan pacaran sebelum lulus SMU.

Sampai suatu hari, ketika Melati ada di perpustakaan sedang mencari buku referensi buat ikut olimpiade matematika, Bagas menghampirinya yang sedang mencari buku di rak.

"Melati, apa kabar?" sapa Bagas. Lelaki itu sedikit gugup.

"Bagas ... aku kira siapa. Mana Lani? Biasanya kamu bersama Lani, 'kan?"

"La, aku sebenarnya risih Lani selalu mengikuti aku." Bagas berdiri sambil bersandar pada rak buku. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana sekolah, terlihat sangat tampan.

"Maksud kamu apa?" tanya Melati.

"Aku sudah berulang kali menolak cintanya, tapi ia tetap saja mengikuti aku. Katanya, sih biar aku dan dia bisa saling lebih mengenal. Siapa tahu aku bisa suka dengannya," ucap Bagas.

Melati mengambil sebuah buku dari rak tersebut, melihatnya sekilas, lalu meletakkan kembali pada tempatnya. "Memangnya kamu tak ada rasa suka pada Lani?" tanyanya lagi.

"Nggak, La."

"Padahal Lani wanita yang pantas dicintai. Ia cantik dan juga baik. Betul kata Lani. Jika kalian sering bersama, mungkin nanti ada rasa cinta kamu buatnya."

"Tapi aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan cewek lain." Melati langsung menoleh menatap wajah Bagas.

"Oh, ya? Siapa? Aku tak pernah lihat kamu dekat cewek lain."

"Kamu, La. Aku cintanya sama kamu."

"Aku?" Melati menunjuk dirinya sendiri. "Kamu suka padaku?" tanya Melati. Ia sangat kaget. Suaranya sedikit keras sehingga seorang siswa yang kebetulan mencari buku di dekat Melati dan Bagas menegur mereka agar tidak menggangu ketenangan di pustaka tersebut.

"Ya, Mela. Aku sudah menyukaimu dari dulu." Bagas memperbaiki posisi berdirinya menghadap Melati. Tatapan matanya penuh cinta.

"Tapi itu tak mungkin Bagas," kata Melati. Suaranya diperkecilkan.

"Mengapa, La? Apa kamu sudah ada pacar?" Lelaki itu juga berbisik. Wajahnya menjadi murung.

"Bukan begitu Bagas. Kamu tahu, 'kan aku dan Lani bersahabat? Kami bahkan sudah seperti saudara sendiri. Aku tak mungkin bersamamu."

"Tapi, La ... aku benar benar mencintaimu. Apa kamu tak menyukai aku?" Bagas mengulurkan tangan menyentuh tangan gadis pujaannya.

"Bagas, walaupun aku juga menyukaimu, aku tak mungkin menerima cintamu karena aku tak mau menyakiti Lani." Melati melepaskan tangan Bagas. "Orang tua Lani begitu baiknya padaku. Mengapa kamu tidak berusaha buat mencintai Lani, Bagas?"

"Cinta itu tak bisa dipaksakan, La." Bagas kembali meraih tangan Melati, tetapi gadis itu menepis tangannya.

"Tapi, Bagas ... aku benar-benar tak bisa." Aku tak akan mengkhianati persahabatan kami. Aku minta maaf. Aku permisi," ucap Melati, lalu meninggalkan pustaka.

Tanpa Melati dan Bagas ketahui, ternyata ada Lani di sana yang mengikuti Bagas tadi. Dia bersembunyi tepat di depan rak buku yang Melati cari. Walaupun pandangan mereka terhalang oleh buku-buku yang tersusun rapi di atas rak, percakapan mereka tetep terdengar olehnya.

"Jadi, selama ini Bagas mencintai Melati? Pantasan ia tak menerima cintaku. Bagas, akan aku buat Melati tak pernah menerima cintamu, biar kamu juga merasakan bagaimana rasanya cintamu ditolak," batin Lani.

Dia lalu keluar dari perpustakaan mengikuti Melati.

"Mela, tunggu!" teriak Lani.

"Lani, dari mana?"

"Dari kantin. Bagaimana? Sudah dapat bukunya?"

"Ini sudah dapat. Di mana Bagas? Biasanya bersama Bagas."

"Aku sudah tak mau dekat-dekat Bagas lagi."

"Mengapa?"

"Kamu tahu, Mel ... masa Bagas bilang kamu naksir dia? Aku sudah katakan itu tak benar."

"Bagas bisa saja. Lan, aku tak suka dengan Bagas, kamu jangan takut."

"Tapi aku sudah menolaknya karena ia sering menjelekkan kamu."

"Oh, ya?"

"Kamu tak percaya denganku, Mel?"

"Percaya-lah! Masa kamu sahabatku mau membohongi aku?"

"Aku harap kamu jangan tergoda dengan Bagas. Mulutnya manis banget tapi hati busuk. Setiap wanita cantik digombalin. Aku ingatkan kamu, ya, Mel ... jangan pernah percaya kalau Bagas suatu saat bilang cinta."

"Iya, Lan. Terima kasih sudah mengingatkan aku."

"Sebenarnya ... siapa, sih yang benar? Tapi aku rasa Lani tak mungkin membohongi aku. Ia sahabatku, sedangkan aku belum mengenal siapa Bagas sesungguhnya," batin Melati.

#################

Sejak hari itu, Melati melihat Lani mulai menjauh dari Bagas. Setiap ada Bagas, ia pasti menghindar. Ia juga tak membiarkan jika Bagas mendekati mereka.

Sampai pada ujian akhir untuk kelulusan, Melati tak pernah melihat Bagas lagi. Mungkin lelaki itu sudah menyerah mendekati mereka. Ia mendengar dari ibunya jika Lani dan keluarganya akan pindah ke luar kota. Papa Lani diangkat menjadi manajer utama dari suatu perusahaan besar.

"Lan, kata bunda, kamu dan keluarga akan pindah ke luar kota. Apa itu benar?"

"Iya, Mel. Papa menunggu aku tamat dulu. Kamu mau ikut dengan kami, Mel?" Saat itu mereka sedang duduk di dalam kelas menghabiskan sisa waktu istirahat yang tinggal lima belas menit lagi.

"Mana mungkin aku meninggalkan bunda sendirian."

"Bagaimana jika bunda kamu juga ikut kami?" tanya Lani sambil memainkan ujung rambutnya.

"Lan, aku tahu orang tua kamu sangat baik terhadap aku dan bunda. Tapi aku tidak mau selalu merepotkan dan bergantung pada keluarga kamu."

"Aku rasa papa dan mama tidak pernah merasa kamu merepotkan mereka."

"Bunda pasti tak mau meninggalkan kota ini karena disini ada kuburan ayahku. Setiap pagi bunda selalu mendatangi kuburan ayah. Sehari saja tak pergi, bunda sudah sedih."

"Aku sebenarnya berat meninggalkan kamu, Mel. Aku takut tidak bisa mendapatkan sahabat sebaik kamu," kata Lani. Dia memegang tangan Melati erat-erat.

"Aku rasa di mana pun kamu berada, kamu pasti bisa dengan mudah mendapatkan sahabat karena kamu gadis yang baik."

"Mel, jika aku sudah pindah, aku masih boleh ke sini, 'kan menemui kamu?"

"Tentu saja, Lan. Aku juga pasti akan mengunjungimu jika ada waktu dan kesempatan."

"Mel, aku sayang kamu. Aku sangat berat rasanya meninggalkan kamu."

"Aku juga, Lan. Semoga persahabatan kita akan tetap terjaga walau kita tak bisa setiap waktu bertemu lagi. Kamu sahabat yang baik. Aku pasti akan selalu merindukan kamu."

Lani langsung memeluk Melati. Sang sahabat balas memeluknya. Perasaan sedih seketika menyelimuti keduanya. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi mulus mereka.

"Sebelum berpisah, kita harus pergi bersama seharian menghabiskan waktu berdua," ujar Lani setelah melepaskan pelukannya.

Melati mengangguk. "Terserah kamu saja, Lan. Aku ikut saja," katanya sambil menghapus jejak air mata di pipinya dan Lani.

"Tapi ada syaratnya."

"Apa tuh syaratnya?"

"Kamu harus mengajarkan aku kisi kisi soal ujian akhir. Besok kita perginya sehabis ujian, ya."

"Kalau itu, sih aku pasti ajarin kamu." Keduanya tersenyum. Tak lama kemudian, lonceng sekolah berbunyi menandakan waktu istirahat sudah habis.

#################

Ujian akhir akan dimulai dua hari lagi. Melati dimintai oleh orang tua Lani untuk menginap di rumah mereka. Hal itu agar ia bisa belajar bersama Lani. Gadis itu dengan senang hati menerimanya karena ia juga ingin belajar bersama sahabatnya.

Mereka menghabiskan waktu belajar di dalam ruang pustaka di rumah Lani. Buku-buku koleksi papanya Lani cukup banyak sebagai referensi belajar.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!