NovelToon NovelToon

Penjaga Hati #2

Bab 1

Yudha, pov.

Aku baru selesai lari dan latihan pagi ketika ku buka ponselku dan ku lihat ada sebuah email yang masuk, sambil mengambil air minum di dalam kulkas aku membuka email itu dan seketika terbelalak ketika melihat si pengirim, membuatku tersenyum dengan hati berbunga.

Assalamu’alaikum.

Hai… cuma mau ngabarin kalau aku udah sampai di Osaka kemarin malam dan langsung menuju apartemen.

Jangan GR dulu! Aku ngabarin bukan karena apa-apa, ingat itu! aku ngabarin karena kita sekarang berteman seperti yang kita sepakati. Aku juga ngabarin Arga dan teman-teman yang lainnya kalau aku udah sampai, aku hanya tak ingin teman-temanku khawatir. Jadi ingat jangan GR!!!!

Aku tertawa membaca email itu. Itulah Keyza Maharani, seorang perempuan yang memiliki hati bak malaikat yang masih mau berteman dengan pria yang telah menghancurkan hatinya. Dengan cepat aku membalas emailnya itu.

Wa’alaikumsalam.

Alhamdulillah kalau sudah sampai dengan selamat. Dan sebagai teman aku juga hanya ingin melaporkan kalau aku baru selesai lari dan latihan pagi hari ini, belum sarapan karena Bi Aas belum pulang dari pasar, curiga kencan dulu ma Mang Opik bandar cabe di pasar!

Kamu sudah sarapankan? Jangan GR dulu, aku nanya hanya sebagai teman. Aku juga tadi ngirim WA di grup teman-temanku nanyain mereka udah sarapan apa belum, trus bilang jangan lupa makan sama hati-hati.

Aku hanya tak ingin teman-temanku sampai sakit karena lupa makan. Jadi jangan GR dulu ya!!

Aku tersenyum sambil menaruh ponselku di atas meja makan, kemarin ketika mengantar kepergiannya ke Osaka kami memang telah sepakat kalau hubungan kami kini hanya sebagai teman saja, jadi mulai sekarang aku akan berperan sebagai taman… sampai dia kembali membuka hatinya untukku, kalau-pun tidak maka aku hanya akan menjadi penjaga hatinya, memastikan kalau hatinya tidak akan kembali terluka seperti ketika masih bersamaku.

******

Bandung, 2017.

Keyza, pov.

Aaahh! Akhirnya aku bisa menghirup dalam-dalam udara lembab khas Bandung yang ku rindukan setelah berbulan-bulan tinggal di Jepang yang dingin. Aku baru pulang ke tanah air tadi siang dijemput Ayah, Dirga dan Kak Dimas yang sedang berlibur di Bandung bersama keluarga kecilnya.

Duduk di teras belakang sore-sore sambil menikmati semangkuk bakso adalah salah satu yang sering kali ku rindukan ketika berada di Jepang, biasanya saat- saat ini ditemani oleh Arga atau… yaa kalian pasti tahu siapa yang ku maksud.

Aku tersenyum ketika ponselku berbunyi dan itu dari Arga.

“Moci-moci.” Sapanya membuatku tertawa.

“Hahaha.. moshi-moshi, Ga, moci mah makanan atuh.”

“Kan ceritanya orangnya cadel.”

“Hahaha… dimana nih? Kok gak ke sini?”

“Belum bisa pulang, maklum sekarang jadi buruh.”

“Yaaah, kangen pengen ketemu… kapan bisa pulang?”

“Insyaallah sabtu ini pulang.”

“Beneran ya?”

“Iya… oleh-olehnya sisain jangan dihabisin.”

“Mau apa, permen atau coklat?”

“Yaaah, yang gitu mah di sini juga banyak.”

“Apa dong? Gantungan kunci? Kaos?”

“Apa lagi itu di pasar baru juga numpuk.”

“Iiiih! Beda dong ada tulisan Jepannya.”

“Gampang tinggal di sablon aja.”

“Terus mau apa dong? Gak bawa apa-apa lagi.”

“Bawa gunung Fuji gak?”

“Hahaha… kegedean gak muat di tas.”

“Yaaah… ya udah deh kalau gitu yang tadi aja.”

“Yang tadi yang mana?”

“Itu permen, coklat, gantungan kunci sama kaos.”

“Semuanya dong.”

“Iya, hahahaha.”

Aku selalu merindukan berbicara dengan Arga seperti ini, selama di Jepang kami jarang sakali kirim-kirim email atau berkirim pesan karena sibuk dengan kegiatan masing-masing, apalagi Arga kini telah bekerja di salah satu perusahaan kontraktor dan sekarang lagi ada proyek di Sukabumi, jadi tidak bisa tiap hari pulang ke Bandung.

Tapi berbeda dengan… ehm! Sang Letnan yang mengirimiku email hampir setiap hari, walau isinya hanya bercerita tentang kegiatannya hari itu, dan menanyakan kabarku. Dan dia selalu mengatakan, aku hanya ingin tahu kabar temanku hari ini.

Awalnya aku akan mengacuhkannya tak ada satupun yang ku balas tapi dia tak pernah menyerah dia tetap mengirimi email, sampai akhirnya pernah beberapa hari dia tak mengirim email lagi ku pikir mungkin dia sudah menyerah dan itu membuatku sedikit kecewa, tapi setelah beberapa hari dia kembali mengirim email dan minta maaf karena kemarin ada tugas jadi tidak sempat kirim email.

Membaca itu membuatku mulai membalas email-emailnya walaupun hanya sekedarnya saja, kami hanya membicarakan hal-hal standar tak pernah sekalipun baik dia atau aku membahas tentang masa lalu kami, seolah itu telah terkubur dalam-dalam. Dan aku juga sedang berusaha menata dan kembali membuka hatiku.

Di Jepang aku dekat dengan seseorang. Sang Letnan pernah mengatakan kalau bertemu dengan orang Indonesia di luar negri itu seperti bertemu saudara sendiri, dan aku merasakan itu. Awalnya aku sering jalan dan berbagi cerita dengannya karena merasa kalau kami bisa berbicara dengan bahasa yang sama, tapi lama kelamaan aku bisa merasakan kalau dia memberikan perhatian lebih... dan aku menyukai perhatian itu.

Aku pernah mengatakan padanya kalau saat ini aku tak lagi memercayai cinta, tapi dia tak menyerah dengan mengatakan kalau dia akan membuatku kembali memercayai cinta. Dia memerlakukan ku seolah aku adalah prioritas utama dalam hidupnya, sebuah perlakukan yang tidak ku terima sebelumnya dari hubunganku dengan sang Letnan.

Dia akan memilih menemaniku berjam-jam di mall daripada ngumpul bersama teman-temannya, dia lebih memilih untuk mengantar atau menjemputku walaupun dia sendiri terlambat masuk kuliah, dia akan memberiku bunga hanya karena menyesal membatalkan janji kami karena dia ada ujian dadakan yang tak bisa ditinggalkan.

Perlakuannya itu membuatku akhirnya luluh dan memberinya kesempatan walaupun aku belum seutuhnya membuka dan memberikan hatiku padanya.

Sekitar jam 7.00 ketika aku dan keluargaku sedang makan malam sambil nonton TV kudengar suara motor memasuki halaman rumah, dan tak lama kemudian seseorang memasuki rumah membuatku terbelalak menatapnya dengan napas yang seolah-olah berhenti untuk beberapa saat.

“Assalamualaikum,” sapanya sambil tersenyum yang mendapat jawaban dari semua orang sedangkan aku masih menatapnya tak berkedip.

*****

Haaiii.. ini adalah buku ke 2 dari PEMILIK HATI, jadi mohon baca PEMILIK HATI terlebih dahulu, agar mudah dipahami mengenai konflik yang ada di sini.

Terima kasih

Love

A.K

Bab 2

Al langsung lari ke arahnya seperti telah mengenalnya sangat lama, yang langsung diangkatnya tinggi-tinggi membuat keponakanku itu tertawa. Dia kini menatapku masih dengan senyum lebar di wajahnya, sebelah tangannya menggendong Al dengan sangat enteng, padahal dia cukup berat untuk ukuran anak umur 2 tahun.

“Genki desu ka?” (apa kabar teman?)

“Baik,” jawabku sambil mengalihkan pandangan dan kembali melanjutkan makanku.

Berbeda pada saat kami hanya berbalas email selama ini, melihatnya kembali membuat perasaanku campur aduk antara bahagia dan kekecewaan yang kembali muncul, tapi yang pasti apapun itu melihat dan mendengar suaranya masih memiliki efek yang kuat terhadap jantungku.

“Kamu belum berubah sama sekali,” ucapnya sambil duduk di sofa dengan Al di pangkuannya.

“Masih tetap jelek ya, Mas.”

“Hahaha…” Dia tertawa mendengar ucapan Dirga yang langsung mendapat delikan dariku.

“Masih galak juga.”

Aku kini mendelik padanya setelah mendengar apa yang dia ucapkan membuatnya kembali tertawa.

“Kamu pasti belum makankan? Ayo makan sekalian, Ibu masak banyak tadi.”

“Gampang, Bu, tar saja.”

“Tar kapan? Kamu pasti sibuk berlatihkan.”

“Makan dulu, Yud, Al biar sama Teteh.”

“Teteh sudah makannya?”

“Sudah, ibu-ibu yang punya anak kecil kalau makan kaya gak dikunyah, harus ngebut kalau gak gitu gak bakalan sempet makan.”

“Hahaha emak-emak memang jagoan.”

Aku mengerutkan keningku melihat kedekatan semua keluarga Kak Dimas yang aku kira baru bertemu sekarang tapi ternyata mereka cukup dekat.

“Bagaimana Jepang? Senang tinggal di sana?” dia bertanya sambil mulai makan.

“Lumayan,” jawabku singkat membuatnya mengangguk mengerti.

Aku tak tahu kenapa aku bisa sejutek itu kepadanya, satu sisi aku merasa bersalah tapi sisi lain aku juga belum siap kalau harus kembali ramah padanya seperti dulu walaupun aku telah setuju untuk berteman dengannya tapi tetap saja hatiku masih terluka mengingat masa lalu.

“Menyenangkan juga percuma, tetap jomblo dia,” ucap Dirga sambil tertawa.

“Kata siapa jomblo? Enak saja!” Aku menjawab dengan cukup kencang membuat semua keluargaku menatapku, berbeda dengan sang Letnan yang terlihat santai dengan makanannya. Aku juga heran kenapa aku berbicara seperti itu, seolah-olah tengah membuktikan padanya kalau aku telah melupakannya.

“Kamu punya pacar di Jepang?” tanya Kak Dimas sambil menatapku.

“Iya,” jawabku yakin.

“Orang Jepang?” tanya Ibu terkejut.

“Bukan, orang Indonesia tapi Ayahnya tugas di sana jadi dia ikut ke sana.”

Tiba-tiba semua terdiam membuat ruangan menjadi hening, yang terdengar hanya suara TV dan rengekan Al yang sepertinya sudah ngantuk, membuat Teh Wulan langsung membawanya ke kamar mereka.

“Ibu bisa tenang sekarang karena pacarnya Kekey bukan orang Jepang, jadi Ibu tak perlu belajar bahasa Jepang dari Doraemon.”

“Hahaha, Mas Yudha bener tuh, Bu… tenang saja pacarnya Kak Kekey berarti bukan Nobita.”

“Tapi Suneo,” lanjut sang Letnan membuat semua orang tertawa, mendengar itu aku langsung cemberut, untung saja ponselku berbunyi dan ku lihat yang menghubungiku adalah Rey temanku di Jepang yang tadi ku ceritakan.

“Lihat nih! Dia telpon!” aku berdiri dengan penuh kemenangan meninggalkan mereka semua untuk masuk ke dalam kamar dan menerima panggilan itu.

“Halo.”

“Hei, gimana rasanya pulang ke rumah?”

“Menyenangkan dan menyebalkan.”

“Hahaha, kenapa menyebalkan?”

“Hehehe biasa mereka selalu menggodaku.”

“Oh hahaha, mungkin mereka kangen sama kamu.”

“Iya.”

Rey kini sedang bercerita tentang kegiatannya hari ini dan aku seperti biasa jadi pendengar yang baik setiap kali dia menghubungiku ataupun bertemu, sedangkan di luar kamar terdengar tawa dari sang Letnan, Dirga, Ayah dan Kak Dimas yang sedang menggoda Ibu karena gak jadi dapat menantu orang Jepang, membuatku ingin bergabung dengan mereka.

Biar kuceritakan sedikit tentang Rey Wiryawan, dia adalah putra Dubes RI di Jepang dan sudah 4 tahun tinggal di sana bersama keluarganya. Secara fisik dia ya lumayanlah (menurutku masih jauh di bawah sang Letnan) hanya saja penampilan yang modis dan up to date membuatnya jadi menarik, berbeda sekali dengan pria-pria yang selama ini berada di sekelilingku yang terlihat cuek dalam penampilan dan lebih menyatu dengan alam, dia lebih suka nongkrong di café dan mall bersama teman-temannya yang memang dari kalangan atas.

Memang berbeda dengan typeku selama ini, tapi dia juga sangat baik, dia tahu bagaimana menyenangkan seorang perempuan dan bagaimana minta maaf kalau memang dia bersalah. Pernah dia terlambat ketika janjian denganku, dan dia datang dengan satu buket bunga sebagai permintaan maaf membuatku lupa kalau tadi aku sempat kesal. Itulah Rey yang selalu menghiburku disaat ku rindu rumah.

Aku kembali keluar kamar setelah mengakhiri panggilan dengan Rey, ku lihat di ruang tengah hanya ada Ayah dan ibu yang sendang nonton TV, aku terus berjalan ke teras belakang ketika kudengar suara petikan gitar, dan disanalah ku lihat sang Letnan duduk sambil bermain gitar milik Dirga.

“Dimana yang lainya?” aku bertanya setelah sebelumnya membulatkan hati kalau akan memerlakukannya seperti seorang teman, lagian sekarang dia tahu kalau aku sudah memiliki kekasih yang artinya dia juga harus tahu kalau aku sudah bisa melupakannya.

Sang Letnan menatapku sambil tersenyum tanpa menghentikan permainan gitarnya.

“Dirga pergi, Kak Dimas lagi nemenin Kak Wulan nidurin Al.”

Aku mengangguk kemudian duduk di kursi sampingnya, mendengarkan petikan gitarnya yang terdengar merdu sebelum akhirnya berhenti dan sang Letnan menaruh gitarnya di kursi sampingya.

“Kenapa berhenti?” tanyaku heran.

Sebenarnya bukan karena apa-apa aku ingin dia terus bermain gitar tapi lebih karena rasa canggung yang kurasa setelah dia berhenti main gitar membuat jantungku kembali menggila.

“Kan kamu mau cerita.”

“Siapa yang mau cerita?”

“Kamu.”

“Engga, iiih GR.”

“Hahaha… ya udah kalau gitu aku saja yang nanya.”

“Nanya apa?”

“Nanya tentang pacar kamu itu.”

Aku terdiam menatapnya.

“Jadi… apa dia baik sama kamu?”

Aku menatapnya yang juga menatapku, dan jujur saja aku tak bisa menebak apa yang ada dipikirannya saat itu.

“Baik,” jawabku membuatnya mengangguk.

“Dia sayang sama kamu?”

“Sayang.” Aku menjawab tanpa berpikir hanya karena ingin melihat reaksinya, dan ternyata dia tetap terlihat tenang.

“Kamu bahagia?”

“Bahagia.” Aku kembali menjawab sambil menatap matanya langsung seolah ingin memberitahunya kalau aku bisa bahagia berhubungan dengan lelaki lain.

Dia kembali tersenyum sambil mengangguk sebelum kembali bertanya, “Jadi, bagaiman tinggal di Jepang? Suka?”

Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaannya yang berbeda.

“Kenapa tidak bertanya aku suka apa tidak sama dia?”

Dia terdiam beberapa saat kemudian tertawa mendengar pertanyaanku.

“Itu tidak penting.”

“Kenapa tidak penting?”

“Karena yang lebih penting adalah kamu bahagia, dia baik dan sayang sama kamu, kalau kamu mau gak baik atau gak sayang sama dia mah biarin saja yang menderitakan dia bukan kamu.”

Aku diam terkejut mendengar ucapannya, seperti biasa dia memang selalu memberi jawaban yang tak pernah kuduga.

“Kalau aku tidak sayang sama dia berarti aku juga menderita dong karena terpaksa berhubungan sama dia.”

“Kalau kamu tidak sayang sama dia, kamu gak bakalan pacaran sama dia… aku kenal kamu, Key.”

Aku terdiam belum terbiasa mendengarnya memanggilku dengan panggilan yang sama seperti yang lainnya.

“Aku ini teman kamu dan penjaga hatinya kamu, bukan teman dia dan penjaga hatinya dia, jadi yang menjadi urusanku adalah kebahagianmu bukan kebahagiannya orang lain,” lanjutnya membuatku mengingat kalau dia pernah berkata kalau sekarang dia adalah penjaga hatiku untuk memastikan kebahagianku.

“Jadi bagaimana rasanya tinggal di negri orang berbulan-bulan?” dia kembali bertanya membuatku harus mengatur perasaanku yang bercampur aduk untuk beberapa saat sebelum akhirnya menjawabnya.

“Lumayan.”

“Awalnya pasti menyenangkan lihat salju, menikmati suasana yang berbeda, tapi setelah beberapa hari kita mulai kangen rumah, masakan rumah, kita bahkan kangen macet-macetan sama panas juga.”

“Iyaaa, benar banget!”

Aku mulai bercerita panjang lebar tentang pengalamanku di Jepang, dan setiap aku berhenti bercerita dia akan bertanya tentang apa saja yang membuatku kembali bercerita dengan semangat. Itulah sang Letnan yang selalu bisa membuatku bercerita apa saja dan dia akan menjadi pendengar yang baik.

Perlahan dinding kecanggungan yang sebenarnya aku sendiri yang bangun mulai runtuh, aku sendiri juga heran kenapa aku bisa secepat itu membuka diri padanya? Padahal beberapa menit lalu aku masih merasakan kekecewan, walaupun sudah tak semarah dulu.

Mungkin karena perjuangannya selama beberapa bulan ini yang tak pernah menyerah untuk mendekatiku dan benar-benar berperan sebagai teman. Tak adalagi kata-kata romantis atau gombal yang diucapkan, tidak ada lagi kata rindu dan cinta yang terlontar ketika kami jauh, hanya apa kabarmu hari ini? Apa semua baik-baik saja? Dan aku bersyukur untuk itu, karena dengan itu aku bisa kembali manata hati dan belajar untuk membuka diri kepada lelaki lain, walaupun belum sepenuhnya memercayai mereka.

“Kamu sendiri gimana?” aku bertanya, dan aku masih canggung kalau harus memanggilnya dengan sebutan Mas Yudha seperti dulu.

“Aku? baik-baik saja,” jawabnya singkat sambil tersenyum dan kembali mengambil gitar setelah mendengar ceritaku, seolah kisahnya tidak sepenting kisahku yang perlu mendapat perhatian lebih darinya.

“Curang!”

“Hahaha... curang kenapa?”

“Aku tadi ceritain semuanya, kamu enggak… teman itu harus saling terbuka,” ucapku membuatnya menatapku kemudian tersenyum.

“Baiklah, teman, apa yang mau kamu tahu?”

“Bagaiman kabarmu?”

“Baik-baik saja.”

“Tuhkan curang!”

“Hahaha… kamu kan nanya kabar, aku sudah jawab kalau aku baik-baik saja, curangnya dimana?”

“Ya cerita kaya aku tadi dong, aku kan ceritanya kumplit.”

Sang Letnan tertawa kemudian mulai bercerita.

“Aku kan sudah cerita semuanya di email, aku sekarang tugas di Batujajar (Tempat Kopassus di Bandung) jadi kalau mau sih, bisa pulang tiap hari. Tapi Batujajar-Sukajadi itu sama saja kaya ujung ke ujung, jadi aku milih tinggal di mess kalau tak mau tubuhku remuk gara-gara capek di jalan.”

“Pulangnya seminggu sekali?”

“Ya gak juga, kalau libur dan bisa saja baru pulang ke Sukajadi sama ke sini, numpang makan, hehehe.”

Aku tersenyum mendengarnya, dia kembali menatap ke depan sambil memetik gitar melantunkan melodi dari lagu barat tahun 90an, aku sepertinya pernah mendengarnya tapi aku lupa ini lagu siapa.

“Kalau… Widy gimana kabarnya?” aku bertanya dengan ragu, tapi jujur saja aku ingin mengetahui berita soal terbaru tentang dia dan mantan tunangannya itu.

“Widy? Kalau soal dia kamu tanya Kak Dimas saja, kayanya dia yang lebih tahu kabar Widy daripada aku.”

Dia berkata dengan santai, aku tak tahu bagaimana dia bisa sesantai itu seolah tak terpengaruh dengan bahan pembicaraan kami saat ini. Dia kembali asik bermain gitar, dengan lagu yang sama, membuatku penasaran dengan lagu yang sedang dia mainkan.

“Ini lagu siapa?”

“Hehehe… cari tahu sendiri.”

Dia kini menggumamkan nadanya sambil menatap kejauhan kemudian menatapku sambil tersenyum.

“Belum ketebak?”

Aku menggeleng, dia kembali menggumamkan nadanya sambil menatapku dan itu membuat jantungku kembali menggila. Sudah sejak lama aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini lagi, ketika debaran memacu desiran darah yang terasa hangat mengisi dada.

“PR kamu, cari lagu apa itu,” ucapnya sambil menaruh gitar kemudian berdiri, sedangkan aku masih duduk berusaha menormalkan kembali debaran dada yang memacu, “Pulang dulu ya,” lanjutnya sambil mengacak-acak rambutku pelan dan pergi meninggalku dengan dadaku yang seolah mau meledak.

“Sudah malam, Yud, nginep saja, besok pagi baru pulangnya.”

Aku mendengar Ayah berbicara ketika sampai di ruang keluarga dimana semua orang kini tengah duduk sambil nonton TV. Aku melihat jam dinding dan ternyata sudah jam 10 malam, aku tak tahu kalau tadi kami ngobrol lumayan lama.

“Gak apa-apa, Yah, jam segini mah masih rame jalanan juga, tak perlu khawatir.”

Sang Letnan memakai jaket perka berwarna hijau armi membuatnya terlihat keren.

“Nanti ke sini lagikan?” tanya Kak Dimas sambil berdiri.

“Kak Dimas pulang ke Semarang kapan?”

“Sabtu.”

Sang Letnan mengangguk mengerti, “Insyaallah sabtu saya ke sini lagi, Kak,” ucap sang Letnan sebelum akhirnya pamit pada semua orang, dan aku dengan gontai berjalan di belakangnya mengantarkannya pulang sampai di teras. Dia menaiki motornya kemudian memakai helm.

“Nanti…” Aku ingin berkata nanti hubungi aku kalau sudah sampai mess, tapi harga diriku seolah mengunci mulutku membuatku hanya tertunduk sambil memainkan kaki-kakiku di atas pekarangan.

“Nanti apa?” tanya sang Letnan sambil duduk di atas motor dan menatapku di balik helmnya, aku hanya menggeleng sebagai jawaban membuatnya terdiam beberapa saat kemudian menyalakan mesin motornya.

“Ya udah, aku pergi dulu… assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Aku berdiri menatap kepergiannya sampai motornya benar-benar tak terlihat sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah dan langsung masuk kamar. Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur, memikirkan hari ini. Pulang ke Indonesia berkumpul dengan keluargaku adalah sesuatu yang paling aku tunggu-tunggu selama tinggal di luar, tapi jujur saja bertemu dengannya di hari pertama kepulanganku… aku tak pernah membayangkan itu akan terjadi.

Aku pikir kalau kami bertemu mungkin akan canggung mengingat apa yang sebelumnya terjadi tapi tadi benar-benar di luar ekspektasiku. Semua terkesan biasa seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan kami, dan kami hanyalah teman lama yang baru saja bertemu kembali.

Mungkin awalnya aku merasa canggung, tapi melihatnya begitu santai bercengkrama dengan keluargaku, bahkan kami sempat membicarakan tentang pria yang kini dekat denganku, dan melihat caranya memerlakukanku membuatku mulai merasa nyaman dekat dengannya… sebagai teman.

Ya, karena kini dia hanyalah salah satu temanku tak lebih! Cerita masa lalu kami telah berakhir di bukit bintang Yogyakarta saat itu. Walaupun aku sudah tahu cerita yang sebenarnya, dan dia tak salah dalam hal itu, tapi tetap saja hatiku telah hancur. Aku mungkin tak lagi marah, hanya saja… aku kecewa.

Sekarang aku ingin mencoba menulis lembaran baru dengan cerita baru, sedangkan dia… dia akan ada di dalamnya tapi hanya sebagai teman.

Jam menunjukkan pukul 11 lebih ketika ponselku berbunyi.

Aku sudah sampai mess, cuma mau ngasih tahu takut temanku khawatir… selamat malam teman.

Aku mambaca pesan yang masuk kemudian tersenyum, “Selamat malam teman.”

*****

Bab 3

Seperti yang sudah Arga janjikan sabtu siang sekitar jam 2 dia datang ke rumah. Penampilannya sedikit berbeda tak ada lagi rambut gondrong yang ada kini rambut pendek khas pegawai kantoran, tapi tetap saja penampilannya terkesan cuek.

“Jadi masih sama Irene?”

“Masih dong, hehehe.” Aku melihat senyum bahagia menghiasi wajahnya.

“Irene tahan juga.”

“Hahaha… kepaksa kayanya, Key.”

“Kayanya, Ga, gak tega mau putusin kamu takut gak laku lagi.”

“Hahaha.”

Saat ini kami sedang duduk di teras depan sambil makan bakso malang yang lewat depan rumah.

“Letnan gak ke sini?”

Aku tersedak ketika Arga tiba-tiba bertanya tentang sang Letnan yang beberapa hari ini tak ada kabarnya itu.

“Waktu hari rabu ke sini, kok tahu dia suka ke sini?”

“Ya tahulah, kalau ke sinikan suka barengan, nebeng makan hehehe.”

“Hehehe dasar… pas dia datang aku kaget, Ga, kok dia bisa deket sama keluarga Kak Dimas? Kan mereka baru ketemu.”

“Mereka pernah bertemu sebelumnya.”

“Kapan?”

“Pas kamu pergi ke Jepang.”

“Oooh.”

Aku ingat hari itu Kak Dimas memang datang ke Bandung tapi dia gak sempat mengantarku ke bandara karena sudah terlanjur ada janji, sedangkan Teh Widy tetap di rumah karena Al tidur.

“Terus masa dia cuek aja, maksudku benar-benar kaya teman yang sudah lama gak ketemu gitu, ya kaya kamu gini.”

“Memang harusnya gimana? Kan kalian sekarang temenan, kalau teman ya kaya gitu.”

“Maksudku kok dia gak canggung gitu ketemu sama aku.”

“Hahaha, emang kamu canggung ketemu sama dia.”

“Ya iyalah, Ga, gila aja kalau enggak… secarakan dulu kita pernah…” aku tak bisa melanjutkan perkataanku, “Ya, kamu tahu sendirilah.”

“Dia juga pasti sama cuma tak mau saja ngelihatin di depan kamu, kalau dia lihatin dia canggung juga kalian berdua gak bakalan nyaman, seharusnya kamu bersyukur kalau dia biasa-biasa depan kamu jadikan kamu-nya juga nyaman dan kebawa biasa-biasa aja.”

“Iya sih.”

“Iyalah, makanya udah biasa saja sama dia… kasihan, dia kan sebenarnya gak salah-salah banget, tapi memang dianya saja terlalu baik jadinya ya gitu deh dimanfaatin orang-orang egois macam mereka itu.”

“Iya sih, tapi tetap saja aku sedikit kecewa sama dia, Ga, karena mentingin kebahagian orang lain daripada kepentinganku.”

“Yah wajar kecewa, tapi ingat bukan cuma kamu yang menderita, Key, dia juga sama menderitanya, terus jangan lama-lama keselnya tar kamu yang nyesel juga sudah galak-galak sama dia.”

“Hehehe… tapi tahu gak, Ga, dia santai banget pas aku cerita tentang Rey.”

“Rey? Siapa?”

“Aku belum cerita ya?”

“Belum.”

“Rey itu cowok yang lagi deket sama aku sekarang.”

“Pacaran?”

“Hmmm… iya kali.”

“Kok ragu?”

“Dia pernah bilang sayang sama aku, tapi aku gak jawab.. aku cuma senyum aja, tapi dia pernah nanya mau gak jadi pacarnya dia?”

“Kamu jawab apa?”

“Aku bilang aku tak percaya lagi cinta, terus dia bilang kalau dia akan membuatku kembali memercayai cinta asal diberi kesempatan.”

“Kamu kasih kesempatan itu?”

“Dia baik, Ga, dia memerlakukanku seolah aku ini prioritas utama dalam hidupnya.”

“Jadi kamu kasih dia kesempatan?”

Aku terdiam kemudian mengangguk menjawab itu, “Aku memberinya kesempatan untuk membuatku percaya akan cinta, tapi rupanya itu dianggap kalau aku bersedia menjadi pacarnya.”

Arga terdiam terlihat berpikir kemudian mengangguk mengerti, “Jadi dia menganggap kalau kalian sudah berpacaran?”

“Iya… dia baik, Ga, dia suka ngasih bunga, coklat sama hadiah-hadiah lain juga, aku dikenalin juga sama teman-temannya.”

“Terus kamu suka, dia kasih hadiah-hadiah kaya gitu? Kenapa kamu gak kasih penjelasan yang tegas tentang status kalian?”

“Karena aku ingin membuktikan pada diri sendiri kalau aku masih bisa mencintai pria lain selain… dia, dan aku ingin membuktikan kalau aku bisa bahagia dengan pria lain.”

Arga menatapku beberapa saat terlihat berpikir kemudian membuang napas berat.

“Kenapa?”

“Dan apa itu berhasil? Maksudku kamu sekarang bahagia dengannya?”

Aku terdiam berpikir kemudian mengangguk, “Aku menyukai perhatian-perhatian yang dia berikan padaku, dan ku harap perlahan aku bisa mencintainya seperti dia mencintaiku.”

Arga kembali terdiam menatapku sebelum akhirnya bertanya.

“Jadi kamu cerita sama Letnan soal cowok itu?”

“Iya, tapi masa, Ga, dia cuek saja.”

“Terus harusnya gimana?”

“Ya gimana kek, kaget kek atau apa gitu.”

“Cemburu maksudnya?”

“Ya engga cemburu juga, tapi ya gimana ya, maksudnya bereaksi apa kek, ini mah cuek saja makan.”

“Hahaha… kamu mau dia cemburu? Jangan jadi temannya kalau gitu, pacaran saja pasti dia bakalan ngamuk-ngamuk.”

“Iiih! Apaan sih, Ga, yang kemarin saja masih belum sembuh kali sakit hatinya.”

“Hahaha… kamu cerita juga kalau dia suka ngasih hadiah-hadiah?”

“Engga-lah… aku cuma bilang kalau aku punya pacar di Jepang, terus dia nanya baik gak? Aku bilang baik, dia nanya lagi sayang sama kamu? Aku bilang sayang, terus nanya lagi kamu bahagia gak? Aku bilang bahagia, ya udah gitu aja, kata dia yang penting aku bahagia.”

Arga tersenyum mendengarku, “Terus?”

“Ya udah, dia main gitar lagi.”

“Terus dari rabu itu dia belum ke sini lagi atau ngehubungin kamu?”

“Belum.” Aku membuang napas berat sambil menaruh mangkuk bakso di meja, “Dia bilang hari ini mau ke sini sudah janji sama Kak Dimas, tapi sampai sekarang belum datang juga.”

“Mungkin dia pulang dulu ke rumah, kenapa gak telpon aja tanyain.”

“Nhapain? Biarin saja kalau mau ke sini juga tar datang sendiri.”

Aku bisa melihat Arga menahan tawanya tapi aku tak peduli, aku hanya pura-pura tak melihatnya saja. Dan ternyata tebakannya benar sekitar jam 5 sang Letnan turun dari mobil Land Rover hitam miliknya.

“Dari tadi, Ga?”

“Iya, sudah kenyang ngebakso, sudah kenyang juga dengar yang curhat.”

“Curhat apaan?”

“Curhat katanya ada yang cuek deng… Aaww!!!”

Aku langsung menginjak kaki Arga sekuat tenaga dengan mata melotot menyuruhnya diam.

“Hahaha... tenang saja, Ga, kamu bukan satu-satunya yang pernah diinjak kaya gitu.”

Aku mentap sang Letnan yang masih tertawa melihat Arga kesakitan.

“Masuk dulu ya.” Sang Letnan mengacak-acak rambutku pelan seperti malam itu sambil berjalan masuk ke dalam meninggalkanku yang langsung memukuli Arga.

“Dasar bawel! Awas ya aku gak bakalan cerita-cerita lagi.”

“Kan tadi ngomongnya belum beres kamunya saja sudah GR duluan.”

“Emang tadi mau ngomong apaan? Pasti ngomong aku yang bilang dia cuek dengar aku punya cowokkan?!”

“Iiiih! GR siapa yang mau bilang gitu? Aku mau bilang ada yang cuek dengar kamu pulang sampai gak telpon apa lagi pulang ke rumah. Kan tadi kamu bilang Mas Juang belum telpon padahal tahu kamu sudah pulang.”

Aku tadi memang sempat bilang gitu ke Arga kalau Mas Juang yang lagi di Aceh sibuk banget sampai belum telpon.

“Beneran mau ngomong gitu?” aku menatap Arga galak.

“Iya beneran.”

Arga berdiri sambil mengibas-ngibaskan kakinya yang tadi ku injak.

“Sudah ah, mau jalan dulu.”

“Kemana?"

“Pacaran… jangan ikut!”

“Siapa yang mau ikut, malesin jadi kambing conge.”

“Ciee.. bilang saja ada dia makanya gak mau ikut.”

“Iiiih enggak! Aku gak ikut kan Kak Dimas mau pada pulang hari ini.”

“Alasan padahal mah bukan Kak Dimas tapi.. aww-aww ampun-ampun!”

Aku mencubit pinggang Arga kencang karena terus menggodaku dengan sang Letnan. Hah! Dia tak tahu apa kalau aku sama sang Letnan sudah benar-benar berakhir... case closed!!! Sekarang kami hanya teman… ingat cuma te-man!!!

Aku menemani Arga masuk ke rumah untuk pamit pulang tapi tak ku temukan Sang Letnan, Ayah maupun Kak Dimas di ruang keluarga.

“Dia di belakang,” kata Kak Wulan sambil tersenyum.

“Aku gak nyariin Mas Yudha kok!”

“Siapa yang bilang Yudha, Teteh kira Arga nyariin Kak Dimas mau pamitan.”

“Naah! Teh Wulan benar, Arga memang nyariin Kak Dimas gak tahu kalau Kekey.”

Aku langsung menatap Arga tajam yang hanya membuatnya tersenyum jahil penuh kemenangan.

“Salamin saja deh, Teh, sudah ditunggu soalnya.”

“Ya sudah, nanti Teteh salamin ya.”

Aku kembali masuk ke dalam setelah mengantar Arga pergi dan mereka sepertinya belum selesai bicara, entah apa yang mereka bicarakan tapi itu membuatku sedikit… hanya sedikit penasaran. Ingat, hanya sedikit penasaran!

Mereka baru selesai bicara pas adzan magrib, seperti biasa sang Letnan, Ayah dan Kak Dimas akan pergi ke masjid untuk shalat berjamaah dan kembali lagi untuk bersiap-siap pergi ke stasiun mengantar keluarga Kak Dimas. Yap! Kami berdua yang mengantar mereka menggunakan mobil sang Letnan, sedangkan Ayah dan Ibu hanya dadah-dadah di teras setelah sebelumnya peluk cium dan sedikit mellow khas orangtua.

****

*S**elamat makan siang semuanya*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!