"Kak Rendra."
Rendra refleks membalikkan badan saat mendengar ada seseorang memanggil, meskipun tidak yakin kalau dia yang dipanggil tapi tidak ada orang lain di sana selain dirinya.
"Apa kamu memangillku?" tanyanya pada sosok gadis yang berdiri di sana.
"I ... iya, Kak," jawab Bella gugup.
"Ada apa?" tanya Rendra datar.
"Selamat pagi, Kak. Ini untuk Kak Rendra." Bella menyerahkan sekotak cokelat pada Rendra sambil memasang senyum yang paling manis.
"Aku tidak suka cokelat," kata Rendra ketus, lalu dia berjalan pergi.
"Tapi aku sudah susah payah membuatnya untuk Kak Rendra. Setidaknya Kakak menerimanya, terserah Kakak nanti mau diapakan cokelatnya." Bella mengejar Rendra sambil tetap berusaha menyerahkan kotak cokelatnya.
"Aku bilang aku tidak suka cokelat. Siapa juga yang menyuruhmu membuatnya?" Rendra menepis saat Bella menyodorkan cokelatnya lagi.
Namun, Bella tidak menyerah, dia terus mengikuti Rendra bahkan sampai menghadangnya.
"Minggir, jangan menghalangi jalanku." Rendra mulai kesal.
"Aku tidak akan minggir sampai Kak Rendra menerima cokelatku." Bella terus bersikukuh.
"Berikan saja pada orang lain. Minggir. Aku mau pergi. Kamu sudah menyita waktuku yang berharga." Rendra terus berjalan dengan kesal hingga tak sengaja membentur bahu Bella sampai gadis itu terjatuh dan cokelatnya berserakan.
"Hei, sopanlah pada wanita."
Tiba-tiba muncul sosok gadis lain di depannya. Wajahnya cantik tapi penampilannya cukup tomboi, mengenakan kemeja, celana jeans dan topi di kepalanya.
"Siapa lagi dia?" umpat Rendra dalam hati.
"Bella bangun. Apa kamu baik-baik saja?" Gadis itu membantu Bella berdiri.
"Dita ....” Bella girang melihat sahabatnya datang. “Terima kasih, Ta. Aku tidak apa-apa." Bella mengibaskan tangan dan celananya yang kotor.
Gadis yang dipanggil Dita itu lalu mengalihkan pandangannya pada Rendra. Tatapannya tajam seakan ingin membunuh pria di depannya.
"Tidak bisakah kamu bersikap manis pada wanita?" tanya Dita pada Rendra dengan sinis.
"Huh ... kenapa jadi aku yang salah? Dia yang menghalangi jalanku, aku sudah menyuruhnya minggir tapi dia tidak mau," jawab Rendra kesal.
"Dan, kamu kenapa muncul tiba-tiba. Apa kamu juga mau memberiku cokelat?" Rendra tersenyum mengejek pada Dita.
"Dalam mimpimu ...," desis Dita kesal.
"Syukurlah kalau begitu, karena aku juga tidak suka cokelat. Ah sial, aku terlambat gara-gara kalian berdua sudah menghabiskan waktuku." Rendra melihat jam tangannya lalu beranjak pergi.
"Hei, enak saja kamu pergi. Setidaknya kamu harus minta maaf karena membuatnya jatuh." Dita memanggil pria itu berusaha mencegah Rendra pergi, tapi Rendra terus berjalan dengan cepat tanpa menoleh sedikit pun.
"Dasar pria tidak tahu sopan santun," gerutu Dita.
"Sudah, Ta, memang aku yang salah memaksanya untuk menerima cokelatku padahal dia sudah menolaknya tadi," terang Bella sambil mengambil cokelatnya yang berserakan.
"Tapi kan kamu susah payah membuatnya sampai harus begadang. Setidaknya dia harus menghargai usahamu."
"Tidak apa-apa, Ta. Lagi pula dia tadi juga bilang kalau dia tidak suka cokelat."
"Kalau begitu kenapa kamu terus memaksanya? Lebih baik kamu cari pria yang lebih baik, jangan pria berengsek seperti dia."
"Tapi aku menyukainya, Ta."
"Huh ...." Dita menatap temannya tak percaya.
“Apa sih yang menarik dari pria berengsek seperti dia? Kasar sekali pada wanita. Masih banyak pria yang lebih baik dari dia, Bel,” ujar Dita.
“Kak Rendra itu sebenarnya baik, Ta. Kamu saja yang tidak tahu siapa dia,” jelas Bella.
“Hah ... baik? Baik dari mananya coba?” tanya Dita yang masih kesal dengan sikap Rendra.
“Dia itu panitia ospek dan senior paling baik deh, Ta. Ga pernah bentak-bentak, mau membantu kita kalau kita ada kesulitan. Yah, pokoknya paling baik deh, Teman-teman juga banyak yang naksir dan kagum sama Kak Rendra,” terang Bella sambil membayangkan sosok Rendra.
Dita menggelengkan kepalanya tak percaya dengan kata-kata Bella, “whatever!”
“Kamu tuh ya, Ta, makanya bergaul dong biar tahu siapa Kak Rendra. Jangan cuma kuliah sama nugas doang biar tahu banyak cowok ganteng di kampus ini dan high quality pastinya,” oceh Bella.
“Aku ke kampus untuk kuliah Bel, bukan untuk cari cowok ganteng. Aku enggak seperti kamu yang suka banget lihat cowok-cowok ganteng,” sahut Dita.
“Apa salahnya, Ta, nyari cowok-cowok ganteng? Kan buat vitamin mata biar otak dan pikiran segar enggak cuma penuh sama materi kuliah.” Bella membela diri. “Lagi pula kita juga masih muda, Ta. Saatnya menikmati masa muda dengan indah. Biar nanti kita punya kenangan di masa datang yang bisa kita ceritakan ke anak cucu kita,” lanjut Bella.
“Hahaha.” Dita tertawa geli mendengar kata-kata Bella. “Suka-suka kamu deh, Bel. Besok-besok jangan lagi ya nangis-nangis gara-gara ditolak atau dicuekin sama para cowok ganteng idolamu itu.”
Bella merengut mendengar ucapan Dita. “Lagian kenapa sih, Ta, kayanya kamu benci dan alergi banget sama Kak Rendra dan cowok ganteng lainnya?”
“Aku cuma enggak suka saja sama sifat mereka yang suka seenak sendiri dan mempermainkan gadis-gadis yang mengejar mereka.”
“Ta, ga semuanya punya sifat seperti itu. Banyak kok yang baik apalagi Kak Rendra. Kamu sih belum kenal dia, kalau sudah kenal pasti juga bakal jatuh hati sama dia. Ingat, Ta! Batas benci dan cinta itu tipis. Sekarang kamu mungkin benci dia, tapi siapa tahu besok kamu cinta sama dia,” ujar Bella sambil mengoda Dita.
“Jangan halu deh, Bel. Aku enggak minat kenal dia apalagi ngejar-ngejar dia. Ambil deh Kak Rendra-mu itu.”
"Iya ... iya sebahagiamu deh, Ta. Udah ayo kita ke kelas, sebentar lagi jamnya Pak Bayu mengajar," ajak Bella mencoba mengalihkan pembicaraan sebelum mendapat omelan panjang dari sahabatnya itu.
... ---oOo---...
Rendra sedang membereskan alat tulisnya setelah mengikuti kuliah Statika II saat Adelia menghampiri mejanya.
“Tumben tadi kamu agak telat masuknya, Ren?” tanya Adelia saat sudah di samping Rendra.
“Biasalah ada anak maba yang suka cari perhatian. Dia tadi mau ngasih aku cokelat, udah aku tolak malah ngejar terus. Eh malah temannya datang membantu cewek itu trus marah-marah sama aku. Bikin emosi aja.” Rendra mengembuskan napas kasar.
“Kenapa engga kamu terima aja cokelatnya, Ren?” tanya Adelia lagi.
“Buat apa? Lagi pula aku enggak mau memberi mereka harapan palsu. Sekali mereka dibaikin pasti bakalan ngelunjak. Aku males ngeladenin mereka,” jawab Rendra kesal.
“Ya kan bisa kamu kasih ke aku cokelatnya, Ren,” ujar Adelia sambil tertawa.
Rendra memicingkan matanya, menatap heran pada Adelia. “Sejak kapan kamu makan cokelat? Bukannya kamu lagi diet, ya?”
“Hihihi betul juga ya. Tapi, enggak apa-apa Ren, sekali waktu makan cokelat kan enggak setiap hari,” sahut Adelia. “Udah yuk ke kantin sambil nunggu jam berikutnya.”
Rendra segera bangkit dari kursinya mengikuti Adelia, lalu mereka berjalan beriringan pergi ke kantin.
Kembali dari kampus, Dita masih harus menata kamarnya. Kemarin dia baru pindah dari rumah orang tuanya ke rumah kakaknya. Alasannya klasik, jarak tempuh yang memakan waktu dari rumah orang tua menuju kampus sungguh membuat Dita kerepotan, terutama sebagai mahasiswa baru dia harus mengikuti beberapa kegiatan kampus di samping mata kuliah yang sudah sangat padat. Beruntung kakak tercintanya, Adi, menawarkan padanya untuk tinggal di rumahnya yang kebetulan tidak jauh dari kampus Dita.
Adi, kakak Dita, memang memiliki rumah di sebuah cluster perumahan yang letaknya di tengah kota agar memudahkan aksesnya untuk bekerja di sebuah perusahaan konstruksi ternama, yang kadang tidak mengenal waktu pulang bila sedang mengerjakan proyek.
Matahari mulai condong ke barat, Dita berjalan ke rumah dengan malas setelah tadi turun dari ojol di toko retail depan kompleks perumahan untuk membeli beberapa kebutuhannya, kebetulan rumah kakaknya berada di paling ujung. Meski jarak dari depan kompleks menuju rumah tidak terlalu jauh, tetapi karena dia sedang lelah rasanya jaraknya jauh sekali.
Berhubung dia baru pindah kemarin, dia belum sempat memperkenalkan dirinya pada para penghuni lainnya, mungkin akhir pekan nanti saat dia libur kuliah. Sebersit ide untuk memberi kue sebagai buah tangan pada tetangganya muncul di kepala Dita. Kebetulan kakaknya juga belum lama tinggal di sana, baru sekitar dua bulan yang lalu sejak diangkat sebagai manajer pelaksana proyek di sebuah perusahaan kontruksi ternama.
Adindra Kusuma, kakak kandung Anindita Kusuma, adalah seorang pekerja keras, dia selalu berangkat kerja pagi dan pulang malam. Karena prestasi dan kerja kerasnya, di usianya yang masih muda dia diangkat sebagai manajer di tempatnya bekerja. Hal itu membuatnya jarang bahkan bisa dibilang tidak pernah berinteraksi dengan penghuni lainnya.
Setelah sampai di depan pintu rumah, dia membuka kuncinya lalu masuk ke dalam. Dia langsung masuk ke kamarnya dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia ingin berbaring sebentar sebelum kembali menata kamarnya dan masak makan malam. Tapi pada akhirnya dia jatuh tertidur sampai azan Magrib berkumandang.
Dita terbangun dari tidurnya setelah mendengar ponselnya berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, dia langsung mengangkatnya. "Assalamu’alaikum, halo."
"Wa’alaikumsalam, Dek. Apa kamu sedang tidur?" Tanya suara di seberang telepon.
"Oh Mas Adi, iya Mas, aku ketiduran tadi. Jadwal kuliahku penuh hari ini, aku capek Mas. Oya, ada apa Mas?"
"Malam ini mas harus lembur, tidak apa-apa kan kamu makan malam sendiri? Kalau kamu capek masak, order online saja."
"Enggak apa-apa Mas. Jangan khawatirkan aku. Setelah ini aku akan mandi lalu makan, baru menata kamarku lagi."
"Mas pesankan makanan saja ya? Jadi selesai mandi nanti kamu bisa langsung makan." Tawar Adi.
"Oke, terima kasih Mas-ku Sayang."
“Duh, mas jadi melayang ini dipanggil sayang, hehehe. Adekku yang cantik mau makan sama apa ... mmmhhh?”
“Mmmmm ... apa ya?” Dita berpikir sebentar. “Nila bakar aja Mas pakai sambal bawang ya.”
“Oke, tapi jangan banyak-banyak ya sambalnya nanti kamu sakit perut, Dek.”
“Iya Mas, tenang saja.”
"Ya sudah, Mas pesan sekarang. Kamu cepatan mandi. Mas tutup dulu teleponnya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Mas, oke!"
"Siap, komandan!"
Setelah Adi menutup telepon, Dita bergegas bangun lalu ke kamar mandi. Dia merasa bangga dan bahagia punya kakak seperti Adi yang walau sesibuk apa pun selalu memperhatikan dirinya.
Lima belas kemudian Dita keluar dari kamar mandi, lalu menjalankan kewajibannya salat Magrib. Setelah itu dia berganti pakaian tidur. Sembari menunggu makanan yang dipesan kakaknya datang, dia mulai menata lagi kamarnya. Sebenarnya tak banyak yang harus dia tata karena dia hanya membawa buku-buku kuliahnya, pakaian dan juga sebuah pigura foto keluarga.
Dia menyusun buku-bukunya di atas meja belajar, dia susun sesuai jadwal kuliah agar mudah untuk mencarinya. Lalu setelah itu dia memasukkan sebagian pakaian yang dia bawa, yang belum sempat dia tata kemarin ke dalam lemari.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 malam, perutnya sudah mulai keroncongan tapi makanan yang dipesan belum juga datang. Tadi di kampus dia tidak sempat makan siang karena harus ke perpustakaan untuk mencari bahan untuk tugas kuliah.
Dita hendak menelepon Adi bertanya apakah kakaknya sudah memesankan makanan untuknya, tapi saat akan mengambil ponselnya, bel pintu berbunyi. Dita bergegas keluar kamar lalu membuka pintu rumah. Pesanan makanannya sudah datang yang diantar oleh pengemudi ojek online. Setelah membayar makanan, dia kembali masuk ke dalam dan menyantap makan malamnya.
...---oOo---...
Rendra baru tiba di rumah saat melihat seorang pengemudi ojek online mengantarkan makanan ke tetangga di sebelah rumahnya. Dia heran karena tak biasanya tetangganya itu sudah ada di rumah di jam saat ini. Dia turun dari motor sport kesayangannya untuk membuka pintu garasi.
“Mari Mas, permisi.” Sapa pengemudi ojek online itu ramah.
“Mari Pak.” Rendra menjawab sambil menganggukkan kepalanya. Setelah itu dia memasukkan motornya ke garasi lalu mengunci pintu garasi.
Rendra membuka helmnya dan meletakannya di atas rak tempat menyimpan helm, lalu masuk ke rumah lewat pintu yang terhubung dengan garasi.
“Assalamu’alaikum,” sapa Rendra saat masuk ke dalam ruang keluarga.
“Wa’alaikumsalam, eh sudah pulang anak mama yang paling ganteng.” Dewi, Mama Rendra tersenyum melihat anak laki-laki satu-satunya itu.
Rendra menghampiri mamanya, lalu mencium punggung tangan dan pipi mamanya. Mama yang sangat dicintainya, seorang wanita yang kuat, bijaksana dan penuh kasih sayang. Menjadi orangtua tunggal sejak Rendra kelas 2 SMA karena papanya meninggal dalam kecelakaan. Mama Rendra berjuang demi ketiga anaknya, dia mulai membuka butik sejak suaminya meninggal karena dia suka mendesain baju.
Butik itu yang kemudian menjadi sumber penghasilan utama Dewi, berkembang pesat hingga menjadi salah satu butik yang sangat terkenal dan menjadi langganan pejabat bahkan artis saat ini. Meskipun terbilang sukses tetapi Dewi tetap ramah, rendah hati dan tidak membeda-bedakan orang karena di matanya semua manusia sama terlepas dia miskin atau kaya.
“Mama masak apa hari ini, aku lapar belum sempat makan tadi?” Rendra duduk di samping mamanya sambil menyandarkan kepala di bahu mamanya.
“Makanan kesukaanmu, cumi asam manis dan capcai. Kamu kelihatannya capek sekali hari ini, Ren.” Dewi mengelus rambut Rendra dengan lembut dan penuh kasih sayang.
“Iya Ma, tadi ada praktek sampai Magrib. Beresin alat, salat Magrib baru pulang. Aku mandi dulu ya Ma, badanku udah gerah banget ini.” Rendra bangkit dari duduknya, pamit untuk ke kamar.
“Sekalian salat Isya Ren, habis itu baru makan.” Titah Mama Rendra.
“Siap, Ma.”
Rendra masuk ke kamarnya, melepas jaket, dan ranselnya lalu bergegas ke kamar mandi. Sekitar 10 menit kemudian dia keluar dari kamar mandi, lalu memakai baju koko dan sarung kemudian membentangkan sajadah untuk melaksanakan kewajibannya salat Isya. Setelah salat dia keluar kamar untuk makan malam.
"Mas, aku berangkat kuliah dulu ya." Pamit Dita setelah selesai mencuci piring.
"Enggak berangkat bareng Mas saja, Dek?"
"Enggak, Mas. Lagian Mas langsung ke proyek kan enggak ke kantor dulu, nanti Mas harus putar balik kalau mengantar aku dulu. Naik ojek online saja, Mas."
"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya. Nanti mungkin Mas lembur lagi. Tidak apa-apa kan kamu makan malam sendiri lagi?"
"Enggak apa-apa, Mas. Aku sudah bukan anak kecil lagi loh sekarang.”
“Tapi, kan kamu di sini tanggung jawab mas. Tidak ada ayah dan bunda di sini yang menemani kamu. Mas takut kamu kesepian.”
“Mas berlebihan deh, tenang saja Mas, aku baik-baik saja. Kalau ada apa-apa aku pasti bilang sama Mas, jadi Mas enggak perlu khawatir.”
“Gimana enggak khawatir, kamu itu satu-satunya adik mas. Mas enggak mau terjadi apa-apa sama kamu dan bikin kamu enggak nyaman di sini karena mas jarang di rumah.”
“Iya ... iya, Masku Sayang.” Dita bergelayut manja di lengan Adi.
Adi membelai lembut rambut Dita lalu memeluknya. Dia sangat menyayangi adiknya itu. Mungkin karena usia mereka terpaut 8 tahun jadi dia sangat protektif pada Dita.
“Dek, gimana kalau mas belikan motor biar kamu tidak perlu naik ojek terus?” Adi melepas pelukannya dan mendudukkan Dita di samping kursinya.
“Enggak usah, Mas. Aku masih takut naik motor. Kan kita juga bisa berbagi rezeki dengan memakai jasa ojek, Mas.”
“Kamu ini memang selalu memikirkan orang lain.” Adi mengacak gemas rambut Dita.
“Mas ...!!!! Rambutku jadi acak-acakan lagi kan.” Teriak Dita kesal sambil memukul lengan Adi.
“Udah-udah, mas minta maaf ya, Adekku Sayang.” Adi merapikan kembali rambut Dita yang sedikit berantakan karena ulahnya.
“Biar aku sendiri yang merapikan nanti malah makin berantakan lagi.” Dita menepis Adi yang merapikan rambutnya. Dia masuk kembali ke kamarnya untuk merapikan diri lagi dan mengambil tasnya.
“Mas pesankan ojeknya sekarang ya, Dek. Langsung ke kampus kan?” Tanya Adi.
“Iya, Mas.” Sahut Dita dari dalam kamar.
Setelah memesan ojek online, Adi juga bersiap ke kantor. Dia merapikan kemejanya, mengambil tas kerjanya lalu memanaskan mobilnya sambil menunggu ojek Dita datang.
Lima menit kemudian datanglah pengemudi ojek online yang sudah Adi pesan.
“Permisi Mas, apa benar di sini order ojek atas nama Adi?” Tanya pengemudi ojek online itu dengan sopan.
“Iya benar, Pak. Tunggu sebentar ya Pak, saya panggilkan dulu adik saya.” Jawab Adi lalu masuk ke rumah untuk memanggil Dita.
“Dek, ojolnya sudah datang, buruan keluar!”
“Iya Mas, ini sudah siap kok tinggal berangkat saja.” Seperti biasa dia memakai kemeja, celana jin, topi dan sneakers, tak lupa tas ransel kesayangannya.
“Dita berangkat dulu ya Mas, Assalamu’alaikum." Dita mencium punggung tangan dan pipi Adi sebelum berangkat.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya Pak jalannya, tidak usah ngebut.” Ucap Adi setelah mengecup kening Dita dan mengantar adiknya ke depan.
“Siap Mas.” Pengemudi ojol itu lalu menyerahkan helm pada Dita.
Dita segera memakai helm lalu naik ke atas motor ojol. Tak lama kemudian ojol itu menjalankan motornya.
Saat melewati rumah di sebelahnya, Dita melihat seorang pria yang sedang mengeluarkan motor sport-nya dari garasi. Dia tidak dapat melihat wajahnya karena pria itu menggunakan helm full face. Dia menundukkan kepalanya sebagai tanda sopan santun, tetapi pria itu diam saja.
“Huh ... sombong sekali.” Gumam Dita .
Sepeninggal Dita, Adi segera mengunci pintu rumah lalu masuk ke mobilnya dan segera berangkat ke kantor.
...---oOo---...
Rendra sedang mengeluarkan motor kesayangannya saat seorang pengemudi ojol dengan penumpangnya melewati depan rumahnya.
“Apa ada penghuni baru di sebelah?” Tanyanya dalam hati, setahu dia penghuni baru di sebelah adalah seorang pria, kenapa tadi penumpang ojolnya seorang wanita. “Apa dia istrinya? Ah sudahlah kenapa aku jadi repot sendiri memikirkan hal itu.” Dia menggelengkan kepala berusaha menepis pemikirannya pada tetangga sebelah rumahnya.
Tak lama kemudian sebuah mobil SUV hitam melewati depan rumahnya, membunyikan klakson pelan sebagai tanda sopan santun. Dia membalas dengan menganggukkan kepalanya. Setelah itu Rendra segera menaiki motornya lalu berangkat ke kampus.
Rendra mengendarai motornya dengan santai, menikmati jalanan yang mulai padat dengan kendaraan orang-orang yang memulai aktivitas mereka, ada yang sekolah, kuliah dan juga kerja. Sebenarnya jarak dari rumah ke kampus tidak terlalu jauh hanya terkadang padatnya jalan dan beberapa traffic light membuatnya lebih lama untuk sampai di kampus.
Sekitar 15 menit kemudian dia sampai di gerbang kampus. Dia melewati seorang pengemudi ojol yang membonceng penumpang seorang wanita dan menurunkan penumpang itu di depan kampusnya.
Dia langsung menuju parkiran motor tanpa menghiraukan siapa penumpang wanita itu. Setelah mengambil karcis parkir, dia segera mencari tempat parkir yang masih kosong. Mungkin pagi ini banyak yang kuliah pagi jadi sudah banyak kendaraan yang sudah terparkir di sana. Beruntung dia masih mendapatkan tempat parkir yang masih kosong. Setelah memarkirkan motor dan melepas helm, dia segera pergi ke kelas untuk mengikuti kuliah.
...---oOo---...
Dita turun dari ojol begitu sampai di kampus, setelah menyerahkan helm dan berterima kasih pada pengemudi ojol, dia berjalan menghampiri Bella yang sudah menunggunya di depan gedung fakultas teknik. Lalu dia berjalan menghampiri temannya itu.
"Hai Bel," sapa Dita riang.
"Ta, bagaimana kamu bisa sampai beriringan dengan Kak Rendra?" Tanya Bella tanpa membalas sapaan Dita.
"Kak Rendra? Siapa?" Dita balik bertanya.
"Pria yang tadi naik motor masuk ke kampus bareng kamu." Jawab Bella.
Dita mengerutkan keningnya tak mengerti. "Memang siapa dia?"
"Dia yang kemarin mau aku beri cokelat." Terang Bella.
"Pria yang kemarin pergi begitu saja itu?" Tanya Dita memastikan.
Bella menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Bagaimana kamu bisa beriringan dengannya, Ta?" Tanya Bella.
"Mana kutahu, kebetulan saja sampainya bareng. Aku juga tidak tahu rumahnya di mana. Lagian aku juga naik ojol, dia naik motor, enggak mungkin lah kita janjian bareng. Enggak usah lebai deh, Bel." Jawab Dita sambil berjalan pergi meninggalkan Bella yang mulai membuatnya kesal.
"Ya Dita, tunggu aku. Jangan marah begitu dong." Bella berlari mengejar Dita.
“Kamu ini aneh sih Bel, di kampus ini kan banyak mahasiswa, sampai bareng ke kampus itu hal yang wajar apalagi kalau jadwal kelasnya bersamaan, kecuali aku boncengan sama dia baru boleh deh kamu heboh kaya tadi.” Dita masih kesal dengan sikap Bella tadi.
“Iya Ta maaf, iya deh aku salah. Habisnya aku enggak pernah barengan sampai sama Kak Rendra. Kan aku juga pengen Ta bareng Kak Rendra.” Bella mengungkapkan isi hatinya.
“Ya sudah sana pacaran sama Kak Rendra-mu itu biar bisa berangkat dan bareng terus sama dia.”
“Doakan ya Ta, semoga aku bisa jadi pacarnya Kak Rendra, aamiin.” Doa Bella sambil menengadahkan tangan lalu mengusapkan ke wajahnya.
Dita hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum geli melihat tingkah sahabatnya itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!