Steven menatap datar koper di hadapannya. Menimbang kembali keputusannya. Sesungguhnya ia tidak menyukai tinggal di tempat ayahnya. Hubungan mereka tidak terlalu dekat bahkan terkesan canggung. Mereka sudah berpisah sejak Steven berumur sepuluh tahun.
"You sure ..." ibunya berdiri di ambang pintu kamarnya. Memintanya untuk memikirkan keputusannya sekali lagi.
"I'm sure mom ... "
Ibunya hanya mengangguk dan masuk untuk memeluk Steven sesaat sebelum meninggalkannya untuk bekerja. Ibunya sudah menyiapkan segala sesuatu untuk kepergian putranya. Termasuk surat pindah sekolah dan sudah menghubungi mantan suaminya juga.
Steven menyeret kopernya keluar rumah dan masuk ke dalam taksi yang sudah menunggunya. Ia merogoh ponselnya dan membuka galeri foto. Menatap tiga orang yang ada di dalam foto tersebut, salah satunya adalah ia sendiri yang berada di tengah-tengah. Matanya berkaca-kaca dan dengan segera mengalihkan pandangannya keluar jendela.
Langkahnya bahkan terasa berat untuk meninggalkan tempat itu. Sekali lagi ia menoleh ke belakang sebelum benar-benar masuk ke dalam pesawat. Menyamankan diri di kursinya dan memejamkan matanya.
Sesampainya ia di bandara Internasional suekarno-hatta, Steven segera di sambut oleh ayahnya dengan senyum tipis khasnya. Steven memeluk ayahnya sesaat sebelum mendahului ayahnya melangkah dari sana.
"Ayah akan ke stadion terlebih dahulu, bisakah kamu menunggu sebentar?"
"Hmm ..."
Ayahnya memaklumi anaknya yang masih bersikap dingin padanya. Dia juga memahami sifat Steven yang sensitif dan tertutup. Karena itu ia tidak berkata apa-apa lagi sampai mereka masuk ke dalam mobil.
Maka di sini ia sekarang, duduk di ruang tunggu yang sebagian besar di isi oleh pemain sepak bola usia remaja yang hampir sama dengannya. Menunggu ayahnya yang sejak setengah jam yang lalu menemui entah siapa. Sungguh Steven sangat bosan dan sangat tidak suka saat anak didik ayahnya menatapnya dengan pandangan tertarik.
"Hai! Aku Aldo ... kapten tim inti. Anak pelatih Kim benar?"
Steven menatap tangan yang terjulur padanya sebelum mendongak dan menatap lurus bola mata hitam pekat di hadapannya.
"Apa dia mengerti bahasa Indonesia?" sahut seseorang di belakang anak bernama Aldo itu.
Steven mendengus sebentar sebelum bangkit berdiri, menjabat tangan Aldo sesaat sebelum menyebutkan namanya juga.
"Steven Kim ... aku tahu bahasa indonesia," katanya datar.
Tentu saja, pikir Steven. Dia lahir dan tinggal di Indonesia sampai umurnya 10 tahun sebelum orang tuanya bercerai.
"Ah ... Oke! Salam kenal ya! Apa kamu pemain sepak bola juga?"
Steven menatap anak yang berada di belakang Aldo yang bahkan belum menyebutkan namanya.
"Tidak tertarik_" Steven melirik ke arah ke arah pintu yang terbuka, melihat ayahnya masuk bersama seorang pria yang memakai pakaian yang sama dengannya.
"Steve ... ayo berangkat," kata ayahnya setelah menyapa anak-anak didiknya.
Steve mengikuti ayahnya dan keluar dari sana. Beberapa anak saling bertukar pandang akan jawaban anak pelatih mereka, tidak menyangka sama sekali mengingat sejarah ayahnya sebelum menjadi pelatih adalah pemain profesional dan masuk dalam tim inti pemain nasional serta berada di dalam klub elit tim kesebelasan Korea.
.
Steve memandang datar rumah ayahnya saat memasuki gerbang. Tidak sebesar mension ibunya namun terlihat cukup nyaman. Lagi-lagi pikirannya berkelana jauh, memikirkan alasan ia meninggalkan sekolah lamanya sekaligus meninggalkan Singapura tempat di mana ibunya saat ini bekerja.
"Ada yang mengganggumu?"
Steven menoleh, menatap ayahnya dengan mata elangnya sebelum merespon dengan gelengan pelan, lalu ia membuka pintu mobil untuk segera keluar. Ia mengambil kopernya dan menyeretnya menuju pintu masuk yang masih terkunci.
"Ayah tidak memiliki pembantu atau semacamnya, ayah mengerjakan semuanya sendiri. Kalau tidak memungkinkan, barulah ayah akan menyewa pembantu harian. Apa kamu masalah dengan itu? Apa kita perlu mencari pembantu tetap?" tanya ayahnya.
Steven tentu saja tidak bisa melakukan pekerjaan rumah dengan baik. Selama ini ia hidup mewah bersama ibunya. Ibunya seorang pembawa acara televisi terkenal dan juga bintang iklan. Setiap pagi ia di layani setidaknya dua pembantu meski ia sendiri mampu melaksanakannya.
"Hmm... tidak perlu," jawab Steven dengan nada ragu-ragu.
Ayahnya terkekeh pelan sambil mengusap rambutnya, memberikan afeksi dan perhatian yang membuat Steven merasa nyaman.
"Tidak apa, ayah tahu ibumu memanjakanmu, besok ayah akan cari pembantu khusus untuk mengurusi rumah dan kamu."
"Apakah sekolah itu memiliki asrama?."
Ayahnya menatapnya sejenak, sedikit terkejut dengan pertanyaan anaknya. Dalam benaknya, ia bertanya-tanya apakah Steven tidak ingin tinggal dengannya?
"Tolong jangan salah paham, saya hanya ingin lebih mandiri dan_"
"Meskipun sekolah itu memiliki asrama, untuk sementara kamu akan tinggal bersama ayah dulu. Lain kali kita bicarakan tentang hal ini. Istirahatlah ... ayah akan pesan makanan untuk makan siang kita. Kamarmu ada di lantai dua," potong ayahnya dan segera beranjak dari sana. Enggan membicarakan lebih lanjut.
Steven menatap punggung ayahnya dalam diam. Bingung ingin menjelaskan bagaimana agar ayahnya tidak salah paham. Menghela napas dengan pasrah, ia berbalik dan menaiki tangga menuju lantai dua.
Kamarnya cukup luas. Steven melihat ayahnya mempersiapkan ini dengan cara yang sedikit berlebihan. Sejak perceraian dengan ibunya, ayahnya hanya hidup seorang diri. Steven tahu ayahnya bisa mencari wanita lain. Seperti yang dilakukan ibunya meskipun selalu berakhir gagal, namun ayahnya tidak pernah membawa siapapun padanya untuk di perkenalkan. Setahunya, ayahnya hanya sibuk bekerja dan bekerja.
Ada banyak baju baru di dalam lemari yang sesuai ukurannya dan juga sesuai dengan seleranya. Ada laptop dengan paket lengkap di meja belajarnya. Steven bisa melihat bahwa itu masih baru. Kamarnya tertata rapi seperti seleranya, tidak jauh berbeda dengan yang ada di rumah ibunya.
Steven menarik kopernya dan menyusun baju dan barang-barang yang di bawanya sebelum turun kembali ke bawah. Melihat ayahnya yang sedang mencuci piring di dapur. Steven duduk di kursi pantri dan menatap punggung ayahnya.
"Ayah menyiapkan banyak hal untukku,"
Ayahnya menoleh sedikit sebelum melanjutkan pekerjaannya.
"Hmm ... Ayah hanya terlalu senang saat kamu mau pindah ke sini. Ayah sangat merindukan jagoan Ayah," ujar ayahnya, ia tersenyum dan hal itu membuat hatinya menghangat.
Ayahnya adalah sosok yang tidak segan-segan menunjukkan kasih sayang, berbeda dengan ibunya yang memiliki tempramen tinggi dan sulit untuk menunjukkan kasih sayangnya. Ayahnya adalah orang yang hangat dan tegas sekaligus.
"Besok kamu mulai sekolah, Ayah harap kamu betah dengan sekolah barumu, berada di tingkat tiga saat pindah bukanlah hal yang mudah, meskipun sekolah ini bertaraf internasional, tetap saja banyak perbedaan_"
"Jangan kawatir ... " sahut Steven pelan. Ayahnya hanya mengangguk. "Tentu, kamu selalu meraih nomor satu di sana. Tentang pelajaran tentu bukan hal yang sulit,"
Ayahnya meninggalkannya untuk menjemput pesanan mereka di depan pintu. Steven tahu kekawatiran ayahnya adalah masalah pergaulan. Indonesia tentu saja berbeda dengan Singapura. Namun Steven tidak begitu ambil pusing. Dia pernah kecil di sini sebelum pindah mengikuti ibunya, jadi meskipun banyak perubahan yang terjadi, tidak akan menjadi masalah besar baginya.
Steven berdiri di depan kelas barunya, kelas yang hanya berisi sekitar 20 anak saja. Kelas yang ia masuki adalah kelas unggulan dimana hanya berisi siswa berprestasi. Karena itu jumlahnya juga sedikit dari kelas lain.
"Silahkan perkenalkan dirimu," ujar gurunya
Steven menghela napas, ada banyak pasang mata yang mentapnya dengan pandangan angkuh. Kelas unggulan tentu saja berbeda, dia tahu tidak akan ada pertemanan di sini kecuali jika mendapatkan keuntungan.
"Steven Kim, you can call me steven. from Singapura international high school,"
Steven menyudahi perkenalan singkatnya lalu menoleh kepada gurunya.
"Kamu bisa duduk di belakang Irfan,"
Steven menoleh pada anak yang mengangkat tangannya singkat sebelum kembali fokus pada bukunya. Steven tidak ambil pusing, ia segera duduk dan mengabaikan pandangan ingin tahu anak lain. Baginya, memikirkan pandangan orang lain terhadapnya tidak berguna sama sekali. Dia hanya melakukan apa yang menurut pandangannya benar.
Setelah bel istirahat pertama berbunyi, semua anak tampak merenggangkan otot-otot yang tegang. Kemudian, beberapa anak perempuan menghampiri Steven.
"Hai, Aku Lea lalu ini temanku Fina dan Anggun. Kamu tidak masalah dengan bahasa Indonesia kan? Aku dengar ibumu orang Indonesia."
Steven tidak tahu dari mana anak bernama Lea ini tahu mengenai dirinya, namun ia tidak peduli. Wajah datarnya tentu sudah menjawab hal itu.
"Mau ke kantin bersama kami?" tawar Lea lagi, dia menampilkan senyum manisnya.
"Cih ... dasar genit, mentang-mentang ganteng," ujar anak yang tidak Steven ketahui namanya, berdiri angkuh dan memandang benci ke arahnya.
"Tidak ada urusannya denganmu ya ... Alfa!" bentak Lea dengan wajah tidak kalah angkuh. Mereka saling berhadapan dengan saling lempar tatapan sengit.
"Oh ... Steven sekolah di sini juga?"
Pengalih perhatian datang dari ujung kelas dekat pintu, semua mata menatap mereka tidak percaya. Bagaimana Steven sudah mengenal geng populer sekolah yang dipimpin oleh kapten tim sepak bola sekolah, sekaligus kapten timnas remaja. Ya, dia adalah Aldo, anak yang kemarin memperkenalkan diri padanya, tampaknya ia masuk ke kelas ini untuk menemui sahabatnya yang duduk di bangku paling depan.
"Ikut dengan kami?" ujar Aldo ramah.
Tampa pikir panjang Steven bangkit dan mengikuti Aldo yang langsung merangkulnya dengan bersemangat.
"Apa ayahku yang menyuruhmu untuk berteman denganku di sekolah?" tanya Steven dengan wajah datarnya saat mereka memasuki kantin.
"Oh ... kamu memang berbeda ya, pintar sekali. Tapi tidak di suruhpun aku akan tetap berteman denganmu." jawab Aldo santai. Dua temannya menyambut mereka bertiga di kantin.
Terdengar bisik-bisik dan juga banyak pasang mata melihat Aldo dan gengnya. Steven bisa melihat bahwa tidak buruk juga berteman dengan anak-anak ini, toh dia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini di sekolah lamanya.
"Ini Fajar, yang sekelas denganmu. Dia kapten tim basket. Ini Bobi dan dia Rafael. Mereka semua anak basket kecuali aku." kata Aldo memperkenalkan teman-temannya.
Steven ikut memperkenlkan diri. Bobi sangat tinggi dan tubuhnya juga tampak bagus, tidak heran ia menjadi pemain basket. Fajar sang kapten tidak setinggi Bobi, bahkan Steven lebih tinggi darinya. Sedangkan Rafael terlihat seperti wanita dengan rambut panjang sebahunya. Steven bahkan heran bagaimana rambut itu bukan suatu pelanggaran di sini.
"Apa sekolah tidak melarangmu dengan rambut begitu?" tanya Steven ingin tahu.
"Dia anak kepala sekolah, mana mempan peraturan baginya," ujar Fajar dengan nada sindirannya.
"Hei! Kalau jalan pakai mata! Kamu mengotori sepatuku! Dasar kampungan!"
Fokus mereka teralihkan pada teriakan anak perempuan di dekat meja kasir. Steven bisa melihat bahwa wanita yang sekelas dengannya tadi sedang membentak anak perempuan lain.Seorang anak yang sepertinya tidak takut sama sekali padanya. Steven bisa melihat sorot mata penuh keberanian itu.
"Siapa yang kamu bilang tidak punya mata! Mata kecilmu itu yang tidak bisa lihat! Kamu yang salah kenapa malah marah, dasar sinting!" ujarnya dengan kalem, dia berbicara tampa eksperesi kemarahan, namun kata-katanya sangat tajam.
"Lihat anak kampung ini! dia mengataiku sinting?" Lea dengan wajah marahnya bertukar pandang dengan dua temannya sebelum melayangkan tamparan pada anak perempuan di depannya. Sayangnya tangannya di tangkap dengan mudah oleh anak itu. Steven menatap anak perempuan itu dengan tertarik. Aldo bangkit dan berjalan ke arah pertengkaran itu.
"Berhenti berbuat onar dan kembali ke tempat kalian masing-masing!" kata Aldo dengan wibawanya.
"Perhatikan perkataan anda kakak ketua osis yang terhormat. Yang buat onar hanya si cabe ini!" ujar anak perempuan yang menjadi lawan Lea tadi, lalu dia melengos menuju bangku temannya. Ia terlihat sangat kesal.
"Aku kan hanya membela diri Al_" lirih Lea dengan wajah yang dibuat sedih. Tentu saja Aldo tahu itu hanya akting belaka. Karena setelah itu Lea dan dua temannya dengan riang meninggalkannya mencari bangku mereka.
"Jadi dia juga ketua osis?" tanya Steven.
"Ya begitulah. Dia paket komplit di sini. Memang buat iri ... Tapi kamu jangan ikut iri! Aku yakin kamu akan sama terkenalnya, aku yakin akan bobrok juga seperti kami."
Oke, Steven termasuk baru lagi di Indonesia, Sedikit banyak ia tidak mengerti kosa kata baru yang tidak pernah ia dengar dari ibunya. Namun ia tidak akan dengan idiotnya bertanya apa arti kata 'bobrok' yang di sebutkan Bobi barusan.
"Anak itu sangat menyusahkan," keluh Aldo saat sudah duduk kembali di kursinya.
"Suruh siapa jadi ketua," sahut Fajar acuh.
"Tapi Lea memang seperti itu kan, jelas itu cuma untuk memancing perhatian kenapa kamu ladeni?" ujar Bobi.
"Itu karena dia sudah main tangan pada Clara" sahut Rafael.
"Aldo kan tidak mau Clara kenapa-kenapa,"
Sontak semua tertawa kecuali Steven, dia tidak menangkap dimana lucunya percakapan itu.
"Clara pacarmu?" tanya Steven tampa peduli Aldo yang langsung tersedak minumannya.
"Pacar apanya! Aku sudah bertunangan" jawab Aldo setelah menguasai diri.
"Sudah tunangan ... tapi tetap aja suka sama Clara," tuduh Bobi.
"Clara adalah wakil ketua osis omong-omong," lanjut Rafael.
"Cinta terpendam ketua osis," lanjut Bobi dengan seringai jahilnya.
"Jangan dengarkan!" pinta Aldo dengan datar.
Steve menatap anak perempuan yang bernama Clara tadi dengan intens. Ada sesutu yang membuatnya penasaran. Clara terlihat tangguh dan itu membuatnya tertarik. Selama ini ia di kelilingi wanita yang jenisnya sama. Membuatnya muak apalagi ketika mereka mendekatinya tampa malu-malu, lalu dengan santai mengajaknya berpacaran.
"Kenapa? tertarik dengannya juga?" Pertanyaan Fajar membuat Steven mengalihkan pandangnnya. Menatap Fajar meminta penjelasan.
"Kamu menatapnya terus, suka?" tanya Fajar lagi.
"No, just ..." perkatannya terhenti saat tatapannya beradu dengan Clara secara tidak sengaja. Clara mengernyit sebelum bangkit berdiri dan pergi dari sana dengan ekspresi galak.
"Just funny ..." lanjut Steve dengan pandangan yang sulit di artikan. Membuat Aldo yang duduk di sampingnya menatapnya dalam diam.
"Yah... ini tidak bagus," kata Rafael.
Mendengar itu Steven menyeringai sebelum menoleh pada Aldo yang masih menatapnya.
"Why?"
Keduanya saling tatap sebelum Aldo yang memutus pandangan dan terkekeh pelan.
"Bukan apa-apa ... Ayo kembali ke kelas, sebentar lagi bel masuk berbunyi." ucap Aldo. Ia mendahului yang lain pergi dari sana.
Ketiga temannya saling bertukar pandang sebelum ikut bangkit. Fajar mengajak Steven kembali ke kelas saat dua temannya sudah jalan duluan.
Sesampainya di kelas, meja Steven sudah penuh dengan minuman dan jajanan yang membuatnya mengernyit. Menatap teman sekelasnya sebelum akhirnya menyadari ada gerombolan anak perempuan yang sedang mengintip dari jendela dan beberapa di pintu untuk melihatnya.
Steven kesal tentu saja, bahkan saat ia duduk laci mejanya penuh dengan kartu ucapan. Ia mengambil beberapa dan membacanya. Rata-rata ucapan selamat datang dan pujian-pujian untuknya. Begitu bel berbunyi, gerombolan anak perempuan itu akhirnya meninggalkan kelas mereka. Fajar tertawa terbahak-bhak melihat ekspresi Steven yang tampak kesal.
"Ini hari pertamu tapi kamu sudah terkenal, tidak heran sih ... Dengan wajah itu," ujarnya sambil duduk di samping Steven, guru mereka belum datang.
"Sudah terbiasa kelihatannya, apa disana kamu punya banyak penggemar juga?"
Steven hanya berdecak malas sebelum akhirnya menyingkirkan makanan dan minuman di mejanya dan meletakkannya di meja sebelahnya yang kosong.
Ya, Steven memang sudah terbiasa dengan banyaknya penggemar meski ia hanya acuh dan terkesan dingin. Hal itu sebenarnya membuatnya muak karena ia tidak suka banyak perhatian tertuju padanya. Namun di singapura ia jauh lebih di gilai karena satu sekolah sudah tahu bahwa ia anak dari publik figur. Tentu saja anak dari artis bukan menjadi alasan satu-satunya. Itu hanya alasan pendukung dari segudang alasan lain. Dimana Steven dikenal dengan segala kekaguman tertuju padanya.
Steven berada di atas atap sekolah sendirian. Setelah mengelilingi sekolah di temani Aldo sebagai bentuk perkenalan pada lingkungan sekolah. Mereka melakukannya pada jam akhir pelajaran.
Dari tempat ia berdiri Steven bisa melihat kerumunan kecil anak-anak yang berjalan menuju gerbang. Sebagian besar dari mereka berjalan ke belakang sekolah menuju asrama.
Rata-rata anak-anak memilih tinggal di asrama karena padatnya jadwal sekolah. Tentu alasan padatnya jadwal bukan menjadi alasan Steven ingin tinggal di asrama.
Steven merogoh saku celananya dan mengeluarkan rokok elektrik. Rambut ikalnya mulai panjang dan menutupi keningnya. Angin sepoi membuatnya nyaman sebelum dering ponsel mengganggunya.
"Ne appa ..." jawabnya dalam bahasa asal ayahnya, Korea selatan.
"Arasso." jawabnya saat ayahnya menyuruhnya ke gerbang sekolah karena ia sudah sampai.
Steven menyesap rokoknya sekali lagi sebelum menyimpannya dan beranjak dari sana. Berjalan santai dengan kedua tangan di dalam saku.
Sekolah sudah mulai sepi, ia berjalan lebih cepat saat ponselnya kembali berdering, berdecak pelan saat melihat ayahnya yang tidak sabaran.
Bruk!
Steven sedikit mundur kebelakang karena baru saja menabrak bahu seseorang. Dia melihat di lantai sudah terduduk seorang anak perempuan. Anak yang tadi bertengkar dengan teman sekelasnya di kantin. Clara terduduk di lantai dengan wajah menahan sakit dan buku berserakan di sekelilingnya.
"Apa matamu tidak berfungsi?" tanya Steven, ekspresinya datar dan nada bicaranya sangat ketus.
Clara mendongak, menatapnya jengkel sambil bangkit. Melotot dengan wajah memerah menahan amarah. Masalahnya, wajahnya saat melotot bukan menakutkan malah terlihat lucu.
"Kamu yang salah kenapa malah kamu yang marah, dasar aneh!" sungut Clara kesal.
"Kamu yang jalan lihat ponsel. Aku sudah menghindar tapi kamu malah mengikuti langkahku!" lanjut Clara masih dengan wajah marahnya.
Steven tidak menjawab, ia hanya menatap Clara dari atas sampai bawah. Dilihat dari dasinya, Steven tahu Clara berada satu tingkat di bawahnya. Seperti yang diingatnya saat Aldo menjelaskan tentang sekolah tadi. Hal itu membuat dia merasa lebih memiliki power karena hirarki seorang senior.
"Hei! harusnya kamu minta maaf bukan hanya diam aja!"
Lagi, Steven hanya mengacuhkannya. Ia hanya menatap malas pada Clara yang akhirnya berdecih dan memungut buku-bukunya. Setelah itu Clara meninggalkannya dengan wajah kesal. Dia mwnggerutu pelan disepanjang jalan.
Steven terkekeh pelan sebelum melanjutkan langkahnya, merasa lucu saat melihat wajah Clara yang menahan kesal. Clara adalah wanita pertama yang tidak menatapnya memuja sejak ia menginjakkan kakinya di sini.
.
Steven lagi-lagi harus ikut ayahnya sebelum pulang kerumah. Ayahnya sedang melatih anak didiknya di lapangan namun ia tidak melihat adanya Aldo di antara pemain. Bagaimana kapten tidak ikut berlatih saat semuanya ada di sini?
"Bosan?" Steven mengambil botol air mineral yang di sodorkan ayahnya sambil menggeleng pelan.
"Cukup menyenangkan melihat mereka latihan, dimana kapten tim?" tanya Steven.
"Berada disekolah dengan tugas OSIS. Saat ini dia sedang mengejar ketertinggalan pelajaran karena pertandingan musim lalu."
Steven hanya mengangguk saja, ia jadi teringat Clara yang tadi banyak membawa buku. Dia juga sempat melihat beberapa milik anak kelas tiga.
"Bagaimana hari pertama di sekolah baru?" tanya ayahnya memecah keheningan.
"Biasa aja," jawabnya asal.
"Kata Nicholas kamu sudah terkenal di hari pertama dan memiliki basis penggemar,"
"Siapa Nicholas? mata-mata?"
Mendengar tuduhan Steven ayahnya tertawa renyah.
"Dia guru olahraga di sana, dia sahabat ayah," jelas ayahnya sebelum bangkit dan mendekati para pemain yang sudah kembali berkumpul.
Menjelang magrib, ayahnya menghentikan latihan. Menyuruh anak didiknya bersiap untuk pulang.
"Sudah selesai?" tanya Steven saat ayahnya berjalan ke arahnya dengan menenteng tas yang tadi tergeletak di atas rumput.
"Tentu, ini sudah terlalu sore. kajjaa....!"
Steven bangkit dengan tidak bersemangat dan mengikuti langkah ayahnya.
.
Steven berbaring di atas kasurnya dan menatap ponselnya sebelum akhirnya membuka pesan di sosial media miliknya. Menghela napas saat melihat sebuah nama yang sesungguhnya tidak ingin ia temui lagi. Sebuah nama yang ia hindari karena sebuah kesalahpahaman. Steven tidak ingin repot-repot menyelesaikannya. Bukan hal yang harus ia berikan atensi khusus, itulah alasannya.
Ia menghapus pesan itu tampa membacanya. Juga menghapus ratusan pesan dari penggemar tampa ia baca. Hanya beberapa pesan dari teman dekatnya yang ia biarkan.
Baru saja ia akan bangkit untuk turun, ponselnya berbunyi dengan notifikasi pesan chat. Ia mengernyit karena aplikasi itu baru saja ia buat saat tiba di Indonesia dan itupun karena permintaan ayahnya.
"Grup apa ini?" gumamnya saat membuka pesan. Dia berdecak malas saat nama-nama tidak di kenal mulai muncul di ponselnya.
Steven langsung keluar dari grup yang ternyata grub kelasnya. Dan dengan kesal memblokir semua nomor yang baru saja mengiriminya pesan tidak berguna.
"Ayah, besok saya akan ganti nomor," ujarnya
Ayahnya mendongak dan menghentikan kunyahannya sejenak. Mereka sedang makan malam di bangku taman belakang rumah. Ayahnya memang suka makan di luar rumah karena katanya lebih nyaman.
"Saya akan kirimkan nomor barunya nanti," lanjutnya tampa menoleh, menghindari pertanyaan-pertanyaan ayahnya.
"Hmm... Baiklah, makan yang banyak," Steven melirik sesaat namun tidak berbicara lagi. "Jika ada masalah bicarakan dengan Ayah, oke!" kata ayahnya lagi. Steven hanya mengangguk.
"Besok akan ada pertandingan persahabatan di luar daerah, kemungkinan ayah akan pergi dua hari. Pagi besok pembantu baru sudah akan bekerja. Untuk sementara kamu pergilah dengan taksi. Saat sudah hafal jalan ayah akan membelikanmu mobil. Apa kamu sudah punya SIM?" Steven mengangguk, dia sudah mendapatkan SIM saat kelas dua SMA.
"Internasional?" tanya ayahnya lagi.
"Hmm ... "
"Bagus, nah... Ayah masuk duluan. Jangan lupa cuci piringmu."
.
Clara menghapus jejak keringat di keningnya saat ia selesai menyusun berkas-berkas OSIS yang berantakan. Ini masih pagi namun ia sudah banyak berkeringat.
"Lelah? Sudah sarapan?"
Clara melirik sekilas pada Aldo yang baru saja memasuki ruangan sebelum mengacuhkannya. Melanjutkan pekerjaannya tampa berniat menjawab. Aldo tidak mempermasalahkan hal itu karena dia tahu Clara sedang kesal padanya.
"Even tahunan sebentar lagi, tapi kamu sibuk dengan duniamu sendiri kak Aldo... Kapan kita rapat untuk mengurus hal ini?"
"Ah! Itu... Aku baru saja akan memberitahumu bahwa aku akan keluar kota pagi ini. Ada pertandingan dan sudah dapat izin sekolah," jawab Aldo dengan nada bersalahnya.
Clara menatapnya tajam sebelum mendengus dan berjalan keluar. Dia kesal karena pasti nanti dia sendiri yang akan kerepotan. Selalu begitu dan Clara benar-benar kesal luar biasa.
Aldo tidak mencegahnya, dia menggaruk kepalanya bingung bagaimana agar Clara mau memaafkannya. Mereka akan pergi dua hari dan pastinya guru-guru akan menekannya untuk mengambil keputusan. Acara tinggal seminggu lagi dan persiapannya tentu saja tidak mudah.
Clara melarikan diri ke taman belakang sekolah yang terdapat kebun bunga. Dia selalu kesana jika mengalami hari yang buruk untuk mengembalikan suasana hatinya. Namun baru saja sampai, dia sudah di kejutkan dengan adanya asap dari balik pohon. Tentu saja dia tidak bodoh tentang dari mana asal asap itu. Maka dengan perasaan kesal dia berjalan ke sana. Hendak memarahi siapapun yang berani merokok di sekolah.
"Ini masih pagi dan kamu udah merokok!"
Clara membulatkan matanya saat si pelaku menolehkan kepalanya, orang itu bangkit berdiri dan menghadap ke padanya. "Oh, kamu ternyata! Anak baru tapi sudah berulah."
Steven menghisap rokok elektriknya dan memajukan wajahnya tepat di depan wajah Clara. Menghembuskan asap rokoknya dengan sengaja.
"Ish! Apa yang kamu_"
Perkataan Clara terhenti saat tiba-tiba Steven menarik pinggangnya mendekat. Mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Clara dan berbisik di sana.
"Jangan mengurusiku kalau masih mau hidup nyaman di sekolah."
Clara mematung, tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Ada gelenyar aneh saat suara rendah itu memasuki rungunya. Sebelum ia tersadar, Steven sudah melepaskan tangannya dan kembali duduk bersandar. Dia melanjutkan kembali acara merokoknya.
Clara menarik napas dalam-dalam saat sudah menguasai diri. Menatap kesal pada Steven yang sudah mengacuhkannya. Akhirnya tampa berbicara lagi, ia meninggalkan Steven tepat saat bell masuk pertama berbunyi.
Steven berdecak malas dan mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat itu. Saat ia melihat bangku panjang tidak jauh dari sana, ia beranjak dan berbaring disana menghadap langit. Tidak peduli kelas sebentar lagi akan dimulai.
.
Pelajaran pertama sudah selesai saat Steven memasuki kelas. Saat ia sudah duduk di bangku, Irfan dan yang lainnya langsung membombardirnya dengan pertanyaan. Ia bahkan mengorek telinganya dengan tidak sopan sebelum membuang semua kotak kado di mejanya ke tong sampah belakang kelas. Membuat semua orang menganga dengan ekspresi berbeda-beda.
"Wah! Anak sialan ini ternyata punya sifat yang buruk!" Anak pertama.
"Keluar dari grup kelas tampa izin, memblokir nomor teman sekelas dan pagi ini sepertinya nomornya sudah ganti." Anak lainnya.
"Memangnya apa peduli kalian, itu urusannya maka biarkan saja," itu adalah Lea yang melakukan pembelaan. Dalam sekejap anak perempuan lain ikut membela Steven.
Akhirnya terjadilah perang debat antara anak laki-laki dan perempuan. Steven yang merasa muak akhirnya menggebrak meja dengan kuat sebelum menedang bangku di sampingnya. Seketika kelas menjadi hening.
"Berhenti berisik sialan!" umpatnya dengan nada rendah yang dingin.
Salah satu anak laki-laki di sana, yang Steven tidak peduli namanya menghampirinya. Anak itu langsung melayangkan pukulan ke wajah tampannya.
"Pikirmu siapa kau merusak suasa kelas, Hah!" katanya dengan logat batak yang kental.
Steven tersenyum sinis sebelum melayangkan tendangan ke perut anak itu sampai ia terjungkal kebelakang dan jatuh ke lantai.
Anak laki-laki itu tentu saja tidak terima. Dia bangkit dan dengan bantuan teman-temannya. Karena hal itu terjadi perkelahian di kelas.
Steven mampu mengimbangi mereka karena postur tubuhnya yang tinggi dan tentu saja, karena kemampuan bela dirinya. Dia sudah biasa berkelahi, melawan beberapa anak seperti mereka bukan masalah baginya.
"BERHENTI!"
Teriakan membahana Clara menghentikan perkelahian. Tadinya Clara akan membagikan brosur pendaftaran untuk acara sekolah, namun dia malah melihat hal yang tidak diinginkan.
Dengan berani Clara menarik tangan Steven pergi dari sana setelah menghempaskan brosur diatas meja begitu saja. Steven tidak berontak, entah kenapa dia hanya menurut saja saat Clara menariknya masuk ke dalam ruangan OSIS.
"Kelas kalian di lengkapi CCTV. Sebentar lagi pihak sekolah pasti memanggilmu, dasar pembuat onar! Kamu tahu siapa yang kamu pukul tadi? Salah satu di antara mereka adalah anak pejabat!"
Steven hanya diam saja saat Clara terus mengoceh. Dia bahkan menikmati ekspresi wajah itu. Clara yang tidak mendapatkan reaksi apapun akhirnya berdecak malas. Dia mencoba memahami Steven dan segala tingkahnya. Namun dari segi manapun ia melihat, Clara tidak menemukan hal yang baik satupun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!